BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Business Model Canvas
Dalam  membangun  sebuah  bisnis  tentunya  harus  mengetahui  terlebih  dahulu 
bagaimana  model  bisnis  dari  bisnis  yang  akan  /  sedang  dijalankan.  Untuk  itu 
dibutuhkan  suatu  alat  /  metode  yang  bisa  digunakan  untuk  melihat  seluruh  aspek 
kegiatan  bisnis  yang  dilakukan  dan  nantinya  bisa  dijadikan  dasar  untuk 
pengembangan bisnis ke depan. 
Business Model Canvas berfungsi sebagai alat untuk membantu melihat seluruh
aspek  kegiatan  bisnis  yang  dilakukan.  Menurut  Osterwalder  &  Pigneur  (2009), 
Business  Model  Canvas  adalah  menjelaskan  bagaimana  organisasi  /  perusahaan
dalam menciptakan,  memberikan  dan menangkap value  (nilai).  Jadi  dengan  adanya 
Business  Model  Canvas, perusahaan  bisa  melakukan  pemetaan value  apa  yang  bisa
diberikan oleh produk  atau servis  yang  dimiliki  (Value  Propositions),  kepada siapa 
value  tersebut  akan  diberikan  (Customer  Segments),  melalui  apa  value  tersebut
diberikan  (Channels),  bagaimana  berkomunikasi  dengan  customer  (Customer 
Relationships),  apa  yang  dibutuhkan  untuk  menciptakan  value  tersebut  (Key
Resources), bagaimana caranya menciptakan value tersebut (Key Activities), aktivitas
12 
  
13 
yang dilakukan dengan mitra usaha ( Key Partnerships), sumber pendapatan (Revenue 
Streams), dan struktur biaya yang timbul (Cost Structure).
  
Gambar 3.1 Business Model Canvas 
Sumber : Business Model Generation (2009) 
2.1.1 Customer Segment
Customer merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu model bisnis.
Dengan  adanya  customer,  perusahaan  bisa  menghasilkan  keuntungan  dan 
berkembang. Untuk  mendapatkan  profit  yang  maksimal, perusahaan  harus fokus 
kepada kelompok customer tertentu / segmentasi pasar. Namun, perusahaan harus 
hati  –  hati  dalam  menentukan  segmentasi  pasar  dikarenakan  berkaitan  dengan 
  
  
14 
strategi  perusahaan  dalam  menghasilkan  revenue  dan  sustainability  perusahaan. 
Jika salah dalam segmentasi pasar maka itu bisa mengakibatkan keuntungan yang 
didapatkan  tidak  maksimal  atau  bahkan  bisa  menyebabkan  perusahaan  menjadi 
tidak berkembang dan mengalami kerugian.  
Menurut  Kotler  &  Keller  (2012),  Customer  Segment  adalah  kelompok 
customer  yang  memiliki  dan  berbagi  kebutuhan  dan  keinginan  yang  sama.
Sedangkan  menurut  Osterwalder  &  Pigneur  (2009),  Customer  Segment  adalah 
kelompok individu atau organisasi yang akan dilayani oleh perusahaan.  
Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan Customer Segment menjadi 
beberapa tipe yaitu : 
  Mass Market 
Pada  tipe mass market, tidak ada segmentasi  / pengelompokan customer 
tertentu  yang  akan  dijadikan  target  konsumen.  Oleh  karena  itu,  value 
propositions,  distribution  channels,  dan  customer relationships  berlaku  untuk
seluruh kelompok / tipe customer. 
   Niche Market 
Pada  tipe  niche  market,  perusahaan  fokus  terhadap  kelompok  customer 
yang  memiliki  kebutuhan  tertentu.  Oleh  karena  itu,  value  propositions, 
distribution  channels,  dan  customer  relationships  harus  disesuaikan  dengan
spesifikasi produk atau jasa yang dibutuhkan kelompok customer tertentu. 
  
  
15 
   Segmented 
Pada tipe segmented market, perusahaan melayani kelompok customer 
yang memiliki sedikit perbedaan terhadap masalah dan kebutuhan. Contoh : 
perusahaan mekatronika dan automation melayani industri mobil dan industri 
peralatan rumah sakit. 
   Diversified 
Pada  tipe  diversified  market,  perusahaan  melayani  2  segmentasi  pasar 
yang  unrelated  (tidak  berhubungan).  Masing  –
masing  segmentasi  pasar 
memiliki  kebutuhan  yang  berbeda  dengan  lainnya.  Contoh  :  forum  jual  beli 
barang  online  dan  penyedia  SAAS  (software  as  a  service).  2  segmentasi 
tersebut berbeda namun bisa sharing resources yang dimiliki. 
   Multi-sided Platforms 
Pada tipe multi-sided platforms market, perusahaan melayani 2 atau lebih 
segementasi pasar. Masing – masing segmentasi pasar bersifat independent.  
2.1.2 Value Propositions
Value  Propositions  adalah  manfaat  dari  produk  atau  jasa  yang  ditawarkan
kepada  segmen  pasar  yang  dilayani.  Menurut  Osterwalder  &  Pigneur  (2009), 
Value Propositions  adalah  produk dan jasa  yang  menciptakan  value  (nilai)  bagi
  
  
16 
segmen  pasar  tertentu.  Value  Propositions  menjadi  alasan  bagi  customer  untuk 
membeli produk atau jasa yang ditawarkan (willingness to pay).  
Menurut  Osterwalder  &  Pigneur  (2009),  dalam  menciptakan  Value 
Propositions, ada beberapa elemen yang perlu diperhatikan yaitu :
  Newness 
Value  dari  produk  atau  jasa  yang  ditawarkan  belum  pernah  ditawarkan
oleh  produk atau jasa lainnya  dan tentunya value tersebut  bisa memenuhi apa 
yang menjadi kebutuhan customer. 
  Performance 
Peningkatan performa dari produk atau jasa yang sudah ada ataupun yang 
baru  akan  ditawarkan  kepada  customer  merupakan  salah  satu  value  yang 
menjadi pertimbangan customer dalam memilih suatu produk atau jasa. 
  Customization 
Setiap  segmen  pasar  memiliki  kebutuhan  yang  berbeda  –  beda. 
Perusahaan  harus  bisa menyesuaikan produk atau  jasa  yang ditawarkan sesuai 
dengan kebutuhan segmen pasar yang ditargetkan. 
  
