BAB 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Menurut Undan g-Undan g RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia
sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan
kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer
untuk perang d an operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas
pemeliharaan perdamaian regional dan internasional dan juga menyatakan bahwa TNI
terdiri dari TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, dimana
Angkatan Darat memiliki personil yang palin g banyak. Ad apun tugas-tugas Angkatan
Darat menurut Undang-Undan g RI Nomor 34 tahun 2004, adalah: melaksanakan tugas
TNI matra darat di bidang pertahanan, melaksanakan tugas TNI dalam menjaga
keamanan wilayah perb atasan darat dengan negara lain, melaksanakan tugas TNI dalam
pembangunan dan pengembangan kekuatan matra darat dengan n egara lain, dan
melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat.
Berdasarkan wawancara dengan Inspektur Jenderal TNI, Bapak Letjen TNI
Geerhan Lantara (tanggal 11 Maret 2014), menjadi TNI sungguhlah tugas yang tidak
mudah karena selalu dihadapkan dengan masalah genting dan tidak terduga, dari tugas
tersebut dap at mengacu pada resiko-resiko seperti pulang dengan sukses, pulang dengan
keadaan cacat atau pulang tinggal nama. Resiko-r esiko tersebut tidak hanya berdampak
pada prajurit TNI Angkatan Darat tetapi juga akan menjadi suatu masalah bagi
keluarganya. Ketika harus bertugas di daerah k onflik para prajurit tidak selalu dapat
membawa keluarga mereka dengan pertimbangan fasilitas tempat
tinggal dan hal
penting lainn ya yang tersedia. Hal ini menyebabkan prajurit TNI Angkatan Darat harus
tinggal berpisah dengan keluarganya.
Kondisi suami yang ditugaskan ke daerah konflik menyebabkan jarangnya
pertemuan pasangan suami
isteri, sehingga dapat men yebabkan kurangnya komunikasi
yang dilakukan antara keduanya. Kurangn ya komunikasi dapat berdampak pad a
|
Sebenarnya resiko-resiko yang dihad api menjad i isteri prajurit telah dipahami
sebelum menikah. Ketua Harian Dharma Pertiwi, Ibu Herawati (16 Maret 2014)
mengatakan bahwa sebelum menjadi isteri prajurit memang terdapat beberapa
persyaratan yang harus dijalankan oleh calon isteri prajurit tersebut, dimulai dari tes
kesehatan, tes psikologi dan wawancara khusus seputar dunia pekerjaan suaminya. Pada
wawancara khusus tersebut telah dib eritahukan bahwa hal terpenting yang harus
dipersiapkan ialah menerima kenyataan akan resiko-resiko yang mungkin terjadi pada
suaminya kelak dalam periode masa tugas. Pekerjaan suami mereka dan penempatan
tugasn ya merupakan suatu hal yang dapat menjadi konflik dalam dirinya, selain
pemindahan tugas yang cukup sering dialami, keamanan tempat suaminya bertugas juga
menjadi hal yang sulit untuk diterima, serta bagaimana isteri prajurit harus beradaptasi
secara cepat di tempat tugas yan g baru. Meskipun demikian, kecemasan tidak dapat
dielakkan.
