![]() BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Business Model Canvas
Dalam membangun sebuah bisnis tentunya harus mengetahui terlebih dahulu
bagaimana model bisnis dari bisnis yang akan / sedang dijalankan. Untuk itu
dibutuhkan suatu alat / metode yang bisa digunakan untuk melihat seluruh aspek
kegiatan bisnis yang dilakukan dan nantinya bisa dijadikan dasar untuk
pengembangan bisnis ke depan.
Business Model Canvas berfungsi sebagai alat untuk membantu melihat seluruh
aspek kegiatan bisnis yang dilakukan. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009),
Business Model Canvas adalah menjelaskan bagaimana organisasi / perusahaan
dalam menciptakan, memberikan dan menangkap value (nilai). Jadi dengan adanya
Business Model Canvas, perusahaan bisa melakukan pemetaan value apa yang bisa
diberikan oleh produk atau servis yang dimiliki (Value Propositions), kepada siapa
value tersebut akan diberikan (Customer Segments), melalui apa value tersebut
diberikan (Channels), bagaimana berkomunikasi dengan customer (Customer
Relationships), apa yang dibutuhkan untuk menciptakan value tersebut (Key
Resources), bagaimana caranya menciptakan value tersebut (Key Activities), aktivitas
12
|
![]() 13
yang dilakukan dengan mitra usaha ( Key Partnerships), sumber pendapatan (Revenue
Streams), dan struktur biaya yang timbul (Cost Structure).
Gambar 3.1 Business Model Canvas
Sumber : Business Model Generation (2009)
2.1.1 Customer Segment
Customer merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu model bisnis.
Dengan adanya customer, perusahaan bisa menghasilkan keuntungan dan
berkembang. Untuk mendapatkan profit yang maksimal, perusahaan harus fokus
kepada kelompok customer tertentu / segmentasi pasar. Namun, perusahaan harus
hati hati dalam menentukan segmentasi pasar dikarenakan berkaitan dengan
|
![]() 14
strategi perusahaan dalam menghasilkan revenue dan sustainability perusahaan.
Jika salah dalam segmentasi pasar maka itu bisa mengakibatkan keuntungan yang
didapatkan tidak maksimal atau bahkan bisa menyebabkan perusahaan menjadi
tidak berkembang dan mengalami kerugian.
Menurut Kotler & Keller (2012), Customer Segment adalah kelompok
customer yang memiliki dan berbagi kebutuhan dan keinginan yang sama.
Sedangkan menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Customer Segment adalah
kelompok individu atau organisasi yang akan dilayani oleh perusahaan.
Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan Customer Segment menjadi
beberapa tipe yaitu :
Mass Market
Pada tipe mass market, tidak ada segmentasi / pengelompokan customer
tertentu yang akan dijadikan target konsumen. Oleh karena itu, value
propositions, distribution channels, dan customer relationships berlaku untuk
seluruh kelompok / tipe customer.
Niche Market
Pada tipe niche market, perusahaan fokus terhadap kelompok customer
yang memiliki kebutuhan tertentu. Oleh karena itu, value propositions,
distribution channels, dan customer relationships harus disesuaikan dengan
spesifikasi produk atau jasa yang dibutuhkan kelompok customer tertentu.
|
![]() 15
Segmented
Pada tipe segmented market, perusahaan melayani kelompok customer
yang memiliki sedikit perbedaan terhadap masalah dan kebutuhan. Contoh :
perusahaan mekatronika dan automation melayani industri mobil dan industri
peralatan rumah sakit.
Diversified
Pada tipe diversified market, perusahaan melayani 2 segmentasi pasar
yang unrelated (tidak berhubungan). Masing
masing segmentasi pasar
memiliki kebutuhan yang berbeda dengan lainnya. Contoh : forum jual beli
barang online dan penyedia SAAS (software as a service). 2 segmentasi
tersebut berbeda namun bisa sharing resources yang dimiliki.
Multi-sided Platforms
Pada tipe multi-sided platforms market, perusahaan melayani 2 atau lebih
segementasi pasar. Masing masing segmentasi pasar bersifat independent.
2.1.2 Value Propositions
Value Propositions adalah manfaat dari produk atau jasa yang ditawarkan
kepada segmen pasar yang dilayani. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009),
Value Propositions adalah produk dan jasa yang menciptakan value (nilai) bagi
|
![]() 16
segmen pasar tertentu. Value Propositions menjadi alasan bagi customer untuk
membeli produk atau jasa yang ditawarkan (willingness to pay).
Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), dalam menciptakan Value
Propositions, ada beberapa elemen yang perlu diperhatikan yaitu :
Newness
Value dari produk atau jasa yang ditawarkan belum pernah ditawarkan
oleh produk atau jasa lainnya dan tentunya value tersebut bisa memenuhi apa
yang menjadi kebutuhan customer.
Performance
Peningkatan performa dari produk atau jasa yang sudah ada ataupun yang
baru akan ditawarkan kepada customer merupakan salah satu value yang
menjadi pertimbangan customer dalam memilih suatu produk atau jasa.
Customization
Setiap segmen pasar memiliki kebutuhan yang berbeda beda.
Perusahaan harus bisa menyesuaikan produk atau jasa yang ditawarkan sesuai
dengan kebutuhan segmen pasar yang ditargetkan.
|
![]() 17
Getting the job done
Value dari produk atau jasa yang ditawarkan bisa mempermudah
customer dalam melakukan kegiatan / pekerjaan. Artinya produk atau jasa yang
ditawarkan bersifat reliable (bisa diandalkan) sehingga customer bisa fokus
kepada kegiatan / pekerjaannya tanpa harus memikirkan performa produk atau
jasa tersebut.
Design
Design dari produk atau jasa juga merupakan salah satu faktor
pertimbangan customer dalam memilih suatu produk atau jasa. Apakah design
produk atau jasa yang ditawarkan lebih superior dibandingkan dengan produk
atau jasa lainnya, kenyamanan saat pemakaian dan ukuran, merupakan
beberapa faktor yang termasuk dalam pertimbangan customer.
Brand
Brand adalah sebuah kombinasi dari nama, simbol dan design yang
bertujuan untuk menunjukkan identitas suatu produk atau jasa serta sebagai
pembeda antara produk dari penjual satu dengan lainnya (Kotler &
Keller,2012). Apabila perusahaan bisa membangun brand yang kuat dan
menciptakan brand
image yang bagus dimata customer. Implikasinya adalah
timbulnya brand loyalty dari customer sehingga bisa meningkatkan brand
|
![]() 18
equity dari perusahaan tersebut yang akhirnya berujung kepada meningkatnya
willingness to pay dari customer.