  
17 
   Getting the job done 
Value  dari  produk  atau  jasa  yang  ditawarkan  bisa  mempermudah
customer dalam melakukan kegiatan / pekerjaan. Artinya produk atau jasa yang
ditawarkan  bersifat  reliable  (bisa  diandalkan)  sehingga  customer  bisa  fokus 
kepada kegiatan / pekerjaannya tanpa harus memikirkan performa produk atau 
jasa tersebut. 
  Design 
Design  dari  produk  atau  jasa  juga  merupakan  salah  satu  faktor
pertimbangan customer dalam memilih suatu produk atau jasa. Apakah design 
produk atau jasa yang ditawarkan  lebih superior dibandingkan dengan produk 
atau  jasa  lainnya,  kenyamanan  saat  pemakaian  dan  ukuran,  merupakan 
beberapa faktor yang termasuk dalam pertimbangan customer. 
  Brand 
Brand  adalah  sebuah  kombinasi  dari  nama,  simbol  dan  design  yang
bertujuan  untuk  menunjukkan  identitas  suatu  produk  atau  jasa  serta  sebagai 
pembeda  antara  produk  dari  penjual  satu  dengan  lainnya  (Kotler  & 
Keller,2012).  Apabila  perusahaan  bisa  membangun  brand  yang  kuat  dan 
menciptakan  brand 
image  yang  bagus  dimata  customer.  Implikasinya  adalah 
timbulnya  brand  loyalty  dari  customer  sehingga  bisa  meningkatkan  brand 
  
  
18 
equity dari  perusahaan  tersebut yang akhirnya berujung kepada  meningkatnya
willingness to pay dari customer.
  Price 
Harga  merupakan  salah  satu  faktor  pertimbangan  customer  dalam 
pemilihan  produk  atau  jasa.  Bagi  customer  yang  price-sensitive,  harga 
merupakan  faktor  terpenting  dalam  pemilihan  produk.  Bagi  perusahaan 
menawarkan  produk atau  jasa  yang memiliki  fitur  yang sama dengan  produk 
atau  jasa  lainnya  namun  dengan  harga  yang  lebih  murah  bisa  meningkatkan 
sales  volume.  Namun  perlu  diingat  bahwa  ada  trade-off  antara  harga  dan
kualitas  dan  juga  penentuan  harga  berpengaruh  kepada  aspek  lain  di  dalam 
model bisnis. 
  Cost reduction 
Produk  atau  jasa  yang  ditawarkan  juga  nantinya  diharapkan  bisa 
mereduksi  cost  yang  harus  dikeluarkan  customer  untuk  mendapatkan  produk 
atau  jasa  tersebut  jika  dibandingkan  dengan  produk  atau  jasa  competitor. 
Contoh : membeli baju di toko online tanpa harus mendatangi toko baju. 
  Risk reduction 
Produk atau jasa yang ditawarkan juga diharapkan bisa mereduksi resiko 
ketika atau setelah membeli produk atau jasa tersebut. Contoh : garansi produk. 
  
  
19 
  
  Accessibility 
Kemudahan  bagi  customer  dalam  hal  mengakses  produk  atau jasa  yang 
ditawarkan. 
  Convenience / usability 
Kenyamanan  dan  kemudahan  dalam  pengoperasian  suatu  produk  juga 
merupakan salah satu pertimbangan customer dalam memilih suatu produk. 
2.1.3 Channels
Channels  adalah  sarana  yang  digunakan  untuk  menyampaikan  value
propositions  kepada  customer  segment  yang  dilayani.  Menurut  Osterwalder  &
Pigneur (2009),  Channels  adalah bagaimana  cara perusahaan berkomunikasi dan 
menyampaikan  value  propositions  kepada  customer segmentnya.  Osterwalder  & 
Pigneur (2009) mengelompokkan channels kedalam 2 tipe  dan terdiri dari 5  fase 
kegiatan. 
Channels terbagi menjadi 5 fase yaitu :
1.  Awareness 
Pada  fase  ini,  perusahaan  melakukan  kegiatan  bagaimana  cara  untuk 
meningkatkan awareness customer terhadap produk dan jasa yang  ditawarkan 
perusahaan. 
  
  
20 
2.  Evaluation 
Pada  fase  ini,  perusahaan  melakukan  kegiatan  bagaimana  cara  untuk 
membantu customer dalam menilai value propositions yang ditawarkan. 
3.  Purchase  
Pada  fase  ini,  bagaimana  perusahaan  menyediakan  akses  bagi  customer 
untuk mendapatkan produk atau jasa yang ditawarkan. 
4.  Delivery 
Pada  fase  ini,  perusahaan  melakukan  kegiatan  bagaimana  cara  untuk 
menyampaikan value propositions kepada customer. 
5.  After Sales 
Pada fase ini, bagaimana perusahaan menyediakan after sales service. 
Channels terbagi menjadi 2 tipe yaitu :
1.  Own Direct 
Tipe ini artinya sar ana penyampaian value propositions kepada customers 
dimiliki sendiri oleh perusahaan seperti Sales Forces, Web Sales, Own Stores. 
2.  Partner Indirect 
  
  
21 
Tipe ini artinya sar ana penyampaian value propositions kepada customers 
tidak dimiliki sendiri oleh perusahaan melainkan dengan melakukan kerja sama 
dengan pihak lain (partnership) seperti Partner Stores, Wholesaler. 
2.1.4 Customer Relationships
Customer Relationships  adalah bagaimana  cara perusahaan menjalin ikatan
dengan  pelanggannya.  Menurut  Osterwalder  &  Pigneur  (2009),  Customer 
Relationships adalah menjelaskan tipe relationship yang dibuat perusahaan untuk
segmen pasar tertentu.  
Osterwalder  &  Pigneur  (2009)  mengelompokkan  Customer  Relationship 
menjadi beberapa kategori, yaitu : 
  Personal assistance 
Bentuk relationship dari tipe ini adalah human interaction. Customer bisa 
langsung berkomunikasi dengan customer representative saat membeli produk 
atau jasa. 
  Dedicated personal assistance 
Bentuk relationship dari tipe  ini  mirip dengan  personal assistance yaitu 
human interaction. Namun yang membedakannya adalah pada tipe ini customer
representative  khusus  melayani  satu  pelanggan  tertentu  (individual  client).
Contoh : nasabah bank prioritas. 
  
