BAB 1
Pendahuluan
 
1.1  Latar Belakang
Isu  homoseksualitas  di  Indonesia  merupakan  salah  satu  fenomena  yang  seringkali 
dianggap  negatif  atau  tabu  oleh  sebagian  besar  masyarakat.  Hal  ini  dikarenakan  masyarakat 
di  Indonesia  masih  memandang  homoseksualitas  sebagai  suatu 
hal  yang  men yalahi  kodrat 
serta  bertentangan   dengan  norma  sosial.  Harto yo  dan  Adinda  (2009)  mengemukakan  bahwa 
ideologi  yang  dominan  dalam  masyarakat  Indonesia  terkait  dengan  seksualitas  adalah 
heteroseksisme.  Heteroseksisme  merupak an  suatu  sistem  ideologis  yang  menyan gk al, 
menolak  serta  membentuk  beragam  stigma  yang  terkait  dengan  identitas,  perilaku  serta 
hubungan  non-heteroseksual  yang  terjadi  dalam  masyarakat  (Herek,  dalam  Murray  2009). 
Pernyataan  tersebut  juga  sejalan  dengan  Boellstorff  (2005)  yang  mengemukakan  bahwa 
heteroseksisme  mengacu  pada  kepercayaan  bahwa  heteroseksualitas merupakan satu-satunya 
nilai  seksualitas  yang  p aling  alami,  bermoral  serta  sesuai  dengan  aturan  dan  norma  yang 
berlaku  dalam  masyarakat.  Penggunaan  istilah  heteroseksisme  ini  secara  tidak  langsung 
menyoroti  beragam  sentimen  anti  homoseksual.  Individu  den gan  orientasi  seksual  yang 
berbeda,  seperti  homoseksual  akan  menjadi  sorotan  bagi  publik  serta  cenderung  mendapat 
penilaian yang bersifat negatif.  
Berdasarkan  data  yan g  dilansir  dari  VOA  Indonesia  (2013)  melalui  studi  “Pembagian 
Global  Mengenai  Homoseksualitas”    yang  telah  melakukan  survei  terhadap  37.653  orang  di 
39  negara.  Hasil  survei  ini  menemukan  bahwa  masyarakat  di  Indonesia  dapat  dikatakan 
masih cukup menentang keberadaan homoseksual. Hal ini didukung dengan  hasil  survei yang 
menerangkan  bahwa  93%  responden  menyatakan  bahwa  ga y  tidak  seharusnya  diterima. 
Survei  ini  dilakukan  melalui  wawan cara  dengan  1.000  responden  dengan  kategori  usia 
dewasa.  Meskipun  demikian,  terdapat  3%  dari  total  jumlah  responden  yang  mengklaim 
mendukung  hak-hak  kelompok  gay  dalam  survei  pew  research  center  yang  diadakan  pada 
tahun  2007.  Kompleksitas  kehidupan  kaum  homoseksual  di  Indonesia  menghadirkan 
tantangan  lebih  jauh  bagi  setiap  individu  yang  terlibat  di  dalamn ya.  Walaupun  demikian, 
sejak  tahun  1970  sejumlah  orang  di  Indonesia  telah  menyebut  diri  mereka  sebagai  gay  atau 
lesbi  (Boellstroff  2005:  52).    Hal  ini  secara  tidak  langsung  mener angkan  bahwa  isu 
homoseksualitas sudah sejak lama bermunculan di Indonesia. 
  
Disadari  atau  tidak,  keberadaan  kaum  homoseksual  di  Indonesia  semakin  meningkat. 
Menurut  data  yang  dilansir  dalam  republika.co.id  (2013),  Badan  PBB  beserta  bad an  ahli 
memperhitungkan  bahwa  pada  tahun  2011  jumlah  lelaki  dewasa  LSL  (lelaki  yang 
berhubungan seks  dengan lelaki)  di  Indonesia  diperkirakan  telah  melebihi    3.000.000  orang. 