Price
Harga merupakan salah satu faktor pertimbangan customer dalam
pemilihan produk atau jasa. Bagi customer yang price-sensitive, harga
merupakan faktor terpenting dalam pemilihan produk. Bagi perusahaan
menawarkan produk atau jasa yang memiliki fitur yang sama dengan produk
atau jasa lainnya namun dengan harga yang lebih murah bisa meningkatkan
sales volume. Namun perlu diingat bahwa ada trade-off antara harga dan
kualitas dan juga penentuan harga berpengaruh kepada aspek lain di dalam
model bisnis.
Cost reduction
Produk atau jasa yang ditawarkan juga nantinya diharapkan bisa
mereduksi cost yang harus dikeluarkan customer untuk mendapatkan produk
atau jasa tersebut jika dibandingkan dengan produk atau jasa competitor.
Contoh : membeli baju di toko online tanpa harus mendatangi toko baju.
Risk reduction
Produk atau jasa yang ditawarkan juga diharapkan bisa mereduksi resiko
ketika atau setelah membeli produk atau jasa tersebut. Contoh : garansi produk.
|
![]() 19
Accessibility
Kemudahan bagi customer dalam hal mengakses produk atau jasa yang
ditawarkan.
Convenience / usability
Kenyamanan dan kemudahan dalam pengoperasian suatu produk juga
merupakan salah satu pertimbangan customer dalam memilih suatu produk.
2.1.3 Channels
Channels adalah sarana yang digunakan untuk menyampaikan value
propositions kepada customer segment yang dilayani. Menurut Osterwalder &
Pigneur (2009), Channels adalah bagaimana cara perusahaan berkomunikasi dan
menyampaikan value propositions kepada customer segmentnya. Osterwalder &
Pigneur (2009) mengelompokkan channels kedalam 2 tipe dan terdiri dari 5 fase
kegiatan.
Channels terbagi menjadi 5 fase yaitu :
1. Awareness
Pada fase ini, perusahaan melakukan kegiatan bagaimana cara untuk
meningkatkan awareness customer terhadap produk dan jasa yang ditawarkan
perusahaan.
|
20
2. Evaluation
Pada fase ini, perusahaan melakukan kegiatan bagaimana cara untuk
membantu customer dalam menilai value propositions yang ditawarkan.
3. Purchase
Pada fase ini, bagaimana perusahaan menyediakan akses bagi customer
untuk mendapatkan produk atau jasa yang ditawarkan.
4. Delivery
Pada fase ini, perusahaan melakukan kegiatan bagaimana cara untuk
menyampaikan value propositions kepada customer.
5. After Sales
Pada fase ini, bagaimana perusahaan menyediakan after sales service.
Channels terbagi menjadi 2 tipe yaitu :
1. Own Direct
Tipe ini artinya sar ana penyampaian value propositions kepada customers
dimiliki sendiri oleh perusahaan seperti Sales Forces, Web Sales, Own Stores.
2. Partner Indirect
|
![]() 21
Tipe ini artinya sar ana penyampaian value propositions kepada customers
tidak dimiliki sendiri oleh perusahaan melainkan dengan melakukan kerja sama
dengan pihak lain (partnership) seperti Partner Stores, Wholesaler.
2.1.4 Customer Relationships
Customer Relationships adalah bagaimana cara perusahaan menjalin ikatan
dengan pelanggannya. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Customer
Relationships adalah menjelaskan tipe relationship yang dibuat perusahaan untuk
segmen pasar tertentu.
Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan Customer Relationship
menjadi beberapa kategori, yaitu :
Personal assistance
Bentuk relationship dari tipe ini adalah human interaction. Customer bisa
langsung berkomunikasi dengan customer representative saat membeli produk
atau jasa.
Dedicated personal assistance
Bentuk relationship dari tipe ini mirip dengan personal assistance yaitu
human interaction. Namun yang membedakannya adalah pada tipe ini customer
representative khusus melayani satu pelanggan tertentu (individual client).
Contoh : nasabah bank prioritas.
|
![]() 22
Self service
Bentuk relationship dari tipe ini adalah pelayanan sendiri artinya
customer tidak dilayani oleh customer representative secara langsung.
Automated service
Bentuk relationship dari tipe ini mirip dengan self service namun
pelayanan yang diberikan menggunakan teknologi.
Communities
Bentuk relationship dari tipe ini adalah perusahaan memfasilitasi
hubungan antar pengguna produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan.
Fasilitas yang disediakan bisa berupa online atau offline yang bertujuan agar
sesama customer bisa bertukar pikiran dan perusahaan juga lebih bisa
memahami kebutuhan dari customer yang dilayani.
Co-creation
Bentuk relationship dari tipe ini adalah perusahaan melibatkan customers
untuk menciptakan value. Contoh : lomba design produk yang nantinya bisa
digunakan oleh perusahaan.
|
![]() 23
2.1.5 Revenue Streams
Revenue Streams adalah sumber pendapatan. Menurut Osterwalder &
Pigneur (2009), Revenue Streams adalah cash yang bisa dihasilkan perusahaan
dari setiap customer segmentnya.
Osterwalder & Pigneur (2009) menjelaskan beberapa cara dalam
menghasilkan revenue streams, yaitu :
Asset Sale
Revenue Stream yang diperoleh dari penjualan barang (physical product).
Usage Fee
Revenue Stream yang diperoleh dari jumlah penggunaan jasa / service
yang digunakan oleh customer.
Subscription Fees
Revenue Stream yang diperoleh dari biaya service yang kita berikan
kepada customer tertentu secara berkala.
Lending / Renting / Leasing
Revenue Stream yang diperoleh dari hasil memberikan hak eksklusif dari
asset yang dimiliki perusahaan kepada customer dalam periode waktu tertentu
dengan imbalan fee.
|
![]() 24
Licensing
Revenue Stream yang diperoleh dari hasil memberikan hak eksklusif dari
intellectual property dengan imbalan fee. Cara ini memungkinkan licensor
(pemberi hak lisensi) mendapatkan pendapatan tanpa harus menjual produk
atau jasa.
Brokerage Fees
Revenue Stream yang diperoleh dari hasil intermediation service (jasa
perantara) antara 2 pihak atau lebih.
Advertising
Revenue Stream yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan customers
untuk perusahaan atas jasa mengiklankan produk atau jasa.