  
22 
   Self service 
Bentuk  relationship  dari  tipe  ini  adalah  pelayanan  sendiri  artinya 
customer tidak dilayani oleh customer representative secara langsung.
  Automated service 
Bentuk  relationship  dari  tipe  ini  mirip  dengan  self  service  namun 
pelayanan yang diberikan menggunakan teknologi. 
  Communities 
Bentuk  relationship  dari  tipe  ini  adalah  perusahaan  memfasilitasi 
hubungan antar  pengguna produk atau  jasa yang ditawarkan  oleh  perusahaan. 
Fasilitas  yang  disediakan  bisa  berupa  online  atau  offline  yang  bertujuan agar 
sesama  customer  bisa  bertukar  pikiran  dan  perusahaan  juga  lebih  bisa 
memahami kebutuhan dari customer yang dilayani. 
  Co-creation 
Bentuk relationship dari tipe ini adalah perusahaan melibatkan customers 
untuk  menciptakan  value.  Contoh  :  lomba  design  produk  yang  nantinya  bisa 
digunakan oleh perusahaan. 
  
  
23 
2.1.5 Revenue Streams
Revenue  Streams  adalah  sumber  pendapatan.  Menurut  Osterwalder  &
Pigneur  (2009),  Revenue  Streams  adalah  cash  yang  bisa  dihasilkan  perusahaan 
dari setiap customer segmentnya. 
Osterwalder  &  Pigneur  (2009)  menjelaskan  beberapa  cara  dalam 
menghasilkan revenue streams, yaitu : 
  Asset Sale 
Revenue Stream yang diperoleh dari penjualan barang (physical product).
  Usage Fee 
Revenue  Stream  yang  diperoleh  dari  jumlah  penggunaan  jasa  /  service
yang digunakan oleh customer. 
  Subscription Fees 
Revenue  Stream  yang  diperoleh  dari  biaya  service  yang  kita  berikan
kepada customer tertentu secara berkala. 
  Lending / Renting / Leasing 
Revenue Stream yang diperoleh dari hasil memberikan hak eksklusif dari
asset yang dimiliki perusahaan kepada customer dalam periode waktu tertentu
dengan imbalan fee. 
  
  
24 
   Licensing 
Revenue Stream yang diperoleh dari hasil memberikan hak eksklusif dari
intellectual  property  dengan  imbalan  fee.  Cara  ini  memungkinkan  licensor
(pemberi  hak  lisensi)  mendapatkan  pendapatan  tanpa  harus  menjual  produk 
atau jasa. 
  Brokerage Fees 
Revenue  Stream  yang  diperoleh  dari  hasil  intermediation  service  (jasa
perantara) antara 2 pihak atau lebih. 
  Advertising 
Revenue  Stream  yang  diperoleh  dari  biaya  yang  dikeluarkan  customers
untuk perusahaan atas jasa mengiklankan produk atau jasa. 
2.1.6 Key Resources
Key  Resources  adalah  sumber  daya  yang  dimiliki  perusahaan  untuk  dapat
menciptakan  value  propositions.  Menurut  Thomson,  Peteraf,  Gamble,  dan 
Strickland  (2014),  Key  Resources  adalah  aset  kompetitif  yang  dimiliki  dan 
dikontrol  oleh  perusahaan.  Thomson,  Peteraf,  Gamble,  dan  Strickland  (2014) 
membedakan resources menjadi 2 kategori yaitu : 
1.  Tangible Resources
  
  
25 
   Physical resources : tanah, pabrik, peralatan distribusi, fasilitas distribusi, 
toko, peralatan manufaktur. 
  Financial resources  :  cash and  cash  equivalents, marketable  securities, 
dan aset keuangan lainnya. 
  Technological  assets  :  Paten,  HAKI,  teknologi  produksi,  teknologi 
inovasi, infrastruktur IT (satelit, server, workstations). 
  Organizational  resources  :  sistem  controlling,  koordinasi  antar  divisi, 
struktur pelaporan, organizational design. 
2.  Intangible Resources
  Human  assets  and  intellectual  capital  :  pendidikan,  pengalaman, 
pengetahuan, dan talenta dari pekerja. 
  Brands, company image, and reputational assets : nama brand, ciri khas, 
brand image, goodwill dan brand loyalty. 
  Relationships  :  alliances,  joint  venture,  partnership  dan  jaringan 
distribusi. 
  Company  culture  and  incentive  system  :  code  of  ethics,  prinsip  bisnis, 
belief, sistem bonus dan motivasi.
2.1.7 Key Activities
Key Activities  adalah  kegiatan  utama  perusahaan  untuk  dapat menciptakan
value propositions. Menurut Osterwalder & Pigneur (2009), Key Activities adalah
  
  
26 
kegiatan yang paling penting yang harus dikerjakan perusahaan agar model bisnis 
bisa berjalan dengan baik. 
Osterwalder  &  Pigneur  (2009)  mengelompokkan  Key  Activities menjadi  3 
yaitu : 
1.  Production 
Aktivitas  ini  berkaitan  dengan  designing, making dan  delivering produk 
atau jasa. 
2.  Problem solving 
Aktivitas  ini  berkaitan  dengan  solusi  /  pemecahan  dari  masalah  yang 
dihadapi customers. 
3.  Platform / Network 
Model  bisnis  yang  dirancang  dimana  platform  sebagai  key  resources 
didominasi oleh platform yang berkaitan dengan key activities. 
  
