Bab I
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Para karyawan pada perusahan sekarang ini, banyak yang merasa tidak puas
pada pekerjaannya. Tingkat kepuasan dari karyawan yang dikutip dari Robbins &
Coulter (2005) terdapat enam faktor yaitu pekerjaan itu sendiri (work it self),  gaji
(pay), kesempatan promosi (promotion opportunity), atasan (supervision), rekan
kerja (work group) kondisi kerja (working condition). Accenture dalam Kompasiana
(2012), sebuah lembaga konsultasi bisnis dan manajemen asal Amerika Serikat,
tingkat kepuasan dan kebahagiaannya di tempat kerja
para karyawan di Indonesia
hanya 18 persen dari total seluruh responden. Tingkat ketidakpuasan dalam tempat
bekerja akan mengakibatkan tingkat kinerja yang buruk juga, karena kepuasan dalam
kerja sangat berkaitan erat dengan kinerja (Parker, Kleemeir; Vroom; Strauss dalam
Dwi Maryani dan Bambang Supomo, 2001; Hidayat, Ferdiyansah , 2011). Selain itu,
efek dari usia, jenis kelamin dan penguasaan menentukan juga dalam kinerja
seseorang (Hassan, Ali dan D. Roy Davies, 2003)
Menurut Bappenas (2012), Indonesia mengalami penurunan indeks daya
saing global, dari posisi ke 46 (2011) menjadi ke 50 (2012). Peringkat terbaik
Indonesia adalah pada tahun 2010 (ke 44), yang meloncat dari posisi ke 54 dari tahun
sebelumnya.
Negara
2008
2012
Perubahan
1
Singapura
5
2
3
2
Malaysia
21
25
-4
  
3
Brunei Darussalam
39
28
11
4
Thailand
34
38
-4
5
Indonesia
55
50
5
6
Filipina
71
65
6
7
Vietnam
70
75
-5
8
Kambodia
109
85
24
9
Timor-Leste
129
136
-7
Tabel 1.1 Indeks Daya Saing Negara-negara ASEAN 2012 (Bappenas, 2012)
Dilihat dari pilar efisiensi pasar tenaga kerja, indikator yang mengalami kenaikan
adalah antara lain kerjasama hubungan buruh-pengusaha (7), dan peran manajemen
profesional (18), sedangkan yang mengalami penurunan adalah antara lain biaya
redundansi (-6) dan upah dan produktivitas (-6). Produktivitas dari tenaga kerja di
Indonesia mengalami penurunan.
Angkatan kerja di Indonesia khususnya D.K.I Jakarta pada Agustus 2012
mencapai 5,37 juta orang, bertambah 224,74 ribu orang dibandingkan dengan
angkatan kerja pada Agustus 2011 yaitu 5,14 juta orang. Jumlah penduduk yang
bekerja di Provinsi DKI Jakarta pada bulan Agustus 2012 mencapai 4,84 juta orang,
bertambah 250,18 ribu orang jika dibandingkan dengan keadaan bulan Agustus 2011
sebesar 4,59 juta orang (Badan Pusat Statistik Provinsi D.K.I Jakarta, 2012).
Banyaknya jumlah karyawan di D.K.I Jakarta belum lepas dari kurangnya kinerja
dari pada karyawan itu sendiri.
Masalah kinerja para karyawan masih menjadi sorotan dan tumpuan bagi
perusahaan untuk tetap dapat bertahan di era globalisasi sekarang ini. Kinerja
karyawan mempunyai peran yang terutama dalam setiap kegiatan perusahaan.
Walaupun didukung dengan sarana dan prasarana serta sumber dana yang berlebihan,
  
