BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Isu homoseksualitas di Indonesia merupakan salah satu fenomena yang seringkali
dianggap negatif atau tabu oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat
di Indonesia masih memandang homoseksualitas sebagai suatu
hal yang men yalahi kodrat
serta bertentangan dengan norma sosial. Harto yo dan Adinda (2009) mengemukakan bahwa
ideologi yang dominan dalam masyarakat Indonesia terkait dengan seksualitas adalah
heteroseksisme. Heteroseksisme merupak an suatu sistem ideologis yang menyan gk al,
menolak serta membentuk beragam stigma yang terkait dengan identitas, perilaku serta
hubungan non-heteroseksual yang terjadi dalam masyarakat (Herek, dalam Murray 2009).
Pernyataan tersebut juga sejalan dengan Boellstorff (2005) yang mengemukakan bahwa
heteroseksisme mengacu pada kepercayaan bahwa heteroseksualitas merupakan satu-satunya
nilai seksualitas yang p aling alami, bermoral serta sesuai dengan aturan dan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Penggunaan istilah heteroseksisme ini secara tidak langsung
menyoroti beragam sentimen anti homoseksual. Individu den gan orientasi seksual yang
berbeda, seperti homoseksual akan menjadi sorotan bagi publik serta cenderung mendapat
penilaian yang bersifat negatif.
Berdasarkan data yan g dilansir dari VOA Indonesia (2013) melalui studi Pembagian
Global Mengenai Homoseksualitas yang telah melakukan survei terhadap 37.653 orang di
39 negara. Hasil survei ini menemukan bahwa masyarakat di Indonesia dapat dikatakan
masih cukup menentang keberadaan homoseksual. Hal ini didukung dengan hasil survei yang
menerangkan bahwa 93% responden menyatakan bahwa ga y tidak seharusnya diterima.
Survei ini dilakukan melalui wawan cara dengan 1.000 responden dengan kategori usia
dewasa. Meskipun demikian, terdapat 3% dari total jumlah responden yang mengklaim
mendukung hak-hak kelompok gay dalam survei pew research center yang diadakan pada
tahun 2007. Kompleksitas kehidupan kaum homoseksual di Indonesia menghadirkan
tantangan lebih jauh bagi setiap individu yang terlibat di dalamn ya. Walaupun demikian,
sejak tahun 1970 sejumlah orang di Indonesia telah menyebut diri mereka sebagai gay atau
lesbi (Boellstroff 2005: 52). Hal ini secara tidak langsung mener angkan bahwa isu
homoseksualitas sudah sejak lama bermunculan di Indonesia.
|
Disadari atau tidak, keberadaan kaum homoseksual di Indonesia semakin meningkat.
Menurut data yang dilansir dalam republika.co.id (2013), Badan PBB beserta bad an ahli
memperhitungkan bahwa pada tahun 2011 jumlah lelaki dewasa LSL (lelaki yang
berhubungan seks dengan lelaki) di Indonesia diperkirakan telah melebihi 3.000.000 orang.
Padahal berdasark an data tahun 2009 yan g dilansir dari kompas.com (2011) jumlah LSL
diperkirakan hanya sekitar 800.000 orang. Dimana jumlah LSL di ibukota DKI Jakarta juga
diperkirakan telah mencapai 60.000 hin gga 8 0.000 orang. Walaupun demikian, Tono
Permana Muhamad sebagai koordinator sekretariat nasional jaringan Gay, Waria dan Lelaki
yang berhubungan seks dengan lelaki (GWL-INA) menyatakan b ahwa jumlah gay atau waria
justru lebih kecil apabila dibandingkan dengan data tersebut (kompas.com, 2011). Hal ini
dikarenakan konsep LSL dapat meliputi gay dan non-gay yang diidentifikasi sebagai laki-
laki, biseksual, ataupun seseorang yang berhubungan seks dengan laki-laki ( Lestari dan
Raharjo, 2014). Kaum g ay umumnya mengidentifikasi diri sebagai orang yang berorientasi
seksual dengan sesama jenis dan berpenampilan sebagai lelaki.
