BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Kimono adalah pakaian adat Jepang yang secara turun-temurun digunakan
sejak Jepang berada dalam zaman Jomon dan zaman Yayoi (660 SM 552SM)
hingga masa kini, sehingga kimono menjadi pakaian nasional Jepang.
Kata kimono berasal dari kata ki ( ) dari ( ) yang berarti memakai dan
kata mono ( ) yang artinya adalah barang. Arti harafiah dari kimono ad alah sesuatu
yang dipakai atau pakaian. Menurut Nihon Kokugo Daijiten 6 atau Kamus Besar
Jepang Jepang, definisi makna kata kimono adalah sebagai b erikut :
Terjemahan:
Istilah umum untuk sesu atu yan g dipakai di badan. Baju. Pakaian.
Pakaian tradisional Jepang. Pakaian khas Jepang. Dikatakan berlawanan
dengan pakaian khas Barat.
Ketika di zaman Jomon dan Yayoi (660 SM-552 SM), saat sejarah tertulis
Jepang masih kabur, menurut para arkeologis bahwa sekitar tahun 300 SM Jepang
menggunakan serat kayu dan sayuran untuk membuat kain. Kimono tersebut masih
berbentuk terusan yang sederhana, namun memiliki hiasan tali yang diikat (belt two-
piece garments). Hal tersebut dapat dilihat pada haniwa (patung tan ah liat).
Menurut Gishiwajinden (1994), kimono untuk laki-laki memang sangatlah
sederhana, hanya sehelai kain yang diselempangkan secara horizontal pada badan
seperti pakaian pendeta Buddha, dan sehelai kain yang dililitkan di kepala.
Sedangkan pakaian wanita disebut kantoi ( ) yang berupa sehelai kain yan g di
tengah-tengahnya dibuat lubang untuk memasukkan kepala dan tali yan g digunakan
sebagai pengikat di bagian pinggang. Masih menurut catatan Gishiw ajinden (1994),
kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku selalu mengen akan pakaian kantoi
|
berwarna putih. Pakaian para rak yat biasa terbuat dari serat rami, sedangkan orang
yang memiliki kedudukan di kekaisaran terbuat dari kain sutera.
Kimono mengalami perubahan bentuk dan motif seiring dengan perubahan
zaman Negara Jepang. Seperti pada periode Heian (785- 1185) mempunyai
ketertarikan yang besar dalam bidang pakaian, sehingga kimono yang paling terkenal
pada masa itu adalah kimono yang terdiri dari 12 lapis atau disebut jyuuni-hitoe, yang
masing-masing lapisan lebih besar dan ringan dibanding lapisan seb elumnya.
Pada zaman Kamakura (1185- 1333 ),
para b angsawan memilih jenis pakaian
orang awam yang praktis dan lebih nyaman. Para wanita b angsawan membuang
semua lapisan jyuuni-hitoe yang merepotkan, serta len gan kimono lebar (osode)
lalu mengadaptasi kosode (kimono dengan lebar lengan yang lebih pendek dari
osode) dan hakama (celana panjang yang tergerai), yang merupakan pakaian dalam
bagi wanita bangsawan di Kyoto dan juga pakaian luar bagi rakyat jelata. Kimono
jenis ini dianggap pakaian wanita paling formal selama berabad-abad, yaitu hingga
periode Edo (1866). Setelah itu Jepang mulai memasuki zaman Meiji dan mulai
mengalami modernisasi dari pengaruh budaya luar. Pakaian kimono pun menjadi
jarang dikenakan sebagai pakaian seh ari- hari karena dian ggap tidak praktis.
Meskipun semakin sedikit masyarakat Jepang yang men genakan kimono pada
zaman sekarang, tetapi masyarakat Jepang tetap ingin melestarikan kimo no sebagai
pakaian tradisional mereka. Hal tersebut juga dijelaskan oleh Satomi Ogawa (2014)
bahwa seirin g d en gan berkemban gnya zaman, sek arang in i kimono hanya di
kenak an pada saat upacara, h ar i b esar, dan acara pentin g lainnya. Seperti upacara
pernikahan atau kekkon shiki ( ), upacara har i kedewasaan atau seijinshiki
( ) dan upacara un tuk mer ayakan p ertumbuh an an ak saat berusia 3, 5 dan 7
tahu n.