tetapi tanpa dukungan kinerja karyawan yang handal kegiatan perusahaan tidak akan
terselesaikan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja karyawan merupakan
kunci pokok yang harus diperhatikan dengan segala kebutuhannya. Sebagai kunci
pokok, kinerja karyawan akan menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan dalam
perusahaan. Tuntutan perusahaan untuk memperoleh, mengembangkan dan
mempertahankan kinerja karyawan yang berkualitas semakin mendesak sesuai
dengan dinamika lingkungan yang selalu berubah. Peningkatan kinerja karyawan
secara perorangan akan mendorong kinerja sumber daya manusia secara keseluruhan,
yang direkflesikan dalam kenaikan produktifitas.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006) faktor yang
memengaruhi kinerja individu, yaitu: 
1)          Kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan
2)          Tingkat usaha yang dicurahkan
3)          Dukungan organisasi.
Jika faktor-faktor diatas tidak diterima oleh karyawan dalam perusahaannya,
karyawan akan merasa tidak puas dengan perusahaan. 
Kinerja
tidak
lepas
dari
kompetensi
yang
dimiliki
oleh
karyawannya.
Menurut Mangkuprawira (2009) kompetensi karyawan
mempengaruhi kinerja
karyawan
dalam
suatu
perusahaan.
Kompetensi
terbagi
dua
yakni
kompetensi
”keras” berupa pengetahuan dan keterampilan, dan kompetensi ”lunak” berupa sikap,
etos kerja, motivasi, prakarsa, kreatifitas dan empati.
Jenis kompetensi yang terakhir
sering
juga
disebut
sebagai
keahlian
lunak
(soft
skills).
Kompetensi
dapat
juga
dikelompokkan
menjadi
yang
terlihat
dan
tersembunyi.
Kompetensi
yang terlihat seperti
pengetahuan
yang
dicirikan
dengan
pemilikan
sertifikasi,
dan
keahlian
yang
dicerminkan
dengan
posisi
dan
status
pekerjaannya
yang
rutin.
  
Sementara
yang tersembunyi berupa
nilai-nilai,
misalnya
kemampuan
karyawan
dalam
membuat
keseimbangan
antara kepentingan
pekerjaan
dan keluarga;
konsep
diri
atau
kepercayaan
diri;
dan
kepribadian
diri
seperti
jujur,
tenang,
motivasi, dan
bijak. Semakin tinggi derajat kompetensi karyawan semakin tinggi pula kinerja yang
dihasilkannya (Mangkuprawira, 2009). 
Beberapa
contoh
kasus
dibawah
ini
menggambarkan
perusahaan
yang
mengalami
kemunduran
karena
adanya
penurunan
kinerja.
Contoh
kasus
pertama
yaitu
PT.
Freeport
Tembagapura
mengalami
mogok
kerja.
Mogok
kerja
tersebut
dikarenakan
adanya miskomunikasi antara pihak manajemen PT Freeport dengan
karyawan terkait kesepakatan-kesepakatan yang diatur dalam Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) XVII yang ditandatangani di Jakarta. Kinerja perusahaan menjadi
turun, karena waktu yang seharusnya dipakai untuk produksi, tetapi tersita oleh aksi
mogok kerja (Antara, 2012).
Contoh kasus kedua yaitu mogoknya 5.000 karyawan PT Pos.  Serikat
Pekerja PT Pos Indonesia (SPPI) melakukan aksi damai sekaligus mogok kerja mulai
28 Juni hingga 30 Juni 2012 dengan mengajukan beberapa tuntutan. Para karyawan
yang mogok kerja tersebut memiliki 6 tuntutan untuk perusahaan agar terpenuhi.
Waktu kerja para karyawan berkurang, sehingga kinerja tidak optimal (Antara,
2012).
Contoh kasus ketiga yaitu mogoknya ratusan karyawan PT. Ayam Manggis.
Sedikitnya 300 karyawan perusahaan peternakan, PT Ayam Manggis, Kampus
Cikadu, Desa Jamali, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jumat 12 Oktober
2012 melakukan aksi mogok kerja. Alasan pemogokan kerja karena para karyawan
bersolidaritas kepada 12 temannya yang dituduh mencuri pakan oleh pihak
perusahaan (Pikiran Rakyat, 2012).
  