Padahal  berdasark an  data  tahun  2009  yan g  dilansir  dari  kompas.com  (2011)    jumlah  LSL 
diperkirakan  hanya  sekitar  800.000  orang.  Dimana  jumlah  LSL  di  ibukota DKI  Jakarta  juga 
diperkirakan  telah  mencapai  60.000  hin gga  8 0.000  orang.  Walaupun  demikian,  Tono 
Permana  Muhamad  sebagai  koordinator  sekretariat  nasional  jaringan  Gay,  Waria dan  Lelaki 
yang berhubungan seks dengan lelaki (GWL-INA)  menyatakan b ahwa jumlah gay atau  waria 
justru  lebih  kecil  apabila  dibandingkan  dengan  data  tersebut  (kompas.com,  2011).  Hal  ini 
dikarenakan  konsep  LSL  dapat  meliputi  gay  dan  non-gay  yang  diidentifikasi  sebagai    laki-
laki,  biseksual,  ataupun  seseorang  yang  berhubungan   seks  dengan  laki-laki  ( Lestari  dan 
Raharjo,  2014).  Kaum  g ay  umumnya  mengidentifikasi  diri  sebagai  orang  yang  berorientasi 
seksual dengan sesama jenis dan berpenampilan sebagai lelaki.  
Oetomo  (2006)  juga  menyatakan  bahwa berdasarkan  data  yan g  dilansir  dari  portal  gaya 
nusantara.com, jumlah k aum  gay  di  Indonesia sudah mencapai  20.000.000  orang.  Selain  itu, 
hasil  survei  Yayasan  Pelangi  Kasih  Nusantara  (YPKN)  juga  menunjukkan  bahwa  terdapat 
4.000 -  5.000 penyuk a sesama jenis  di Jakarta.  Berdasarkan pada ban yaknya  jumlah individu 
gay  serta  semakin  gencar nya gerakan  pendukung  hak kaum  gay, maka  tentunya  hal  ini dapat 
mulai  menggeser  nilai-nilai  yang  ada  di  dalam  masyarakat.  Melihat  situasi  yang  sedemikian 
rupa,  beberapa  pihak  ter kait berusaha  untuk  menunjukkan  dukungan  yang  amat  berarti  guna 
membangun  emansipasi  kaum  homoseksual  di  Indonesia.  Perwujudan  bentuk  dukungan  ini 
dapat  dilihat  dari  berdirinya  beragam  komunitas  bagi  kaum  LGBT (Lesbian, Gay,  Biseksual 
dan  Transgender)  yang  semakin  hari  semakin  ramai  diperbincangkan.  Hal  ini  dapat  dilihat 
dari  munculnya  keberadaan  komunitas  LGBT  yang  juga  merupakan  komunitas  bagi  kaum 
homoseksual di kota-kota besar, terutama di Jakarta.
Saat  ini  terdapat  komunitas  yan g  ditujukan  bagi  kaum  LGBT,  di  antaranya  terdapat
GWL-INA, Arus pelangi, Suara Kita, GAYa NUSANTARA serta berbagai komunitas lainnya 
(midjournal.com,  2014).  Selain  itu,  sebuah  kelompok  pendukung  kaum  gay  juga  didirikan 
dan  disebut  dengan  istilah  PLU  (People  Like  Us).  Dimana  p endukung  PLU  memfasilitasi 
sebuah  forum  bagi  kaum  gay  untuk  berbicara  mengenai  hiburan,  kesulitan  atau  isu-isu  yang 
terkait dengan dunia gay (Hefner, 2007).   
  
Dengan  ad anya  beragam  komunitas  yan g  didirikan,  maka  semakin  besar  kemungkinan 
bagi kaum gay untuk  mendapatkan sumber  dukungan  dari  orang  di sekitarnya. Hal ini secara 
tidak langsun g  dapat membuat para  individu gay merasa  bahwa semakin terdapat penerimaan 
dari  lingkun gan.  Memang  tidak  dapat  dipun gkiri  bahwa  masih  terdapat  sejumlah  penolakan 
terhadap  kaum  gay.  Namun,  dengan  demikian  semakin  berkembang  pula  komunitas  yang 
disediakan sebagai salah satu bentuk dukungan.  
