1
1.1.
Mendengar terjadinya sebuah kekerasan dalam kehidupan sehari-hari
bukanlah
hal yang asing lagi. Akhir-akhir ini
media banyak dihebohkan
dengan maraknya pemberitaan tentang kekerasan terutama kekerasan
terhadap anak. Kendati kekerasan terhadap
anak telah menjadi isu global,
namun masalah kekerasan terhadap anak sering luput dari perhatian umum
dalam jangka waktu yang lama dan baru diketahui setelah anak telah sangat
menderita. Dalam proses pertumbuhannya, anak merupakan individu yang
lemah. Karenanya, secara moral dan menurut hukum mereka wajib dilindungi
dan dikasihi, terlebih oleh orang-orang terdekatnya.
Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (2011) tercatat ada
2.508 kasus kekerasan yang terdiri dari kekerasan psikis/emosional 774 kasus
(30,86%).
Namun Komisi Nasional Perlindungan
Anak (2012)
mengungkapkan
bahwa terdapat
kasus kekerasan psikis/emosional sebesar
743 (28,18%). Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dilihat terjadi
penurunan yang tidak terlalu besar, namun data terakhir Komisi Nasional
Perlindungan Anak dari Januari-Juli 2013 tercatat ada kasus kekerasan
psikis/emosional
203 kasus (20%) (Aisyah, 2013).
Melihat data pada awal
tahun 2013, bisa diprediksi pada akhir tahun 2013 akan terjadi peningkatan
kasus kekerasan yang dialami oleh anak-anak. Kemudian, pada penelitian
yang dilakukan oleh Solihin (2004) tercatat sebanyak 60% merupakan korban
|
2
kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40%
sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual. Sebanyak 80% kekerasan
yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10% terjadi di
lingkungan pendidikan dan sisanya orang tak dikenal. Kekerasan pada anak
(child
abuse) adalah tindakan salah atau sewenang-wenang yang dilakukan
oleh orang dewasa terhadap anak, baik secara fisik, emosi maupun seksual
(Sugiarno, 2002). Sugiarto (2002) mengatakan, 95% anak yang mengalami
kekerasan (child abuse) akan mengalami trauma serta menjadi pemarah dan
agresif.
Berdasarkan data di atas, ada banyak
jenis kekerasan yang terjadi
pada anak-anak. Terry E. Lawson, psikiater anak (dalam Pikiran Rakyat,
2006) membagi kekerasan anak menjadi 4 macam, yaitu emotional abuse,
verbal abuse, physical abuse dan sexual abuse. Istilah lain dari verbal abuse
adalah kekerasan verbal, kekerasan mental ataupun kekerasan psikologis
(Nindya & Margaretha, 2012). Kekerasan verbal
menurut Rosenthal (1998)
berupa komunikasi yang berisi ancaman, perkataan kasar, atau menghina
kemampuan anak yang dilakukan secara terus menerus dan berakibat trauma
pada anak, perasaan malu, takut, dan rendah diri. Sedangkan Berkowitz
(2003) mendefinisikan perilaku kekerasan verbal sebagai suatu bentuk
perilaku atau aksi kekerasan yang diungkapkan untuk menyakiti orang lain
yang berbentuk umpatan, celaan atau makian, ejekan, fitnah dan ancaman
melalui kata-kata. Dilihat dari teori dan fenomena yang ada kekerasan verbal
merupakan penganiayaan anak melalui kata-kata seperti hinaan, celaan,
kritikan, bahkan ancaman sehingga anak kehilangan harga diri dan
kepercayaan diri.
|
3
Berkembangnya kebiasaan atau budaya dalam masyarakat yang
sebenarnya kurang tepat dalam mendidik anak dengan sering memarahi
menggunakan kata-kata kasar, memaki, dan membentak anak-anak mereka
dengan kata-kata yang sebenarnya tidak pantas dan bersifat mengancam ini
akan membentuk suatu perilaku yang dilihat
dari orangtuanya sehingga
perilaku anak yang tidak diharapkan dapat terjadi.
Anak-anak tumbuh
dewasa dalam keluarga yang beragam. Peran orangtua sangat dibutuhkan
seiring perkembangan anak. Sebagai orangtua, tujuan mereka semata-mata
adalah mengasuh, melindungi, dan mendidik anak-anaknya. Termasuk
bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan anak, baik dari sudut organis
maupun psikologis, antara lain sandang, pangan, papan, maupun kebutuhan-
kebutuhan psikis, salah satunya kebutuhan akan perkembangan intelektual
seorang anak melalui pendidikan (Singgih, 1984). Kebanyakan
orangtua
terlalu memaksakan kehendaknya, atau ambisinya kepada anak mereka,
terlebih lagi dalam hal prestasi (Junita, 2005). Orangtua menuntut prestasi
tinggi kepada anak, tanpa di imbangi dengan sikap demokratis dan
pendekatan komunikasi yang kurang sehingga perkembangan anak
terabaikan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada motivasi prestasi
belajar anak tersebut (Heryanto, 1991).