2.1.6 Key Resources
Key Resources adalah sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk dapat
menciptakan value propositions. Menurut Thomson, Peteraf, Gamble, dan
Strickland (2014), Key Resources adalah aset kompetitif yang dimiliki dan
dikontrol oleh perusahaan. Thomson, Peteraf, Gamble, dan Strickland (2014)
membedakan resources menjadi 2 kategori yaitu :
1. Tangible Resources
|
![]() 25
Physical resources : tanah, pabrik, peralatan distribusi, fasilitas distribusi,
toko, peralatan manufaktur.
Financial resources : cash and cash equivalents, marketable securities,
dan aset keuangan lainnya.
Technological assets : Paten, HAKI, teknologi produksi, teknologi
inovasi, infrastruktur IT (satelit, server, workstations).
Organizational resources : sistem controlling, koordinasi antar divisi,
struktur pelaporan, organizational design.
2. Intangible Resources
Human assets and intellectual capital : pendidikan, pengalaman,
pengetahuan, dan talenta dari pekerja.
Brands, company image, and reputational assets : nama brand, ciri khas,
brand image, goodwill dan brand loyalty.
Relationships : alliances, joint venture, partnership dan jaringan
distribusi.
Company culture and incentive system : code of ethics, prinsip bisnis,
belief, sistem bonus dan motivasi.
2.1.7 Key Activities
Key Activities adalah kegiatan utama perusahaan untuk dapat menciptakan
value propositions. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Key Activities adalah
|
26
kegiatan yang paling penting yang harus dikerjakan perusahaan agar model bisnis
bisa berjalan dengan baik.
Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan Key Activities menjadi 3
yaitu :
1. Production
Aktivitas ini berkaitan dengan designing, making dan delivering produk
atau jasa.
2. Problem solving
Aktivitas ini berkaitan dengan solusi / pemecahan dari masalah yang
dihadapi customers.
3. Platform / Network
Model bisnis yang dirancang dimana platform sebagai key resources
didominasi oleh platform yang berkaitan dengan key activities.
|
27
2.1.8 Key Partnerships
Key Partnerships adalah sumber daya yang diperlukan oleh perusahaan
untuk menciptakan value propositions, tetapi tidak dimiliki oleh perusahaan. Key
partnerships yang dibutuhkan oleh perusahaan bisa didapatkan dengan car a
outsourcing, joint venture, joint operation, dan strategic alliance.
Menurut Osterwalder
& Pigneur (2009), Key Partnerships adalah
menjelaskan jaringan suppliers dan partners yang bisa membuat model bisnis
berjalan dengan baik. Osterwalder & Pigneur (2009) menjelaskan 3 alasan
melakukan kerja sama / partnership, yaitu :
1. Optimization and economic of scale
2. Reduction of risk and uncertainty
3. Acquisition of particular resources and activities
2.1.9 Cost Structure
Cost Structure adalah komposisi biaya untuk mengoperasikan perusahaan
untuk menciptakan value propositions yang diberikan kepada customers. Menurut
Osterwalder & Pigneur (2009), Cost Structure adalah semua biaya yang timbul
dalam mengoperasikan model bisnis.
Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan Cost Structure kedalam 2
kelas yaitu :
|
28
1. Cost driven
Perusahaan fokus kepada mereduksi / mengurangi cost tanpa memikirkan
kualitas yang terbaik. Tujuan perusahaan adalah mencari efisiensi biaya.
2. Value driven
Value driven merupakan kebalikan dari cost driven. Disini perusahaan
lebih fokus kepada kualitas dan performa dari produk atau jasa, tanpa
memikirkan biaya yang dikeluarkan.
Namun perlu diingat bahwa selalu ada tradeoff, artinya jika perusahaan
fokus untuk mengurangi cost sehingga harga jual murah pastinya kualitas yang
dihasilkan juga tidak bisa yang terbaik. Begitu pula sebaliknya.
Osterwalder & Pigneur (2009) juga menjelaskan beberapa karakteristik Cost
Structure yaitu :
1. Fixed costs
Fixed costs adalah biaya yang tetap yang tidak dipengaruhi volume
produksi.
2. Variable costs
|
![]() 29
Variable costs adalah biaya yang berubah ubah sesuai dengan volume
produksi.
Gambar 2.2 Fixed and Variable Costs
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011)
3. Economies of scale
Economies of scale adalah keuntungan biaya yang bisa didapatkan seiring
dengan pertambahan volume produksi. Dengan bertambahnya volume produksi
maka cost per unit menjadi turun.
|
![]() 30
Gambar 2.3 Economies of Scale
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011)
4. Economies of scope
Economies of scope adalah keuntungan biaya yang bisa didapatkan
seiring dengan pertambahan scope operasi / jenis produk. Dengan
bertambahnya scope operasi / jenis produk dengan sharing resources maka cost
per unit menjadi turun.
|
![]() 31
Gambar 2.4 Economies of scope
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011)
2.2 SWOT Analysis
Sebelum membuat strategi untuk pengembangan bisnis ke depan, penting bagi
perusahaan untuk mengetahui kondisi perusahaan secara keseluruhan. Hal ini penting
dilakukan oleh perusahaan agar tidak salah dalam merancang strategi yang nantinya
bisa berakibat negatif bagi perusahaan. Dalam mengevaluasi kondisi perusahaan
dibutuhkan suatu alat / metode yang benar benar bisa menggambarkan kondisi
perusahaan sebenarnya. Metode itu adalah SWOT Analysis, yang bisa dijadikan dasar
untuk perusahaan dalam merancang strategi pengembangan bisnis. SWOT Analysis
menjelaskan apa yang menjadi kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness)
perusahaan, dan juga menjelaskan tentang kesempatan (Opportunity) yang bisa
diambil oleh perusahaan agar lebih berkembang serta menjelaskan ancaman
|
![]() 32
ancaman (Threat) yang mungkin bisa sewaktu waktu mengganggu performa dari
perusahaan.
Thomson, Peteraf, Gamble, dan Strickland (2014) menjelaskan setiap bagian
dari SWOT Analysis, yaitu :
Strength
Strength adalah sesuatu yang dimiliki / dikerjakan perusahaan yang bisa
membuat perusahaan semakin kompetitif di dalam industri. Strength bergantung
kepada kapabilitas (capabilities) dan kualitas dari resources yang dimiliki oleh
perusahaan. Resources dan Capabilities bisa menghasilkan competitive advantage
(keunggulan kompetitif) bagi perusahaan. Namun competitive advantage tersebut
harus bersifat valuable, rare, inimitable, non-substitutable.
