1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Tidak bisa dipungkiri arti pajak bagi pembangunan negara ini cukup besar
karena pajak merupakan sumber penerimaan utama pemerintah dengan proporsi 60-
70% pendapatan negara berasal dari pajak. Pendapatan dari pajak ini nantinya akan
digunakan oleh pemerintah untuk membangun gedung sekolah, rumah sakit, jalan,
jembatan, kantor polisi dan infrastruktur lainnya. Peran pajak yang besar bagi
pembangunan membuat pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan pendapatan
pajak. Usaha pemerintah diantaranya dengan melakukan reformasi dibidang
administrasi, reformasi dibidang peraturan dan perundang - undangan dan reformasi
di bidang pengawasan dan penggalian potensi yang terbukti berhasil meningkatkan
pendapatan pajak. Jika dilihat tabel 1.1 pendapatan pajak dari tahun ke tahun
cenderung mengalami peningkatan.
Tabel 1.1 Pendapatan Pajak
Tahun
Pendapatan Pajak
2007
2008
2009
2010
2011
Rp707.723.894.555.88
Rp658.700.790.664.23
Rp619.914.985.063.499
Rp708.491.594.557.244
Rp878.685.000.000.000*
  
      *RAPBN/ Sumber: LKPP
  
2
Penurunan pendapatan pajak Tahun 2009 disebabkan karena dampak dari krisis
ekonomi global yang terjadi Tahun 
2008. Peningkatan pajak dari tahun ke tahun
tidak berarti pemerintah sudah berhasil mengoptimalkan pendapatan pajak
masyarakat.
Tingkat pendapatan dari pajak ini terbilang masih rendah karena berdasarkan
tax ratio
(perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto),
Indonesia tidak pernah mencapai 15% sedangkan negara yang sepadan
dengan
Indonesia, tax ratio nya 20% (Darmin Nasution, 2008). Tax ratio ini tidak dijadikan
sebagai acuan utama untuk membandingkan tingkat pendapatan pajak antara satu
negara dengan negara lainnya karena pendapatan pajak sebagai dasar perhitungan
ratio pajak hanyalah pajak yang diterima negara saja atau pajak pusat dan untuk
pajak daerah dan sumber daya alam tidak dimasukan kedalam perhitungan. Sehingga
sulit untuk membandingkan tax ratio
suatu negara dengan dasar perhitungan yang
berbeda -
beda. Jika semua pajak dimasukan, tax ratio
Indonesia bisa mencapai
15,7% (kompas.com, 2010).
Tax Ratio Indonesia untuk Tahun 2008 - 2012 yang diukur dari penerimaan
pajak pusat saja terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tidak termasuk pajak daerah
dan dari Sumber Daya Alam (SDA) yaitu Tahun 2008 sebesar 13,31%, Tahun 2009
sebesar 11,06%, Tahun 2010 sebesar 11,26%, Tahun 2011 sebesar 11,76%,
sedangkan Tahun 2012 sebesar 11,9%.
Tabel 1.2 Tax Ratio Indonesia
Tahun
Tax Ratio
2008
2009
2010
2011
2012
13,31%
11,06%
11,26%
11,76%
11,9%
       Sumber : www.pajak.go.id
  
3
Dewasa ini, sering muncul perdebatan seputar metode penghitungan tax ratio
dari masing -
masing negara sehingga tax ratio
antar negara tidak bisa langsung
begitu saja dibandingkan.
Menurut Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmani dalam rapat yang dihadiri
juga oleh Raden Pardede dari Tim Kerja Reformasi Fiskal (Komite Ekonomi
Nasional), Chatib Basri, Firdaus Asikin, Ridwan dari Kamar Dagang dan Industri
(KADIN), dan pengamat perpajakan Darussalam, dikemukakan berbagai praktik
Internasional pengukuran tax ratio
dan bahwa pengukuran tax ratio
di Indonesia
perlu diperbaiki. Tax ratio
12% bukan berdasarkan rational formula. Perbandingan
antarnegara perlu menggunakan tax ratio
berdasarkan OECD Model. Tax ratio
Indonesia 2010 adalah 14,64% sama dengan Philipina, India 10,9%, Thailand 17%,
Malaysia 15,5%, dan Amerika Serikat 18,4%. Tax ratio
Indonesia 2012 based
on OECD Model adalah 15,4%. Tax ratio dalam arti sempit hanya mencakup pajak
pemerintah pusat dibagi Produk Domestik Bruto (PDB), semestinya pajak pusat
ditambah pajak daerah dibagi Produk Domestik Bruto (PDB). Tax ratio
dalam arti
luas
(OECD), penerimaan sumber daya alam bagi hasil termasuk dalam tax ratio.
Juga royalti di Indonesia yang selama ini masuk Direktorat Jenderal Anggaran (DJA)
seharusnya masuk penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Tabel 1.3 Perbandingan Tax Ratio antarnegara ASEAN
No.
Negara
Tax Ratio*
1.
2.
3.
4.
5.
6.
India
Indonesia
Philipina
Tahiland
Malaysia
Amerika Serikat
10,9%
14,64%
14,64%
17%
15,5%
18,4%
*Tax ratio berdasarkan perhitungan OECD
  Sumber : www.pajak.go.id
  