Oetomo (2006) juga menyatakan bahwa berdasarkan data yan g dilansir dari portal gaya
nusantara.com, jumlah k aum gay di Indonesia sudah mencapai 20.000.000 orang. Selain itu,
hasil survei Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) juga menunjukkan bahwa terdapat
4.000 - 5.000 penyuk a sesama jenis di Jakarta. Berdasarkan pada ban yaknya jumlah individu
gay serta semakin gencar nya gerakan pendukung hak kaum gay, maka tentunya hal ini dapat
mulai menggeser nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Melihat situasi yang sedemikian
rupa, beberapa pihak ter kait berusaha untuk menunjukkan dukungan yang amat berarti guna
membangun emansipasi kaum homoseksual di Indonesia. Perwujudan bentuk dukungan ini
dapat dilihat dari berdirinya beragam komunitas bagi kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual
dan Transgender) yang semakin hari semakin ramai diperbincangkan. Hal ini dapat dilihat
dari munculnya keberadaan komunitas LGBT yang juga merupakan komunitas bagi kaum
homoseksual di kota-kota besar, terutama di Jakarta.
Saat ini terdapat komunitas yan g ditujukan bagi kaum LGBT, di antaranya terdapat
GWL-INA, Arus pelangi, Suara Kita, GAYa NUSANTARA serta berbagai komunitas lainnya
(midjournal.com, 2014). Selain itu, sebuah kelompok pendukung kaum gay juga didirikan
dan disebut dengan istilah PLU (People Like Us). Dimana p endukung PLU memfasilitasi
sebuah forum bagi kaum gay untuk berbicara mengenai hiburan, kesulitan atau isu-isu yang
terkait dengan dunia gay (Hefner, 2007).
|
Dengan ad anya beragam komunitas yan g didirikan, maka semakin besar kemungkinan
bagi kaum gay untuk mendapatkan sumber dukungan dari orang di sekitarnya. Hal ini secara
tidak langsun g dapat membuat para individu gay merasa bahwa semakin terdapat penerimaan
dari lingkun gan. Memang tidak dapat dipun gkiri bahwa masih terdapat sejumlah penolakan
terhadap kaum gay. Namun, dengan demikian semakin berkembang pula komunitas yang
disediakan sebagai salah satu bentuk dukungan.
Komunitas yang didirikan bagi kaum LGBT tidak selalu merupakan komunitas inklusif
bagi kaum LGBT. Berdasarkan data yang dilansir dari midjournal.com (2014), organisasi
suara kita juga terdiri atas 75% LGBT dan 25% heteroseksual yang mendukung gerakan
perjuangan hak-hak keberagaman seksual dan identitas gender di Indonesia. Hal ini juga
dibuktikan dengan pengamatan langsung peneliti pada komunitas, bahwa tidak semua
anggota ataupun staff k omunitas hanya merupakan kaum homoseksual. Menurut Rathus,
Nevid, dan Rathus (200 5) homoseksual adalah kecenderungan u ntuk tertarik kepada orang
lain dengan jenis kelamin yang sama. Hal ini juga ditegaskan oleh Duff y & Atwater (2005)
yang mengemukakan bahwa definisi gay mengacu pada kaum lelaki yang yang mempunyai
orientasi seksual terhadap jenis kelamin yan g sama.
Pada saat ini homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai bentuk abnormalitas maupun
sebagai suatu bentuk gangguan kejiwaan. Di Indonesia, hal yang sama juga dilakukan melalui
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) yang dikeluarkan
Departemen Kesehatan, yakni PPDGJ-III (1993) dan DSM V yang telah menghapus kategori
homoseksual sebagai bentuk gangguan kejiwaan. Namun, walaupun demikian, diskriminasi
terhadap kelompok minoritas ini masih kerap terjadi di negeri ini.
