BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Penelitian
Kimono  adalah  pakaian  adat  Jepang  yang  secara  turun-temurun  digunakan
sejak  Jepang  berada  dalam  zaman  Jomon  dan  zaman  Yayoi  (660  SM  –  552SM) 
hingga masa kini, sehingga kimono menjadi pakaian nasional Jepang.  
Kata  ‘kimono’  berasal dari kata  ki  ( ) dari ( )  yang  berarti memakai  dan 
kata  mono  ( )  yang artinya  adalah  barang.  Arti  harafiah dari kimono ad alah sesuatu 
yang  dipakai  atau  pakaian.  Menurut  Nihon  Kokugo  Daijiten  6  atau  Kamus  Besar 
Jepang – Jepang, definisi makna kata kimono adalah sebagai b erikut : 
  
Terjemahan: 
Istilah umum untuk sesu atu yan g dipakai di badan. Baju. Pakaian.  
Pakaian  tradisional  Jepang.  Pakaian  khas  Jepang.  Dikatakan  berlawanan 
dengan pakaian khas Barat.  
Ketika  di  zaman  Jomon  dan  Yayoi  (660  SM-552  SM),  saat  sejarah  tertulis 
Jepang  masih  kabur,  menurut  para  arkeologis  bahwa  sekitar  tahun  300  SM  Jepang 
menggunakan  serat  kayu  dan  sayuran  untuk  membuat  kain.  Kimono  tersebut  masih 
berbentuk  terusan  yang  sederhana, namun memiliki hiasan tali yang  diikat  (belt two-
piece garments). Hal tersebut dapat dilihat pada haniwa (patung tan ah liat). 
Menurut  Gishiwajinden  (1994),  kimono  untuk  laki-laki  memang  sangatlah 
sederhana,  hanya  sehelai  kain  yang  diselempangkan  secara  horizontal  pada  badan 
seperti  pakaian  pendeta  Buddha,  dan  sehelai  kain  yang  dililitkan  di  kepala. 
Sedangkan pakaian wanita  disebut  kantoi ( )  yang berupa sehelai kain yan g  di 
tengah-tengahnya  dibuat  lubang  untuk  memasukkan  kepala  dan  tali  yan g digunakan 
sebagai  pengikat  di  bagian  pinggang.  Masih menurut  catatan  Gishiw ajinden  (1994), 
kaisar  wanita  bernama  Himiko  dari  Yamataikoku  selalu  mengen akan  pakaian  kantoi 
  
berwarna  putih.  Pakaian  para  rak yat  biasa  terbuat  dari  serat  rami,  sedangkan  orang 
yang memiliki kedudukan di kekaisaran terbuat dari kain sutera. 
Kimono  mengalami  perubahan  bentuk  dan  motif  seiring  dengan  perubahan
zaman  Negara  Jepang.  Seperti  pada  periode  Heian  (785-  1185)  mempunyai 
ketertarikan  yang besar  dalam bidang pakaian,  sehingga kimono  yang paling terkenal 
pada masa itu adalah kimono yang terdiri dari 12 lapis atau disebut jyuuni-hitoe, yang 
masing-masing lapisan lebih besar dan ringan dibanding lapisan seb elumnya. 
Pada zaman Kamakura  (1185- 1333 ), 
para b angsawan  memilih jenis  pakaian 
orang  awam  yang  praktis  dan  lebih  nyaman.  Para  wanita  b angsawan  membuang 
semua  lapisan  jyuuni-hitoe  yang  merepotkan,  serta  ‘len gan  kimono  lebar’  (osode) 
lalu  mengadaptasi  kosode  (kimono  dengan  lebar  lengan  yang  lebih  pendek  dari 
osode)  dan  hakama  (celana  panjang  yang  tergerai),  yang  merupakan  pakaian  dalam 
bagi  wanita  bangsawan  di  Kyoto  dan  juga  pakaian  luar  bagi  rakyat  jelata.  Kimono 
jenis  ini  dianggap  pakaian  wanita  paling  formal  selama  berabad-abad,  yaitu  hingga 
periode  Edo  (1866).  Setelah  itu  Jepang  mulai  memasuki  zaman  Meiji  dan  mulai 
mengalami  modernisasi  dari  pengaruh  budaya  luar.  Pakaian  kimono  pun  menjadi 
jarang dikenakan sebagai pakaian seh ari- hari karena dian ggap tidak praktis.
