Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Kesusastraan merupakan salah satu bentuk pengungkapan artistik dan imajinatif dari
realitas
kehidupan
yang menggunakan
medium bahasa
serta
memberi
dampak
positif
terhadap kehidupan umat manusia. Kesusastraan
mempunyai ciri-ciri
universal, namun
setiap bangsa atau negara mengembangkan ciri serta kekhasan susastranya dengan
berlandaskan pada kebudayaan dan keadaan jamannya. Jepang merupakan salah satu
bangsa
yang
memiliki
sejarah
panjang
dalam pengembangan
susastra
serta
memiliki
banyak sastrawan dengan mahakarya kelas dunia seperti Murasaki Shikibu (973-1025?),
Chikamatsu Monzaemon (1653-1725), Natsume Soseki (1867-1916), Tanizaki
Junichiro (1899-1965), Kawabata Yasunari (1899-1972), Kenzaburo Oe (1935- ), dan
Murakami
Haruki
(1949-
).
Murasaki
adalah
penulis
perempuan
yang
sekitar
seribu
tahun lalu menciptakan salah satu roman terpanjang di dunia (sekitar 630.000 kata) yaitu
Genji Monogatari. Monzaemon adalah penulis cerita drama untuk kabuki dan panggung
boneka dan sering disebut Shakespeare-nya Jepang.
Soseki, Tanizaki adalah novelis
periode
Meiji
yang
diakui
kemampuannya dalam menyampaikan
persoalan-persoalan
masyarakat Jepang pada jamannya. Kawabata dan dan Oe adalah dua sastrawan Jepang
yang
mendapat
penghargaan
nobel,
sebagai bentuk pengakuan internasional terhadap
keindahan dan kedalaman karya-karya mereka. Sedangkan
Murakami adalah novelis
Jepang yang lahir setelah Perang
Dunia II, yang karya-karyanya banyak
diperbincangkan karena dianggap mampu menguak jiwa-jaman masyarakat Jepang
pasca Perang Dunia II.
|
Akutagawa Ryunosuke (1 Maret 1892 - 24 Juli 1927) yang karyanya menjadi fokus
penelitian skripsi ini adalah salah satu
penulis yang tumbuh dewasa pada era Meiji-
Taisho (1912-1926). Ia dianggap sebagai salah satu sastrawan Jepang yang brilian yang
karya-karya tidak hanya berpengaruh pada jamannya namun juga pada masa kini.
Terlahir dengan
nama Ryunosuke di Irifunechoo, Kobayashii, Tokyo tanggal 1 Maret
1892, pada usia dua belas tahun
ia resmi diadopsi oleh
Akutagawa
Michiaki, kakak
laki-laki ibunya. Kecintaannya terhadap karya sastra mulai bertambah seiring dengan
bertambahnya umur, ia mulai membaca buku karya filsuf-filsuf barat dan Eropa seperti
Bergson, Spinoza, Goethe, Tolstoy, Shakespeare, Beudelaire, Verlaine dan Dotoevsky
(Wibawarta, 2005:5).
Semasa hidupnya Akutagawa menghasilkan sekitar seratus lima puluh karya yang
sebagian
besar
merupakan
cerita
pendek.
Karya-karyanya
yang
terkenal
antara lain
Rashomon (1915), Hana (1916), Imogayu (1916),
Jigokuhen (1918), Kumo
no
Ito
(1918), Yabu no Naka (1922) dan Kappa (1927). Salah satu sutradara ternama di
Jepang, Kurosawa Akira, memfilmkan kisah Yabu no Naka yang diberi judul Rashomon
pada
tahun 1950.
Film ini
meraih
penghargaan di
festival
internasional
yaitu
Golden
Lion di Venesia (1951) dan Academy award (1952). Kappa dianggap sebagai salah satu
mahakarya
yang ditulis Akutagawa
sebelum kematiannya. Novel Kappa sudah banyak
diapresiasi
dalam bentuk
penerbitan
dan
terjemahan
ke
dalam berbagai
bahasa
dan
sebagai korpus penelitian oleh oleh para peneliti di bidang susastra atau humaniora .
