BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Berkembangnya bisnis restoran cepat saji di Indonesia diwarnai dengan
muncul dan berkembangnya berbagai brand/merek dagang yang banyak dijumpai di
Indonesia.
Hampir
di
setiap
kota, terutama
di
kota-kota
besar
merek restoran baik
lokal
maupun
yang
datang
dari
luar
negeri sering
kita
lihat
dan
jumpai.
Seperti
Kentucky Fried Chicken (KFC), California Fried Chicken (CFC), Texas, Burger
King, Popeye dan sebagainya. Sedangkan brand/merek lokal seperti Es Teler 77,
Blenger Burger, Ayam Goreng Ny. Suharti, Ayam Goreng Pemuda dan masih banyak
lagi lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk berbisnis pada restoran cepat saji
ini cukup menjanjikan. Dengan populasi masyarakat
Indonesia yang cukup besar,
berkembangnya
teknologi,
membaiknya
perekonomian
secara
umum,
serta
budaya
dan gaya hidup masyarakatnya yang senantiasa berubah dan dinamis, maraknya jenis
dan wajah-wajah baru di dunia restoran cepat saji ini mempunyai peluang kesempatan
tersendiri.
Karjalainen dan Hut (2003) mengutip dari hasil penelitian Kathman di tahun
2002
bahwa
bagi
pelanggan-pelanggan,
brand/merek
menghasilkan
pilihan,
menyederhanakan keputusan untuk
membeli,
menawarkan jaminan kualitas dan
1
|
2
mengurangi risiko yang terlibat dalam
pembelian. Bagi perusahaan, untuk
mewujudkan pesan-pesan yang tepat yang dapat mendukung brand identity strategic
ke dalam elemen-elemen
desain
merupakan
masalah penting.
Hal
ini
mengartikan
bahwa pengenalan dan pengidentifikasian atas brand identity yang spesifik mengacu
pada desian produk. Dengan kata lain, keunikan desain brand yang spesifik adalah
isu utama untuk perusahaan yang dapat mempengaruhi berhasil atau tidaknya
penjualan produk mereka dan dalam penelitian Robinson di tahun 1995, disebutkan
bahwa orang-orang
Asia Timur
mempercayai corporate identity melebihi
individual
brand identity (Han dan Schmitt dalam Sutiono, 2005).
Bisnis
fast food adalah
menantang
dan
merupakan topik yang sangat sesuai
untuk penelitian brand
identity.
Model
organisasinya
mengkombinasikan corporate
branding dan individual branding dengan isu-isu tangible food dan service delivery.
Restoran fast
food
menyediakan
pengalaman
yang
tak
terlupakan,
khususnya bagi
pelanggan-pelanggan
muda,
menyertakan
rasa
gembira
yang
informal
bersama
dengan
output yang
berhubungan
dengan
perasaan
(bau, rasa) yang dihasilkan dari
eating establishment yang lebih tradisional (Witkowski dan Ma, 2003).
Pemahaman
mengenai corporate
identity
dijelaskan
oleh
Keller
(2005)
sebagai
pandangan
umum masyarakat
terhadap
organisasi
secara
keseluruhan.
Sedangkan brand identity djelaskan sebagai
hal
yang paling
diingat oleh konsumen
mengenai suatu produk.
Berdasarkan sumber dari salah satu restoran cepat saji ternama yang
ada di
Jakarta, didapat pernyataan bahwa trading area
yang baik dan selama
ini mereka
gunakan sebagai acuan di dalam pengembangan dan perluasan bisnisnya, bahwa jarak
|
3
antar cabang tidak boleh kurang dari 5 km, karena jika kurang dari jarak tersebut akan
terjadi overlap area pelanggan sehingga tidak akan menambah penjualan yang ada.
Dari penyataan di atas, dapat
disimpulkan bahwa
persaingan terjadi tidak hanya di
antara merek restoran yang berlainan, tetapi juga di antara sesama cabang pada merek
yang sama.
Dengan
persaingan
yang
semakin
tajam di
antara
penyaji
makanan
ini,
Witkowski dan Ma (2003) menjelaskan bahwa perusahaan dan brand nya perlu untuk
secara terus menerus menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar produk dan
layanan kepada customer.