4
Pengukuran selain tax ratio
yang membuktikan belum optimalnya
penerimaan pajak adalah tax gap. Tax gap merupakan perbedaan antara potensi pajak
dan realisasinya. Laporan Hasil Audit Kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) oleh
BKP Tahun 2000, sebagaimana disitir Nasucha 2003
dalam Okke Kustiono 2010
menunjukan bahwa selama periode 1995/1996 sampai dengan 1998/1999 tax gap
Indonesia berkisar antara 35
-
40 persen. Ini berarti 35
-
40 persen potensi pajak
belum masuk kedalam kas negara. Rendahnya tax ratio
dan tingginya tax gap
Indonesia dibandingkan dengan negara lain menunjukan kurang optimalnya
penerimaan pajak Indonesia yang disebabkan Wajib Pajak yang tidak membayar
pajak karena kepatuhan Wajib Pajak yang rendah dan disebabkan karena penerimaan
pajak yang disalahgunakan oleh pihak tertentu.
Selain tax ratio yang kecil dan tax gap
yang besar, tingkat pelaporan Surat
Pemberitauan (SPT) pun rendah. Tingkat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) ini
bisa menjadi alat untuk mengukur tingkat kepatuhan pajak dengan melihat dari
jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi
(WPOP)/Badan yang disampaikan dibagi dengan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi 
(WPOP)/Badan dikalikan
100%. Pada Tahun 2008, jumlah Wajib Pajak yang
menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) mencapai 2.097.849 atau 33,08% dari
jumlah Wajib Pajak yang terdaftar. Jumlah ini meningkat pada Tahun 2009 dengan
5.413.114 Wajib Pajak yang menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan atau
54,15% dari jumlah Wajib Pajaknya. Jumlah itu masih bertambah menjadi 8.202.309
Wajib Pajak yang menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pada Tahun
2010, sekitar 58,16% dari total Wajib Pajak yang terdaftar (kompas.com, 2011). Ini
berarti penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) baru setengah dari total Wajib Pajak
Indonesia. Rendahnya tingkat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dan tax ratio
  
5
dan besarnya tax gap
memberi bukti bahwa sebenarnya masih banyak terdapat
potensi pajak untuk peningkatan pemasukan pajak akibat dari kepatuhan Wajib Pajak
yang masih rendah.
Potensi pajak yang besar
ini harus terus ditingkatkan oleh pemerintah
terutama untuk pajak penghasilan karena pajak penghasilan merupakan kontribusi
pajak yang paling besar (gambar 1.1)
Gambar 1.1 Kontribusi Rata - Rata Penerimaan Pajak Dalam Negeri 2007-2011
Sumber: Kementrian Keuangan
Selain itu juga menurut Mochamad Tjiptardjo mantan Direktorat Jenderal Pajak
Kementrian Keuangan, Pajak Penghasilan (PPh) akan terus ditingkatkan karena salah
satu ciri negara maju adalah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) lebih besar dari
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Karena jika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang
ditingkatkan, rakyat kecil akan merasakan bebannya (kompas.com, 2010).
Tingkat pajak yang berasal dari pajak penghasilan terjadi karena pajak ini
dikenakan dari setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia sehingga baik Wajib
Pajak badan atau orang pribadi yang menerima penghasilan akan dikenakan pajak.
  