  
27 
2.1.8 Key Partnerships
Key  Partnerships  adalah  sumber  daya  yang  diperlukan  oleh  perusahaan
untuk menciptakan value propositions, tetapi tidak dimiliki oleh perusahaan. Key 
partnerships  yang  dibutuhkan  oleh  perusahaan  bisa  didapatkan  dengan  car a
outsourcing, joint venture, joint operation, dan strategic alliance.
Menurut  Osterwalder 
&  Pigneur  (2009),  Key  Partnerships  adalah 
menjelaskan  jaringan  suppliers  dan  partners  yang  bisa  membuat  model  bisnis 
berjalan  dengan  baik.  Osterwalder  &  Pigneur  (2009)  menjelaskan  3  alasan 
melakukan kerja sama / partnership, yaitu : 
1.  Optimization and economic of scale 
2.  Reduction of risk and uncertainty 
3.  Acquisition of particular resources and activities 
2.1.9 Cost Structure
Cost  Structure  adalah  komposisi  biaya  untuk  mengoperasikan  perusahaan
untuk menciptakan value propositions yang diberikan kepada customers. Menurut 
Osterwalder  &  Pigneur  (2009),  Cost  Structure  adalah  semua  biaya  yang timbul 
dalam mengoperasikan model bisnis. 
Osterwalder & Pigneur (2009) mengelompokkan  Cost Structure kedalam 2 
kelas yaitu : 
  
  
28 
1.  Cost driven 
Perusahaan fokus kepada mereduksi / mengurangi cost tanpa memikirkan 
kualitas yang terbaik. Tujuan perusahaan adalah mencari efisiensi biaya.  
2.  Value driven 
Value  driven  merupakan  kebalikan  dari  cost  driven.  Disini  perusahaan
lebih  fokus  kepada  kualitas  dan  performa  dari  produk  atau  jasa,  tanpa 
memikirkan biaya yang dikeluarkan. 
Namun  perlu  diingat  bahwa  selalu  ada  tradeoff,  artinya  jika  perusahaan 
fokus  untuk  mengurangi  cost  sehingga  harga  jual  murah  pastinya  kualitas  yang 
dihasilkan juga tidak bisa yang terbaik. Begitu pula sebaliknya. 
Osterwalder & Pigneur (2009) juga menjelaskan beberapa karakteristik Cost 
Structure yaitu :
1.  Fixed costs 
Fixed  costs  adalah  biaya  yang  tetap  yang  tidak  dipengaruhi  volume
produksi.  
2.  Variable costs 
  
  
29 
Variable costs adalah biaya yang  berubah – ubah sesuai dengan volume
produksi. 
 
Gambar 2.2 Fixed and Variable Costs  
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011) 
3.  Economies of scale 
Economies of scale adalah keuntungan biaya yang bisa didapatkan seiring
dengan pertambahan volume produksi. Dengan bertambahnya volume produksi 
maka cost per unit menjadi turun. 
  
  
30 
 
Gambar 2.3 Economies of Scale 
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011) 
 
4.  Economies of scope 
Economies  of  scope  adalah  keuntungan  biaya  yang  bisa  didapatkan
seiring  dengan  pertambahan  scope  operasi  /  jenis  produk.  Dengan 
bertambahnya scope operasi / jenis produk dengan sharing resources maka cost 
per unit menjadi turun.
  
  
31 
 
Gambar 2.4 Economies of scope 
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011) 
2.2 SWOT Analysis
Sebelum membuat strategi untuk pengembangan bisnis ke depan, penting bagi 
perusahaan untuk mengetahui kondisi perusahaan secara keseluruhan. Hal ini penting 
dilakukan oleh perusahaan agar tidak salah dalam merancang strategi yang nantinya 
bisa  berakibat  negatif  bagi  perusahaan.  Dalam  mengevaluasi  kondisi  perusahaan 
dibutuhkan  suatu  alat  /  metode  yang  benar  –  benar  bisa  menggambarkan  kondisi 
perusahaan sebenarnya. Metode itu adalah SWOT Analysis, yang bisa dijadikan dasar 
untuk  perusahaan dalam  merancang  strategi  pengembangan  bisnis.  SWOT  Analysis 
menjelaskan  apa  yang  menjadi  kekuatan  (Strength)  dan  kelemahan  (Weakness) 
perusahaan,  dan  juga  menjelaskan  tentang  kesempatan  (Opportunity)  yang  bisa 
diambil  oleh  perusahaan  agar  lebih  berkembang  serta  menjelaskan  ancaman  – 
  
  
32 
ancaman  (Threat) yang  mungkin  bisa  sewaktu – waktu  mengganggu  performa dari 
perusahaan. 
Thomson,  Peteraf,  Gamble,  dan  Strickland  (2014)  menjelaskan  setiap  bagian 
dari SWOT Analysis, yaitu : 
  Strength 
Strength  adalah  sesuatu  yang  dimiliki  /  dikerjakan  perusahaan  yang  bisa
membuat  perusahaan  semakin kompetitif  di  dalam  industri.  Strength  bergantung 
kepada  kapabilitas  (capabilities)  dan  kualitas  dari  resources  yang  dimiliki  oleh 
perusahaan. Resources dan Capabilities bisa menghasilkan competitive advantage 
(keunggulan  kompetitif) bagi  perusahaan. Namun competitive advantage tersebut 
harus bersifat valuable, rare, inimitable, non-substitutable. 
  Weakness 
Weakness  adalah  sesuatu  yang  tidak  bisa  dikerjakan  dengan  baik  oleh
perusahaan  sehingga  menjadi  disadvantage  dalam  persaingan  di  industri. 
Kelemahan  internal  per usahaan  bisa  berkaitan  dengan  (1)  skill  /  intellectual 
capital tidak begitu baik, atau kekurangan  expertise, (2) kurang efisiensi dari sisi
assets ataupun organizational, (3) keterbatasan kapabilitas dari setiap divisi  / key
areas.
  Opportunity 
  