Penulis memiliki ketertarikan untuk memahami lebih lanjut tentang kimono,
karena ada ban yak variasi kimono, yang digunakan dengan kondisi dan syarat
berbeda. Mulai dari uchikake, furisode, houmongi, dan lain sebagainya. Namun,
penulis ingin lebih secara spesifik memahami kimono jenis kurotomesode ( ).
Karena penulis melihat kimono yang dipakai oleh keluarga di dalam video upacara
pernikahan Onoe kikunosuke, yaitu pemain kabuki dan drama Jepang dengan
Namino Yoko adalah kimono berwarna hitam. Dan hal itu sangat berbeda jauh dari
latar belakang budaya penulis, dimana diharuskan menggunakan pakaian yang
|
berwarna cerah, seperti warna merah, untuk menghadiri sebuah acara pernikahan.
Terutama bila pengantin adalah sanak saudara sendiri atau keluarga inti.
Sedangkan warna hitam sering dianggap sebagai warna yang melambangkan
kesedihan (Sedarlah : 2001). Ditambahkan den gan pendapat dari John Gage (2001)
bahwa warna hitam meru pakan warna kejahatan dan dusta. Tetapi justru unsur warna
itulah yan g namp ak jelas pada pakaian keluarga atau kerabat dekat dari kedua
mempelai di acara upacara perikahan ala Jepang. Maka dari situ, penulis semakin
tertarik untuk membahas adanya makna lain dari warna hitam p ada kurotomesode
tersebut secara sudut pandang masyarakat Jepang.
1.1.1 Kimono Tomesode ( )
Tomesode adalah kimono yang dianggap paling formal (Satomi Ogawa: 2014).
Jika diartikan secara harafiah kata tome itu berasal dari kanji tomeru ( ) yan g
artinya mengaitkan atau mengunci dan kata sode ( ) yang artin ya lengan baju.
Maka tomesode adalah kimono dengan lengan pendek. Karena berasal dari tradisi
wanita yang sudah menikah untuk memperpendek lengan kimono jenis furisode yang
dikenakannya semasa gadis (Tamura : 2011).
Tomesode memiliki dua jenis, yaitu kurotomesod e ( ) dan irotomesode
( ). Sesuai dengan makna kata kuro ( ) yang berarti hitam maka kimono
kurotomesode adalah kimono tomesode yang berwarna hitam. Sedangkan makna kata
iro ( ) yang berarti warna, maka irotomesode adalah kimono tomesode yan g
memiliki warna cerah atau selain warna hitam. Menurut urutan tingkat formalitasnya,
kimono kurotomesode merupakan pakaian paling formal setara dengan Gaun Malam
pada pakaian Barat (Tamura : 2011).
Masih menurut pendapat Tamura (2011) bahwa kurotomesode h anya
dikenakan ketika menghadiri pernikahan sanak keluarga atau dikenakan oleh
matchmaker yang telah berperan menjodohkan kedua mempelai, d an dikenakan pada
upacara yang san gat resmi. Kurotomesode memiliki dasar warna hitam tanpa motif
tenun. Corak pertanda keberuntungan seperti burung jenjang atau seruni berada pada
bagian bawah kimono. Posisi corak kain disesuaikan dengan usia pemakai, semakin
berumur pemakain ya, corak kain makin diletakkan di bawah. Lambang
keluarga berjumlah lima buah, antara lain, ada satu di bagian punggung, sepasan g di
|
bagian belakang len gan, dan sepasang di bagian dada bagian atas (Mila
Karmila:2010).
Berb eda halnya dengan irotomesode, kimono ini tidak selalu harus dihiasi
lima buah lambang kelu arga. Sesuai formalitas acara yang ingin dihadiri pemakai,
irotomesode cukup dilengkapi tiga buah lambang k eluar ga, antara lain adalah ada
satu di bagian punggung, sepasang di bagian belakang lengan atau cukup satu di
bagian punggung. Irotomesode dikenak an oleh wanita yang sudah berumur tetapi
belum menikah sebagai pakaian formal sewaktu diundang ke pesta pernikahan sanak
keluarga, pesta dan upacara resmi. Kain untuk irotomesode bisa berupa kain
sutra keras tanpa motif tenun atau kain krep dengan motif tenun
seperti monisho, rinzu, dan shusuji (Mila Karmila :2010).