6
Dalam pengenaan pajak ini
juga masih terdapat batasan dimana tidak semua Wajib
Pajak akan dikenakan pajak penghasilan tetapi tetap saja subjek pajak untuk pajak ini
banyak sehingga menghasilkan pajak yang besar bagi negara. 
Peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran
pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan. Sehingga kepatuhan
Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan
penerimaan pajak. (Ikhsan Budi R, 2007:24).
Tingkat kepatuhan pajak sangat dibutuhkan terutama ketika terjadi perubahan
sistem perpajakan dari official-assessment system
menjadi self-assessment system.
Dengan official-assessment system
negara yang menentukan pajak yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak sedangkan self-assessment system
Wajib Pajak
menghitung, menyetor, membayarkan dan melaporkan sendiri pajak yang mereka
bayarkan. Dengan self-assessment system dibutuhkan kesadaran dan kejujuran dari
Wajib Pajak orang pribadi untuk menghitung pajaknya sendiri, menyetorkan
pajaknya ke bank atau kantor pos, mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dan
melaporkannya ke kantor pajak. Self-assessment system
ini lebih ditujukan untuk
Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki usaha sendiri. Untuk Wajib Pajak orang
pribadi yang bekerja di perusahaan, perusahaan tempat bekerja yang melakukan
pemotongan pajak.
Dengan pajak yang menjadi sumber utama pemerintah tetapi penerimaannya
belum optimal karena kepatuhan pajak yang masih rendah sehingga penulis tertarik
untuk meneliti faktor -
faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak terutama
kepatuhan formal Wajib Pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Jakarta Pasar Rebo dijadikan sampel untuk wilayah Jakarta Timur sebagai contoh
bagi daerah lain di bidang perpajakan. Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta
  
7
Pasar Rebo kepatuhan pajak khususnya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP)
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan (gambar 1.2). Peningkatan drastis terjadi
pada Tahun 2011. Hal ini tentu saja menarik bagi penulis untuk mengetahui faktor -
faktor apa saja yang
mempengaruhi kepatuhan formal Wajib Pajak orang pribadi.
Selain itu juga belum ada penelitian mengenai kepatuhan pajak yang dilakukan di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Pasar Rebo.
      
Gambar 1.2 Rasio Kepatuhan WPOP  2010-2012
Sumber: KPP Pratama Jakarta Pasar Rebo telah diolah kembali
Penelitian mengenai faktor -
faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
pajak terutama kepatuhan formal Wajib Pajak orang pribadi ini menggunakan
variable bebas dan sampel. Kastlunger, Dressler, Kirchler, Mittone dan Voracek
(2010) meneliti hubungan antara jenis kelamin
dengan kepatuhan pajak. Hasilnya
adalah wanita lebih patuh dibandingkan dengan pria. Hasil dari penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasseldine (1999). Fjelstad dan Semboja
(2003) meneliti kepatuhan pajak Tanzania dengan variabel bebasnya pendapatan,
persepsi terhadap sanksi, persepsi terhadap feedback dari pemerintah, penggelapan
  
8
pajak yang diketahui Wajib Pajak, dan kemungkinan untuk dituntut oleh pemerintah
apabila tidak memenuhi kewajiban perpajakan. Penelitian di Indonesia sendiri
dilakukan oleh Muliari dan Setiawan (2011) mengenai kepatuhan pelaporan di
Denpasar  Timur dengan variabel persepsi terhadap sanksi perpajakan dan kesadaran
perpajakan. Dan dilakukan oleh Setiowati Kuntari (2012) mengenai kepatuhan pajak
formal di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Depok dengan variabel biaya kepatuhan
dan persepsi terhadap manfaat pajak.
Sampel yang terbatas pada 2 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang telah
dilakukan di Indonesia sulit untuk digeneralisasikan hasilnya dan masih terdapat
faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak. Oleh karena itu dilakukan
penelitian di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berbeda. Sehingga penulis ingin
melakukan
penelitian untuk mengetahui faktor -
faktor yang mempengaruhi
kepatuhan pajak formal di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Pasar Rebo
dengan variabel yang sudah pernah diteliti sebelumnya yaitu jenis kelamin, biaya
kepatuhan, persepsi terhadap sanksi, dan persepsi terhadap manfaat pajak. Selain itu
juga penulis melakukan penelitian dengan mengunakan metode penelitian korelasi.
Dalam melakukan penelitian ini hanya meneliti mengenai kepatuhan  formal
berupa kepatuhan dalam penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 orang
pribadi yang disetorkan dan dilaporkan oleh Wajib Pajak yang memiliki usaha. Pajak
Penghasilan Pasal 25 dipilih dalam penelitian ini karena merupakan Pajak
Penghasilan
yang harus diangsur Wajib Pajak setiap bulannya dan untuk memenuhi
kewajiban perpajakan pajak penghasilan ini, Wajib Pajak dituntut untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak sehingga diperlukan kepatuhan dari Wajib Pajak.
Wajib Pajak yang memiliki usaha dipilih karena sebagian besar Wajib Pajak yang
  