Meskipun  semakin sedikit masyarakat Jepang yang men genakan  kimono pada 
zaman  sekarang,  tetapi  masyarakat  Jepang  tetap  ingin  melestarikan  kimo no  sebagai 
pakaian  tradisional  mereka.  Hal  tersebut  juga  dijelaskan  oleh  Satomi  Ogawa  (2014) 
bahwa  seirin g  d en gan   berkemban gnya  zaman,  sek arang  in i  kimono  hanya  di 
kenak an  pada saat  upacara, h ar i b esar,  dan  acara pentin g lainnya.  Seperti upacara 
pernikahan   atau  kekkon shiki  ( ),  upacara  har i  kedewasaan  atau  seijinshiki 
( ) dan  upacara un tuk  mer ayakan p ertumbuh an  an ak  saat  berusia  3,  5 dan  7 
tahu n.  
Penulis  memiliki  ketertarikan  untuk  memahami  lebih  lanjut  tentang  kimono, 
karena  ada  ban yak  variasi  kimono,  yang  digunakan  dengan  kondisi  dan  syarat 
berbeda.  Mulai  dari  uchikake,  furisode,  houmongi,  dan  lain  sebagainya.  Namun,
penulis ingin  lebih  secara  spesifik  memahami  kimono  jenis  kurotomesode  ( ). 
Karena  penulis  melihat  kimono  yang  dipakai  oleh  keluarga  di  dalam  video  upacara 
pernikahan  Onoe  kikunosuke,  yaitu  pemain  kabuki  dan  drama  Jepang  dengan 
Namino  Yoko  adalah  kimono  berwarna  hitam.  Dan  hal  itu  sangat  berbeda  jauh  dari 
latar  belakang  budaya  penulis,  dimana  diharuskan  menggunakan  pakaian  yang 
  
berwarna  cerah,  seperti  warna  merah,  untuk  menghadiri  sebuah  acara  pernikahan. 
Terutama bila pengantin adalah sanak saudara sendiri atau keluarga inti.  
Sedangkan  warna hitam  sering  dianggap  sebagai  warna  yang  melambangkan 
kesedihan  (Sedarlah  :  2001).  Ditambahkan  den gan  pendapat  dari  John  Gage  (2001) 
bahwa warna hitam meru pakan warna kejahatan dan dusta. Tetapi justru unsur warna 
itulah  yan g  namp ak  jelas  pada  pakaian  keluarga  atau  kerabat  dekat  dari  kedua 
mempelai  di  acara  upacara  perikahan  ala  Jepang.  Maka  dari  situ,  penulis  semakin 
tertarik  untuk  membahas  adanya  makna  lain  dari  warna  hitam  p ada  kurotomesode 
tersebut secara sudut pandang masyarakat Jepang.  
1.1.1   Kimono Tomesode ( )
Tomesode  adalah kimono yang dianggap paling formal (Satomi Ogawa: 2014).
Jika  diartikan  secara  harafiah  kata  tome  itu  berasal  dari  kanji tomeru  ( )  yan g 
artinya  mengaitkan  atau  mengunci  dan  kata  sode  ( )  yang  artin ya  lengan  baju.
Maka  tomesode  adalah  kimono  dengan  lengan  pendek.  Karena  berasal  dari  tradisi 
wanita  yang sudah menikah untuk  memperpendek lengan kimono jenis furisode yang 
dikenakannya semasa gadis (Tamura : 2011). 
Tomesode  memiliki  dua  jenis,  yaitu  kurotomesod e ( )  dan  irotomesode
( ).  Sesuai  dengan  makna  kata  kuro  ( )  yang  berarti  hitam  maka  kimono 
kurotomesode adalah kimono tomesode  yang berwarna hitam. Sedangkan makna kata
iro  ( )  yang  berarti  warna,  maka  irotomesode  adalah  kimono  tomesode  yan g
memiliki warna cerah atau selain warna hitam. Menurut urutan tingkat formalitasnya, 
kimono kurotomesode merupakan pakaian paling  formal  setara dengan  Gaun Malam 
pada pakaian Barat (Tamura : 2011). 
