1
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Menurut Sutedi (2003:2), bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan
sesuatu ide, pikiran, hasrat dan keinginan. Bahasa digunakan oleh suatu masyarakat
berhubungan satu sama lain, sehingga memiliki peran sangat penting dalam masyarakat.
Koentjoroningrat dalam Aslinda (2007: 93), mengungkapkan bahwa bahasa adalah
unsur yang paling utama dalam suatu kebudayaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa
budaya
dan
bahasa
berkaitan
erat,
sehingga bila seseorang ingin mempelajari dan
memahami suatu bahasa, alangkah baiknya bila dapat memahami juga budaya yang
melatarbelakangi bahasa tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh McCarty (1997),
bahwa seseorang tidak hanya cukup menjadi orang yang dwibahasa atau bilingual untuk
bisa berbicara bahasa asing, tapi juga harus dwibudaya atau bicultural agar tidak
merusak esensi budaya dalam suatu bahasa. Karena alasan
tersebut,
sebagai pemelajar
bahasa
Jepang,
saya
ingin
mengetahui
lebih
dalam kaitan
antara
bahasa
Jepang
dan
budaya yang melatarbelakanginya. Dengan memahami budaya Jepang, akan lebih
mudah bagi kita untuk bisa berkomunikasi dalam bahasa Jepang secara natural dan tidak
kaku.
Masyarakat
Jepang sendiri
menggunakan
bahasa
Jepang
sebagai
alat
komunikasi
dalam percakapan sehari-hari di antara
mereka. Tentu
saja, komunikasi yang
terjadi di
antara mereka tidak terlepas dari adanya pengaruh budaya; apalagi dalam Nihonjinron,
Jepang disebut-sebut
sebagai bangsa yang memiliki kebudayaan yang unik dan juga
beragam (Haugh, 2003). Salah satu dari karakteristik budaya Jepang yang terkenal
|
2
memberi pengaruh pada komunikasi masyarakatnya adalah konsep ambiguitas atau
lazim juga disebut sebagai konsep aimai.
Konsep
aimai atau ambiguitas sendiri didefinisikan oleh Davies (2002: 9) sebagai
keadaan dimana ada lebih dari satu makna yang dimaksudkan, sehingga pada akhirnya
malah menimbulkan ketidakjelasan, penjelasan yang sulit dimengerti maupun kesan
yang dirasa samar. Selama berabad-abad, bangsa Jepang tertutup dari segala jenis
intervensi bangsa asing. Didukung oleh fakta bahwa kondisi geografis Jepang yang
memiliki
banyak
gunung
dan
lahan yang
sulit
ditinggali,
mereka
harus
tinggal
secara
berkelompok (Davies, 2002: 10). Pada saat itu, karena hidup secara berkelompok, yang
bisa mereka lakukan adalah bergantung satu sama lain dan hidup dalam keharmonisan
atau
lazim disebut sebaga wa (?). Keharmonisan ini, pada saat
itu
menjadi
hal yang
amat
penting
terutama
karena
adanya
kebutuhan
akan persediaan
pangan.
Dimana
pengirigasian,
penanaman, dan pemanenan dilakukan
kelompok
tersebut
secara bahu-
membahu demi
mencapai
produksi
makanan
yang
maksimal
dalam lahan
subur
yang
terbatas. Hal ini lalu melahirkan suatu asumsi bagi anggota kelompok, bahwa mereka
akan dikucilkan dari kelompok jika pendapat mereka tidak sejalan dengan tujuan
mayoritas kelompoknya. Lebih jauh, Davies (2002: 10) juga mengungkapkan bahwa:
In order to live without creating any serious problems for the group's harmony,
people avoided expressing their ideas clearly, even to the point of avoiding giving a
simple yes or no answer. If a person really wanted to say no, he or she said nothing
at first, then used vauge expressions that conveyed the nuance of disagreement.
Peoples word thus came to contain a variety of meanings
Terjemahan:
Demi menjalani kehidupan tanpa memberi gangguan yang serius terhadap
keharmonisan dalam kelompok, orang-orang menghindari untuk mengungkapkan
pendapat mereka secara jelas, bahkan sampai mereka menghindari memberi jawaban
sederhana seperti Ya atau Tidak. Jika seseorang benar-benar ingin berkata
Tidak, maka pada awalnya dia tidak akan berkata apa-apa terlebih dahulu, dan
|
3
setelah itu dia akan menggunakan ekspresi ambigu yang menyampaikan nuansa
ketidaksetujuannya. Sehingga, perkataan orang-orang pun mengandung pada
akhirnya mengandung banyak makna.
Dapat disimpulkan bahwa, untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan dan
keselarasan hidup itulah, konsep
aimai
berperan pada komunikasi mereka sehingga
mereka bisa menghindari konflik yang mungkin akan merugikan semua belah pihak
dalam kelompok
Mereka
akhirnya
belajar
untuk berhati-hati
ketika
berurusan dengan
pikiran-pikiran
dan
perasaan
orang lain.