Weakness
Weakness adalah sesuatu yang tidak bisa dikerjakan dengan baik oleh
perusahaan sehingga menjadi disadvantage dalam persaingan di industri.
Kelemahan internal per usahaan bisa berkaitan dengan (1) skill / intellectual
capital tidak begitu baik, atau kekurangan expertise, (2) kurang efisiensi dari sisi
assets ataupun organizational, (3) keterbatasan kapabilitas dari setiap divisi / key
areas.
Opportunity
|
![]() 33
Perusahaan harus mengidentifikasi opportunity dan melakukan penilaian
apakah opportunity tersebut berpotensi menghasilkan profit bagi perusahaan
sebelum merancang strategi bisnis. Market opportunity yang paling relevan
dengan perusahaan adalah opportunity yang cocok dengan competitive assets yang
dimiliki perusahaan, menawarkan prospek pertumbuhan yang bagus dan tentunya
menguntungkan bagi perusahaan (profitability).
Threat
Threat merupakan faktor eksternal perusahaan yang perlu diawasi karena
bisa mengganggu performa bisnis perusahaan. Bentuk dari threat bisa berupa
potential new competitor, kebijakan pemerintah, kondisi politik, demogr afi dan
lainnya. Sehingga wajib hukumnya bagi perusahaan untuk mengidentifikasi
ancaman terhadap prospek bisnis perusahaan kedepan dan merancang strategic
actions untuk mengatasi atau meminimalisir impact dari ancaman tersebut.
Bagian terpenting dalam melakukan SWOT analysis bukan hanya melakukan
listing dari setiap bagian SWOT analysis, melainkan membuat rangkuman analisa
berdasarkan list dari masing masing bagian SWOT analysis yang menggambarkan
kondisi perusahaan secara keseluruhan, setelah itu merancang strategic actions
berdasarkan hasil rangkuman analisa SWOT untuk menyesuaikan strategi bisnis
perusahaan dengan strengths dan market opportunities yang dimiliki serta
|
34
memperbaiki weaknesses dan mengatasi atau meminimalisir dampak dari external
threats.
2.3 Porters 5 Forces Analysis
Karakteristik dan kekuatan dari competitive forces yang dihadapi setiap industri
berbeda beda. Setiap perusahaan wajib untuk mengetahui seberapa besar tekanan
kompetitif yang mereka hadapi, sehingga perusahaan bisa menyesuaikan strategi
bisnisnya untuk menghadapi tekanan tekanan tersebut dan bisa terus berkembang.
Untuk itu diperlukan sebuah tools / metode yang bisa digunakan untuk mendiagnosa /
menganalisa tekanan kompetitif yang dihadapi perusahaan.
Menurut buku Crafting and Executing Strategy, Thompson, Peteraf, Gamble &
Strickland (2014), tools yang paling powerful dan popular yang digunakan untuk
melakukan analisa terhadap principal competitive preassure pada pasar adalah five
forces model of competition yang dipopulerkan oleh Michael E. Porter. Five forces
model terdiri dari rivalry among competing sellers, potential new entrants,
competition from producers of subtitute products, supplier bargaining power, dan
buyers bargaining power.
|
![]() 35
Gambar 2.5 Five Forces Model
Sumber : Crafting and Executing Strategy (2014)
Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014) , ada tiga tahap dalam
mentukan kekuatan dari competitive preassure terhadap industri, yaitu :
Mengidentifikasi faktor faktor yang menjadi tekanan kompetitif pada setiap
bagian dari five forces model.
Mengevaluasi seberapa besar tekanan kompetitif yang berasal dari masing-
masing bagian five forces model (strong, moderate, atau weak).
Menentukan apakah hasil evaluasi kekuatan tekanan kompetitif dari five forces
model dapat mengantarkan pada keuntungan yang menjanjikan di industri
tersebut.
|
![]() 36
2.3.1 Rivalry among competing seller
Untuk mengetahui kuat atau lemahnya rivalry among competing seller
dalam industri bisa dilihat dari beberapa faktor. Menurut Thompson, Peteraf,
Gamble & Strickland (2014), faktor-faktor tersebut adalah :
Rivalry kuat ketika :
Permintaan dari buyer meningkat dengan lambat ataupun mengalami
penurunan.
Switching cost dari buyer yang rendah.
Produk yang dihasilkan di industri merupakan produk komoditas atau tidak
memliki perbedaan yang signifikan (weakly differentiated).
Perusahaan dalam industri tersebut memiliki fixed cost ataupun storage cost
yang tinggi sehingga cenderung terjadi price war untuk meningkatkan
turnover produk.
Banyak competitor dengan ukuran dan competitive strenght yang hampir
sama.
Rival menghadapi exit barrier yang tinggi.
Rivalry lemah ketika :
Permintaan dari buyer meningkat dengan cepat.
Switching cost dari buyer yang tinggi.
|
![]() 37
Produk dari industri sangat berbeda (strongly differentiated) dan loyalitas
customer yang tinggi.
Perusahaan dalam industri tersebut memiliki fixed cost ataupun storage cost
yang rendah.
Penjualan terkonsentarasi hanya kepada beberapa penjual besar (large
sellers).
Rival menghadapi exit barrier yang rendah.
2.3.2 Potential new entrants
Menurut Thompson, Peter af, Gamble & Strickland (2014), seberapa serius
ancaman dari new entrants ditentukan oleh 2 faktor, yaitu: pertama adalah
bagaimana reaksi yang diberikan perusahaan incumbents terhadap new entry,
kedua adalah apa yang menjadi entry barrier dan seberapa besar. Berikut beberapa
faktor yang bisa mengidentifikasikan kuat atau lemahnya tekanan kompetitif /
ancaman dari new entrants yaitu :
Entry threats kuat ketika :
Entry barrier yang rendah.
Existing industry members tidak ingin atau tidak bisa bersaing dengan
newcomers.
Banyaknya new entrants yang potential yang juga memiliki capabilities dan
resources yang bagus untuk menghadapi entry barrier yang tinggi.
|
![]() 38
Existing industry members ingin mengembangkan jangkauan pasar mereka
dengan masuk kedalam segemen produk yang berbeda ataupun masuk ke
area geografi yang belum terjamah oleh mereka.
Permintaan dari buyer berkembang pesat, sehingga new entrants dapat
menghasilkan profit tanpa mengundang reaksi yang berlebihan dari sellers
yang sudah ada.