Masih  menurut  pendapat  Tamura  (2011)  bahwa  kurotomesode  h anya 
dikenakan  ketika  menghadiri  pernikahan  sanak  keluarga  atau  dikenakan  oleh 
matchmaker yang telah berperan menjodohkan kedua mempelai, d an dikenakan  pada 
upacara  yang  san gat  resmi.  Kurotomesode  memiliki  dasar  warna  hitam  tanpa  motif 
tenun.  Corak  pertanda  keberuntungan  seperti burung jenjang atau seruni berada  pada 
bagian  bawah  kimono.  Posisi  corak  kain  disesuaikan  dengan  usia  pemakai,  semakin 
berumur  pemakain ya,  corak  kain  makin  diletakkan  di  bawah. Lambang 
keluarga berjumlah  lima  buah,  antara lain,  ada satu di bagian  punggung, sepasan g  di
  
bagian  belakang  len gan,  dan  sepasang  di  bagian  dada  bagian  atas  (Mila 
Karmila:2010).   
Berb eda  halnya  dengan  irotomesode,  kimono  ini  tidak  selalu  harus  dihiasi 
lima  buah  lambang  kelu arga.  Sesuai  formalitas  acara  yang  ingin  dihadiri  pemakai, 
irotomesode  cukup  dilengkapi  tiga  buah  lambang  k eluar ga,  antara  lain  adalah  ada 
satu  di  bagian  punggung,  sepasang  di  bagian  belakang  lengan  atau  cukup  satu  di 
bagian  punggung.  Irotomesode  dikenak an  oleh  wanita  yang  sudah  berumur  tetapi 
belum menikah sebagai  pakaian formal  sewaktu  diundang  ke pesta pernikahan sanak 
keluarga,  pesta  dan  upacara  resmi.  Kain  untuk  irotomesode  bisa  berupa  kain 
sutra  ”keras”  tanpa  motif  tenun  atau  kain  krep  dengan  motif  tenun 
seperti monisho, rinzu, dan shusuji (Mila Karmila :2010).
1.1.2  Asal Usul Kimono Tomesode
Sejak  periode  Edo  (1804-1829  tahun),  wanita  yang  telah  berusia  delapan 
belas  tahun  atau  wanita  yang  telah  menikah  akan  memotong  lengan  p anjang  pada 
kimono  mereka.  Dan  kimono  yang  telah  dipoton g  tersebut  dianggap  kimono  formal.
Kimono  Tomesode  adalah untuk  mewakili  para wanita  yang sudah  menikah. Setelah 
di era Meiji,  tomesode dipakai untuk menghadiri acara formal, seperti acara syukuran 
atau pernikahan (Soseki : 2012). 
Selain  itu,  masih  menurut  Soseki  (2012),  dengan  motif  yang  ada,  kimono 
memiliki  2  level  warna.  Antara  lain  adalah  warna  hitam  yang  dianggap  atas  atau u e 
( )  dan  warna  lainn ya  dinggap  warna  bawah  atau  shita  ( ).  Proses  pencelupan 
tersebut  dianggap  sebagai  kisah  lahirnya  kata  "kimono  resmi",  dan  mulai 
menggeneralisasi sebagai kimono atau  gaun pertama perempuan menikah.  
1.1.3  Ciri Khas atau Bagian dari Tomesode 
Kimono  memiliki  banyak  jenis  yang  disesuaikan  dengan  acara  yang  akan
dihadiri  oleh  pemakainya.   Selain  itu,  setiap  kimono  memiliki  ciri  khas  yang 
membedakan  dari  setiap  jenisnya,  seperti  kimono  furisode  yang  merupakan  kimono 
paling formal untuk wanita muda yan g belum menikah.  Bahan  berwarna-warni cerah 
dengan  motif  mencolok  di  seluruh  bagian  kain  dan  memiliki  ciri  khas  yaitu  bagian 
lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah (Mila Karmila :2010).  
  
Demikian  juga  pada  kimono  kurotomesode,  menurut  Tamura  (2012)  bahwa 
kimono yang dianggap paling formal ini memiliki lima ciri khas antara lain , adalah:
1.  Memiliki  lima  kamon  (  simbol keluarga ),  yaitu  dua kamon  di bagian 
depan kimono, dan tiga di sisi belakang kimono.  
2.  Berwarn a  dasar  hitam,  karena  secara  garis  besar  warna  hitam 
dianggap  warna  termegah dan simbol  dari formalitas  bagi  masyarakat 
Jepang. Dan mengandung kata kuro ( ) yang maknanya hitam. 
3.  Memiliki  lengan  yang  pendek  dan  tidak  menjuntai  ke  bawah,  karena 
merupakan  budaya  masyarakat  sejak  zaman  Edo,  yaitu  wanita  yang 
sudah  menikah akan memotong  lengan panjang pada kimono furisode. 