Komunitas  yang  didirikan  bagi  kaum  LGBT  tidak  selalu  merupakan  komunitas  inklusif 
bagi  kaum  LGBT.  Berdasarkan  data  yang  dilansir  dari  midjournal.com  (2014),  organisasi 
suara  kita  juga  terdiri  atas  75%  LGBT  dan  25%  heteroseksual  yang  mendukung  gerakan 
perjuangan  hak-hak  keberagaman  seksual  dan  identitas  gender  di  Indonesia.  Hal  ini  juga 
dibuktikan  dengan  pengamatan  langsung  peneliti  pada  komunitas,  bahwa  tidak  semua 
anggota  ataupun  staff  k omunitas  hanya  merupakan  kaum  homoseksual.  Menurut  Rathus, 
Nevid,  dan  Rathus  (200 5)  homoseksual adalah  kecenderungan  u ntuk  tertarik  kepada  orang 
lain  dengan jenis  kelamin  yang  sama.  Hal  ini  juga  ditegaskan  oleh  Duff y  &  Atwater  (2005) 
yang  mengemukakan  bahwa  definisi gay mengacu  pada  kaum lelaki  yang    yang  mempunyai 
orientasi seksual terhadap jenis kelamin yan g sama. 
Pada  saat  ini  homoseksualitas  tidak  lagi  dianggap  sebagai  bentuk  abnormalitas  maupun 
sebagai suatu bentuk gangguan kejiwaan. Di Indonesia, hal  yang sama juga dilakukan melalui 
Pedoman  Penggolongan  dan  Diagnosis  Gangguan  Jiwa  (PPDGJ)  yang  dikeluarkan 
Departemen Kesehatan, yakni PPDGJ-III (1993) dan DSM V  yang telah menghapus kategori 
homoseksual  sebagai  bentuk  gangguan  kejiwaan.  Namun,  walaupun  demikian,  diskriminasi 
terhadap kelompok minoritas ini masih kerap terjadi di negeri ini.   
Kaum  gay  kerap  mengalami  diskriminasi.  Hal  ini  dapat  terlihat  dari  data  yang  dilansir 
dari  Indon esia.ucanews. com  (2013)  bahwa  sepanjang    tahun  2012,  terjadi  47  tindakan 
kekerasan  dan  diskriminasi  terhadap  kaum  LGBT,  dimana  salah  satu  dari  kaum  LGBT 
merupakan  kaum gay.  Hal ini tentun ya sangat  men yakitkan bagi  kaum  gay  dan  kaum  LGBT 
lainnya  yang  ber ada  di  Indonesia.  Hal  ini  sejalan  den gan  penelitian  yang  dilakukan 
Boellstorff  (dalam  Murray,  2009),  dimana  Boellstorff  mengemukakan  bahwa  terdapat 
perbedaan  yan g  cukup  signifikan  di  Indon esia,  dimana  keberadaan  kaum  heteroseksualitas 
diasumsikan  sebagai  perwujudan  dari  nilai  seksualitas  yang  bersifat  natural  serta  superior. 
Hal  ini  secara  tidak  langsung  menjadi  doron gan  bagi  kaum  mayoritas  untuk  memberikan 
pertentangan  terhadap  individu  yang  terlibat  hubungan  seksual  dengan  jenis  kelamin  yang 
sama. 
  
Tidak  adanya  pengakuan  dalam  kehidupan  bermasyarakat  juga  merupakan  perilaku 
diskriminatif. Media massa jarang membahas  isu-isu yang  penting untuk kaum gay, lesbi dan 
biseksual  (Oetomo,  2003).  Keberadaaan  serta  proses  sosialisasi  kaum  gay  di  tengah 
masyarakat  senantiasa  dihadapkan  den gan  norma,  nilai-nilai  serta  stereotip  yang  menetap  di 
dalam  masyarakat.  Kondisi  serta  situasi  yang  demikian  tentu  saja  mengundang  beragam 
reaksi serta berpotensi menghasilkan beragam jenis perlakuan dari lingkun gan sekitar.  
Merujuk dari berbagai pemaparan yang telah  disampaikan, dapat  diketahui  bahwa  masih 
terdapat  kontradiksi  antara  kaum  pro  dan  kaum  kontra.  Bagi  kalangan  masyarakat  yang 
kontra  dengan  hubungan  sesama  jenis,  seringkali  terdapat  unsur  penolakan  yang  dapat 
mengakibatkan ancaman  sosial bagi kaum gay. Kaum gay  kerap  kali men galami gay bullying 
baik  secara  verbal  maupun  non-verbal.  Penolakan  serta  kekerasan  terhadap  kaum  gay 
acapkali  terjadi  dalam  lingkungan  sosial,  dimana  kesemua  hal  ini  dapat  menyebabkan  rasa 
takut, cemas, serta penderitaan  yang amat sangat bagi k aum gay (Oetomo, 2003).   