Entry threats lemah ketika :
Entry barrier tinggi dikarenakan :
o Cost advantages yang dimiliki existing industry members dari segi
economies of scale, pengalaman, low fixed cost, akses untuk menurunkan
biaya (suppliers), teknologi, atau lokasi.
o Strong product differentiation dan brand loyalty.
o Brand equity yang bagus.
o Dibutuhkan modal yang besar (high capital requirements).
o Akses istimewa ke distributin channel.
o Kebijakan pemerintah yang ketat.
Existing industry members ingin atau mampu untuk bersaing dengan new
entrants.
|
![]() 39
2.3.3 Competition from producer of substitute products
Perusahaan di suatu industri rentan terhadap tekanan tindakan dari
perusahaan lain di industri yang berdampingan erat ketika customer melihat
produk dari kedua industri sebagai produk subtitutes yang baik. Menurut
Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), ada beberapa faktor yang bisa
mengindikasikan kuat atau lemahnya competition from producer of subtitute
products, yaitu :
Competition from producer of subtitute products kuat ketika :
Ketersediaan produk subsitusi dan memberikan harga yang lebih menarik.
Produk subsitusi memiliki fitur dan performa yang sama atau lebih baik.
Buyer memiliki switching cost yang rendah untuk berpindah ke produk
subsitusi.
Competition from producer of subtitute products lemah ketika :
Sulit mengakses produk subsitusi dan harga yang ditawarkan tidak menarik.
Performa ataupun fitur yang dimiliki produk subsitusi tidak lebih baik.
Buyer memiliki switching cost yang tinggi untuk berpindah ke produk
subsitusi.
.
|
![]() 40
2.3.4 Supplier bargaining power
Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), ada beberapa
faktor yang mengindikasikan kuat atau lemahnya supplier bargaining power,
yaitu:
Supplier bargaining power lebih kuat ketika :
Jasa atau produk yang di supply memiliki permintaan yang lebih banyak dari
pada jumlah yang tersedia, menyebabkan supplier dapat mengatur harga.
Jasa atau produk yang di supply adalah produk / jasa yang differentiated.
Switching cost yang besar ketika industry members ingin berganti ke
supplier lainnya.
Supplier industry didominasi oleh beberapa supplier besar saja.
Produk atau jasa dari supplier memiliki kontribusi yang kecil bagi biaya
produk / jasa industry members.
industry members tidak dapat melakukan backward integration dan self
supply.
Supplier tidak bergantung kepada satu industri untuk menghasilkan revenue.
Supplier bargaining power lebih lemah ketika :
Suplai barang yang banyak.
Barang yang disuplai merupakan barang komoditas.
|
![]() 41
Switching cost yang kecil ketika industry members ingin berpindah ke
supplier lain.
Industry members merupakan penghasil terbesar bagi suppliers revenues.
Banyaknya jumlah supplier tergantung dengan jumlah industry members dan
tidak ada supplier yang mendominasi market.
Produk atau jasa dari supplier memiliki kontribusi yang besar bagi biaya
produk / jasa yang dihasilkan industry members.
Industry members memiliki potensi untuk melakukan backward integration.
Ketersediaan produk subsitusi.
Industry members merupakan customer terbesar bagi supplier.
2.3.5 Buyer bargaining power
Apakah buyers dapat memberikan competitive preassure yang besar
terhadap industry members tergantung dari bargaining power yang dimiliki
customer. Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), ada beberapa
faktor yang mengindikasikan kuat atau lemahnya buyers bargaining power, yaitu :
Buyers bargaining power lebih kuat ketika :
Produk / jasa yang ditawarkan oleh industry members tidak memiliki
perbedaan (weakly differentiated).
Switching cost dari buyer rendah yang mengakibatkan buyer bisa berpindah
ke produk lain.
|
![]() 42
Jumlah buyers lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sellers.
Buyers memiliki pengetahuan yang luas mengenai kualitas, harga dan biaya
dari produk / jasa yang ditawarkan sellers.
Buyers memiliki kemampuan untuk melakukan backward integration.
Buyers dapat memiliki kemampuan untuk menunda pembelian.
Buyer merupakan price sensitive.
Buyers bargaining power lebih lemah ketika :
Terdapat kekurangan / kelangkaan dari barang industri yang berkaitan
dengan buyer demand.
Produk / jasa yang ditawawrkan sellers adalah produk / jasa yang berbeda
satu dengan lainnya (differentiated).
Switching cost dari buyer tinggi.
Jumlah sellers lebih banyak dibandingkan dengan jumlah buyers.
Buyers memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai kualitas produk / jasa
yang ditawarkan sellers.
Buyers tidak memiliki kemampuan untuk melakukan backward integration .
Buyer tidak dapat menunda pembelian.
Buyer tidak terlalu price sensitive.
Dengan mengevaluasi kekuatan tekanan kompetitif dari setiap bagian five
forces model, perusahaan bisa mengetahui apakah dengan memasuki industri tersebut
|
43
bisa menghasilkan profit atau tidak. Hal ini dikarenakan, kuat atau lemahnya tekanan
kompetitif dari five forces model, menentukan seberapa besar peluang perusahaan
untuk menghasilkan profit. Semakin kuat tekanan kompetitif dari setiap bagian five
forces model, maka semakin kecil peluang perusahaan untuk menghasilkan profit,
dan juga sebaliknya.
2.4 PESTEL Analysis
Setiap perusahaan bergerak pada macro environment yang luas, meliputi 6
komponen utama, yaitu : Political Factors, Economics Conditions, Sociocultural
Forces, Technological Factors, Enviromental Forces, dan Legal and Regulatory
Factors. Setiap komponen memiliki potensi untuk mempengaruhi industri. Oleh
karena itu, penting bagi perusahaan untuk melakukan analisa mengenai faktor
faktor macro environment yang mungkin bisa berdampak negatif kepada kinerja /
profitability perusahaan. Dalam perancangan str ategi bisnis pun, perusahaan harus
mempertimbangkan dan membuat strategi yang relevan dengan kondisi makro.
Untuk melakukan analisa terhadap faktor faktor macro environment,
Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), menjelaskan penggunaan tools
yang disebut PESTEL Analysis. PESTEL Analysis fokus mejelaskan tentang kondisi
dan dampak dari 6 komponen utama macro environment terhadap perusahaan.
|
44
Berikut penjelasan dari komponen PESTEL Analysis :
1. Political Factors
Political Factors meliputi kebijakan politik dan prosesnya, termasuk tingkat
intervensi pemerintah terhadap ekonomi. Hal tersebut dapat berupa tax policy,
fiscal policy, tariffs, iklim politik, dan kekuatan dari institusi seperti federal
banking system. Beberapa political factors spesifik terhadap industri tertentu,
seperti bailouts. Faktor lainnya seperti energy policy akan mempengaruhi industri
tertentu, baik dari industr i penghasil energi maupun industri pengguna energi yang
besar dibandingkan industri lainnya.