Sehingga,  kimono  kurotomesode  memiliki  lengan  pendek  dan  lebih 
kecil. 
4.  Pada bagian bawah kimono sekitar kaki (suso) terdapat motif yang 
indah. 
5.     Menggunakan obi atau sabuk khas Jepang  yang mengandung unsur 
warna  emas atau silver.  
1.1.4  Warna 
Warna adalah bahasa universal visual  yang paling umum dihadapi sehari-hari. 
Warna  juga  merupakan  sebuah  area  yang  sering  difokuskan  dalam  bidang  desain, 
seni,  filosofi,  dan   psikologi.  Warna  memiliki  efek  psikologi,  seperti  menciptakan 
suasana gairah, atau sebaliknya membuat kita depresi dan melemahk an kita.  
Budaya bisa sangat berbeda antar negara. Menurut Soemardjan dan Soemardi, 
“Kebudayaan adalah sarana  hasil  karya,  rasa,  dan  cipta  masyarakat”.  Demikian  juga 
makna  warna  pada  setiap  negara  memiliki  perspektifn ya  masin g-masing  sesuai 
dengan  karya,  rasa,  dan  cipta  masyarak atnya.  Begitu  juga  negara  Jepang,  menurut 
Sarah  dalam  (Togufu:2013)  bahwa  sejak  prasejarah  hingga  kini,  masyarakat  Jepang 
mempertahankan  koleksi  tradisional  warna  sendiri  yang  disebut  dentouiro
Masih  menurut  Sarah  dalam  (Togufu:2013),  variasi  dalam  perspektif  warna 
tersebut  dipengaruhi  beberapa  hal,  antar a  lain  adalah  pengaruh  letak  geografi,  
peristiwa  budaya  internal, dan  interaksi  dengan  budaya  luar.  Pengaruh  letak  geografi 
  
kenyataann ya merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam bagaimana kita 
berinteraksi dengan dan  memahami dunia di sekitar kita.  
Dalam kasus warna, sekelompok orang yang hidup di padang  pasir pasti akan 
melihat  warna  hijau sangat  berbeda dari  kelompok  yang tinggal di  lahan  hutan  yang 
subur, seperti orang Jepang. Geografi juga  berkaitan  dengan warna yang menentukan 
sumber  daya  yang  tersedia  untuk  orang-orang.  Di  Jepang,  hal  ini  sangat  jelas  nama 
warna  tradisional  sering  berkaitan  dengan  tanaman  dan  hewan,  terutama  yang 
digunak an  untuk  membuat  pigmen  dan  pewarna.   Seperti  warna  merah  jingga  yang 
dinamakan  iro  akane  (merah),  karena  warna  tersebut  diperoleh  dari  akar  tanaman 
yang  disebut  rumput  akane.  Contoh  lain,  mungkin  lebih  akrab  ad alah  iro  azuki 
(coklat kemerahan), atau warna kacang azuki.   
Pengaruh  dari 
peristiwa  budaya  internal  dapat  dilihat  dari  sistem  warna 
tradisional  Jepang  di  tahun  603,  ketika  Pangeran  Shotoko  membuat  ketentuan  dua 
belas  tingkat  cap  dan   peringkat  sistem  di  Jepang.  Dalam  sistem  ini,  penggunaan 
warna  tersebut  dikenal  sebagai  kinjiki  ( )  yang  maknan ya  terlarang.  Sehingga 
hanya  pejabat  pemerintah  tertinggi  saja  yang  berwenang  untuk  mengenakan  jubah 
warna tersebut. Warna-warna itu dijelaskan pada b agan di bawah ini :  
Gambar 1.1 Sistem Warna Tradisional Jepang  
  
1.1.5  Warna Hitam
Warna hitam  sering  dianggap sebagai  warna  yang melambangkan kesedihan, 
kejahatan,  dan  kedustaan  menurut  John  Gage  (2001).  Demikian  h alnya  di  negara 
Indonesia, warna  hitam sering dianggap melambangkan  suram dan kedukaan. Hal  ini 
dapat  dilihat  pada  budaya  masyarakat  yang  menggunak an  p akaian  b erwarna  hitam 
ketika suasana berduka.  