1.1.2 Asal Usul Kimono Tomesode
Sejak periode Edo (1804-1829 tahun), wanita yang telah berusia delapan
belas tahun atau wanita yang telah menikah akan memotong lengan p anjang pada
kimono mereka. Dan kimono yang telah dipoton g tersebut dianggap kimono formal.
Kimono Tomesode adalah untuk mewakili para wanita yang sudah menikah. Setelah
di era Meiji, tomesode dipakai untuk menghadiri acara formal, seperti acara syukuran
atau pernikahan (Soseki : 2012).
Selain itu, masih menurut Soseki (2012), dengan motif yang ada, kimono
memiliki 2 level warna. Antara lain adalah warna hitam yang dianggap atas atau u e
( ) dan warna lainn ya dinggap warna bawah atau shita ( ). Proses pencelupan
tersebut dianggap sebagai kisah lahirnya kata "kimono resmi", dan mulai
menggeneralisasi sebagai kimono atau gaun pertama perempuan menikah.
1.1.3 Ciri Khas atau Bagian dari Tomesode
Kimono memiliki banyak jenis yang disesuaikan dengan acara yang akan
dihadiri oleh pemakainya. Selain itu, setiap kimono memiliki ciri khas yang
membedakan dari setiap jenisnya, seperti kimono furisode yang merupakan kimono
paling formal untuk wanita muda yan g belum menikah. Bahan berwarna-warni cerah
dengan motif mencolok di seluruh bagian kain dan memiliki ciri khas yaitu bagian
lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah (Mila Karmila :2010).
|
Demikian juga pada kimono kurotomesode, menurut Tamura (2012) bahwa
kimono yang dianggap paling formal ini memiliki lima ciri khas antara lain , adalah:
1. Memiliki lima kamon ( simbol keluarga ), yaitu dua kamon di bagian
depan kimono, dan tiga di sisi belakang kimono.
2. Berwarn a dasar hitam, karena secara garis besar warna hitam
dianggap warna termegah dan simbol dari formalitas bagi masyarakat
Jepang. Dan mengandung kata kuro ( ) yang maknanya hitam.
3. Memiliki lengan yang pendek dan tidak menjuntai ke bawah, karena
merupakan budaya masyarakat sejak zaman Edo, yaitu wanita yang
sudah menikah akan memotong lengan panjang pada kimono furisode.
Sehingga, kimono kurotomesode memiliki lengan pendek dan lebih
kecil.
4. Pada bagian bawah kimono sekitar kaki (suso) terdapat motif yang
indah.
5. Menggunakan obi atau sabuk khas Jepang yang mengandung unsur
warna emas atau silver.
1.1.4 Warna
Warna adalah bahasa universal visual yang paling umum dihadapi sehari-hari.
Warna juga merupakan sebuah area yang sering difokuskan dalam bidang desain,
seni, filosofi, dan psikologi. Warna memiliki efek psikologi, seperti menciptakan
suasana gairah, atau sebaliknya membuat kita depresi dan melemahk an kita.
Budaya bisa sangat berbeda antar negara. Menurut Soemardjan dan Soemardi,
Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Demikian juga
makna warna pada setiap negara memiliki perspektifn ya masin g-masing sesuai
dengan karya, rasa, dan cipta masyarak atnya. Begitu juga negara Jepang, menurut
Sarah dalam (Togufu:2013) bahwa sejak prasejarah hingga kini, masyarakat Jepang
mempertahankan koleksi tradisional warna sendiri yang disebut dentouiro
.
Masih menurut Sarah dalam (Togufu:2013), variasi dalam perspektif warna
tersebut dipengaruhi beberapa hal, antar a lain adalah pengaruh letak geografi,
peristiwa budaya internal, dan interaksi dengan budaya luar. Pengaruh letak geografi
|
![]() kenyataann ya merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam bagaimana kita
berinteraksi dengan dan memahami dunia di sekitar kita.
Dalam kasus warna, sekelompok orang yang hidup di padang pasir pasti akan
melihat warna hijau sangat berbeda dari kelompok yang tinggal di lahan hutan yang
subur, seperti orang Jepang. Geografi juga berkaitan dengan warna yang menentukan
sumber daya yang tersedia untuk orang-orang. Di Jepang, hal ini sangat jelas nama
warna tradisional sering berkaitan dengan tanaman dan hewan, terutama yang
digunak an untuk membuat pigmen dan pewarna. Seperti warna merah jingga yang
dinamakan iro akane (merah), karena warna tersebut diperoleh dari akar tanaman
yang disebut rumput akane. Contoh lain, mungkin lebih akrab ad alah iro azuki
(coklat kemerahan), atau warna kacang azuki.
