1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jepang sebagai salah satu negara maju di dunia telah banyak menghasilkan
berbagai karya di berbagai bidang. Pada karya sastra sendiri Jepang telah
menghasilkan berbagai karya yang dimulai dari novel Genji Monogatari gubahan
Murasaki Shikibu pada masa pemerintahan Heian. Saat ini Jepang selain
menghasilkan literatur, mereka juga menghasilkan manga
yang menjadi salah satu
sarana promosi negeri Sakura ini.
Sejak tahun 80-an masih terjadi perdebatan apakah komik
dan manga
dapat
dimasukkan ke dalam kategori sastra atau tidak. Penghargaan karya sastra dan
jurnalisme Putlizer sendiri telah menambahkan kartun editorial dalam kategori
penghargaanya sejak tahun 1922. Tim Martin juga menyatakan bahwa komik
merupakan medium dan bukanlah sebuah genre sastra
(2009, para 3). Karena itu
dapat disimpulkan bahwa komik mulai dipandang sebagai bagian dari sastra.
Lionel Thrilling, seorang pengkritik sastra dan pengarang asal Amerika,
menyatakan kutipan terkenalnya bahwa sastra telah menyadarkan kita akan
individualisme dan kekuasaan individu dalam pergumulannya dengan sosial dan
budayanya
(Gottfried, 1997:61). Dari kutipan ini kita dapat menarik kesimpulan
bahwa sastra mencerminkan kebudayaan dan pemikiran dari masyarakat sastra
tersebut lahir. Hal ini dikarenakan pandangan pengarang karya sastra tersebut
tentunya telah dibentuk dan/atau dipengaruhi oleh lingkungan dan masyarakat tempat
ia tinggal.
|
2
Sesuai dengan pernyataan Trilling, Jepang sebagai negara produsen manga
terbesar juga mencerminkan budayanya melalui manga mereka. Pada manga Jepang,
kita dapat mempelajari berbagai nilai yang ada dalam masyarakat Jepang.
Bertentangan dengan pandangan masyarakat Indonesia pada umumnya yang
menganggap manga
merupakan bacaan anak kecil, manga
merupakan cermin
masyarakat baik masyarakat zaman dahulu maupun sekarang dengan berbagai latar
dan genre mulai dari kehidupan zaman Edo, kehidupan sehari-hari, hingga science
fiction masa depan.
Tindak penjualan manga
yang diiringi promosi diri ini tidak hanya merambah
Indonesia, namun telah mendunia. Hal ini bisa dilihat dari penggemar-penggemar
manga
dan anime Jepang. Bila kita bertanya ke masyarakat apakah mereka pernah
mendengar tentang Doraemon, Sailor Moon, atau Naruto
bisa dipastikan sebagian
besar akan menjawab iya. Penggemar berat manga
dan anime
sering diidentikkan
sebagai otaku. Istilah otaku ini sendiri memiliki makna negatif di rumahnya sendiri
dan cenderung disamakan dengan orang yang aneh dan antisosial. Namun di luar
Jepang
para penggemar
berat
industri ini akan dengan bangga dan senang hati
mengklaim bahwa mereka seorang otaku
(Taneska, 2009:3) Di sini kita dapat
melihat perbedaan kebudayaan mengubah makna istilah otaku ini sendiri.
Di dunia industri manga
ini, tidak hanya bagi otaku
ataupun kalangan pria pada
umumnya, kaum hawa juga dapat menikmati dunia hiburan Jepang ini. Bisa kita lihat
dengan adanya genre yang dikhususkan untuk wanita yaitu shoujo manga
maupun
genre josei. Dengan berpusat pada cerita romantisme, shoujo manga dan josei manga
menarik perhatian dari pembaca kaum hawa. Manga
ataupun anime
dengan cerita
romantisme tentu saja tidak hanya berpusat pada kedua genre ini. Salah satu
|
3
subgenre dari manga dengan cerita romantisme dengan tujuan konsumennya wanita
adalah genre yaoi atau yang kita kenal dengan boys love.
1.1.1. Yaoi dan Boys Love
Seperti halnya karya literatur maupun film, manga
juga memiliki beragam jenis
cerita yang menampung berbagai imajinasi manusia. Dari cerita romantis, sejarah,
drama kehidupan, fantasi, science fiction, dan lainnya. Manga
dengan tema cerita
romantis sering diidentikkan dengan kalangan wanita sebagai konsumennya,
meskipun pada manga untuk kalangan pria juga sedikit mengandung unsur romantis.