Masyarakat
Jepang
sangat
waspada
dalam
menjaga atmosfer lingkungan mereka agar tetap harmonis. Masyarakat Jepang
menggunakan
konsep
aimai
ini
dalam komunikasi
sehari-hari
mereka
dengan
semua
orang yang ada di lingkungan mereka, bahkan dalam tahap menerapkan konsep tersebut
secara
instingtif.
Terhadap
pemahaman
konsep aimai ini, Pulvers (2006) mengatakan
kemampuan
para pemelajar bahasa
Jepang
untuk
menginterpretasi aimai
tidak
hanya
berdasarkan pada kemampuan linguistik saja; tapi juga pemahaman terhadap budaya,
keadaan psikologis dan pribadi orang Jepang.
Mengacu
pada
kebiasaan
masyarakat Jepang
berkomunikasi,
maka
adanya
prinsip
honne
dan tatemae
tidak
bisa
terlepas
dari
munculnya
penggunaan
aimai
di
dalam
percakapan mereka sehari-hari. Pengelompokan berdasarkan ruang lingkup pribadi yang
terbagi menjadi uchi (kelompok dalam) dan soto (kelompok luar), membuat kemampuan
seseorang berkomunikasi kepada pihak uchinya maupun kepada pihak di luar itu (soto)
menjadi suatu hal yang krusial (Hamada, 1996). Seseorang harus bisa menyesuaikan diri
bagaimana dan kepada siapa ia dapat berbagi pemikiran atau perasaannya dengan bebas.
Hal
tersebut
penting
karena
dapat
mempengaruhi
bagaimana
kondisi
didalam uchi
ataupun
hubungannya dengan soto. Dakan (2007)
menyebutkan bagaimana honne dan
tatemae menjadi pilihan masyarakat Jepang ketika mereka harus menentukan bagaimana
|
4
sikap mereka ketika bersosialisasi. Honne atau perasaan pribadi seseorang mungkin saja
menyinggung
lingkungan sekitarnya jika
ia
membicarakan hal tersebut dengan sejujur-
jujurnya. Selanjutnya, Dakan (2007) juga berpendapat pada saat seperti itu, maka
tatemae
digunakan
ketika
berbicara
kepada
pihak
soto. Tatemae
sendiri
merupakan
sesuatu
yang
disebut sebagai public
appearance atau
apa-apa
yang
ditampilkan
seseorang (yang sudah disesuaikan dengan situasi dan konteks pada saat itu) kepada
pihak lain, termasuk ketika berkomunikasi. Sikap seseorang ketika mengedepankan
honne
maupun
tatemae terhadap lawan bicaranya membantu
menggambarkan
bentuk-
bentuk aimai yang timbul di dalam komunikasi tersebut.
Penggambaran
komunikasi
oleh orang
Jepang
tidak hanya
dapat
dilihat
melalui
percakapan langsung sehari-hari, akan tetapi dapat juga dilihat dari dialog-dialog antar
tokoh
yang
dituangkan dalam
karya-karya
literatur.
Salah
satu jenis
literatur
modern
yang populer dari Jepang adalah komik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:
583), komik
adalah
cerita
bergambar
(dalam buku, koran
atau
majalah)
yang
bersifat
menghibur.
Dalam
skripsi
ini,
saya
akan
menganalisis
konsep
aimai
dilihat
melalui
honne dan tatemae yang timbul dari komunikasi yang dilakukan dua tokoh utamanya,
yaitu
Koizumi dan
Ootani,
ketika
berkomunikasi
dengan tokoh
lainnya dalam komik
Lovely Complex.
Lovely
Complex
sendiri
adalah
sebuah
komik
yang
menceritakan
kehidupan
SMA
dua
orang
remaja
bernama
Koizumi
Risa dan
Ootani
Atsushi.
Koizumi
merupakan
perempuan remaja yang manis dan riang, namun memiliki tinggi badan yang dianggap
diluar
kewajaran. Tinggi badannya
yang
lebih
dari
170
cm menyebabkan
ia
kesulitan
mencari
pacar dan
ia bertekad
untuk
mendapatkan pacar yang jauh lebih tinggi dari
dirinya. Akan tetapi, ia malah jatuh cinta pada Ootani yang bertubuh jauh lebih pendek
|
5
darinya. Persahabatan yang erat antara dirinya
Ootani
membuat
Koizumi
menjadi
bingung untuk bersikap. Untungnya, Koizumi mendapat dukungan penuh dari 4 orang
sahabatnya yang lain (Nobu, Nakao, Chiharu dan Suzuki), yang juga merupakan sahabat
Ootani. Ia pun berjuang keras menunjukkan perasaannya dan berusaha mendapat
perhatian
Ootani.
Akan
tetapi, di
tengah perjuangan Koizumi
tersebut,
mantan pacar
Ootani yang bernama Kanzaki
ternyata kembali mendekati Ootani. Ootani sendiri pun
mendapat saingan-saingan yang tidak menyukai kedekatannya dengan Koizumi.