Pengaruh dari
peristiwa budaya internal dapat dilihat dari sistem warna
tradisional Jepang di tahun 603, ketika Pangeran Shotoko membuat ketentuan dua
belas tingkat cap dan peringkat sistem di Jepang. Dalam sistem ini, penggunaan
warna tersebut dikenal sebagai kinjiki ( ) yang maknan ya terlarang. Sehingga
hanya pejabat pemerintah tertinggi saja yang berwenang untuk mengenakan jubah
warna tersebut. Warna-warna itu dijelaskan pada b agan di bawah ini :
Gambar 1.1 Sistem Warna Tradisional Jepang
|
1.1.5 Warna Hitam
Warna hitam sering dianggap sebagai warna yang melambangkan kesedihan,
kejahatan, dan kedustaan menurut John Gage (2001). Demikian h alnya di negara
Indonesia, warna hitam sering dianggap melambangkan suram dan kedukaan. Hal ini
dapat dilihat pada budaya masyarakat yang menggunak an p akaian b erwarna hitam
ketika suasana berduka.
Namun, di negara Jepang dan China warna hitam memiliki makna yang
berbeda. Di negara China warna hitam melambangkan keagungan, kesetaraan,
keadilan dan kesungguhan. Dalam drama tradisional China, aktor yang wajahnya
dicat hitam selalu memainkan karakter yang benar dan adil. Biasanya berperan
sebagai hakim (Aliyah Fatiyah dalam Tempo :2014).
Sedangkan di dalam masyarakat Jepang, keindahan warna hitam telah
dipahami dalam waktu yang lama. Hal tersebut dijelaskan dari kutipan yang diambil
pada Urayasu Public Library (2007) yang mengatakan sebagai berikut :
Terjemahan :
Seperti pada tinta lukisan dan bokuseki, keindahan warna hitam telah
dipahami dalam waktu yang lama di Jepang. Dalam komunitas Buddha, hitam
juga merupakan warna dari pakaian seoran g pastor dan sebagai warn a dari
properti.
Maka penulis men yimpulkan bahwa warna hitam dalam masyarakat Jepang
memiliki nilai perspektif yang b aik. Yang berb eda dari perspektif makna hitam pada
masyarakat Western.
1.1.6 Konsep Goshiki Daruma
Di Jepang boneka Daruma dahulu memang hanya memiliki satu warna saja,
yaitu warna merah. Kemudian boneka Daruma dibuat dengan lima warna, yaitu
warna hijau, kuning, merah, putih, dan hitam. Sejak abad ke-17 boneka Daruma
dengan lima warna ini dijual.
|
Lima warna yang digunakan pada boneka Daruma berasal dari filosofi
Buddha yang disebut dengan Goshiki. Hal ini sesuai dengan The Great Buddhist
Dictionary (
), dalam Buddhanet (2002) bahwa dapat dipahami
lima warna dalam Daruma, yaitu : warna hijau, kuning, merah, putih, dan hitam.
Warna-warna tersebut berhubungan dengan the Five Skandhas (Goshiki ), the
Five wisdoms atau Lima Pengharapan (Gochi ) sebagai ekspresi dari berbagai
macam ajaran agama Buddha.
1.2 Permasalahan / Isu Pokok
Untuk skripsi ini, penelitian dimulai dari permasalahan yang sudah
teridentifikasi dan dirumuskan. Permasalahannya adalah warna h itam pada
kurotomesode atau kimono berwarna hitam yang dikenakan untuk menghadiri pesta
pernikahan sanak saudara. Dengan mencari makna melalui teori semiotika. Peneliti
ingin lebih memahami filosofi warna hitam dalam budaya masyarakat Jepang.
Berd asarkan permasalahan ini, tujuan penulis adalah ingin mencari dan
memahami hubungan korelasi antara makna warna hitam pada kurotomesode dengan
konsep warna Goshiki Daruma.
1.3 Formulasi masalah
Formulasi dalam skripsi ini adalah apa makna warna hitam dalam
kurotomesode, dilihat dan dianalisis dari segi budaya masyarakat Jepang, konsep
pernikahan Jepang, serta dihubungkan den gan makna hitam dalam konsep warna
dalam agama Buddha, yaitu Goshiki .