9
menyetor
dan melapor Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah pengusaha dimana pajak
penghasilan mereka tidak dipotong oleh pihak ketiga.
Dengan memperhatikan hal - hal tersebut diatas, maka dalam skripsi ini akan
membahas mengenai; “ANALISIS FAKTOR -
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KEPATUHAN PAJAK FORMAL WAJIB PAJAK ORANG
PRIBADI DI KPP PRATAMA JAKARTA PASAR REBO. ”
1.2
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian terhadap Wajib Pajak orang pribadi ini dilakukan di Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Pasar Rebo yang beralamat di Jl. Raya
Bogor No. 46, Kelurahan Ciracas, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur.
Untuk mengetahui tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya, hanya sebatas
penelitian pada pengaruh jenis kelamin,
biaya kepatuhan, persepsi terhadap sanksi, dan persepsi terhadap manfaat pajak
terhadap kepatuhan pajak formal Wajib Pajak orang pribadi dalam pemenuhan
kewajiban pajaknya.
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah
a)
Wanita memiliki kepatuhan pajak formal lebih tinggi dibandingkan dengan
pria.
b) Tingkat kepatuhan pajak formal lebih tinggi apabila biaya kepatuhan
rendah.
c)
Tingkat kepatuhan pajak formal lebih tinggi apabila persepsi terhadap
sanksi yang diberikan berat.
  
10
d) Tingkat kepatuhan pajak formal lebih tinggi apabila persepsi terhadap
manfaat pajak sudah baik.
1.4
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian maka diharapkan hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk:
1.
Bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat
kebijakan perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan pajak sehingga dapat
meningkatkan penerimaan perpajakan terutama pajak penghasilan.
2.
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang perpajakan serta dapat
menjadi referensi bagi semua pihak yang melakukan penelitian.
3.
Bagi peneliti lain penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan tambahan
pertimbangan dan pemikiran untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang
yang sama yaitu Analisis Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Pajak Formal Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Jakarta Pasar
Rebo.
1.5
Metodologi Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, ringkasan metodologi yang dilakukan
penulis adalah sebagai berikut :
1.
Jenis penelitian : Riset pengujian hipotesis (kuantitatif).
2.
Penelitian pengujian hipotesis yang digunakan : Penelitian kausal.
3.
Dimensi waktu : Melibatkan banyak waktu tertentu dan sampel.
  
11
4.
Metode pengumpulan data secara langsung seperti (observasi dan menyebar
kuesioner) dan tidak langsungnya (seperti studi literatur).
5.
Kedalaman penelitian mendalam tetapi hanya melibatkan satu objek saja
(studi kasus).
1.6
Sistematika Penelitian
Penulisan penelitian ini akan terdiri dari 5 bab, yang terbagi menjadi:
BAB 1: Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang, ruang lingkup penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika
penelitian.
BAB 2: Landasan Teori Dan Pengembangan Hipotesis
Bab ini mengemukakan teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian.
Selain itu juga terdapat penelitian terdahulu dan perumusan hipotesis.
BAB 3: Objek dan Desain Penelitian
Bab ini berisi sejarah perusahaan, data dan metoda yang digunakan dalam
pengolahan data dan pemilihan sampel.
BAB 4: Analisis dan Pembahasan
Bab ini berisi analisis dari pengolahan data yang telah dilakukan. Analisis
dalam bab ini terdiri dari deskriptif statistik, pembahasan, dan interpretasi
penelitian. Hasil dari analisis ini akan memberikan jawaban atas perumusan
masalah yang telah dibuat di bab 1 dan juga memperlihatkan apakah hasil
penelitian sesuai atau tidak dengan hipotesis awal yang telah dibuat.
  
12
BAB 5: Simpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang didapat dari hasil analisis dan pembahasan
yang telah diungkapkan. Selain itu, dalam bab ini akan dikemukakan
keterbatasan penelitian serta saran untuk penelitian selanjutnya.