Kaum gay kerap mengalami diskriminasi. Hal ini dapat terlihat dari data yang dilansir
dari Indon esia.ucanews. com (2013) bahwa sepanjang tahun 2012, terjadi 47 tindakan
kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum LGBT, dimana salah satu dari kaum LGBT
merupakan kaum gay. Hal ini tentun ya sangat men yakitkan bagi kaum gay dan kaum LGBT
lainnya yang ber ada di Indonesia. Hal ini sejalan den gan penelitian yang dilakukan
Boellstorff (dalam Murray, 2009), dimana Boellstorff mengemukakan bahwa terdapat
perbedaan yan g cukup signifikan di Indon esia, dimana keberadaan kaum heteroseksualitas
diasumsikan sebagai perwujudan dari nilai seksualitas yang bersifat natural serta superior.
Hal ini secara tidak langsung menjadi doron gan bagi kaum mayoritas untuk memberikan
pertentangan terhadap individu yang terlibat hubungan seksual dengan jenis kelamin yang
sama.
|
Tidak adanya pengakuan dalam kehidupan bermasyarakat juga merupakan perilaku
diskriminatif. Media massa jarang membahas isu-isu yang penting untuk kaum gay, lesbi dan
biseksual (Oetomo, 2003). Keberadaaan serta proses sosialisasi kaum gay di tengah
masyarakat senantiasa dihadapkan den gan norma, nilai-nilai serta stereotip yang menetap di
dalam masyarakat. Kondisi serta situasi yang demikian tentu saja mengundang beragam
reaksi serta berpotensi menghasilkan beragam jenis perlakuan dari lingkun gan sekitar.
Merujuk dari berbagai pemaparan yang telah disampaikan, dapat diketahui bahwa masih
terdapat kontradiksi antara kaum pro dan kaum kontra. Bagi kalangan masyarakat yang
kontra dengan hubungan sesama jenis, seringkali terdapat unsur penolakan yang dapat
mengakibatkan ancaman sosial bagi kaum gay. Kaum gay kerap kali men galami gay bullying
baik secara verbal maupun non-verbal. Penolakan serta kekerasan terhadap kaum gay
acapkali terjadi dalam lingkungan sosial, dimana kesemua hal ini dapat menyebabkan rasa
takut, cemas, serta penderitaan yang amat sangat bagi k aum gay (Oetomo, 2003).
Namun, setiap individu pada dasarnya adalah makhluk sosial. Hal ini berarti manusia
sangat membutuhkan ikatan atau hubungan intim dengan individu lainnya di dalam
masyarakat. Manusia membutuhkan social support dari sesamanya, yakni berupa
penghiburan, perhatian, serta adan ya penerimaan atau bantuan dari o rang lain. Bentuk
penerimaan atau bantuan dari orang lain merupakan perwujudan dari social support. Social
support adalah suatu bentuk keberadaan atau ketersediaan orang lain yang dapat diandalkan,
menunjukkan rasa cinta serta kepedulian terhadap nilai yang dianut oleh individu (Sarason,
Levine, Basham dan Sarason, 1983). Social support dapat disebabk an oleh faktor tertentu, di
antaranya adalah adan ya potensi menerima dukungan, penyedia dukungan serta adanya
jaringan struktur sosial (Sarafino, 2006).
Layaknya makhluk sosial pada umumnya, kaum gay juga memerlukan social support
dari masyarakat sekitar. Berger, Weinberg dan Williams (dalam Porter, 1991) menyatakan
bahwa social support merupakan komponen penting yan g harus dipenuhi oleh individu gay
atau lesbian untuk membangun gambaran diri yang positif. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Schwarzer, Knoll dan Rickmann (2003) yan g mengemukakan bahwa terdapat du a fungsi
dukungan sosial dalam kaitannya dengan keseh atan fisik dan psikologis manusia, yaitu
fungsi untuk mencegah timbulnya efek negatif dari peristiwa yang menekan bagi individu
(buffer effect) dan fungsi untuk membantu meningkatkan kesejahteraan mental dan fisik
individu (main effect).