1.4 Ruang Lingkup Permasalahan
Ruang lingkup permasalahan yang penulis teliti di dalam penulisan skripsi
ini akan dibatasi pada analisis makna semiotika warna hitam pada kimon o
kurotomesode pada acara pernikahan Jepang. Di dalam video acara pernikahan ala
agama Shinto, penulis dapat dengan jelas mengamati kimono kurotomesode. Setelah
menganalisis makna warna hitam, penulis akan menganalisis lebih lanjut hubungan
warna hitam tersebut dari segi konsep Go shiki Darum a.
|
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah agar p enu lis, mah asiswa, serta
masyarakat yang tertar ik d engan bu daya Jep ang dapat leb ih mengetahui tentang
kimono kurotomesode d an memahami makna semiotika ko no tasi s er ta f iloso fi
yan g terkan dun g dibalik warna pada kimo no tersebut.
Manfaat skripsi ini adalah untuk menjadi ilmu pen getahuan bagi mahasiswa
dan masyarakat yang tertarik untuk memahami men genai kimono, khususnya
kurotomesode secara lebih mend alam serta memah ami dengan lebih baik dan
mendetail mengenai makna semiotika yang terkandun g dibalik warn a hitam yang
digunakan pada kimono kurotomesode itu sendiri.
1.6 Tinjauan Pustaka
Demi kelancaran
penelitian kali ini, penulis mencari r eferensi penelitian
terdahulu untuk menimba ilmu dan informasi penting. Ada beberapa penelitian
terdahulu yang digunakan penulis sebagai inspir atif, baik dalam segi teoritis, pola
berpikir untuk menarik kesimpulan, dan metode penetian yang digunakan beliau.
Penelitian terdahulu tersebut adalah karya tulis Ajeng Adani Nur Fajrin (2009) yang
berjudul Kajian Mengenai Otaku Dalam Anime Genshiken Melalui Pendekatan
Semiotika.
Dalam karya tulis tersebut, beliau menggunakan teori semiotika Roland
Barthes yang juga penulis gunakan untuk meneliti penelitian kali ini. Kemudian
dengan menggunakan teori semiotika tersebut, beliau meneliti tentang bagaimana
cara berpikir otaku dalam Anime Genshiken.
Dari karya tulis tersebut, selain penulis mengambil contoh teori semiotika
yang digunakan, penulis juga mempelajari bagaimanakah pengaplikasian teori
tersebut ke dalam permasalahan yan g ada. Meskipun topik permasalah annya berb eda,
namun penulis mengambil logika berpikir beliau dalam pengaplikasian teori ke
dalam sebuah permasalahan.
Masih untuk memperjelas pen ggunaan teori semiotika, maka penulis juga
menggunakan penelitian terdahulu kar ya Valencia Felisa Halim (2011) dengan judul
Analisis Makna Semiotika Warna pada Kakiemon dihubungkan dengan Konsep
Warna Agama Buddha.
Dalam penelitian tersebut, beliau juga menggunakan teori semiotika yang
|
diaplikasikan ke dalam permasalahan mengenai warna. Antara lain adalah warna
merah, kuning, hijau, dan biru. Beliau meneliti juga makna yang terkandung dalam
warna-warna tersebut yang dihubungkan d engan konsep warna agama Buddha.
Penelitian tersebut memiliki sedikit kesamaan dengan pen elitian yang sedang
diteliti
oleh penulis sendiri. Namun karena objek dan warna yang diteliti berbeda,
maka hasil p enelitian dan makna yang dihasilkannya pun akan berbeda. Hanya saja,
dari penelitian di atas, penulis dapat semakin detail untuk memahami cara
pengaplikasian teori semiotika ke dalam permasalahan yan g ada.
Kemudian, penulis juga menggunakan penelitian terdahulu karya Vina
Andini yang berjudul Analisa Motif Bangau dan Cemara Pada Furoshiki
Dihubungkan dengan Agama Shinto Dalam Shizen (2011).
Dalam penelitian tersebut, beliau menghubungkan sebuah motif dengan salah
satu agama di Jepang, dengan tujuan mencari makna motif tersebut. Dan dari situlah,
penulis semakin terinspirasi untuk mencari makna warna hitam dalam kurotomesode
yang dihubun gkan ke dalam konsep warna agama Buddha, yaitu konsep warna
Goshiki.
|