Untuk mengenang sastrawan ini pada tahun 1935 seorang sahabatnya, Kikuchi Kan,
menyelenggarakan Akutagawa Prize sebagai penghargaan bagi para penulis baru yang
|
memberikan inspirasi dan merupakan penghargaan sastra bergengsi di Jepang sampai
saat ini.
Novel Kappa selesai ditulis Akutagawa pada tanggal 11 Februari 1927, sekitar lima
bulan sebelum ia
mengakhiri
hidupnya dengan
cara
bunuh
diri.
Kappa adalah
karya
sastra bergaya satir, mengisahkan seorang Pasien pada sebuah rumah sakit jiwa di
pinggiran kota Tokyo. Dari awal hingga akhir cerita, tokoh
ini
menggunakan
nama
Pasien No.23. Nama sebenarnya tidak diketahui. Di rumah sakit jiwa tersebut, Pasien
No. 23 menceritakan pengalaman dirinya ketika terdampar di negeri kappa.
Dalam
konteks
budaya
Jepang,
kappa
disimbolkan sebagai
mahluk
imajinari
berwujud binatang,
memiliki bau seperti ikan,
mampu
merubah warna kulitnya,
memiliki tempurung dipunggungnya. Kulitnya bersisik, berambut panjang, memiliki
cawan
berair dikepalanya
(selama
air
di
cawan
itu ada,
maka
selama
itu pula
kappa
dapat berada di darat).
Tangan dan kakinya berselaput,
memiliki paruh, kulitnya
hijau
kekuningan, dan memiliki tubuh seperti anak kecil usia 6-10 tahun.
Belum
ada
data
yang
akurat perihal
kapan
kappa
muncul
dan
dikenal
dalam
kebudayaan
Jepang.
Pada
jaman
Edo,
imaji
atau
pencitraan
kappa
dapat
ditemukan
dalam antologi
cerita
supernatural,
obyek
ukiyo-e,
lukisan
komikal
(giga),
dan
haiga.
(Lihat
Gambar).
Tahun 1910 kappa
semakin
populer
dengan
dipublikasikannya Tono
Monogatari oleh Yanagita Kunio (1875-1962).
|
![]() Gambar 1.1: Imaji kappa (1) Pada Periode Edo (1603-1867)
Keterangan
Gambar:
Gambar
sebelah
kiri
adalah
sketsa
Ito Chobei
dari
kappa yang
ditangkap pada periode Meiwa (1764-1772) di wilayah Edogawa
(sekarang
Tokyo). Kappa
ini tingginya 60 cm dan
mempunyai kulit
yang licin seperti ikan. Gambar yang ditengah adalah kappa tanpa
cangkang dan gambar
yang di kanan menunjukkan kappa yang
tertangkap dengan jaring di Mito pada tahun 1801. Kappa
ini
mempunyai
dada
yang
menonjol,
punggung
yang
melengkung
dan
tiga anus.
Gambar 1.2: Imaji kappa (2) Pada Periode Edo (1603-1867)
|
![]() Gambar 1.3: Imaji Kappa Menurut Ito Keisuke
Gambar:
Gambar
kappa
di
atas
adalah
sketsa Ito
Keisuke, seorang
ahli
pengobatan dan pecinta sejarah alam
pada periode
Edo.
Gambar
di
sebelah
kiri
menggambarkan
kappa
sebagi mahluk
misterius
yang
berwujud binatang,
gambar tengah adalah penggambaran dari kappa
yang ditangkap di sungai di sekitar kastil Edo pada akhir abad ke 18,
gambar kanan adalah kappa yang ditangkap pada awal abad ke 17 di
kota yang sekarang bernama Hita di Prefektur Oita, Kyushu.