Kinerja para karyawan dalam perusahan tidak lepas dari penilaian kinerja
untuk melihat sejauh mana karyawan itu memunculkan potensinya. Penilaian kinerja
masih merupakan daerah yang paling bermasalah daerah yang paling dihindari oleh
bagian Human Resource
atau dibenci bagi para manajer (Dessler, 2011). Penilaian
kinerja merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan perusahaan.
Menurut Kennedy dan Dresser dalam Kondrasuk (2011) penggunaan penilaian
kinerja ini baru dipakai, biasanya terkait dengan reaktivitas dan hukuman untuk
kinerja yang buruk. Dalam penilaian kinerja juga sering kali terjadi bias. Bias yang
umum
contohnya: Central tendency, leniency, severity, recency effect, primacy/first
actions effect, favoritism, halo or horns effect, attributional bias, giving
evaluations/ratings to justify prejudged actions, dan
the Hawthorne Effect
(Kondrasuk, 2012). Perusahaan ingin semua karyawannya memiliki kinerja yang
baik dalam pekerjaannya. 
Kinerja karyawan pun dipengaruhi oleh dukungan dari tiap manajemen yang
berupa pengarahan, dukungan sumber daya seperti, memberikan peralatan yang
memadai sebagai sarana untuk memudahkan pencapaian tujuan yang ingin dicapai
dalam pendampingan, bimbingan, pelatihan serta pengembangan akan lebih 
mempermudah penilaian kinerja yang objektif. Faktor penilaian objektif
memfokuskan pada fakta yang bersifat nyata dan hasilnya dapat diukur,
misalnya
kuantitas, kualitas, kehadiran dan sebagainya. Sedangkan faktor-faktor subyektif
cenderung berupa opini seperti menyerupai sikap, kepribadian, penyesuaian diri dan
sebagainya. Faktor-faktor subjektif seperti pendapat dinilai dengan meyakinkan bila
didukung oleh kejadian-kejadian yang terdokumentasi. Dengan pertimbangan faktor-
faktor tersebut diatas maka dalam penilaian kinerja harus benar-benar obyektif yaitu
dengan mengukur kinerja karyawan yang sesungguhnya atau mengevaluasi perilaku
  
yang mencerminkan keberhasilan pelaksanaan pekerjaan. Penilaian kinerja yang
obyektif akan memberikan feedback yang tepat terhadap perubahan perilaku ke arah
peningkatan produktivitas kinerja yang diharapkan.
Kinerja karyawan dipengaruhi faktor internal seorang karyawan tersebut,
yaitu dari sisi psikologis seperti yang diungkapkan oleh Wirawan (2009). Keadaan
psikologis karyawan dilihat dari kematangan emosi sangat perlu untuk menciptakan
kinerja yang baik dalam suatu perusahaan. Anderson (dalam Mappiare, 1982),
mengatakan bahwa seseorang yang matang secara emosional akan sanggup
mengendalikan perasaan dan tidak dapat dikuasai perasaan dalam mengerjakan
sesuatu atau berhadapan dengan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri tetapi
mempertimbangkan perasaan orang lain. Hal ini harus dimiliki setiap orang
karyawan agar suatu perusahaan dapat berkembang, dan memiliki sifat ketahanan
dalam bekerja. Menurut Chaplin (1981) kematangan emosi merupakan suatu kondisi
pencapaian tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi pada diri individu.
Individu yang mencapai kematangan emosi ditandai oleh adanya kesanggupan
mengendalikan perasaan dan tidak dapat dikuasai perasaan dalam mengerjakan
sesuatu atau berhadapan dengan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri tetapi
mempertimbangkan perasaan orang lain. Kematangan emosi dapat dipahami dalam
hal kemampuan kontrol diri yang merupakan hasil dari berpikir dan belajar (Singh,
Kaur, Dureja, 2012)
Fenomena yang telah dipaparkan diatas membuat peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian di PT. Gilang Agung Persada. Perusahaan PT. Gilang Agung
Persada berdiri pada tahun 1993 dan didirikan oleh Mr. Frank Bejamin dari
Singapura. Perusahan ini terletak di Gedung Artha Graha Building lantai 25 Jl. Jend.
Sudirman Kav. 52-53 12190 Jakarta, Indonesia. Fokus dari perusahaan ini adalah di
  