Untuk
memelihara posisi
kompetitif,
mereka juga
perlu
untuk mengikutsertakan keuntungan eksperensial/experiential advantage, estetika dan
hal-hal yang berhubungan dengan perasaan.
Bagi merek-merek internasional, permasalahan merek/brand menjadi semakin
menantang tidak saja dikarenakan harus menyesuaikan dan menyeimbangkan elemen
dasar
dari
identitas
merek/brand identity
yang
terdiri
dari
(property,
product,
presentation dan publication) secara optimum dengan respon pelanggan lokal, namun
juga
memerlukan
penyesuaian
yang
tidak mengabaikan/mengorbankan keuntungan
yang
diperoleh
dari
global
image.
Hal
ini dipertegas
oleh
Cateora
dan
Graham
di
salah satu penelitiannya pada tahun 2002, yang menjelaskan bahwa para pemasar
internasional telah lama menyadari bahwa produk dan pelayanan harus sering
disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan konsumen yang bervariasi di negara
yang berbeda-beda. Tujuan manajemen pemasarannya adalah untuk menciptakan
kesan identity yang positif dalam pikiran dan ingatan konsumen lokal, sekalipun hal
ini
memerlukan beberapa perubahan
terhadap
ungkapan global
identity perusahaan.
|
4
Di sisi
lain,
perusahaan fast
food
global,
seperti
halnya
perusahaan
multi
nasional
lainnya,
menstandarisasikan
ungkapan
identity mereka
sebanyak
mungkin
untuk
mencapai economies of scale dalam pemasaran Witkowski dan Ma (2003).
Lebih lanjut, Karjalainen dan Hut (2003) menyampaikan bahwa bagi sebuah
perusahaan, mewujudkan pesan-pesan yang tepat dan mendukung brand identity
strategic
ke
dalam elemen-elemen
desain
merupakan
masalah
yang
penting,
karena
hal
ini
mengartikan
bahwa
pengenalan
dan
pengidentifikasian
atas
brand
identity
yang spesifik mengacu pada desain produk. Dengan kata lain, keunikan desain brand
yang spesifik, adalah isu yang penting untuk perusahaan yang dapat mempengaruhi
berhasil atau tidaknya penjualan produk mereka.
Dari
sudut
pandang
perusahaan,
pengkodean yang sukses tidak hanya mengharuskan pengetahuan perusahaan
mengenai
berbagai
fungsi
dan
tipologi
produk
yang
dipertanyakan
dalam rangka
menempatkan area perwakilan simbolis, tetapi
juga
(sering
dinyatakan
secara
bersamaan) kemampuan untuk menentukan apakah
sebuah
solusi
spesifik
sesuai
dengan brand.
Law,
Hui
dan
Zhao
(2004)
menjelaskan
bahwa
dalam lingkungan
yang
semakin
kompetitif,
perusahaan
harus
berorientasi
pada
pelanggan. Perusahaan
menggunakan sumber daya penting dalam
jumlah
besar
untuk
mengukur
dan
mengatur customer satisfaction bukan lagi merupakan hal yang mengejutkan. Untuk
meningkatkan kepuasan dan kesetiaan pelanggan, perusahaan
harus
memahami
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan konsumen dan repurchase
behavior, kemudian melakukan peningkatkan pada area kritis tersebut sehingga
perusahaan dapat memiliki pelanggan yang lebih terpuaskan dan setia.
|
5
Perilaku kesetiaan dan konstelasinya dengan future intention serta repurchase
behavior masih
menjadi
perdebatan
yang
sengit
di
antara
para
peneliti
dan
pelaku
dalam kegiatan
pemasaran.
Sebagian
menyatakan
bahwa
terdapat
keterkaitan
yang
telah teridentifikasi dengan jelas (seperti McDougall dan Levesque, 2000 dan masih
banyak peneliti lainnya). Sebagian besar lagi menolak pernyataan tersebut. Dengan
alasan bahwa, konsumen saat ini semakin manja dan pandai. Kepuasan mereka
bukanlah bentuk spesifik konsumsi
yang statis, tetapi berubah-ubah dan tidak selalu
diakhiri dengan kesetiaan konsumen/customer loyalty (Kotler, 2005).
Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa perusahaan-perusahaan yang
bergerak
di bidang fast food
pada
intinya
bukanlah sebuah
perusahaan
yang
murni
hanya
menjual
produk
makanan seperti
ayam goreng, burger,
kentang
goreng
dan
sejenisnya
serta
pelengkap
minuman soft
drink. Namun perusahaan tersebut tidak
terlepas dengan jasa yang melekat pada produk sebagaimana disebutkan di atas.
Layanan atau
jasa akan bergerak
menjadi garda depan pada semua
lapisan dan jenis
industri, pada dekade dan abad ke 21 ini (Zeithaml, Bitner dan Gremler, 2006).
Mengingat
betapa
sulitnya
menghindari persaingan
dan
tidak
ada
jalan
lain
bagi perusahaan manapun untuk bertindak selain menghadapi persaingan tersebut,
karenanya, penulis mengambil group field project yang mengangkat tema
menghadapi
persaingan
dengan
mengkombinasikan brand
identity
(sebagai
perwujudan
dari
produk
barang/good
product)
dan
experiential management untuk
melibatkan aspek jasa/layanan pada industri fast food di Indonesia.
|
6
I.2. Rumusan Permasalahan
Persaingan di industri fast food akan
menjadi
fokus pada group field project
kali ini, mengingat persaingan yang terjadi di dalamnya melibatkan persaingan antar
merek/brand maupun antar cabang pada merek/brand yang sama. Restoran cepat saji
McDonalds Indonesia
sebagai
perusahaan yang
akan
dipilih
untuk
dikaji
karena
perusahaan cepat saji Internasional yang masuk ke Indonesia pada tahun 1991 dan
telah
memiliki
sebanyak
130
store
restoran di
seluruh
Indonesia
ini
tidak
hanya
melibatkan sejumlah angka yang besar untuk berinvestasi namun juga terlibat dalam
persaingan perebutan konsumen dengan jumlah angka yang besar pula. Karena hal itu
pula maka merupakan tantangan tersendiri bagi perusahaan ini agar mampu
berkompetisi dan bersaing
untuk menjadi penguasa pasar/market leader dalam
industri fast food di Indonesia.
Penulis
melihat
dalam persaingan
ini,
brand
identity
dan
corporate identity
sebagai sebuah keharusan yang akan membawa
perusahaan McDonalds Indonesia
dalam keberhasilan
dalam persaingan
tersebut,
dimana
akhir
dari
perjalanan
persaingan ini
adalah
repurchase
intention
dan
pada
akhirnya
kesetiaan
konsumen/customer
loyalty.
Sedangkan long term profit
hanyalah sebagai efek
samping yang didapat dari tujuan utama dari pemenangan persaingan ini.
Sebagaimana dijelaskan oleh Witkowski dan Ma (2003) bahwa empat elemen
dari brand identity yaitu property,
product, presentation dan publication ini akan
dikombinasikan dengan manajemen yang berorientasi pada pengalaman atau
|
![]() 7
experiential
marketing. Sehingga
permasalahan
utama
dari group
field
project
ini
adalah:
Apakah
brand
identity yang
mengimplementasikan
experiential
marketing
akan meningkatkan kepuasan konsumen dan membawa konsumen untuk melakukan
pembelian berulang/repeat buying pada McDonalds Indonesia?
Bagaimana
bentuk
proyek
yang
bisa dibuat
dalam merealisasikan
implementasi experiential marketing?
I.3. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini memiliki tujuan dan
manfaat-manfaat
implikasi
yang
diharapkan di dapat dari hasil penelitian, berikut adalah tujuan penelitiannya.
I.3.1. Tujuan Penelitian
Apabila diperhatikan dari permasalahan yang disebutkan di atas, maka group field
project ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah brand identity dapat mempengaruhi kepuasan
konsumen dan dapat membuat konsumen untuk melakukan pembelian
berulang/repeat buying pada McDonalds Indonesia.