2. Economics Conditions
Economics Conditions meliputi iklim ekonomi secara umum dan faktor-
faktor tertentu seperti interest rates, exchange rates, tingkat inflasi, tingkat
pengangguran, tingkat pertumbuhan ekonomi, defisit atau surplus dalam
perdagangan, saving rates, dan produk domestik bruto per kapita (PDB). Faktor
ekonomi juga mencakup kondisi pasar untuk saham dan obligasi, dimana dapat
mempengaruhi kepercayaan dan pendapatan discretionary dari customer.
Beberapa industri, seperti kontraktor, sangat rentan terhadap krisis ekonomi tetapi
memiliki pengaruh yang positif oleh penurunan suku bunga. industri lainnya
seperti retailer dengan strategi memberikan diskon, akan mendapatkan
|
45
keuntungan ketika kondisi ekonomi melemah, dikarenakan customer akan lebih
price conscious.
3. Sociocultural Forces
Sociocultural Forces meliputi nilai-nilai sosial, sikap, faktor budaya, dan
gaya hidup yang dapat memberikan dampak terhadap bisnis, maupun faktor
demografi seperti jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan peduduk, dan distribusi
umur. Sociocultural Forces berbeda-beda disetiap daerah dan berubah seiring
berjalannya waktu. Contohnya seperti gaya hidup sehat akan memberikan
kenaikan pengeluaran terhadap peralatan olah raga dan klub kesehatan serta jauh
dari alkohol dan makanan ringan. Demografi penduduk memberikan dampak yang
besar pada industri seperti health care, dimana biaya dan pelayanan perlu
bervariasi sesuai dengan faktor demografi seperti usia dan penghasilannya.
4. Technological Factors
Technological Factors meliputi kecepatan perubahan teknologi dan
technical developments yang berpotensi memberikan dampak luas pada
komunitas, seperti genetic engineering dan nanotechnology. Termasuk juga
institusi yang terlibat
dalam pembuatan ilmu baru dan pengendalian terhadap
penggunaan teknologi seperti R&D consortia, universitas yang mensponsori
technology incubator, patent dan copyright laws, dan pengawasan pemerintah
terhadap internet. Perubahan teknologi akan mendorong lahirnya industri baru,
|
46
seperti industri yang didasari nanotechnology dan dapat menggangu industri
lainnya.
5. Environmental Forces
Environmental Forces meliputi ecological dan environmental forces seperti
cuaca, iklim, perubahan iklim dan faktor terkait seperti persedian air. Faktor-faktor
ini akan berdampak langsung terhadap beberapa industri seperti asuransi,
pertanian, produksi energi, dan pariwisata. Hal ini juga dapat memberikan dampak
tidak langsung terhadap industri lainnya seperti transportasi dan industri utilitas.
6. Legal and Regulatory Factors
Legal and Regulatory Factors meliputi regulasi dan hukum yang harus
diikuti oleh perusahaan seperti hukum konsumen, hukum tenaga kerja, hukum
antitrust, kesehatan kerja dan peraturan keselamatan. Beberapa faktor spesifik
sesuai dengan industrinya, seperti deregulasi bank. Legislasi upah minimum jaga
akan menjadi faktor yang penting.
2.5 Perencanaan Pemasaran
|
47
2.5.1 Segmentation
Dalam membangun sebuah brand, perusahaan harus fokus kepada segmen
pasar tertentu agar bisa mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Menurut Bygrave
& Zacharakis (2011), Segmentation adalah proses mengidentifikasi customer yang
tepat untuk produk / jasa yang perusahaan tawarkan.
Kotler & Keller (2012) menentukan segmen pasar berdasarkan beberapa
karakteristik, yaitu :
1. Geographic : negara, kota, populasi, iklim.
2. Demographic : umur, jenis kelamin, pendapatan, pekerjaan, pendidikan,
agama, kelas sosial, status perkawinan, ras / suku.
3. Psychographic : values, individualistic, risk taking, social group.
4. Behavioural : needs and benefits (enthusiast, image seekers, savvy shoppers,
traditionalist, satisfied sippers, overwhelmed), decision roles (initiator,
influencer, decider, buyer, user).
2.5.2 Targeting
Menurut Bygrave & Zacharakis (2011), Targeting adalah proses
membandingkan segmen pasar yang telah ditentukan, lalu menentukan segmen
mana yang menjadi primary target audience, secondary target audience, tertiary
target audience. Segmen pasar yang atraktif dan menarik berkaitan dengan size,
growth rate dan profit potential.
|
![]() 48
Dalam pemilihan tar get segmen pasar, harus sesuai dengan capabilities dan
long term goals yang dimiliki perusahaan. Oleh karena itu penting bagi perusahaan
untuk bisa menentukan target market yang tepat sehingga profit yang didapatkan
juga bisa maksimal.
2.5.3 Positioning
Berbeda dengan proses segmentation dan targeting yang berkaitan dengan
profile dari customers perusahaan, positioning merupakan proses yang berkaitan
dengan persepsi dari competitors dan customers tentang produk yang dimiliki
perusahaan. Persepsi ini biasanya berkaitan dengan harga, kualitas dan
kenyamanan desain suatu produk.
2.5.4 Marketing Mix
Menurut Bygrave & Zacharakis (2011), Marketing Mix adalah tools yang
bisa digunakan oleh perusahaan untuk mencapai taget marketing. Bygrave &
Zacharakis (2011) menjelaskan, Marketing Mix terdiri dari 4 elemen yang biasa
disebut Four Ps, yaitu : product, price, place, dan promotion.
Berikut penjelasan dari masing masing elemen Four Ps :
Product
|
![]() 49
Dalam strategi produk, perlu untu mengidentifikasi CVP (Customer
Value Proposition) yaitu perbedaan diantara total manfaat yang didapatkan
customer dengan total cost yang dikeluarkan untuk suatu produk / jasa. Ada 4
elemen dalam melakukan indentifikasi terhadap CVP, yaitu : kelompok yang
menjadi target dan kebutuhannya, brand, konsep, dan poin yang menjadi
pembeda. Selain itu perlu untuk menentukan apakah produk yang ingin
ditawarkan merupakan pioneering product atau incremental product. Analisa
terhadap product life cycle akan membantu bagaimana cara melakukan
marketing ditiap-tiap stages yang ada.