Efendi dan Makhfudli (2009) juga berpendapat bahwa social support sangat diperlukan
oleh setiap individu di dalam setiap siklus kehidupannya serta social support akan semakin
|
dibutuhkan pada saat seseoran g sedang mengalami masalah atau sedang mengalami masa
sulit. Kaum gay mengalami masa sulit, dimana individu cenderung mengalami kesulitan
untuk menyingkap orientasi diri seksual yang sebenarnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Ormsbee (2010) yang mengemukakan bahwa pria gay cenderung sulit untuk menerima
dirinya sendiri serta kesulitan untuk memahami dirinya sendiri sebagai bagian dari
homoseksual. Seringkali gay merasakan hal-hal seperti perasaan bersalah, perasaan malu,
kesepian, kesedihan bahkan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Namun, individu gay
percaya bahwa perasaan negatif yang sedemikian rupa dapat ditekan melalui afek positif di
dalam diri (Ormsbee,2010).
Afek positif di dalam diri salah satunya dapat ditimbulkan melalui self acceptance.
Hurlock (1974) men yatakan bahwa self acceptance adalah kemampuan dan keinginan
individu untuk hidup dengan segala k arakteristik yang ada di dalam diri. Barbra White (2012)
juga mengemukakan bahwa self acceptance akan memberikan kedamaian dalam diri
individu. Hal ini dikarenakan self acceptance merupakan saat dimana individu secara
emosional menerima arti diri yang sebenarnya secara utuh dan berharga. Hal ini berarti
individu terlepas dari rasa bersalah, rasa malu serta rasa rendah diri karena keterbatasan diri,
serta keb ebasan dari kecemasan akan adan ya penilaian dari orang lain terhadap keadaan
dirinya. Self acceptance merupakan kemampuan yang sudah selayaknya dipenuhi oleh setiap
individu. Ormsbee (2010) juga menyatakan bahwa self acceptance dapat meningkatkan suatu
rasa keb anggaan diri pada gay (gay prid e).
Miceli (2005) mengemukakan bahwa self acceptance merupakan suatu langkah krusial
yang harus dijalani oleh setiap individu homoseksual agar individu tersebut dapat memiliki
kehidupan yang relatif umum serta dapat ditolerir. Miceli (2005) menambahkan bahwa
individu homoseksual harus mampu mencapai serta memenuhi self acceptance, walaupun
individu berada pada lingkungan masyarakat yang mun gkin tidak menerima homoseksual
melalui beragam pesan, struktur atau institusi tertentu.
Tidak adanya penerimaan masyarakat terhadap kaum gay secara tidak langsung dapat
memicu kaum gay untuk menolak serta mencemooh diri sendiri, merasa orang lain menjauhi
dan menghina dirin ya serta tidak percaya pada perasaan dan sikapnya sendiri. Pada tahap ini
biasanya individu mengalami pertentangan batin akan nilai-nilai yang terinternalisasi di
dalam diri dengan orientasi homoseksual yang dialami oleh individu yan g bersangkutan. Bagi
individu yang memiliki orientasi homoseksual, salah satu masa sulit yan g akan dialami oleh
homoseksual adalah tahap self acceptance. Kondisi yang demikian dapat menyebabkan
individu menyalahk an diri sendiri, merasa terkucilkan, merasa malu serta merasa bersalah
|
dalam situasi tertentu. Gejala-gejala tersebut menurut Hurlock (1974) merupakan tanda
rendahnya tingkat self acceptance.
Merujuk pada Paul dan Frieden (2008) yang meneliti proses integrasi identitas gay dan
self acceptance di kalangan pria gay . Responden penelitian menjelaskan bahwa homofobia
masyarakat dan heterosexism sebagai "hambatan yang ku at" untuk self acceptance. Paul dan
Frieden (2008) juga berpendapat bahwa validasi serta penerimaan dari orang lain sebagai
suatu dukungan harus dapat dirasakan oleh individu yang bersangkutan guna membantu
individu dalam proses self acceptance.