  
33 
Perusahaan  harus  mengidentifikasi  opportunity  dan  melakukan  penilaian 
apakah  opportunity  tersebut  berpotensi  menghasilkan  profit  bagi  perusahaan 
sebelum  merancang  strategi  bisnis.  Market  opportunity  yang  paling  relevan 
dengan perusahaan adalah opportunity yang cocok dengan competitive assets yang 
dimiliki perusahaan, menawarkan prospek pertumbuhan yang bagus dan tentunya 
menguntungkan bagi perusahaan (profitability). 
  Threat 
Threat  merupakan  faktor  eksternal  perusahaan  yang  perlu  diawasi  karena
bisa  mengganggu  performa  bisnis  perusahaan.  Bentuk  dari  threat  bisa  berupa 
potential  new  competitor,  kebijakan  pemerintah,  kondisi  politik,  demogr afi  dan
lainnya.  Sehingga  wajib  hukumnya  bagi  perusahaan  untuk  mengidentifikasi 
ancaman  terhadap  prospek  bisnis  perusahaan  kedepan  dan  merancang  strategic 
actions untuk mengatasi atau meminimalisir impact dari ancaman tersebut.
Bagian terpenting  dalam  melakukan  SWOT  analysis  bukan  hanya  melakukan 
listing  dari  setiap  bagian  SWOT  analysis,  melainkan  membuat  rangkuman  analisa
berdasarkan list dari masing – masing bagian  SWOT analysis  yang menggambarkan 
kondisi  perusahaan  secara  keseluruhan,  setelah  itu  merancang  strategic  actions 
berdasarkan  hasil  rangkuman  analisa  SWOT  untuk  menyesuaikan  strategi  bisnis 
perusahaan  dengan  strengths  dan  market  opportunities  yang  dimiliki  serta 
  
  
34 
memperbaiki  weaknesses  dan  mengatasi  atau  meminimalisir  dampak  dari  external 
threats.
2.3 Porter’s 5 Forces Analysis
Karakteristik dan kekuatan dari competitive forces yang dihadapi setiap industri 
berbeda – beda.  Setiap perusahaan  wajib  untuk  mengetahui seberapa  besar tekanan 
kompetitif  yang  mereka  hadapi,  sehingga  perusahaan  bisa  menyesuaikan  strategi 
bisnisnya untuk menghadapi tekanan –  tekanan tersebut dan bisa terus berkembang. 
Untuk itu diperlukan sebuah tools / metode yang bisa digunakan untuk mendiagnosa / 
menganalisa tekanan kompetitif yang dihadapi perusahaan.  
Menurut buku Crafting and Executing Strategy,  Thompson, Peteraf, Gamble & 
Strickland  (2014),  tools  yang  paling  powerful  dan  popular  yang  digunakan  untuk 
melakukan  analisa  terhadap  principal  competitive  preassure  pada pasar  adalah  five 
forces model  of  competition  yang dipopulerkan oleh Michael E.  Porter.  Five  forces
model  terdiri  dari  rivalry  among  competing  sellers,  potential  new  entrants,
competition  from  producers  of  subtitute  products,  supplier  bargaining  power,  dan
buyers bargaining power.
  
  
35 
  
Gambar 2.5 Five Forces Model 
Sumber : Crafting and Executing Strategy (2014) 
Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014) , ada tiga tahap dalam 
mentukan kekuatan dari competitive preassure terhadap industri, yaitu : 
  Mengidentifikasi faktor –  faktor  yang menjadi  tekanan kompetitif  pada  setiap 
bagian dari five forces model. 
  Mengevaluasi  seberapa  besar  tekanan  kompetitif  yang  berasal  dari  masing-
masing bagian five forces model (strong, moderate, atau weak). 
  Menentukan apakah hasil evaluasi kekuatan tekanan kompetitif dari five forces 
model  dapat  mengantarkan  pada  keuntungan  yang  menjanjikan  di  industri
tersebut. 
  
  
36 
2.3.1 Rivalry among competing seller
Untuk  mengetahui  kuat  atau  lemahnya  rivalry  among  competing  seller 
dalam  industri  bisa  dilihat  dari  beberapa  faktor.  Menurut  Thompson,  Peteraf, 
Gamble & Strickland (2014), faktor-faktor tersebut adalah : 
Rivalry kuat ketika :
  Permintaan  dari  buyer  meningkat  dengan  lambat  ataupun  mengalami 
penurunan.  
  Switching cost dari buyer yang rendah. 
  Produk yang dihasilkan di industri merupakan produk komoditas atau tidak 
memliki perbedaan yang signifikan (weakly differentiated). 
  Perusahaan dalam industri tersebut memiliki fixed cost ataupun storage cost 
yang  tinggi  sehingga  cenderung  terjadi  price  war  untuk  meningkatkan 
turnover produk.
  Banyak  competitor  dengan  ukuran  dan  competitive  strenght  yang  hampir 
sama. 
  Rival menghadapi exit barrier yang tinggi. 
Rivalry lemah ketika :
  Permintaan dari buyer meningkat dengan cepat. 
  Switching cost dari buyer yang tinggi. 
  
  
37 
   Produk  dari  industri  sangat  berbeda  (strongly  differentiated)  dan  loyalitas 
customer yang tinggi.
  Perusahaan dalam industri tersebut memiliki fixed cost ataupun storage cost 
yang rendah. 
  Penjualan  terkonsentarasi  hanya  kepada  beberapa  penjual  besar  (large 
sellers).
  Rival menghadapi exit barrier yang rendah. 
 
2.3.2 Potential new entrants
Menurut  Thompson,  Peter af, Gamble  &  Strickland  (2014), seberapa  serius 
ancaman  dari  new  entrants  ditentukan  oleh  2  faktor,  yaitu:  pertama  adalah 
bagaimana  reaksi  yang  diberikan  perusahaan  incumbents  terhadap  new  entry, 
kedua adalah apa yang menjadi entry barrier dan seberapa besar. Berikut beberapa 
faktor  yang  bisa  mengidentifikasikan  kuat  atau  lemahnya  tekanan  kompetitif  / 
ancaman dari new entrants yaitu :  
 
Entry threats kuat ketika :
  Entry barrier yang rendah. 
  Existing  industry  members  tidak  ingin  atau  tidak  bisa  bersaing  dengan 
newcomers.
  Banyaknya new entrants yang potential yang juga memiliki capabilities dan 
resources yang bagus untuk menghadapi entry barrier yang tinggi.
  