Lifestyle Marketing
dan Brand Management. Sebagai distributor dari label-label
berbagai fashion perusahaan ini berkembang inovatif dalam bisnisnya. Komitmen
bisnisnya adalah konsumen disajikan dan dilayani dalam cara yang terbaik. Peneliti
ingin melihat apakah kinerja yang dimiliki oleh karyawan PT. Gilang Agung Persada
ada hubungannya dengan kematangan emosi dari karyawan itu sendiri. Melalui hasil
observasi, peneliti menemukan karyawan terkadang sulit mengontrol emosi dalam
menerima tanggung jawab yang besar. Selain itu peneliti juga ada menemukan
karyawan pada PT.Gilang Agung Persada yang memiliki attitude kurang baik dalam
mengemban pekerjaannya. Karyawan tersebut sulit diatur dan sulit diberi tahu.
Karyawan juga kurang disiplin terhadap waktu. Jam masuk kantor seringkali
dilanggar oleh para karyawan. Selain itu peneliti juga menemukan turnover dari staff
dan sales
pada perusahaan tersebut. Seringkali sales dan karyawan tidak memiliki
attitude
yang baik, mereka mengundurkan diri tanpa konfirmasi dan tidak
menghormati atasannya. Karyawan yang kurang matang dalam emosi, dapat disaran
mengikuti pelatihan Emotional Maturity untuk meningkatkan kinerja.
Berdasarkan uraian di atas maka kinerja karyawan menarik untuk diteliti
lebih jauh, terutama dikaitkan dengan kematangan emosi pada karyawan di suatu
perusahaan untuk meningkatkan kualitas.
  
  
Struktur Organisasi Tiap Divisi
1.
Divisi IT and Finance
  
2.
Divisi Timepiece
  
3.
Divisi Nike and VSA
  
4.
Marketing
  
5.
HRD
  
6.
Divisi Guess  Kids & Paint 8
  
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : Apakah ada korelasional kematangan
emosional dengan kinerja karyawan ?
1.3. 
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan kinerja dan kematangan emosi pada
karyawan. Kinerja ini merupakan bagian penting dari seluruh proses kekaryaan karyawan yang
bersangkutan. Hal ini penting juga bagi perusahaan dimana karyawan tersebut bekerja. Bagi
karyawan, penelitian ini berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan,
kelebihan, kekurangan, dan potensi yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan,
jalur, rencana dan pengembangan karir. 
Bagi perusahaan penelitian ini penting peranannya dalam pengambilan keputusan tentang
berbagai hal, seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekruitment,
seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem imbalan dan berbagai aspek lain dari
proses dari manajemen sumber daya manusia secara efektif. Perusahaan juga dapat memilih
karyawan yang sudah matang secara emosional dan yang belum. Fungsi pemilihan ini adalah
untuk meningkatkan kinerja dari karyawan itu sendiri dengan mengikuti program pelatihan
tentang kematangan emosional.
Bagi peneliti diharapkan dapat bermanfaat dalam pengaplikasian ilmu yang telah peneliti
dapatkan selama mengikuti perkuliahan serta untuk menambah wawasan, pengetahuan dan
pengalaman penulis. Bagi pihak lain, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan menjadi
bahan referensi mengenai masalah yang berkaitan dengan kinerja dan kematangan emosi.