Menurut Sunarsih (2009 ), ketidakpastian nasib suami yang dikirim ke daerah
konflik menimbulkan kecemasan pada isteri ABRI yang berwujud pada ketegangan,
rasa tidak aman, kekhawatiran, yang timbul karena akan mengalami kejadian yang tidak
menyenangkan. Seorang narasumber yang berinisial TK" (49 tahun) (wawancara pad a
10 Mei 2014), menyatakan bahwa narasumber merasakan cemas saat suaminya bertugas
di Aceh, karena di wilayah itu sedang terjadi daru rat militer. Kecemasannya itu terbukti
ketika suaminya meninggal dalam tugas tersebut. Berdasarkan hasil wawancara pribadi
dengan narasumber yang lainn ya berinisial RN (32 tahun) yang mempunyai suami
kini tengah bertu gas di daerah konflik di Sudan, Afrika (tanggal 3 0 Mei 2014)
mengatakan b ahwa memang mengalami kecemasan yang menggan ggu kehidupan
sehari-harin ya, ditambah harus mengurus dua putr anya yang masih kecil, perasaan rindu
|
Kecemasan adalah suatu tekanan, perasaan tidak men yenangkan dan tidak
tenang yang dialami seseorang terhadap suatu objek yang tidak konkr et atau tidak
diketahui secara pasti, dimana setiap oran g dapat mengalami kecemasan, termasuk
seorang isteri prajurit yang ditinggal bertugas suaminya ke daerah konflik (Anwar,
2008). Tugas seo rang prajurit adalah menjaga suasana aman dan terkendali, sehingga
anggota prajurit harus siap dan bersedia ditempatkan dimanapun diperlukan, sebagai
seorang prajurit terkadang harus berpisah dengan keluarga tercinta demi melaksanak an
tugasn ya tersebut, kepergian suami untuk bertugas bagi istri prajurit merupakan hal
yang tidak menyenangkan dikarenakan harus berpisah jauh dengan orang yang dicintai,
akibat kepergian suami dalam jangka waktu yang lama dan kondisi dalam rumah tangga
menyebabkan para istri mengalami fenomena kecemasan (Ismanto, 2009).
Selama ditinggal suami bertugas di daerah konflik terdapat perasaan yang
bercampur antara bangga maupun ketakutan ataupun kecemasan tentang apa yan g nanti
akan dialami oleh sang suami. Menurut Spielber ger (2004), kecemasan dibagi du a, yaitu
State Anxiety (kecemasan situasional) dan Trait Anxiety (kecemasan bawaan).
Kecemasan situasional (state anxiety) akan meningkat apabila individu merasa dirinya
dalam keadaan terancam dan akan menurun kembali jika individu sudah merasa aman.
Individu men gh ayati kecemasan situasional ini secara subjektif, mengalami perasaan
ketakutan, khawatir dan gelisah. Kecemasan situasional (state anxiety) timbul sebagai
suatu reaksi terhadap situasi tertentu maupun pada situasi yan g mengancam seperti
masa penugasan didaerah konfik yang akan dihadapi suami para isteri prajurit.
Sebagian besar isteri yang ditinggal suaminya bertugas ke daerah konflik
cenderung mengalami kecemasan situasional (state anxiety), karena isteri merasa
suaminya berad a di daerah yang tidak aman. Gejala ini akan tetap tampak selama
kondisi men yebabkan kecemasan masih ada. Jika penyebabnya hilan g maka kecemasan
akan hilang (Sunarsih, 2009). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan
yang terjadi pada isteri prajurit yang ditinggal suami ke daerah konflik merupakan
kecemasan situasional (state anxiety). Hal ini disebabkan ketidakpastian akan nasib
suami. Ketika suami kembali ke rumah, berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan
|
Anwar & Hidayat (2008) dalam penelitiannya terhadap pilot pesawat terbang
menyatakan, kecemasan yang tinggi, baik kecemasan umum maupun spesifik pada hal-
hal tertentu dapat mempengaruhi psychological well being seseoran g. Bardburn (1969;
dalam Anwar, 2008) menambahkan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat
kecemasan yan g besar, baik kecemasan secara u mum ataupun khusus pada hal tertentu,
cenderung memiliki tingkat af ek negatif yang tinggi yang akhirn ya mempengaruhi
psychological well being dirinya, afek negatif adalah suatu kondisi yang dialami
manusia yang membuatnya merasa tidak bahagia (Bradburn & Caplovitz, 1965;
Bradburn, 1969; d alam Anwar, 2008). Afek negatif yang terjadi pada isteri prajurit
adalah dimana timbul perasaan yang tidak menyenangk an seperti ditinggalkan suaminya
bertugas dengan resiko kematian yang terberatnya. Sedangkan dari kecemasan atas
resiko-resiko yan g harus dihadapi isteri praju rit tersebut menurut narasumber RN (32
tahun) (wawancara tanggal 30 Mei 2014) mempengaruhi kehidupan sehari-harinya
yakni lebih banyak melamunkan keadaan suami yang sedang bertu gas dan merasa
kesepian dan membutuhkan sosok suami yang selalu berada di sisi keluarga dan kerap
kali memikirkan bahwa betapa lebih mudahnya hidupnya bila suami berada di dekat
keluarga sehingga dap at mengurus anak-anak b erdua. Cemas yang dirasakan pun kerap
membuatnya sering
melamun, menjadi lebih sensitif dan mudah menangis memikirkan
keadaan suami, dan juga bukan masalah kematian saja yang membuatnya cemas
melainkan ada perasaan takut suami pulang cacat yan g akan berakibat menghambat
karier suami itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat bahwa kecemasan pada isteri prajurit
yang terjadi akibat resiko yang dihadapi suaminya dapat mempengaruhi ketenangan
hidup yang berkaitan dengan psychological well being.