  
38 
   Existing  industry  members  ingin mengembangkan  jangkauan  pasar  mereka 
dengan  masuk  kedalam  segemen  produk  yang  berbeda  ataupun  masuk  ke 
area geografi yang belum terjamah oleh mereka. 
  Permintaan  dari  buyer  berkembang  pesat,  sehingga  new  entrants  dapat 
menghasilkan profit  tanpa mengundang  reaksi  yang  berlebihan dari  sellers 
yang sudah ada. 
Entry threats lemah ketika :
  Entry barrier tinggi dikarenakan : 
o  Cost  advantages  yang  dimiliki  existing  industry  members  dari  segi 
economies of scale, pengalaman, low fixed cost, akses untuk menurunkan
biaya (suppliers), teknologi, atau lokasi. 
o  Strong product differentiation dan brand loyalty. 
o  Brand equity yang bagus. 
o  Dibutuhkan modal yang besar (high capital requirements). 
o  Akses istimewa ke distributin channel. 
o  Kebijakan pemerintah yang ketat. 
  Existing  industry  members  ingin  atau  mampu  untuk  bersaing  dengan  new 
entrants.
  
 
  
  
39 
2.3.3 Competition from producer of substitute products
Perusahaan  di  suatu  industri  rentan  terhadap  tekanan  tindakan  dari 
perusahaan  lain  di  industri  yang  berdampingan  erat  ketika  customer  melihat 
produk  dari  kedua  industri  sebagai  produk  subtitutes  yang  baik.  Menurut 
Thompson, Peteraf,  Gamble & Strickland (2014),  ada  beberapa  faktor  yang  bisa 
mengindikasikan  kuat  atau  lemahnya  competition  from  producer  of  subtitute 
products, yaitu :
Competition from producer of subtitute products kuat ketika :
  Ketersediaan produk subsitusi dan memberikan harga yang lebih menarik. 
  Produk subsitusi memiliki fitur dan performa yang sama atau lebih baik. 
  Buyer  memiliki  switching  cost  yang  rendah  untuk  berpindah  ke  produk 
subsitusi. 
  
Competition from producer of subtitute products lemah ketika :
  Sulit mengakses produk subsitusi dan harga yang ditawarkan tidak menarik. 
  Performa ataupun fitur yang dimiliki produk subsitusi tidak lebih baik. 
  Buyer  memiliki  switching  cost  yang  tinggi  untuk  berpindah  ke  produk 
subsitusi. 
  
  
  
40 
2.3.4 Supplier bargaining power
Menurut  Thompson,  Peteraf,  Gamble  &  Strickland  (2014),  ada  beberapa 
faktor  yang  mengindikasikan  kuat  atau  lemahnya  supplier  bargaining  power, 
yaitu: 
Supplier bargaining power lebih kuat ketika :
  Jasa atau produk yang di supply memiliki permintaan yang lebih banyak dari 
pada jumlah yang tersedia, menyebabkan supplier dapat mengatur harga. 
  Jasa atau produk yang di supply adalah produk / jasa yang differentiated. 
  Switching  cost  yang  besar  ketika  industry  members  ingin  berganti  ke 
supplier lainnya.
  Supplier industry didominasi oleh beberapa supplier besar saja. 
  Produk  atau  jasa  dari  supplier  memiliki  kontribusi  yang  kecil  bagi  biaya 
produk / jasa industry members. 
  industry  members  tidak  dapat  melakukan  backward  integration  dan  self 
supply.
  Supplier tidak bergantung kepada satu industri untuk menghasilkan revenue. 
Supplier bargaining power lebih lemah ketika :
  Suplai barang yang banyak. 
  Barang yang disuplai merupakan barang komoditas. 
  
  
41 
   Switching  cost  yang  kecil  ketika  industry  members  ingin  berpindah  ke 
supplier lain.
  Industry members merupakan penghasil terbesar bagi suppliers’ revenues. 
  Banyaknya jumlah supplier tergantung dengan jumlah industry members dan 
tidak ada supplier yang mendominasi market. 
  Produk  atau  jasa  dari  supplier  memiliki  kontribusi  yang  besar  bagi  biaya 
produk / jasa yang dihasilkan industry members. 
  Industry members memiliki potensi untuk melakukan backward integration. 
  Ketersediaan produk subsitusi. 
  Industry members merupakan customer terbesar bagi supplier. 
2.3.5 Buyer bargaining power
Apakah  buyers  dapat  memberikan  competitive  preassure  yang  besar 
terhadap  industry  members  tergantung  dari  bargaining  power  yang  dimiliki 
customer. Menurut Thompson, Peteraf, Gamble & Strickland (2014), ada beberapa
faktor yang mengindikasikan kuat atau lemahnya buyers bargaining power, yaitu : 
Buyers bargaining power lebih kuat ketika :
  Produk  /  jasa  yang  ditawarkan  oleh  industry  members  tidak  memiliki 
perbedaan (weakly differentiated). 
  Switching cost dari buyer rendah yang mengakibatkan buyer bisa berpindah 
ke produk lain. 
  
  
42 
   Jumlah buyers lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sellers. 
  Buyers memiliki pengetahuan yang luas mengenai kualitas, harga dan biaya 
dari produk / jasa yang ditawarkan sellers. 
  Buyers memiliki kemampuan untuk melakukan backward integration. 
  Buyers dapat memiliki kemampuan untuk menunda pembelian. 
  Buyer merupakan price sensitive. 
   