Namun,  di  negara  Jepang  dan  China  warna  hitam  memiliki  makna  yang 
berbeda.  Di  negara  China  warna  hitam  melambangkan  keagungan,  kesetaraan, 
keadilan  dan  kesungguhan.  Dalam  drama  tradisional  China,  aktor  yang  wajahnya 
dicat  hitam  selalu  memainkan  karakter  yang  benar  dan  adil.  Biasanya  berperan 
sebagai hakim (Aliyah Fatiyah dalam Tempo :2014). 
Sedangkan  di  dalam  masyarakat  Jepang,  keindahan  warna  hitam  telah 
dipahami  dalam  waktu  yang lama. Hal tersebut  dijelaskan  dari kutipan  yang  diambil 
pada Urayasu Public Library (2007)  yang mengatakan sebagai berikut : 
Terjemahan : 
Seperti  pada  tinta  lukisan  dan  bokuseki,  keindahan  warna  hitam  telah 
dipahami dalam waktu yang lama di Jepang. Dalam komunitas Buddha, hitam 
juga  merupakan  warna  dari  pakaian  seoran g  pastor  dan  sebagai  warn a  dari 
properti.  
Maka  penulis  men yimpulkan  bahwa  warna  hitam  dalam  masyarakat  Jepang 
memiliki nilai perspektif  yang b aik.  Yang berb eda  dari  perspektif makna  hitam  pada 
masyarakat Western.  
1.1.6  Konsep Goshiki Daruma
Di  Jepang  boneka Daruma  dahulu  memang  hanya  memiliki  satu  warna  saja, 
yaitu  warna  merah.  Kemudian  boneka  Daruma  dibuat  dengan  lima  warna,  yaitu 
warna  hijau,  kuning,  merah,  putih,  dan  hitam.  Sejak  abad  ke-17  boneka  Daruma 
dengan lima warna ini dijual.  
  
Lima  warna  yang  digunakan  pada  boneka  Daruma  berasal  dari  filosofi 
Buddha  yang  disebut  dengan  Goshiki.  Hal  ini  sesuai  dengan  The  Great  Buddhist 
Dictionary (
),  dalam  Buddhanet (2002)  bahwa  dapat dipahami 
lima  warna  dalam  Daruma,  yaitu  :  warna  hijau,  kuning,  merah,  putih,  dan  hitam. 
Warna-warna  tersebut  berhubungan  dengan  the  Five  Skandhas  (Goshiki ),  the 
Five  wisdoms  atau  Lima  Pengharapan  (Gochi )  sebagai  ekspresi  dari  berbagai
macam ajaran agama Buddha. 
1.2     Permasalahan / Isu Pokok
Untuk  skripsi  ini,  penelitian  dimulai  dari  permasalahan  yang  sudah 
teridentifikasi  dan  dirumuskan.  Permasalahannya  adalah  warna  h itam  pada 
kurotomesode  atau  kimono  berwarna  hitam  yang  dikenakan  untuk  menghadiri  pesta 
pernikahan  sanak  saudara.  Dengan  mencari  makna  melalui  teori  semiotika.  Peneliti 
ingin lebih memahami filosofi warna hitam dalam budaya masyarakat Jepang. 
Berd asarkan  permasalahan  ini,  tujuan  penulis  adalah  ingin  mencari  dan 
memahami  hubungan korelasi antara makna warna hitam  pada  kurotomesode dengan 
konsep warna Goshiki Daruma. 
1.3  Formulasi masalah
Formulasi  dalam  skripsi  ini  adalah  apa  makna  warna  hitam  dalam 
kurotomesode,  dilihat  dan  dianalisis  dari  segi  budaya  masyarakat  Jepang,  konsep 
pernikahan  Jepang,  serta  dihubungkan  den gan  makna  hitam  dalam  konsep  warna 
dalam agama  Buddha, yaitu Goshiki . 
1.4      Ruang Lingkup Permasalahan
Ruang  lingkup  permasalahan  yang  penulis  teliti  di  dalam  penulisan  skripsi 
ini  akan  dibatasi  pada  analisis  makna  semiotika  warna  hitam  pada  kimon o 
kurotomesode  pada  acara  pernikahan  Jepang.  Di  dalam  video  acara  pernikahan  ala 
agama Shinto, penulis dapat dengan jelas mengamati kimono kurotomesode.  Setelah 
menganalisis makna  warna  hitam,  penulis  akan  menganalisis  lebih  lanjut  hubungan 
warna hitam tersebut dari segi konsep Go shiki  Darum a.