2.
Untuk
mengetahui
bentuk
proyek
yang
bisa
di
buat
dalam merealisasikan
implementasi experiential marketing.
|
![]() 8
I.3.2. Manfaat Penelitian
Sedangkan
hasil
dari group field
project ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat bagi McDonalds Indonesia, yaitu:
1. Sebuah salah satu alternatif dalam peningkatan pembentukan brand identity bagi
McDonalds Indonesia khususnya pada salah satu storenya di Jakarta.
2.
Pemberian usulan bentuk realisasi proyek
yang
mampu
mengimplementasikan
experiential
marketing.
Lengkap
beserta
estimasi investasi arus kas/cash
flow
projection dari proyek tersebut.
3. Keberhasilan dari proyek ini dapat menjadi sebuah studi banding bagi store-store
yang lain dalam menggagas alternatif dari pemenangan persaingan di industri fast
food di Indonesia.
I.4. Ruang Lingkup
McDonalds
di
Indonesia terkenal
dengan
sebutan McD adalah rangkaian
rumah makan siap saji terbesar di dunia. Hidangan utama di restoran-restoran
McDonald's adalah hamburger, namun mereka juga menyajikan minuman ringan,
kentang goreng, filet ayam dan hidangan-hidangan lokal yang disesuaikan dengan
tempat restoran itu berada.
Restoran McDonald's pertama didirikan pada tahun 1940 oleh dua bersaudara
Dick dan Mac McDonald, namun kemudian dibeli oleh Ray Kroc dan diperluas ke
seluruh dunia. Sampai pada tahun 2004, McDonald's memiliki 30.000 store di seluruh
|
9
dunia dengan jumlah pengunjung rata-rata 50.000.000 orang pengunjung per hari.
Lambang McDonald's adalah dua busur berwarna kuning yang biasanya dipajang di
luar rumah-rumah makan mereka dan dapat segera dikenali oleh masyarakat luas.
Restoran McDonald's pertama di Indonesia terletak di Sarinah, Jakarta dan
dibuka pada 23 Februari 1991. Berbeda dari kebanyakan restoran McDonald's di luar
negeri, McDonald's
juga
menjual
ayam goreng
dan
nasi
di
restoran-restorannya di
Indonesia.
Pemain lain di industri
fast
food adalah Kentucky Fried Chicken (KFC).
Selama ini, perintis bisnis restoran ayam goreng ala Amerika itu berhasil
menampilkan performa bak ayam jago yang tidak terkalahkan. KFC sudah memiliki
222 outlet yang tersebar dari Aceh hingga Papua.
Dengan
jaringan
sebanyak
itu,
Kolonel Sanders menguasai sekitar 32% sampai 40% pangsa pasar industri cepat saji.
Hingga
akhir
tahun
ini,
diperkirakan
angka penjualan
dari
perusahaannya
bakal
menembus
Rp
1,017
triliun.
Ini
berarti
laba
perusahaan
yang
sudah
berdiri
sejak
tahun 1979 itu naik 14,5% dibanding keuntungan di tahun 2004 (Hermawan, Ventura,
Saswitariski dan Hidayat, 2009).
Dalam Trust online, Hermawan et al. (2009) menulis bahwa perusahaan yang
sahamnya
banyak
dimiliki
oleh
Keluarga Gelael
dan
Liem
Sioe
Liong
itu
juga
optimistis bisa meraih laba bersih Rp 40 miliar pada tahun ini. Tahun silam, laba
bersih itu masih sebesar Rp 35,9 miliar. Namun, harapan si jagonya ayam tadi belum
tentu bakal sukses. Soalnya, pesaing di bisnis ini masih banyak. Pesaing utama KFC
tentu saja McDonald. Sejak masuk ke Indonesia pada tahun 1991, McDonald terus
berkembang. Kini, wajan-wajan penggorengan ayam McD ada di 130 store di seluruh
|
10
penjuru
negeri.