Kondisi yan g demikian juga terlihat dari hasil wawancara peneliti terhadap tiga
responden pada tanggal 21 Maret 2014. Dalam hasil wawancara tersebut, ditemukan bahwa
kaum gay seringkali merasakan adan ya pertentangan dalam diri, dimana kaum gay merasa
yakin b ahwa lingkungan di sekitar tidak mungkin menerima diri mereka yang memiliki
keterbatasan. Hal ini dirasa demikian akibat adanya beragam hal yang dilihat serta didengar
dari 67% responden di dalam masyarakat sekitar. Berdasarkan penutur an para responden,
dapat dinyatakan bahwa responden seringkali tidak ingin berinteraksi d engan orang lain
karena responden memiliki kecenderungan untuk menolak serta men cemooh diri sendiri atau
adanya sikap tidak percaya diri yan g muncul akibat pertentangan nilai agama serta norma
masyarakat yang melekat di dalam diri. Hal ini membuat kaum gay terkadang menyalahkan
diri, merasa bersalah atau berdosa dalam situasi tertentu. Namun, dengan adan ya kehadiran
pasangan, teman sejawat, aktivis serta komunitas baik melalui pertemuan gathering offline,
maupun sarana komunitas online bagi para kaum gay untuk berbagi cerita dan keluh kesah,
pada akhirnya responden mulai dapat merasakan bahwa ternyata masih terdapat dukungan
yang tersedia b agi dirinya.
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui pula bahwa para responden jauh lebih merasa
senang serta nyaman akan adanya jalinan hubungan pertemanan, dimana biasanya teman
dapat menjadi sarana bagi respond en untuk mencurahkan isi hati serta melakukan aktivitas
atau kegiatan secara bersama. Selain itu, para responden juga menyatakan bahwa terdapat
dukungan yang berasal dari saudara kandung yang merupak an bagian dari pihak keluarga.
Keberadaan saudara kandung dirasa lebih dapat memahami kondisi responden apabila
dibandingkan den gan orang tua. Bentuk dukungan yang diberikan dapat berup a dukungan
emosional serta dukungan penghargaan. Duk ungan emosional dapat berupa ekspresi
perhatian serta kepedulian dari orang sekitar dan dukun gan penghargaan dapat berupa
persetujuan akan pendapat responden atau penerimaan dari oran g lain yang membuat
individu merasa bahwa dirinya berharga.
|
Dari hasil pengamatan peneliti pada situs gayindonesiaforum.com (2 014), terdapat
beberapa thread diskusi mengenai self acceptance. Hal ini ditinjau dari beberapa topik
diskusi forum yang mengacu pada pembahasan self acceptance
kaum gay. Menurut
penuturan X, salah satu anggota dalam situs online tersebut, self acceptance sebagai
seseorang dengan orientasi seksual yang berbeda dari norma masyar akat merupakan suatu hal
yang dianggap sulit. X mengemukakan bahwa setelah X mulai terbuk a pada beberapa teman
dan X merasa bahwa ada oran g-orang yang dapat menerima serta mendukung dirin ya, pada
akhirnya X dapat menerima dirinya den gan lebih baik. Dengan melihat berbagai kondisi
diatas, dapat diketahui bahwa persepsi individu sangat berperan dalam setiap ketersediaan
social support. Apabila individu yang bersan gk utan tidak mempersepsikan bahwa dirinya
menerima dukungan, maka ketersediaan social support bagi individu tersebut tidak akan
memiliki arti serta dampak bagi kehidupannya. Persepsi terhadap social support yang
dirasakan oleh individu diperkirakan dapat membantu meningkatkan self acceptance.
Self acceptance tidak semata-mata dapat
diwujudkan hanya dengan adanya dukungan
dari lingkungan sosial. Salah satu hal yang paling penting dari ketersediaan social support
bagi individu adalah bagaimana persepsi individu yang bersangkutan dalam menerima segala
bentuk dukungan yang tersedia bagi individu tersebut, terutama dalam segi kepuasan individu
terhadap dukungan yang tersedia. (Sarason, Pierce dan Sarason, dalam Daena, 2004).