  
1.5  Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan  penulisan  skripsi  ini  adalah  agar  p enu lis,   mah asiswa,  serta 
masyarakat  yang  tertar ik  d engan  bu daya  Jep ang  dapat  leb ih   mengetahui  tentang 
kimono  kurotomesode  d an  memahami  makna  semiotika  ko no tasi  s er ta  f iloso fi 
yan g  terkan dun g dibalik warna pada kimo no tersebut.
Manfaat  skripsi  ini  adalah  untuk  menjadi  ilmu  pen getahuan  bagi  mahasiswa 
dan  masyarakat  yang  tertarik  untuk  memahami  men genai  kimono,  khususnya 
kurotomesode  secara  lebih  mend alam  serta  memah ami  dengan  lebih  baik  dan 
mendetail  mengenai  makna  semiotika  yang  terkandun g  dibalik  warn a  hitam  yang 
digunakan pada kimono kurotomesode itu sendiri.
1.6   Tinjauan Pustaka
Demi  kelancaran 
penelitian  kali  ini,  penulis  mencari  r eferensi  penelitian 
terdahulu  untuk  menimba  ilmu  dan  informasi  penting.  Ada  beberapa  penelitian 
terdahulu  yang  digunakan  penulis  sebagai  inspir atif,  baik  dalam  segi  teoritis,  pola 
berpikir  untuk  menarik  kesimpulan,  dan  metode  penetian  yang  digunakan  beliau. 
Penelitian  terdahulu tersebut adalah  karya  tulis  Ajeng Adani Nur Fajrin (2009)  yang 
berjudul  Kajian  Mengenai  Otaku  Dalam  Anime  Genshiken  Melalui  Pendekatan 
Semiotika. 
Dalam  karya  tulis  tersebut,  beliau  menggunakan  teori  semiotika  Roland 
Barthes  yang  juga  penulis  gunakan  untuk  meneliti  penelitian  kali  ini.  Kemudian 
dengan  menggunakan  teori  semiotika  tersebut,  beliau  meneliti  tentang  bagaimana 
cara berpikir otaku dalam Anime Genshiken.  
Dari  karya  tulis  tersebut,  selain  penulis  mengambil  contoh  teori  semiotika 
yang  digunakan,  penulis  juga  mempelajari  bagaimanakah  pengaplikasian  teori 
tersebut ke dalam permasalahan yan g ada. Meskipun topik permasalah annya berb eda, 
namun  penulis  mengambil  logika  berpikir  beliau  dalam  pengaplikasian   teori  ke 
dalam sebuah permasalahan.  
Masih  untuk  memperjelas  pen ggunaan  teori  semiotika,  maka  penulis  juga 
menggunakan penelitian  terdahulu kar ya Valencia Felisa Halim (2011) dengan judul 
Analisis  Makna  Semiotika  Warna  pada  Kakiemon  dihubungkan  dengan  Konsep 
Warna Agama Buddha. 
Dalam  penelitian  tersebut,  beliau  juga  menggunakan  teori  semiotika  yang 
  
diaplikasikan  ke  dalam  permasalahan  mengenai  warna.  Antara  lain  adalah  warna 
merah,  kuning,  hijau,  dan  biru.  Beliau meneliti  juga  makna  yang  terkandung  dalam 
warna-warna tersebut  yang dihubungkan d engan konsep warna agama Buddha.   
Penelitian tersebut memiliki sedikit kesamaan dengan pen elitian yang sedang 
diteliti 
oleh  penulis  sendiri.  Namun  karena  objek   dan  warna  yang  diteliti  berbeda, 
maka hasil p enelitian dan makna  yang  dihasilkannya  pun akan berbeda.  Hanya  saja, 
dari  penelitian  di  atas,  penulis  dapat  semakin  detail  untuk  memahami  cara 
pengaplikasian teori semiotika ke dalam permasalahan yan g ada.   
Kemudian,  penulis  juga  menggunakan  penelitian  terdahulu  karya  Vina 
Andini  yang  berjudul  Analisa  Motif  Bangau  dan  Cemara  Pada  Furoshiki 
Dihubungkan dengan Agama Shinto Dalam Shizen (2011).  
Dalam penelitian tersebut, beliau menghubungkan sebuah motif dengan salah 
satu agama di Jepang, dengan tujuan mencari makna motif tersebut. Dan dari situlah, 
penulis semakin terinspirasi  untuk mencari makna warna hitam  dalam kurotomesode 
yang  dihubun gkan  ke  dalam  konsep  warna  agama  Buddha,  yaitu  konsep  warna 
Goshiki.