Contohnya saja pada Yu Yu Hakusho
yang mengangkat tema fantasi dan begitu
banyak adegan perkelahian tetap menunjukkan sedikit perasaan romantis baik antara
Urameshi Yusuke dan Yukimura Keiko maupun Kuwabara Kazuma dan Yukina.
Jenis manga
romantis ini sendiri berkembang seiring
dengan perkembangan
zaman. Yaoi dan boys love sendiri merupakan salah satu dari subgenre manga yang
bertemakan romantisme
dengan tujuan utama pasarnya adalah kaum hawa. Sugiura
Yumiko dalam bukunya
Otaku
Joshi Kenkyuu
mendefinisikan keduanya sebagai
manga atau novel yang mengangkat kisah percintaan dan seks antara pria. Di mana
yaoi
merupakan cerita parodi maupun alternatif dari anime
yang populer dan boys
love merupakan karya original dengan tema ini (2006:8).
Pada cerita yaoi dan boys love
ini karakter utamanya dibagi menjadi seme (?
?)dan uke(??). Sesuai dengan kanjinya tokoh pria seme merupakan karakter
pria yang memegang peran pria dan tokoh pria uke memerankan peran wanita dalam
hubungan homoseksual mereka.
|
4
1.1.2. Fujoshi
Manga
dengan berbagai genre yang dimilikinya merangkul berbagai kalangan
usia, baik pria maupun wanita. Namun otaku
laki-laki mendominasi industri ini dan
genre manga yang mendunia pun kebanyakan untuk konsumsi pria meskipun otaku
wanita juga mengkonsumsi genre tersebut. Di antaranya terdapat satu golongan otaku
wanita yang disebut dengan fujoshi. Fujoshi
(???),
yang bila diartikan dari
kanjinya berarti
wanita yang busuk,
merupakan sebutan bagi wanita yang menyukai
cerita percintaan sesama pria (Sugiura, 2006:8).
Awal kemunculan kelompok ini tidak lepas dari nilai patriarki dalam masyarakat
Jepang. Bila
kita melihat dari sejarah Jepang, wanita dianggap memiliki kekuatan
gaib dan berada di posisi yang sejajar bahkan di atas pria. Namun ketika agama
Budha masuk dan digunakan oleh pemerintah, ajaran Budha semakin menyatu
dengan patriarki. Hal ini dapat dilihat dari posisi pendeta pria yang memiliki
pengaruh politik negara dibandingkan dengan pendeta wanita yang semakin
diacuhkan. Dan akhirnya pada tahun 730, wanita resmi dilarang menjadi pendeta
maupun mengikuti upacara resmi agama Budha dengan alasan wanita
menjalani
periode menstruasi dan karenanya merupakan makhluk yang tidak murni dan penuh
dosa (Okano, 1995: 18). Konfusianisme yang dibawa dari Cina juga tidak begitu
membantu posisi wanita pada saat itu. Konfusianisme menekankan ajaran Three
Obediences
(Tiga Kebaktian)
bagi wanita yang mengikat posisi mereka di bawah
pria yaitu, berbakti kepada ayah, berbakti kepada suami setelah menikah, dan ketika
menjanda mereka harus berbakti kepada anak laki-lakinya.
Selain dalam hal posisi di masyarakat, ketimpangan gender ini juga bisa dilihat
dalam literatur. Chieko M. Ariga pada Japanese Women menjelaskan bahwa literatur
|
5
sebelum zaman Meiji didominasi oleh para pria kecuali zaman Heian yang terkenal
sebagai zaman di mana karya sastra oleh para wanita kelas atas berkembang.
Sedikitnya literatur oleh wanita ini dipengaruhi oleh nilai-nilai di masyarakat yang
telah dipengaruhi oleh nilai ajaran Konfusianisme yang menekan posisi wanita hanya
sebagai seorang istri dan ibu saja. Kungkungan dari nilai-nilai ini tentunya
menghapus kesempatan wanita untuk berpartisipasi dalam dunia literatur (1995:44).
Ketika layar periode Meiji dibuka terutama setelah Perang Dunia II, barulah wanita
mulai kembali menginjakkan kaki ke bidang literatur. Dari karya literatur para
penulis wanita gelombang pertama maupun kedua, banyak ditemukan tema
mengenai misogini. Bertolak belakang dengan karya literatur sebelum Perang Dunia
II, tema-tema yang mengungkapkan kebencian pada nilai keibuan, feminisme,
maupun tubuh wanita banyak berkembang pada masa ini. Namun meskipun wanita
mulai mengambil peran pada bidang literatur, kekuasaan pria pada dunia literatur
masih sangat besar. Hal ini terlihat dari pernyataan Ueno Chizuko (1995:46) berikut
ini.