Buyers bargaining power lebih lemah ketika :  
  Terdapat  kekurangan  /  kelangkaan  dari  barang  industri  yang  berkaitan 
dengan buyer demand. 
  Produk /  jasa yang  ditawawrkan sellers adalah  produk / jasa yang berbeda 
satu dengan lainnya (differentiated). 
  Switching cost dari buyer tinggi. 
  Jumlah sellers lebih banyak dibandingkan dengan jumlah buyers. 
  Buyers memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai kualitas produk / jasa 
yang ditawarkan sellers. 
  Buyers tidak memiliki kemampuan untuk melakukan backward integration . 
  Buyer tidak dapat menunda pembelian. 
  Buyer tidak terlalu price sensitive. 
Dengan  mengevaluasi  kekuatan  tekanan  kompetitif  dari  setiap  bagian  five 
forces model, perusahaan bisa mengetahui apakah dengan memasuki industri tersebut
  
  
43 
bisa menghasilkan profit atau tidak. Hal ini dikarenakan, kuat atau lemahnya tekanan 
kompetitif  dari  five  forces  model,  menentukan  seberapa  besar  peluang  perusahaan 
untuk menghasilkan profit. Semakin  kuat  tekanan kompetitif  dari setiap bagian  five 
forces  model,  maka  semakin  kecil  peluang  perusahaan  untuk  menghasilkan  profit,
dan juga sebaliknya. 
2.4  PESTEL Analysis
Setiap  perusahaan  bergerak  pada  macro  environment  yang  luas,  meliputi  6 
komponen utama, yaitu :   Political Factors, Economics Conditions, Sociocultural 
Forces,  Technological  Factors,  Enviromental  Forces,  dan  Legal  and  Regulatory
Factors.  Setiap  komponen  memiliki  potensi  untuk  mempengaruhi  industri.  Oleh
karena  itu,  penting  bagi  perusahaan  untuk  melakukan  analisa  mengenai  faktor  – 
faktor  macro  environment  yang  mungkin  bisa  berdampak  negatif  kepada  kinerja  / 
profitability  perusahaan.  Dalam  perancangan  str ategi  bisnis  pun,  perusahaan  harus
mempertimbangkan dan membuat strategi yang relevan dengan kondisi makro. 
Untuk  melakukan  analisa  terhadap  faktor  –  faktor  macro  environment, 
Thompson,  Peteraf,  Gamble  &  Strickland  (2014),  menjelaskan  penggunaan  tools 
yang disebut  PESTEL Analysis. PESTEL Analysis fokus mejelaskan tentang  kondisi 
dan dampak dari 6 komponen utama macro environment terhadap perusahaan. 
  
  
44 
  
Berikut penjelasan dari komponen PESTEL Analysis :  
1.  Political Factors
Political Factors meliputi kebijakan politik dan prosesnya, termasuk tingkat
intervensi  pemerintah  terhadap  ekonomi.  Hal  tersebut  dapat  berupa  tax  policy, 
fiscal  policy,  tariffs,  iklim  politik,  dan  kekuatan  dari  institusi  seperti  federal
banking  system.    Beberapa  political  factors  spesifik  terhadap  industri  tertentu,
seperti bailouts. Faktor lainnya seperti energy policy akan mempengaruhi industri 
tertentu, baik dari industr i penghasil energi maupun industri pengguna energi yang 
besar dibandingkan industri lainnya. 
 
2.  Economics Conditions
Economics  Conditions  meliputi  iklim  ekonomi  secara  umum  dan  faktor-
faktor  tertentu  seperti  interest  rates,  exchange  rates,  tingkat  inflasi,  tingkat 
pengangguran,  tingkat  pertumbuhan  ekonomi,  defisit  atau  surplus  dalam 
perdagangan, saving rates,  dan  produk domestik  bruto  per  kapita  (PDB).  Faktor 
ekonomi juga mencakup  kondisi  pasar untuk saham dan obligasi,   dimana  dapat 
mempengaruhi  kepercayaan  dan  pendapatan  discretionary  dari  customer. 
Beberapa industri, seperti kontraktor, sangat rentan terhadap krisis ekonomi tetapi 
memiliki  pengaruh  yang  positif  oleh  penurunan  suku  bunga.  industri  lainnya 
seperti  retailer  dengan  strategi  memberikan  diskon,  akan  mendapatkan 
  
  
45 
keuntungan  ketika  kondisi  ekonomi  melemah,  dikarenakan  customer  akan  lebih 
price conscious.
3.  Sociocultural Forces
Sociocultural  Forces  meliputi  nilai-nilai  sosial,  sikap,  faktor  budaya,  dan
gaya  hidup  yang  dapat  memberikan  dampak  terhadap  bisnis,  maupun  faktor 
demografi seperti jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan peduduk, dan distribusi 
umur.  Sociocultural  Forces  berbeda-beda  disetiap  daerah  dan  berubah  seiring 
berjalannya  waktu.  Contohnya  seperti  gaya  hidup  sehat  akan  memberikan 
kenaikan pengeluaran terhadap peralatan olah raga dan klub kesehatan serta jauh 
dari alkohol dan makanan ringan. Demografi penduduk memberikan dampak yang 
besar  pada  industri  seperti  health  care,  dimana  biaya  dan  pelayanan  perlu 
bervariasi sesuai dengan faktor demografi seperti usia dan penghasilannya. 
 
4.  Technological Factors
Technological  Factors  meliputi  kecepatan  perubahan  teknologi  dan
technical  developments  yang  berpotensi  memberikan  dampak  luas  pada
komunitas,  seperti  genetic  engineering  dan  nanotechnology.    Termasuk  juga 
institusi  yang  terlibat 
dalam  pembuatan  ilmu  baru  dan  pengendalian  terhadap 
penggunaan  teknologi  seperti  R&D  consortia,  universitas  yang  mensponsori 
technology  incubator,  patent  dan  copyright  laws,  dan  pengawasan  pemerintah
terhadap  internet.  Perubahan  teknologi  akan  mendorong  lahirnya  industri  baru, 
  
  
46 
seperti  industri  yang  didasari  nanotechnology  dan  dapat  menggangu  industri 
lainnya. 
  