Dilaporkan, omzet
McDonald juga
sudah
melebihi
Rp
1
triliun
per
tahun. Prestasi ini diraih karena segmen McKids adalah kalangan anak-anak. Tak
terhitung
lagi
jumlah
anak-anak
yang
merayakan ulang tahunnya di McDonalds.
Restoran ini juga biasa menawarkan makanan dalam satu paket dengan hadiah
mainan,
seperti
Happy
Meal.
Selain
itu,
harga
jual
produk
McDonald
juga
lebih
murah ketimbang KFC.
Pesaing lainnya adalah PT Texas Chicken Indonesia yang masuk ke Indonesia
pada tahun 1983. Dengan 66 gerai yang dimilikinya, Texas Fried Chicken tak boleh
dianggap enteng. Lantas, ada pula restoran fast food lokal, California Fried Chicken,
yang memiliki 116 gerai di 18 kota besar di Indonesia.
Di kota-kota besar di Pulau Jawa juga ada 23 gerai restoran Wendys Fried
Chicken. Dalam tiga tahun ke depan, Eni Yuningsih, Marketing Manager PT Wendy
Citarasa,
menegaskan bakal ada 42 outlet Wendys, termasuk di luar Jawa. Semua
gerai
itu
akan
dimiliki
Wendy
sendiri.
Perusahaan
ini
memang
tidak
pernah
melakukan sub-franchise.
Keunggulan Wendys juga terletak pada induk perusahaan Wendy Citarasa,
yakni PT Sierad Produce, yang berbisnis pakan ternak dan peternakan ayam. Jadi,
paling tidak, Wendys tak akan pernah pusing memikirkan pasokan bahan bakunya.
Group field project ini akan memilih McDonalds Indonesia sebagai obyek
penelitian, mengingat bahwa karakteristik dari McDonalds yang cukup spesifik.
Main business perusahaan ini adalah burger akan tetapi, McDonalds Indonesia juga
menyajikan
menu pilihan ayam goreng. Sedangkan
untuk
menu ayam
goreng,
|
![]() 11
McDonalds
Indonesia
mampu bersaing dengan
nama
nama besar di pasar ayam
goreng seperti KFC.
Grafik
dibawah
ini
menunjukkan
pergerakan
penjualan
di tahun
2008
pada
lima store terbesar yang dimiliki oleh McDonalds Indonesia di daerah Jabodetabek.
Grafik 1
Penjualan pada 5 Store Terbesar di Jakarta dan Sekitarnya pada Tahun
2008
|
![]() 12
Sedangkan besarnya nilai investasi awal pada store di atas dapat dilihat pada
grafik berikut.
Grafik 2
Nilai Investasi Awal dan Rata-rata Penjualan pada Store Terbesar di Jakarta
dan Sekitarnya
Dari
store terbesar
tersebut, tampak
bahwa
store Kemang
memiliki
permasalahan
besar,
dimana
tingkat
penjualannya
yang
selain
fluktuatif
juga
memiliki
nilai
Return on
Investment (ROI)
yang
relatif rendah.
Nilai
ROI didapat
dari perbandingan antara nilai investasi dengan tingkat penjualan pada store tersebut.
Tabel dibawah ini menunjukkan ROI dari masing-masing store yang termasuk dalam
5
(lima)
store
besar
di
Jakarta
dan
sekitarnya,
dengan
membandingkan
di
antara
kelima store tersebut.
|
![]() 13
Grafik 3
Tebet
Kemang
Bintaro
BSD
P. Indah
31%
26%
28%
14%
18%
Nilai ROI di Lima Store Besar McDonald Indonesia di wilayah Jakarta dan
Sekitarnya Tahun 2008
Berdasarkan
kondisi
tersebut,
maka
group
field
project
ini
akan
memilih
store Kemang sebagai lokasi proyek dengan harapan bahwa proyek ini dapat menjadi
solusi bagi pengoptimalisasian dari store tersebut sehingga akan didapat angka ROI
yang lebih baik. Bahkan lebih jauh, proyek ini diharapkan bisa menjadi proyek
percontohan
bagi
aplikasi
experiential
marketing
yang
mendukung
brand
identity
dari McDonalds Indonesia.
|