Kutipan:
The predominance of men in literature has been fostered and perpetuated by well-
entrenched patterns in publisings, reviewing, and marketing literary works. There
is only a handful of female critics, leaving men to virtually monopolize the field as
well as the screening, committees for the major literary prizes given to works
considered superior.
Terjemahan:
Dominasi pria dalam literatur telah ditanam mendalam pada bidang penerbitan,
resensi, dan marketing karya literatur. Hanya ada sedikit kritik dari para wanita,
menjadikan pria memonopoli lapangan serta penyaringan, menjadi komite yang
memberikan penghargaan karya literatur yang mereka anggap superior.
|
6
Dari pernyataan di atas dapat kita ketahui adanya monopoli oleh para pria, tidak
hanya dalam aspek politik maupun ekonomi, namun juga merambah ke dunia
literatur Jepang. Dunia manga Jepang tidak terlepas dari monopoli pria ini. Setelah
Perang Dunia II, penerbitan manga mulai memacu produksi manga dan membaginya
menjadi beberapa kategori sesuai dengan target pembacanya. Melalui manga
inilah
pemikiran dari pembacanya dibentuk secara tidak sadar dan pemikiran kaum muda
ini mulai membentuk nilai di masyarakat.
Penjualan
manga di Jepang
pada tahun
2001 telah menembus
angka 1,9 juta di mana 81% pembacanya adalah kalangan
muda (Thorn, 2004:169).
Pada shounen manga, peran wanita tidak begitu signifikan. Wanita digambarkan
sebagai karakter sampingan (biasanya teman, kekasih, atau keluarga) seolah-olah
menekankan nilai bahwa wanita diharapkan pada nilai patriaki yaitu peran yang pasif.
Pada tahun 1968, seri manga
Harenchi Gakuen
yang dipublikasikan pada Shonen
Jump merupakan manga pertama yang mengangkat tema di mana wanita merupakan
objek. Tindakan seksual seperti menyentuh tubuh, mengintip rok, dan sebagainya
yang dianggap tabu oleh masyarakat pada awalnya digambarkan dengan jelas.
Perkembangan ini seiring dengan liberalisasi seks yang sedang booming pada saat itu,
terutama di negara-negara Barat. Revolusi pada tahun 1970-an ini mendukung
kekerasan dan ekploitasi wanita dengan cara memperbanyak tema seksual bagi para
pria dibandingkan mendukung komunikasi yang lebih baik diantara kedua pihak
(Funabashi Kuniko, 1995:257).
Funabashi juga menjelaskan bahwa manga dengan target pembaca pria pada saaat
itu menekankan tokoh utama dalam cerita tersebut sebagai seorang pria daripada
seorang manusia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pria pada saat itu dipandang
harus menjadi pria yang gagah, jantan, dan kuat, manga
yang ditujukan untuk pria
|
7
juga turut menanam nilai tersebut. Banyak shounen
manga, manga
untuk pemuda,
mengangkat tema yang kuat mendominasi yang lemah. Seperti bagaimana manusia
melihat alam sebagai objek untuk dikuasai, pemikiran pada saat itu juga turut
memandang wanita sebagai bagian dari alam dan karenanya juga merupakan objek
untuk dikuasai (1995:257).
Dunia manga
yang telah didominasi oleh pria ini tidak hanya menunjukkan
pandangan bahwa wanita berada di bawah pria pada manga
untuk konsumsi pria,
manga
yang ditujukan untuk wanita. Sebelum Perang Dunia II, cerita dari shoujo
manga
berkisar pada tema wanita yang menghadapi masalah ataupun bahaya dan
akhirnya diselamatkan oleh pria yang nantinya akan menjadi pasangannya.
Funabashi melihat hal ini sebagai suatu kekangan bagi wanita di mana mereka tidak
dapat melakukan sesuatu namun menunggu secara pasif (1995:258). Hal ini
dipertanyakan oleh Osamu Tezuka dalam karyanya yang berjudul Ribon no Kishi (?