Perceived social support menurut Sarason et.al., (1983) mencakup dua hal, yaitu perceived
social support berdasarkan pada ketersediaan sejumlah orang yang dapat diandalkan ketika
individu yang b ersangkutan sedang membutuhkan dukungan serta tingkat kepuasan terhadap
dukungan yan g tersedia bagi individu yan g bersangkutan. Rogers (dalam Sari, 2013) juga
mengemukakan bahwa jika individu merasa bahwa dirinya diterima secara positif oleh orang
lain, maka individu yang bersangkutan cenderung mengembangkan sikap p ositif terhadap diri
sendiri dan lebih menerima diri sendiri.
Terdapat penelitian yan g mengindikasikan bahwa mayoritas lesbian, gay, biseksual pria
dan wanita baru men yadari orientasi seksual pada masa remaja atau di awal umur 20 tahun
(Makadon, et.al., 2008). Taylor, Peplau dan Sears (2006) juga men gemukakan bahwa banyak
kaum homoseksual yang belum melakukan coming out hingga masa dewasa tengah (middle
adulthood). Hal tersebut dapat menyebabkan terhambatnya beberapa peristiwa krusial yang
seharusnya terjadi pada tahapan perkembangan tersebut. Beberapa gay maupun lesbian yang
berada pada usia dewasa tengah seringkali baru membuka diri untuk pertama kalinya dan
baru membangun suatu hubungan antar pasangan. Selain itu banyak dari individu
homoseksual dalam kisaran usia dewasa tengah masih memiliki konflik dengan orang tua,
|
anggota keluarga maupun teman. Dimana hal ini terkait dengan penyembunyian identitas
homoseksual.
Taylor, Peplau dan Sears (2006) juga mengemukakan bahwa kaum gay yang belum
mengalami coming out sampai usia dewasa akhir pada akhirnya memiliki pencarian identitas
diri yang tertunda, perasaan bersalah, kerahasiaan, terikat pernikahan h eteroseksual serta
mengalami konflik dengan kedua belah pihak (b oth sexes). Kesemua hal ini yang mendasari
pentingnya bagi individu atau kaum gay dewasa
muda untuk mengembangkan self
acceptance. Secara kontras, individu yang berhasil menerima diri serta secara utuh di usia
kehidupan yang lebih awal cenderung memiliki kehidupan yang lebih baik.
Dari fenomena yang ada, telah diketahui bahwa jumlah keberadaan gay dapat semakin
meningkat. Selain itu, isu mengenai gay juga semakin kompleks den gan adanya pro dan
kontra dari masyarakat. Reaksi masyarakat dapat menimbulkan berbagai hal yang dapat
mempengaruhi b eragam social support yang akan diterima oleh kaum gay. Disamping itu,
dukungan yang diterima oleh kaum gay tentunya akan dilandasi oleh persepsi masing-masing
individu gay yang bersangkutan. Persepsi k aum gay terhadap social support yang
diterimanya dapat dipandang melalui dua aspek, baik dari aspek ketersediaan sejumlah orang
yang dianggap dapat memberikan dukungan maupun persepsi kepuasan terhadap dukungan
yang telah tersedia. Selain itu, diketahui juga bahwa self acceptance sangat penting bagi gay
usia dewasa muda. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui hubungan antara perceived
social support dan self acceptance pada gay dewasa muda.
1.2 Rumusan Permasalahan
Untuk
memudahkan penelitian, maka p erlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus
penelitian. Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan, pertanyaan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah terdapat hubungan antara perceived social support (numb er) dan self acceptance
pada gay dewasa mud a?
2. Apakah terdapat hubungan antara perceived social support (satisfaction) dan self
acceptance pada gay dewasa muda?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara perceived
social support (number) dan self acceptance, serta perceived social support (satisfaction)
dan self acceptance pada gay dewasa muda.
|
|