Namun,  setiap   individu  pada  dasarnya  adalah  makhluk  sosial.  Hal  ini  berarti  manusia 
sangat  membutuhkan  ikatan  atau  hubungan  intim  dengan  individu  lainnya  di  dalam 
masyarakat.  Manusia  membutuhkan  social  support  dari  sesamanya,  yakni  berupa 
penghiburan,  perhatian,  serta  adan ya  penerimaan  atau  bantuan  dari  o rang  lain.  Bentuk 
penerimaan  atau  bantuan  dari  orang  lain  merupakan  perwujudan  dari  social  support.  Social 
support adalah suatu bentuk  keberadaan  atau  ketersediaan  orang lain  yang  dapat  diandalkan, 
menunjukkan  rasa  cinta  serta    kepedulian  terhadap  nilai  yang  dianut  oleh   individu (Sarason, 
Levine,  Basham  dan  Sarason, 1983).  Social support dapat  disebabk an oleh  faktor  tertentu,  di 
antaranya  adalah  adan ya  potensi  menerima  dukungan,  penyedia  dukungan    serta  adanya 
jaringan struktur sosial (Sarafino, 2006).  
Layaknya  makhluk  sosial  pada  umumnya,  kaum  gay  juga  memerlukan  social  support 
dari  masyarakat  sekitar.  Berger,  Weinberg  dan  Williams  (dalam  Porter,  1991)  menyatakan 
bahwa  social  support  merupakan  komponen penting  yan g  harus  dipenuhi  oleh   individu  gay 
atau lesbian untuk membangun  gambaran diri yang  positif.  Hal ini sejalan  dengan  pernyataan 
Schwarzer,  Knoll  dan  Rickmann  (2003)  yan g  mengemukakan  bahwa  terdapat  du a  fungsi 
dukungan  sosial  dalam  kaitannya  dengan  keseh atan  fisik  dan  psikologis    manusia,  yaitu 
fungsi  untuk  mencegah  timbulnya  efek  negatif  dari  peristiwa  yang  menekan  bagi  individu 
(buffer  effect)  dan  fungsi  untuk  membantu  meningkatkan  kesejahteraan  mental  dan  fisik 
individu (main effect). 
Efendi  dan  Makhfudli (2009)  juga berpendapat  bahwa  social  support  sangat  diperlukan 
oleh setiap  individu  di dalam  setiap  siklus  kehidupannya  serta  social  support  akan   semakin 
  
dibutuhkan  pada  saat  seseoran g  sedang  mengalami    masalah  atau  sedang  mengalami  masa 
sulit.  Kaum  gay  mengalami  masa  sulit,  dimana  individu  cenderung  mengalami  kesulitan 
untuk  menyingkap  orientasi  diri seksual  yang sebenarnya.  Hal  ini  sejalan dengan  pernyataan 
Ormsbee  (2010)  yang  mengemukakan  bahwa  pria  gay  cenderung  sulit  untuk  menerima 
dirinya  sendiri  serta  kesulitan  untuk  memahami  dirinya  sendiri  sebagai  bagian  dari 
homoseksual.  Seringkali  gay  merasakan  hal-hal  seperti  perasaan  bersalah,  perasaan  malu, 
kesepian, kesedihan bahkan memiliki  kecenderungan  untuk bunuh diri. Namun, individu gay 
percaya  bahwa  perasaan  negatif  yang  sedemikian  rupa  dapat  ditekan  melalui  afek  positif  di 
dalam diri (Ormsbee,2010).  
Afek  positif  di  dalam  diri  salah  satunya  dapat  ditimbulkan  melalui  self  acceptance. 
Hurlock  (1974)  men yatakan  bahwa  self  acceptance  adalah  kemampuan  dan  keinginan 
individu untuk hidup dengan segala k arakteristik yang ada di dalam diri. Barbra White (2012) 
juga  mengemukakan  bahwa    self  acceptance  akan  memberikan  kedamaian  dalam  diri 
individu.  Hal  ini  dikarenakan  self  acceptance  merupakan  saat  dimana  individu  secara 
emosional  menerima  arti  diri  yang  sebenarnya  secara  utuh  dan  berharga.  Hal  ini  berarti 
individu  terlepas dari  rasa  bersalah, rasa  malu  serta  rasa  rendah  diri karena  keterbatasan diri, 
serta  keb ebasan  dari  kecemasan  akan  adan ya  penilaian  dari  orang  lain  terhadap  keadaan 
dirinya. Self  acceptance  merupakan kemampuan  yang sudah  selayaknya  dipenuhi oleh setiap 
individu. Ormsbee (2010) juga menyatakan bahwa self acceptance dapat  meningkatkan suatu 
rasa keb anggaan diri pada gay (gay prid e).  