?????, The Princess Knight) yang menceritakan Tuan Putri Sapphire yang
dibesarkan sebagai pria untuk melindungi tahta kerajaannya dari pamannya yang
berniat jahat. Seri Tezuka ini mengangkat masalah kesenjangan posisi gender dalam
masyarakat Jepang pada saat itu.
Kesenjangan tersebut juga bisa dilihat pada fakta bahwa produsen dunia manga
pada saat itu didominasi oleh pria, bahkan mangaka
dan perusahaan penerbitan
manga
untuk para wanita diisi oleh para pria. Dari sinilah muncul kelompok
mangaka
wanita nijuuyonnengumi
(24??, Kelompok tahun 24)
yang
menginginkan manga untuk wanita dari wanita dan oleh wanita. Kelompok mangaka
ini berekperimen dengan berbagai kemungkinan yang ada yang pada saat itu masih
termasuk kontroversi, contohnya karakter wanita yang pelan-pelan mulai
|
8
digambarkan sebagai individu yang dapat berdiri sendiri menghadapi masalahnya,
baik dalam persahabatan, keluarga, dan tentu saja percintaan (Matt Thorn, 2008).
Dari penjelasan di atas, penulis melihat adanya ketertarikan fujoshi terhadap genre
yaoi yang melenceng dari peran yang ditentukan oleh nilai patriarki terhadap wanita.
Mereka memilih cerita roman antara sesama pria dibanding cerita roman pada
umumnya di antara pria dan wanita. Dari sini penulis tertarik untuk meneliti
penyebab para fujoshi lebih berminat pada genre yaoi dibandingkan genre roman
pada umumnya.
1.2. Rumusan Permasalahan
Penulis akan meneliti penyebab munculnya minat
fujoshi
terhadap
genre yaoi
dikaitkan dengan teori fans.
1.3. Ruang Lingkup Permasalahan
Penulis
membatasi penelitian skripsi ini dari
sisi feminisme.
Karena konten
dewasa yang melekat pada genre yaoi, pembagian kuisioner dilakukan pada 20 orang
fujoshi berusia 17-35 tahun secara online.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab para fujoshi
menggemari
genre yaoi
dihubungkan dengan
feminisme. Diharapkan penelitian ini membawa
manfaat berupa pemahaman mengenai fujoshi.
|
9
1.5. Metode Penelitian
Creswell membagi pendekatan penelitian menjadi dua yaitu pendekatan kualitatif
dan pendekatan kuantitatif. Dia menjelaskan bahwa pendekatan kuantitatif adalah
pendekatan yang dilakukan melalui eksperimen atau survey dengan menggunakan
pernyataan postpositivist untuk menguji suatu te
merupakan pengukuran yang menggunakan angka-angka secara langsung dalam
mewakili karakteristik suatu hal dan karenanya sering digunakan dalam penelitian
bisnis yang menggunakan statistik (Hair, Money, Samoel, dan Page, 2007:151).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif.
Dalam penelitian ini penulis akan mengumpulkan data dengan metode angket
untuk mengumpulkan data dari kelompok fujoshi. Setelah mengumpulkan data yang
cukup, peneliti akan merumuskan dan menganalisis data yang ada dengan metode
analisis interpretatif deskriptif yaitu
menjabarkan kesimpulan yang didapat dari data
yang ada dihubungkan dengan teori yang digunakan.
1.6. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi menjadi 5 bab secara garis besar. Bab pertama, pendahuluan,
akan membahas sedikit mengenai pengertian yaoi dan fujoshi dan latar belakang dari
penelitian ini serta perkenalan teori yang akan digunakan oleh penulis dalam meneliti
fenomena fujoshi
ini. Bab ini terdiri dari latar belakang, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
|
10
Kemudian pada bab kedua, landasan teori, akan menjelaskan pengertian lebih
mendalam mengenai yaoi dan fujoshi, juga teori apa saja yang akan digunakan dalam
penelitian ini seperti teori fans dan teori feminisme.
Bab ketiga, analisis data, penulis akan menganalisis data yang dikumpulkan
berupa hasil angket dengan dukungan teori-teori dan pandangan para ahli
yang
dikemukakan pada bab kedua.
Bab keempat, kesimpulan dan saran, berisikan simpulan penulis terhadap
penelitian yang dilakukannya berdasarkan data-data yang telah dianalisis.
Pada bab kelima, ringkasan, berisi rangkuman dari keseluruhan penelitian dan
penulisan skripsi ini yang memuat rumusan permasalahan dan jawaban permasalahan
tersebut secara singkat dan jelas.
|