Kemudian Ryf f (dalam Anwar, 2008) mengatakan bahwa psychological well
being sebagai hasil atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi
atas pengalaman-pengalaman hidupn ya. Dalam pengertiannya menurut Ryff (dalam
Rahayu, 2008) psychological well being merupakan suatu keadaan dimana individu
mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yan g hangat
|
Menurut Ryff & Keyes (dalam Rahayu, 2012), terdapat beberapa faktor yang
dapat mempen garuhi psychological well being, yaitu faktor demografis, seperti usia,
jenis kelamin, status sosial ekonomi, budaya, serta faktor dukungan sosial, evaluasi
terhadap pengalaman hidup, kepribadian, religiusitas. Psychological well being terdiri
atas enam dimensi, yaitu self acceptance atau kemampuan seseorang untuk menerima
diri apa adanya, personal growth atau kemamp uan seseorang untuk mengembangkan
dirinya, positive relation with other people atau kemampuan untuk mencintai orang lain,
autonomy atau kemampuan untuk mengatur tingkah laku, purpose in life
atau
kemampuan seseorang dalam mencapai tujuan hidupnya, dan environmental mastery
atau kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
kondisi fisik dirinya. Menurut Ryff (dalam Mardiah, 2010) gambaran
tentang
karakteristik orang yang memiliki psychological well being dapat ditandai dengan
diperolehn ya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adan ya gejala-gejala depresi.
Dalam dunia isteri prajurit sesuai dengan Persit Kartika Chandra Kirana (2004)
mengatakan bahwa terdapat ban yak kegiatan yan g diselenggarakan guna memperkaya
pengetahuan, pergaulan serta keterampilan isteri prajurit, sehingga bila kecemasan state
yang dirasakan oleh isteri TNI Angkatan Darat tinggi dengan adanya wadah organisasi
Persit Kartika Chandra Kirana dapat memban tu isteri-isteri untuk tetap sosialisasi
dengan normal sehingga tetap memenuhi kebutuhannya dengan baik sehingga isteri
tetap memperoleh kebahagian dan kepuasan hidup. Menurut Bradburn, dkk (dalam
Ryff, 1995) kebahagian merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan
tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Sehingga menjadikan
psychological well being merupakan hal yang penting bagi isteri prajurit dalam
penantiannya terhadap keselamatan jiwa suamin ya yang sedan g bertugas di daerah
konflik.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara
kedua variabel tersebut dan peneliti menduga terdapat hubun gan antara kecemasan state
|
psychological well being. Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat
memberikan pengetahuan bagi khalayak luas sehingga dapat menyediakan informasi
yang bermanfaat mengenai gambaran dan keterkaitan antar a kecemasan state dan
psychological well being pada isteri-isteri TNI Angkatan Darat yan g su aminya bertugas
di daerah konflik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dap at dirumuskan masalah penelitian tersebut
sebagai berikut:
Apakah terdapat hubungan antara k ecemasan state dengan psychological well
being pada isteri TNI Angkatan Darat yang suaminya bertugas di daerah konflik?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, tujuan pada penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui hubungan antara kecemasan state dengan psychological well
being pada isteri TNI Angkatan Dar at yang suaminya bertugas di daerah konflik.
|
|