Miceli  (2005)  mengemukakan  bahwa  self  acceptance  merupakan  suatu  langkah  krusial 
yang  harus  dijalani  oleh  setiap  individu  homoseksual  agar  individu  tersebut  dapat  memiliki 
kehidupan  yang  relatif  umum  serta  dapat  ditolerir.  Miceli  (2005)  menambahkan  bahwa 
individu  homoseksual  harus  mampu  mencapai  serta  memenuhi  self  acceptance,  walaupun 
individu  berada  pada  lingkungan  masyarakat  yang  mun gkin  tidak  menerima  homoseksual 
melalui beragam pesan, struktur atau institusi tertentu.  
Tidak  adanya  penerimaan  masyarakat  terhadap  kaum  gay  secara  tidak  langsung  dapat 
memicu kaum gay untuk  menolak  serta mencemooh diri sendiri,  merasa orang  lain menjauhi 
dan  menghina  dirin ya serta  tidak percaya  pada perasaan  dan  sikapnya  sendiri. Pada tahap  ini 
biasanya  individu  mengalami  pertentangan  batin  akan  nilai-nilai  yang  terinternalisasi  di 
dalam diri dengan orientasi homoseksual yang dialami oleh individu yan g bersangkutan. Bagi 
individu  yang  memiliki  orientasi  homoseksual,  salah  satu  masa  sulit  yan g  akan  dialami  oleh
homoseksual  adalah  tahap  self  acceptance.  Kondisi  yang  demikian  dapat  menyebabkan 
individu  menyalahk an  diri  sendiri,  merasa  terkucilkan,  merasa  malu  serta  merasa  bersalah 
  
dalam  situasi  tertentu.  Gejala-gejala  tersebut  menurut  Hurlock  (1974)  merupakan  tanda 
rendahnya tingkat self acceptance. 
Merujuk  pada  Paul  dan  Frieden  (2008)  yang  meneliti  proses  integrasi  identitas  gay  dan 
self  acceptance  di  kalangan  pria  gay  .  Responden  penelitian  menjelaskan  bahwa  homofobia 
masyarakat dan heterosexism  sebagai "hambatan  yang ku at"  untuk  self acceptance.  Paul  dan 
Frieden  (2008)  juga  berpendapat  bahwa  validasi  serta  penerimaan  dari  orang  lain  sebagai 
suatu  dukungan  harus  dapat  dirasakan  oleh  individu  yang  bersangkutan  guna  membantu 
individu dalam proses self acceptance. 
Kondisi  yan g  demikian  juga  terlihat  dari  hasil  wawancara  peneliti  terhadap  tiga 
responden  pada  tanggal  21  Maret  2014.  Dalam  hasil  wawancara  tersebut,  ditemukan  bahwa 
kaum  gay  seringkali  merasakan  adan ya  pertentangan  dalam  diri,  dimana  kaum  gay  merasa 
yakin  b ahwa  lingkungan  di  sekitar  tidak  mungkin  menerima  diri  mereka  yang  memiliki 
keterbatasan.  Hal  ini  dirasa  demikian  akibat  adanya  beragam  hal  yang  dilihat  serta  didengar 
dari  67%  responden  di  dalam  masyarakat  sekitar.  Berdasarkan  penutur an  para  responden, 
dapat  dinyatakan  bahwa  responden  seringkali  tidak  ingin  berinteraksi  d engan  orang  lain 
karena responden memiliki kecenderungan untuk  menolak  serta  men cemooh diri sendiri atau 
adanya  sikap  tidak  percaya  diri  yan g  muncul  akibat  pertentangan  nilai  agama  serta  norma 
masyarakat  yang  melekat  di  dalam  diri.  Hal  ini  membuat  kaum  gay  terkadang  menyalahkan 
diri,  merasa  bersalah  atau  berdosa  dalam  situasi  tertentu.  Namun,  dengan   adan ya  kehadiran  
pasangan,  teman  sejawat,  aktivis  serta  komunitas  baik  melalui  pertemuan  gathering  offline, 
maupun  sarana  komunitas  online  bagi  para  kaum  gay  untuk  berbagi  cerita  dan  keluh  kesah, 
pada  akhirnya  responden  mulai  dapat  merasakan  bahwa  ternyata  masih  terdapat  dukungan 
yang tersedia b agi dirinya.  