Gambar 1.4: Imaji Neneko kappa
|
![]() Keterangan Gambar:
Neneko atau neko kappa sketsa Akamatsu Sotan pada tahun 1855
dalam karyanya yang berjudul Tonegawa zushi (Sejarah Sungai
Tone dalam Gambar).
Gambar 1.5. Patung kappa
Sumber:
Keterangan Gambar:
Kiri dan tengah merupakan patung kappa di Kuil Gokoku.
Gambar kanan
merupakan
patung
kappa
di Stasiun
Tanumachi,
Perfektur Fukuoka.
Gambar 1.6: Kappa dalam Versi Kontemporer (Lukisan Komikal (Giga) dan
Kartun)
|
Terdapat beragam
teori mengenai kelahiran kappa,
misalnya teori
mitologi Shinto,
teori dari biksu portugal, teori mitologi Budha dan, teori etnis Ainu.
Menurut
Yanagita
dalam Danandjaja
(1997:78-80),
legenda
Jepang
yang
disebut
dengan
istilah
densetsu masih
hidup
hingga
sekarang.
Hal
ini
dikarenakan
legenda
Jepang ditopang oleh kepercayaan rakyat
yang
masih dianut secara kuat. Mahluk alam
gaib
masih
diyakini
keberadaannya oleh bangsa
Jepang,
karena
masih
ada
saja
orang
yang mengatakan pernah bertemu dengan mahluk jenis ini.
Selain
roh-roh yang berasal dari orang
mati,
masyarakat Jepang juga mempercayai
adanya mahluk luar biasa (monster), termasuk yang disebut kappa. Menurut
kepercayaan, kappa diyakini hidup di dalam air dan naik ke darat pada petang hari untuk
mencuri
buah
semangka
dan
mentimun. Kappa
juga gemar bergulat dan memperkosa
wanita, menghisap darah sapi atau kuda melalui lubang duburnya. Legenda kappa yang
paling tipikal muncul adalah kappa yang menyeret sapi atau kuda ke dalam sungai.
Beberapa legenda lain tentang kappa adalah kisah kappa
dari Fukiura, kappa dari
Situ Koda, kappa yang gemar bermain tarik jari, kappa ahli patah
tulang, kappa
yang
tahu membalas budi, kisah bergumul dengan seekor kappa dan kisah kenang-kenangan
mengenai kappa. Berbeda dengan versi Tono Monogatari yang mengisahkan sisi buruk
kappa, pada
jaman
sekarang
kappa
digambarkan
sebagai sosok
yang
mudah
didekati
dan ramah.
Dalam karya Akutagawa
negeri kappa adalah negeri layaknya sebuah
negara
manusia yakni
memiliki pemerintahan,
undang-undang dan para kappa
yang hidup di
sana
memiliki
profesi
yang
beraneka
ragam.
Sebagaimana
dunia
manusia,
persoalan
seni, ekonomi, agama dan politik juga menjadi topik perbincangan antara Pasien No.23
|
![]() dengan para kappa di dunia kappa. Karena adanya persamaan-persamaan dengan dunia
manusia, ia menjadi terbiasa dengan kehidupan di dunia kappa dan semakin memahami
adat dan kebiasaan mereka. Kematian Tock, kappa penyair, sahabat yang dikaguminya,
membuat
sang
Pasien No.23
tidak
betah
lagi
hidup
di
negeri kappa.
Ia
memutuskan
untuk kembali lagi ke dunia manusia. Namun sekembalinya ke dunia manusia, ia malah
menjadi terganggu dengan bentuk muka dan kehadiran manusia sehingga ia
menghindari bertemu dengan manusia. Akhirnya ia memutuskan meninggalkan rumah
dan
naik
kereta jalur
Chuo.
Tetapi sial, ia tertangkap oleh polisi dan dimasukkan ke
rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa tersebut, sesekali ia merasa dijenguk oleh teman-
temannya dari dunia kappa dan pada saat itu mereka saling bertukar kabar.