Saingannya adalah Haruka, teman kecil Koizumi yang terobsesi menjadi pacar Koizumi,
dan juga Maity, guru baru pindahan dari Tokyo yang mirip dengan pria pujaan Koizumi
di dunia game.
1.2 Rumusan Permasalahan
Dalam penulisan
skripsi
ini,
saya sebagai
penulis akan
menganalisis
konsep aimai
pada penggunaan bahasa dalam percakapan sehari-hari melalui honne dan tatemae yang
terkandung dalam komunikasi orang Jepang.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan
Saya
akan
meneliti konsep
aimai
pada penggunaan
bahasa
percakapan
sehari-hari
melalui
honne
dan
tatemae.
Penggunaan
bahasa
tersebut
diwakili
oleh
dialog-dialog
antar tokoh dalam sebuah komik yang berjudul Lovely Complex, jilid dua sampai tujuh.
Akan
tetapi
dalam skripsi
ini,
penggunaan
bahasa
yang
dijadikan
bahan
penelitian
hanyalah cerita-cerita dalam bab-bab utama, tanpa meneliti cerita-cerita tambahan dalam
komik tersebut.
|
6
Komik Lovely Complex digunakan karena selain mudah untuk didapatkan, komik
tersebut
juga memiliki
jalan cerita
yang
lucu dan
menarik. Pada komik
ini, hubungan
yang terjalin antara tokoh yang satu dan lainnya terlihat dengan jelas, sehingga
memudahkan penulis untuk mengenali adanya honne dan tatemae. Dialog-dialog dalam
komik ini pun banyak menggunakan kata-kata yang mengungkapkan unsur aimai.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengenali konsep aimai yang timbul dalam kehidupan
masyarakat Jepang sebagai bagian yang tidak terpisahkan ketika mereka berinteraksi dan
berkomunikasi
tidak
hanya
dengan
orang-orang
di
sekitar
mereka,
tetapi
juga orang
asing
di luar lingkungannya.
Untuk
itu,
konsep aimai
tersebut
dianalisis
melalui
penggunaan honne dan tatemae pada penggunaan bahasa oleh tokoh-tokoh dalam komik
Lovely Complex ketika mereka berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan manfaat dari
penelitian
ini
adalah
mengenali
konsep
aimai
(juga
honne
dan tatemae)
beserta
peranannya
dalam berkomunikasi,
sehingga pemelajar
bahasa
Jepang
dapat
lebih
mengerti
bahasa
Jepang
serta
budaya
yang mempengaruhinya
agar
bisa
menerapkan
bahasa Jepang tersebut dengan lebih tepat lagi.
1.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian
ini
saya
akan
menggunakan
metode
kepustakaan
yang
bersifat
deskriptif analitis. Data kepustakaan didapatkan dari buku-buku teori serta jurnal-jurnal
yang mendukung dalam penelitian.
Tahap pertama, saya akan mengumpulkan data-data kepustakaan yang akan
digunakan dalam penulisan skripsi. Data-data tersebut
lalu dipilih dan dipisahkan
|
7
menurut relevansinya terhadap topik yang akan saya bahas. Pada tahap berikutnya, saya
akan
menganalisa
data-data
yang
terpilih
dan
juga
mendeskripsikan
teori-teori
yang
akan
digunakan dalam penulisan
skripsi
ini.
Tahap ketiga
adalah
mengambil
contoh-
contoh
kalimat
dari
komik
yang
menunjukkan
adanya
honne
dan
tatemae yang
mengandung aimai, kemudian dianalisa dengan teori-teori yang telah dideskripsikan
sebelumnya.
1.6 Sistematika Penulisan
Bab satu merupakan pendahuluan dari penulisan skripsi. Bab ini menjelaskan tentang
latar belakang, rumusan dan ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi serta sistematika penulisan skripsi ini.
Pada bab dua akan dijelaskan teori konsep atau pemikiran
masyarakat Jepang
yang
mendukung
dalam penulisan
skripsi
ini.
Teori-teori
konsep
tersebut
akan
digunakan
untuk
menganalisis
kalimat
dalam dialog
tokoh-tokoh
komik
tersebut.
Beberapa
teori
yang
akan
saya
masukkan
ke
dalam bab
tiga yaitu
teori
sosiolinguistik,
teori budaya
Jepang, serta teori tentang aimai.
Dalam bab tiga saya akan menganalisa teori-teori yang terdapat dalam bab dua yang
dihubungkan
dengan
kalimat
yang
mencerminkan
honne
dan
tatemae, yang
mengandung konsep aimai, dalam kalimat-kalimat pada komik Lovely Complex.
Bab empat mengandung simpulan yang telah dituliskan secara ringkas padat dan jelas
dari hasil analisis saya.
Pada bab lima ini adalah ringkasan dari keseluruhan isi skripsi yang akan dituliskan
dalam bahasa Indonesia dan Jepang.
|