Berdasarkan  hasil  wawancara,  diketahui  pula  bahwa  para  responden  jauh  lebih  merasa 
senang  serta  nyaman  akan  adanya  jalinan  hubungan  pertemanan,  dimana  biasanya  teman 
dapat  menjadi  sarana  bagi  respond en  untuk  mencurahkan  isi  hati  serta  melakukan  aktivitas 
atau  kegiatan  secara  bersama.  Selain  itu,  para  responden  juga  menyatakan  bahwa  terdapat 
dukungan  yang  berasal  dari  saudara  kandung  yang  merupak an  bagian   dari  pihak  keluarga. 
Keberadaan  saudara  kandung  dirasa  lebih  dapat  memahami  kondisi  responden  apabila 
dibandingkan  den gan  orang  tua.  Bentuk  dukungan  yang  diberikan  dapat  berup a  dukungan 
emosional  serta  dukungan  penghargaan.  Duk ungan  emosional  dapat  berupa  ekspresi 
perhatian  serta  kepedulian  dari  orang  sekitar  dan  dukun gan  penghargaan  dapat  berupa 
persetujuan  akan  pendapat  responden  atau  penerimaan  dari  oran g  lain  yang  membuat 
individu merasa bahwa dirinya berharga. 
  
Dari  hasil  pengamatan  peneliti  pada  situs  gayindonesiaforum.com  (2 014),  terdapat 
beberapa  thread  diskusi  mengenai  self  acceptance.  Hal  ini  ditinjau  dari  beberapa  topik 
diskusi  forum  yang  mengacu  pada  pembahasan  self  acceptance 
kaum  gay.  Menurut 
penuturan  X,  salah  satu  anggota  dalam  situs  online  tersebut,  self  acceptance  sebagai 
seseorang dengan orientasi  seksual yang berbeda dari norma masyar akat  merupakan suatu  hal 
yang  dianggap sulit.  X  mengemukakan  bahwa setelah X mulai  terbuk a pada beberapa teman 
dan  X  merasa  bahwa  ada  oran g-orang  yang  dapat  menerima  serta  mendukung  dirin ya,  pada 
akhirnya  X  dapat  menerima  dirinya  den gan  lebih  baik.  Dengan  melihat  berbagai  kondisi 
diatas,  dapat  diketahui  bahwa  persepsi  individu  sangat  berperan  dalam  setiap  ketersediaan 
social  support.  Apabila  individu  yang  bersan gk utan  tidak  mempersepsikan  bahwa  dirinya 
menerima  dukungan,  maka  ketersediaan  social  support  bagi  individu  tersebut  tidak  akan 
memiliki  arti  serta  dampak  bagi  kehidupannya.  Persepsi  terhadap  social  support  yang 
dirasakan oleh individu diperkirakan dapat membantu meningkatkan self acceptance. 
Self  acceptance  tidak  semata-mata  dapat 
diwujudkan  hanya  dengan  adanya  dukungan 
dari  lingkungan  sosial.  Salah  satu  hal  yang  paling  penting  dari  ketersediaan  social  support 
bagi individu adalah bagaimana persepsi individu  yang bersangkutan dalam menerima segala 
bentuk dukungan yang tersedia bagi individu tersebut, terutama dalam segi  kepuasan individu 
terhadap  dukungan  yang  tersedia.  (Sarason,  Pierce  dan  Sarason,  dalam  Daena,  2004). 
Perceived  social  support  menurut  Sarason  et.al.,  (1983)  mencakup  dua  hal,  yaitu  perceived 
social  support  berdasarkan  pada  ketersediaan  sejumlah  orang  yang  dapat  diandalkan  ketika 
individu  yang b ersangkutan sedang  membutuhkan dukungan serta  tingkat  kepuasan  terhadap 
dukungan  yan g  tersedia  bagi  individu  yan g  bersangkutan.  Rogers  (dalam  Sari,  2013)  juga 
mengemukakan bahwa jika  individu merasa bahwa dirinya  diterima secara  positif  oleh  orang 
lain, maka individu yang bersangkutan cenderung mengembangkan sikap p ositif terhadap diri 
sendiri dan lebih menerima diri sendiri. 