Karya
sastra
utopia dimulai
sejak
Thomas
More
menulis
novel
yang
berjudul
De
Optimo Reipublicae Statu deque Nova Insula Utopia,
yang kini lebih populer dengan
nama Utopia,
pengaruhnya
telah
berkembang pesat melebihi karyanya sendiri. Utopia
yang di terbitkan dalam bahasa Latin di Louvain (sekarang Belgia) tersebut merupakan
novel satir yang secara tidak langsung mengkritik dunia politik Eropa yang korup pada
saat itu serta hipokrasi agama.
Kata utopia berasal dari bahasa Latin yang diterjemahkan sebagai no place atau no
where tetapi dalam pemakaian modern diterjemahkan sebagai good place atau an ideal
place. Pada intinya utopia mengekspos hal-hal yang diluar kewajaran dan kejahatan dari
masyarakat saat
itu dengan
memberikan alternatif.
Dalam pengertian
yang
lebih
luas
utopia mengacu pada sebuah masyarakat hipotetis sempurna. Unsur penting dari novel
utopia adalah perbedaan yang tajam antara idealisme
utopia dengan realitas yang ada
(yang tidak sempurna). Oleh karena itu utopia memberikan negeri alternatif yang
|
merupakan kebalikan dari realitas. Dalam utopia, objek yang ingin dirubah adalah
masyarakat bukan individu.
Karya sastra utopia banyak ditemukan melalui cerita fantastik. Kisah fantastik sudah
banyak dalam kesusatraan Jepang jaman Heian dan era Tokugawa (1600-1868). Novel
utopia Jepang umumnya memiliki logika terbalik dan tak jarang memutarbalikkan
realitas. Utopia yang sejati bukan seperti taman firdaus yang tak dapat dicapai,
melainkan yang menawarkan sebuah praktek perbaikan, meski kadang merupakan
perbaikan
yang
sangat
drastis
terhadap
cacat
yang
terjadi
dalam masyarakat.
Penyembunyian
kritik
sosial
dan
politik,
yang
dimaksudkan
agar
pengarang
terbebas
dari
sensor,
dalam karya
utopia
diwujudkan
dengan
penggambaran
dunia
atau
masyarakat imajiner.
Tema tentang utopia mulai diangkat dalam karya susastra Jepang sejak periode Meiji
(1870-an) hingga sekarang, terutama oleh kalangan sastrawan dan pemikir Jepang yang
mendalami pemikiran Barat. Inti dari konsep
utopia adalah pelarian dari realitas
yang
ada. Hal
ini dapat ditemukan dalam
novel Kappa. Ciri-ciri
yang
sementara
ini
ditemukan mengarahkan bahwa novel Kappa merupakan salah satu karya sastra Jepang
yang menggambarkan konsep utopia, untuk itu tujuan dari skripsi ini adalah
untuk
menganalisanya secara lebih sistematis. Landasan teori yang akan saya gunakan adalah
teori utopia, naratologi, teori semiologi Roland Barthes dan teori penokohan
Nurgiantoro.
Naratologi adalah teori dan ilmu mengenai naratif struktural. Naratologi
menjembatani pemahaman teks melalui cerita dan penceritaan dengan melihat teks
sebagai media komunikasi antara pengarang, teks dan pembaca. Konsep naratif berawal
|
dari para penerap semiologi,
seperti Roman Jakobson yang dilanjutkan oleh Viktor
Shklovsky, Claude Levi Strauss dan Roland Barthes, yang berfikir bahwa semua teks
baik yang tertulis (written) dan yang diceritakan (spoken) adalah sama.
Menurut
Scholes
dalam Budiman
(2003:3), semiologi atau semiotika secara garis
besar
didefinisikan
sebagai
pengkajian
tanda-tanda,
yang pada
dasarnya
merupakan
sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang
entitas-entitas
tertentu
sebagai
tanda
atau
sesuatu
yang
bermakna.