Price
Strategi harga terbagi menjadi 3, yaitu : Price Skimming, Price
Penetration, dan Price Discrimitation. Pada Price skimming, harga ditetapkan
relatif lebih tinggi dengan tujuan mengambil
mar gin keuntungan yang tinggi.
Pada Price Penetration, menargetkan untuk mengambil market shares yang
tinggi dengan margin rendah dan harga yang relatif lebih murah. Pada Price
Discrimitation, memberikan harga yang berbeda-beda pada segmen yang
berbeda-beda pula.
Place
Strategi distribusi dibagi menjadi 3 tipe, yaitu : (1) Intensive yaitu
pendistribusi barang yang dilakukan secara agresif ke banyak channels. Contoh
|
![]() 50
: consumer goods and other fast moving products, (2) Selective yaitu
pendistribusi barang yang dilakukan secara selektif terhadap channels. Contoh :
pemilihan channels yang selektif berdasarkan geographic, (3) Exclusive yaitu
pendistribusi barang yang dilakukan secara sangat selektif. Contoh : luxury
goods.
Promotion
Promotion atau disebut juga dengan marketing communication
menyampaikan pesan kepada pasar, baik pesan mengenai produk dan jasa
perusahaan maupun informasi mengenai perusahaan tersebut. Ada beberapa
elemen dalam marketing communication, yaitu : advertising, sales promotion,
public relation, personal selling, dan direct marketing. Untuk strategi
komunikasi dibagi menjadi 2, yaitu: (1) push strategy yaitu mendorong produk
melalui channels dengan menggunakan cara seperti trade promotion, trade
shows dan personal selling kepada distributors ataupun channel members
lainnya, (2) pull strategy yaitu tujuannya untuk menciptakan demand dari end-
user dan mengandalkan demand tersebut untuk menarik produk melalui
channels.
Selain itu, perlu untuk melakukan guerilla marketing yang merupakan
aktivitas marketing non-traditional, grassroots, dan captivating untuk
mendapatkan perhatian dari customer dan membangun brand awareness.
|
51
Guerilla marketing dibagi menjadi 3, yaitu : word of mouth marketing, buzz
marketing, dan viral marketing.
2.6 Product Life Cycle
Menurut Kotler & Keller (2012), Product Life Cycle menjelaskan bahwa :
1. Produk memiliki masa hidup.
2. Penjualan produk melewati fase yang berbeda beda, setiap fase memiliki
tantangan, kesempatan dan masalah yang berbeda beda pula.
3. Profit naik dan turun pada fase product life cycle yang berbeda.
4. Setiap fase product life cycle, dibutuhkan strategi bisnis yang berbeda beda.
Kotler & Keller (2012) menjelaskan product life cycle terdiri dari 4 fase, yaitu :
1. Introduction
Pada fase ini, penjualan berkembang lambat dikarenakan produk baru
diperkenalkan ke pasar. Profit juga belum didapatkan dikarenakan pengeluaran
yang besar untuk investasi awal produk.
|
![]() 52
2. Growth
Pada fase ini, pasar mulai aware dan menerima produk yang diperkenalkan
dan mulai mendapatkan profit.
3. Maturity
Pada fase ini, perkembangan penjualan produk lambat dikarenakan telah
mendapatkan seluruh potential customer. Profit yang didapatkan stabil atau
menurun dikarenakan meningkatnya kompetisi persaingan.
4. Decline
Pada fase ini, dimana penjualan dan profit menurun.
Gambar 2.6 Product Life Cycle
Sumber : Marketing Management 14 Edition (2012)
2.7 Inventory System
|
53
Menurut Chase & Jacobs (2011), Inventory System adalah sebuah sistem yang
digunakan untuk maintaining dan controlling barang yang keluar masuk di
warehouse. Sistem ini bertanggung jawab untuk melakukan pemesanan dan
penerimaan barang. Sistem ini didesain untuk bisa mengetahui kapan waktu yang
tepat untuk melakukan pemesanan barang ke supplier, melakukan tracking terhadap
barang yang sudah dipesan seperti apakah barang yang dipesan sudah dikirim sesuai
dengan jadwal, berapa jumlah barang yang harus dipesan, dan untuk siapa barang
tersebut dipesan.
Inventory system yang penulis gunakan adalah multi-period inventory systems.
Multi-period inventory systems artinya melakukan pemesanan barang secara periodik
ketika inventory sudah terpakai. Chase & Jacobs (2011) membagi Multi-period
inventory systems menjadi 2 tipe yaitu, Fixed-order quantity model dan Fixed-time
period model. Berikut perbedaan diantara 2 model Multi-period inventory systems :
Tabel 2.1 Perbedaan Fixed-order quantity model dengan Fixed-time period model
|
![]() 54
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011)
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan Fixed-order quantity model untuk
Inventory system berdasarkan beberapa pertimbangan.
2.8 The Triple Bottom Line
Strategi bisnis yang dirancang oleh perusahaan harus bisa menciptakan value
bagi shareholdersnya. Oleh karena itu, strategi tersebut biasanya bersifat profit
oriented sesuai dengan tujuan dari sebuah perusahaan yaitu memperkaya
shareholders. Thomson, Peteraf, Gamble, dan Strickland (2014) menjelaskan, pada
saat ini sudah banyak perusahaan yang merubah cara bisnisnya ke arah sustainable
business practices yaitu dengan cara tetap memenuhi requirements untuk generate
|
![]() 55
revenue saat ini tanpa mengorbankan requirements untuk generasi selanjutnya. Hal
ini mengindikasikan bahwa scope dari strategi bisnis perusahaan tidak lagi hanya
terfokus kepada sisi economy / profit semata tetapi sudah mulai mempertimbangkan
impact terhadap social dan environment.
Oleh karena itu lahirlah konsep Triple Bottom Line yang diciptakan oleh John
Elkington (1997). Triple Bottom Line mengevaluasi kriteria dari sisi economy, social,
dan environmental. Konsep Triple Bottom Line ini juga biasa disebut 3Ps yaitu
People, Planet, Profit.
Gambar 2.7 The Triple Bottom Line
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011)
2.9 Laporan Keuangan
|
56
Laporan keuangan bisa digunakan oleh manager perusahaan untuk melakukan
3 tugas pentingnya yaitu mengukur performa perusahaan, melakukan monitoring dan
controling, melakukan perencanaan performa keuangan perusahaan dimasa depan.