Terdapat  penelitian  yan g  mengindikasikan  bahwa  mayoritas  lesbian,  gay,  biseksual  pria 
dan  wanita  baru  men yadari  orientasi  seksual  pada  masa  remaja  atau  di  awal  umur  20  tahun 
(Makadon,  et.al., 2008).  Taylor,  Peplau  dan Sears  (2006) juga men gemukakan bahwa  banyak 
kaum  homoseksual  yang  belum  melakukan  coming  out  hingga  masa  dewasa  tengah  (middle 
adulthood).  Hal  tersebut  dapat  menyebabkan  terhambatnya  beberapa  peristiwa  krusial  yang 
seharusnya  terjadi pada  tahapan  perkembangan  tersebut.  Beberapa  gay  maupun lesbian  yang 
berada  pada  usia  dewasa  tengah  seringkali  baru  membuka  diri  untuk  pertama  kalinya  dan 
baru  membangun  suatu  hubungan  antar  pasangan.  Selain  itu  banyak  dari  individu 
homoseksual  dalam  kisaran  usia  dewasa  tengah  masih  memiliki  konflik  dengan  orang  tua, 
  
anggota  keluarga  maupun  teman.  Dimana  hal  ini  terkait  dengan  penyembunyian  identitas 
homoseksual.  
Taylor,  Peplau  dan  Sears  (2006)  juga  mengemukakan  bahwa  kaum  gay  yang  belum 
mengalami  coming  out sampai usia  dewasa  akhir  pada akhirnya  memiliki  pencarian  identitas
diri  yang  tertunda,  perasaan  bersalah,  kerahasiaan,  terikat  pernikahan  h eteroseksual  serta 
mengalami  konflik dengan  kedua  belah  pihak (b oth  sexes).  Kesemua  hal  ini  yang  mendasari 
pentingnya  bagi  individu  atau  kaum  gay  dewasa 
muda  untuk  mengembangkan  self 
acceptance.  Secara  kontras,  individu  yang  berhasil  menerima  diri  serta  secara  utuh  di  usia 
kehidupan yang lebih awal cenderung memiliki kehidupan yang lebih baik.  
Dari  fenomena  yang  ada,  telah  diketahui  bahwa  jumlah  keberadaan  gay  dapat  semakin 
meningkat.  Selain  itu,  isu  mengenai  gay  juga  semakin  kompleks  den gan  adanya  pro  dan 
kontra  dari  masyarakat.  Reaksi  masyarakat  dapat  menimbulkan  berbagai  hal  yang  dapat 
mempengaruhi  b eragam  social  support  yang  akan  diterima  oleh   kaum  gay.  Disamping  itu, 
dukungan  yang diterima oleh kaum gay  tentunya akan dilandasi  oleh persepsi masing-masing 
individu  gay  yang  bersangkutan.  Persepsi  k aum  gay  terhadap  social  support  yang 
diterimanya  dapat dipandang melalui  dua aspek, baik dari aspek ketersediaan sejumlah orang 
yang  dianggap  dapat  memberikan  dukungan  maupun  persepsi  kepuasan  terhadap  dukungan 
yang  telah  tersedia.  Selain itu,  diketahui  juga  bahwa  self acceptance  sangat penting  bagi  gay 
usia  dewasa  muda.  Oleh  karena  itu,  peneliti  ingin  mengetahui  hubungan  antara  perceived 
social support dan self acceptance pada gay dewasa muda.  
1.2  Rumusan Permasalahan
Untuk 
memudahkan  penelitian,  maka p erlu  dirumuskan  masalah  apa  yang menjadi  fokus 
penelitian.  Berdasarkan  fenomena  yang  telah  dipaparkan,  pertanyaan  penelitian  dapat 
dirumuskan sebagai berikut : 
1.  Apakah  terdapat  hubungan  antara  perceived  social  support  (numb er)  dan  self acceptance 
pada gay dewasa mud a? 
2.  Apakah  terdapat  hubungan  antara  perceived  social  support  (satisfaction)  dan  self 
acceptance pada gay dewasa muda? 
1.3  Tujuan Penelitian 
Tujuan  dari  dilakukannya penelitian  ini adalah  untuk  melihat hubungan  antara  perceived 
social  support  (number)  dan  self  acceptance,  serta  perceived  social  support        (satisfaction)
dan self acceptance pada gay dewasa muda.