Semiologi
adalah
ilmu umum tentang tanda, ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di
dalam
masyarakat
Semiologi
adalah
instrumen pembuka rahasia teks dan penandaan. Roland Barthes
menjadikan semiologi sebagai suatu cara untuk mengarahkan manusia menandai sesuatu
dan memaknainya. Barthes melihat bahwa yang dapat dijadikan obyek semiologi bukan
hanya terbatas pada bahasa saja
melainkan hal-hal lain non bahasa. Kehidupan sosial,
apapun
bentuknya, merupakan
suatu sistem tanda
tersendiri.
Interpretasi Barthes
terhadap
berbagai
macam teks
dan
memperlakukan
semua
teks
dengan
sama
telah
melahirkan kebaruan makna dalam teks tersebut. Semiologi Barthes telah memberi
sumbangan banyak terhadap kritik sastra. Kurniawan (2001:110) berpendapat bahwa
pada hakikatnya semiologi dan analisis struktural Barthes adalah bentuk dari intrepretasi
kebudayaan.
1.2 Rumusan Permasalahan
Permasalahan
yang
ingin
diangkat
dalam penelitian
ini
adalah
mengenai
konsep
utopia
melalui
tanda-tanda
analisis
semiologi
yang
ada
dalam novel
Kappa
karya
Akutagawa Ryunosuke.
|
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan
Permasalahan
yang akan
diteliti akan
dibatasi
yaitu
mencari
gambaran
utopia dan
makna utopia dalam novel Kappa karangan Akutagawa Ryunosuke. Untuk mendukung
analisa saya, maka akan digunakan teori utopia, naratologi, teori semiologi Roland
Barthes dan teori penokohan Nurgiantoro sebagai landasan teori.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan gambaran konsep utopia dalam
novel Kappa dan memperkaya analisa terhadap novel Kappa dari sudut pandang
yang
lain.
Hasil dari penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk
menambah khasanah
pengetahuan tentang sastra dan kebudayaan Jepang.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian digunakan dalam penelitian
ini
adalah
metode
kepustakaan dan
deskriptif
analitis.
Dengan
menggunakan dan mengumpulkan sumber data dan bahan
bacaan diharapkan dapat menunjang proses analisa yang akan dilakukan. Sumber data
dapat diperoleh dari buku, jurnal ilmiah nasional dan internasional dan data internet.
Data
primer
yang
saya
digunakan
dalam penelitian
ini
adalah
naskah
berbahasa
Jepang dan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari buku Akutagawa: Kumo no Ito,
Kappa, Imogayu, Shiro yang dirangkum dan diterjemahkan oleh Bambang Wibawarta.
Data penunjang yang akan di gunakan adalah buku-buku, jurnal dan data dari
internet
mengenai konsep utopia,
naratologi, teori
semiologi
Roland Barthes,
teori
penokohan
dan novel Kappa.
|
1.6 Sistematika Penulisan
Bab pertama, yaitu Pendahuluan, berisi tentang latar belakang penulisan skripsi serta
menggambarkan
alasan pemilihan
topik
skripsi.
Selain
itu
juga
berisi
pula
rumusan
permasalahan, ruang lingkup permasalahan, dan metode yang akan digunakan.
Bab dua adalah tentang
landasan teori, berisi
teori yang akan
menjadi acuan dalam
menganalisa data (korpus).
Bab tiga, berisi pembahasan mengenai makna dan bagaimana utopia digambarkan
dalan novel Kappa menggunakan naratologi dan semiologi Barthes. Dengan
menggunakan landasan teori pada bab dua diharapkan akan memudahkan proses analisa
dengan cara menganalisa teks. Meskipun demikian, untuk memberikan pemahaman
awal yang lebih cepat, akan dilampirkan juga ringkasan cerita novel ini.
Bab empat merupakan simpulan dari penelitian dan saran yang dapat penulis
kemukakan berdasarkan penelitian yang dilakukan.
Bab lima merupakan bab penutup yang berisi ringkasan dari bab pertama hingga bab
keempat.
|