Titman, Keown, & Martin (2011) menjelaskan tugas tersebut sebagai berikut :
1. Financial statement analysis
Tujuan dari melakukan analisis laporan keuangan adalah untuk mengetahui
kondisi keuangan perusahaan. Sehingga manager / analyst bisa melihat performa
keuangan perusahaan yang sama dengan investor.
2. Financial control
Manager menggunakan laporan keuangan untuk melakukan monitoring dan
controlling kegiatan operasi perusahaan.
3. Financial forecasting and planning
Laporan keuangan menyediakan format informasi yang bisa dipahami secara
universal untuk menggambarkan kegiatan operasi perusahaan.
Titman, Keown, & Martin (2011) membagi laporan keuangan menjadi 3 tipe,
yaitu : income statement, balance sheet, dan cash flow statement. Berikut penjelasan
dari masing masing tipe laporan keuangan :
|
57
2.9.1 Income Statement
Income statement adalah suatu laporan yang dibuat secara sistematis yang
berisikan tentang pendapatan (revenues) dan biaya (expenses) yang timbul akibat
aktivitas operasi dalam periode tertentu dari suatu perusahaan. Komponen
komponen dasar dari income statement adalah sebagai berikut :
1. Revenues : pendapatan yang didapatkan perusahaan dari hasil penjualan
produk / jasa dalam periode waktu tertentu.
2. Cost of goods sold : biaya yang timbul untuk memproduksi barang atau jasa.
3. Gross profit : pendapatan kotor hasil pengurangan revenues dengan biaya
yang berkaitan dengan pembuatan atau penyediaan produk atau jasa (cost of
goods sold).
4. Operating expenses : biaya yang timbul akibat aktivitas operasi / bisnis.
5. Net operating income (EBIT) : pendapatan operasi setelah dikurangi biaya
operasi namun diluar bunga dan pajak penghasilan.
6. Interest expense : biaya yang timbul akibat pinjaman uang.
7. Earnings before taxes : pendapatan setelah dikurangi seluruh biaya yang
timbul namun diluar pajak.
8. Income taxes : pajak penghasilan
9. Net income : pendapatan bersih setelah dikurangi seluruh biaya termasuk
depresiasi, bunga dan pajak.
|
![]() 58
2.9.2 Balance Sheet
Balance sheet adalah laporan yang menggambarkan posisi keuangan
perusahaan pada akhir periode tertentu. Persamaan dasar akutansi mengenai
balance sheet adalah sebagai berikut :
Total Assets = Total Liabilities + Total Stockholders Equity
Total Assets adalah seluruh sumber daya (resources) yang dimiliki oleh
perusahaan.
Total Liabilities adalah kewajiban atau hutang yang dimiliki perusahaan
kepada kreditur untuk akitivitas operasi / bisnis.
Total Stockholders Equity adalah modal yang didapatkan dari paid in
capital (biaya yang dikeluarkan investor untuk mendapatkan saham),
common stock, dan retained earnings (laba ditahan).
2.9.3 Cash Flow
Cash flow adalah laporan arus kas yang mengidentifikasi sumber dan
penggunaanya pada periode tertentu. Di dalam cash flow ada 3 kegiatan utama,
yaitu:
1. Operating activities : arus kas yang berkaitan dengan aktivitas bisnis utama
perusahaan termasuk revenues dan expenses.
|
![]() 59
2. Investment activities : arus kas yang berkaitan dengan pembelian atau
penjualan fixed assets seperti tanah, bangunan.
3. Financing activities : arus kas yang berkaitan dengan perolehan kas dari
issuing debt, penjualan atau pembelian stocks, pembayaran dividend.
2.10 Analisa Kelayakan Bisnis
2.10.1 Net Present Value (NPV)
Menurut Titman, Keown, & Martin (2011), untuk mengetahui apakah suatu
perencanaan bisnis layak untuk dijalankan atau tidak, maka dibutuhkan tools /
metode untuk menganalisa tingkat profitabilitasnya. Tools yang paling powerful
adalah Net Present Value (NPV). Net Present Value adalah perbedaan diantara
present value dari cash inflows (arus kas masuk) dengan cash outflows (arus kas
keluar). Berikut cara menghitung NPV :
|
![]() 60
Kriteria penilaian NPV :
1. Jika nilai NPV > 0 (positif), maka proyek diterima.
2. Jika nilai NPV < 0 (negatif), maka proyek ditolak.
3. Jika nilai NPV = 0, maka proyek tersebut tidak menciptakan keuntungan
ataupun kerugian.
2.10.2 Profitability Index (PI)
Cara lain untuk mengetahui kelayakan usaha selain dari NPV yaitu
Profitability Index. Menurut Titman, Keown, & Martin (2011), Profitability Index
adalah rasio cost-benefit yaitu nilai present value dari future cash flows dibagi
dengan initial cost. Profitability Index dapat dihitung dengan rumus berikut :
Keterangan :
PI = Profitability Index
CFt = future cash flows
I = initial cost
|
![]() 61
r = discount rate
t = number of periods
Kriteria penilaian PI :
1. Jika PI > 1, maka proyek diterima dikarenakan NPV positif.
2. Jika PI < 1, maka proyek ditolak dikarenakan NPV negatif.
2.10.3 Internal Rate of Return (IRR)
Menurut Titman, Keown, & Martin (2011), Internal Rate of Return (IRR)
adalah discount rate yang menghasilkan NPV menjadi 0. IRR merupakan batas
minimum discount rate project yang dapat diterima.
Berikut cara penghitungan IRR :
Keterangan :
CF0 = initial outlay
CFn = future cash flows
r = IRR
n = number of periods
|
62
Kriteria penilaian IRR :
1. Jika IRR > k (required rate of return / discount rate), maka proyek diterima
dikarenakan NPV positif.
2. Jika IRR < k (required rate of return / discount rate), maka proyek ditolak
dikarenakan NPV negatif.
2.10.4 Payback Period
Menurut Titman, Keown, & Martin (2011), Payback Period adalah waktu
yang dibutuhkan untuk pengembalian modal investasi (initial cash outlay).
Kriteria penilaian Payback Period adalah jika periode Payback Period lebih
singkat dibandingkan waktu maksimal yang dibutuhkan untuk pengembalian
modal investasi, maka proyek diterima dikarenakan memiliki tingkat
pengembalian modal yang tinggi.
|