Motivasi, dalam pengertian umum, mengacu pada proses-proses yang
terlibat dalam inisiasi, pengarahan, dan energisasi perilaku individu (Geen
dalam Gross, 2012).
Memiliki motivasi berprestasi akan memunculkan
kesadaran bahwa dorongan untuk selalu mencapai kesuksesan dapat menjadi
sikap dan perilaku permanen pada diri individu. Motivasi berprestasi dapat
menjadi faktor pendorong seorang individu dalam menghadapi tantangan
|
4
hidup sehingga dapat mencapai suatu kesuksesan. Menurut Santrock (2003),
motivasi berprestasi adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu untuk
mencapai suatu usaha dengan tujuan mencapai kesuksesan. Sedangkan
menurut Murray (dalam Beck, 1998), motivasi berprestasi adalah suatu
keinginan atau kecenderungan untuk mengatasi hambatan, melatih kekuatan,
dan untuk berusaha melakukan sesuatu yang sulit dengan baik dan secepat
mungkin.
Dukungan
orangtua dapat memotivasi anak
dalam meraih prestasi
dibidang akademik. Seperti yang dikatakan oleh Gottlieb (1983), bahwa
dukungan itu bisa didapat dari orang-orang terdekat yang akrab dengan
subjek. Selain itu, Sarafino (1994) menjelaskan dukungan sosial dapat berasal
dari orang-orang sekitar individu seperti: keluarga, teman dekat, atau rekan.
Motivasi berprestasi merupakan suatu proses
psikologis yang mempunyai
arah dan tujuan untuk sukses sebagai ukuran terbaik. Syah (2005)
mengatakan banyak faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yaitu
inteligensi, bakat, minat, motivasi serta lingkungan siswa yang terdiri dari
lingkungan sekolah dan lingkungan rumah. Ahmadi & Supriyono (1990) juga
menyebutkan ada beberapa faktor motivasi berprestasi, seperti (1) faktor
fisiologi, (2) faktor psikologis, (3) faktor kematangan fisik maupun psikis, (4)
faktor sosial, (5) faktor budaya, (6) faktor lingkungan fisik dan (7) faktor
lingkungan sprilitual atau keamanan. Dengan adanya dukungan tersebut,
maka anak merasa lebih nyaman untuk melakukan aktivitas belajarnya.
Faktor-faktor dan bentuk dukungan orangtua tersebut saling
berinteraksi dalam mencapai prestasi belajar. Dari sekian banyak faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar, faktor sosial yang terdiri atas lingkungan
|
5
keluarga, sekolah, masyarakat dan kelompok memiliki peran yang cukup
besar dan penting dalam pencapaian prestasi belajar.
Melihat dari teori-teori yang sudah dijelaskan mengenai motivasi dan
faktor-faktornya, juga dari beberapa contoh kasus diatas, bahwa motivasi
salah satunya berasal dari orangtua. Bagaimana orangtua dapat memberikan
rasa aman dan memberikan pengakuan kepada anak, bagaimana pula
kedekatan emosi mereka, dan bagaimana orangtua dapat membimbing
anaknya agar dapat berprestasi dengan baik. Tetapi dengan adanya kekerasan
verbal terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua
dalam berkomunikasi
dengan anak, apakah anak akan tetap mendapatkan motivasi atau dorongan
dari orangtua untuk berprestasi di sekolahnya, sementara lingkungan keluarga
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi untuk mencapai
prestasi belajar. Oleh karena itu, penulis ingin melihat hubungan antara
kekerasan verbal yang dilakukan orangtua dengan motivasi berprestasi pada
remaja.
1.2.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa
untuk dapat berprestasi ada beberapa faktor yang dapat memperngaruhi
prestasi tersebut, salah satu faktornya adalah faktor keluarga yaitu orangtua.
Maka penulis merumuskan masalah penelitian ini, yaitu :
Adakah hubungan kekerasan verbal orangtua dengan motivasi berprestasi
pada remaja?
|
6
1.3.
Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam kaitannya dengan
permasalahan ini adalah untuk melihat adanya hubungan antara kekerasan
verbal yang dilakukan orangtua dengan motivasi berprestasi pada remaja.
1.4.
a.
Secara teori penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai kekerasan terhadap anak, khususnya pemahaman tentang
kekerasan verbal.
b.
Secara praktik, bagi para orangtua, pendidik dan terutama anak atau
remaja itu sendiri dalam berperilaku dan mendidik generasi berikutnya
agar lebih baik lagi sehingga tindak
kekerasan baik dalam kekerasan
verbal maupun kekerasan lainnya seperti kekerasan fisik atau psikis dapat
diminimalkan atau bahkan dihilangnya.
|
7
|