 
 
5.  Environmental Forces
Environmental Forces meliputi ecological dan environmental forces seperti
cuaca, iklim, perubahan iklim dan faktor terkait seperti persedian air. Faktor-faktor 
ini  akan  berdampak  langsung  terhadap  beberapa  industri  seperti  asuransi, 
pertanian, produksi energi, dan pariwisata. Hal ini juga dapat memberikan dampak 
tidak langsung terhadap industri lainnya seperti transportasi dan industri utilitas. 
  
6.  Legal and Regulatory Factors
Legal  and  Regulatory  Factors  meliputi  regulasi  dan  hukum  yang  harus
diikuti  oleh  perusahaan  seperti  hukum  konsumen,  hukum  tenaga  kerja,  hukum 
antitrust,  kesehatan  kerja  dan  peraturan  keselamatan.  Beberapa  faktor   spesifik
sesuai dengan industrinya, seperti deregulasi  bank. Legislasi  upah minimum jaga 
akan menjadi faktor yang penting. 
2.5 Perencanaan Pemasaran
  
  
47 
2.5.1 Segmentation
Dalam  membangun  sebuah  brand,  perusahaan  harus fokus  kepada segmen 
pasar tertentu agar bisa mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Menurut Bygrave 
& Zacharakis (2011), Segmentation adalah proses mengidentifikasi customer yang 
tepat untuk produk / jasa yang perusahaan tawarkan.  
Kotler  &  Keller  (2012)  menentukan  segmen  pasar  berdasarkan  beberapa 
karakteristik, yaitu : 
1.  Geographic : negara, kota, populasi, iklim. 
2.  Demographic  :  umur,  jenis  kelamin,  pendapatan,  pekerjaan,  pendidikan, 
agama, kelas sosial, status perkawinan, ras / suku. 
3.  Psychographic : values, individualistic, risk taking, social group. 
4.  Behavioural : needs and benefits (enthusiast, image seekers, savvy shoppers, 
traditionalist,  satisfied  sippers,  overwhelmed),  decision  roles  (initiator,
influencer, decider, buyer, user).
 
2.5.2 Targeting
Menurut  Bygrave  &  Zacharakis  (2011),  Targeting  adalah  proses 
membandingkan  segmen  pasar  yang  telah  ditentukan,  lalu  menentukan  segmen 
mana yang menjadi primary target audience, secondary  target audience, tertiary 
target  audience.  Segmen  pasar  yang  atraktif  dan  menarik berkaitan  dengan  size,
growth rate dan profit potential.
  
  
48 
Dalam pemilihan tar get segmen pasar, harus sesuai dengan capabilities dan 
long term goals yang dimiliki perusahaan. Oleh karena itu penting bagi perusahaan
untuk bisa menentukan target market yang tepat sehingga profit yang didapatkan 
juga bisa maksimal. 
2.5.3 Positioning
Berbeda  dengan  proses  segmentation dan targeting  yang  berkaitan dengan 
profile dari  customers  perusahaan, positioning merupakan  proses yang berkaitan
dengan  persepsi  dari  competitors  dan  customers  tentang  produk  yang  dimiliki 
perusahaan.  Persepsi  ini  biasanya  berkaitan  dengan  harga,  kualitas  dan 
kenyamanan desain suatu produk. 
2.5.4 Marketing Mix
Menurut  Bygrave  &  Zacharakis  (2011),  Marketing  Mix  adalah  tools  yang 
bisa  digunakan  oleh  perusahaan  untuk  mencapai  taget  marketing.  Bygrave  & 
Zacharakis  (2011) menjelaskan,  Marketing  Mix  terdiri  dari 4  elemen  yang biasa 
disebut Four Ps, yaitu : product, price, place, dan promotion. 
Berikut penjelasan dari masing – masing elemen Four Ps : 
  Product 
  
  
49 
Dalam  strategi  produk,  perlu  untu  mengidentifikasi  CVP  (Customer 
Value  Proposition)  yaitu  perbedaan  diantara  total  manfaat  yang  didapatkan
customer dengan total cost yang dikeluarkan untuk suatu produk / jasa. Ada 4
elemen  dalam  melakukan indentifikasi  terhadap  CVP,  yaitu  :  kelompok yang 
menjadi  target  dan  kebutuhannya,  brand,  konsep,  dan  poin  yang  menjadi 
pembeda.  Selain  itu  perlu  untuk  menentukan  apakah  produk  yang  ingin 
ditawarkan  merupakan  pioneering  product  atau  incremental  product.  Analisa 
terhadap  product  life  cycle  akan  membantu  bagaimana  cara  melakukan 
marketing ditiap-tiap stages yang ada.
  Price 
Strategi  harga  terbagi  menjadi  3,  yaitu  :  Price  Skimming,  Price 
Penetration,  dan Price  Discrimitation. Pada  Price  skimming, harga ditetapkan
relatif  lebih  tinggi  dengan tujuan  mengambil 
mar gin keuntungan  yang  tinggi. 
Pada  Price  Penetration,  menargetkan  untuk  mengambil  market  shares  yang 
tinggi dengan  margin  rendah  dan  harga  yang  relatif  lebih  murah. Pada  Price 
Discrimitation,  memberikan  harga  yang  berbeda-beda  pada  segmen  yang
berbeda-beda pula.   
  Place 
Strategi  distribusi  dibagi  menjadi  3  tipe,  yaitu  :  (1)  Intensive  yaitu 
pendistribusi barang yang dilakukan secara agresif ke banyak channels. Contoh 
  
  
50 
:  consumer  goods  and  other  fast  moving  products,  (2)  Selective  yaitu 
pendistribusi barang yang dilakukan secara selektif terhadap channels. Contoh : 
pemilihan channels  yang selektif berdasarkan  geographic,  (3) Exclusive yaitu 
pendistribusi  barang  yang  dilakukan  secara  sangat  selektif.  Contoh  :  luxury 
goods.
  Promotion 
Promotion  atau  disebut  juga  dengan  marketing  communication
menyampaikan  pesan  kepada  pasar,  baik  pesan  mengenai  produk  dan  jasa 
perusahaan  maupun  informasi  mengenai  perusahaan  tersebut.  Ada  beberapa 
elemen  dalam marketing communication,  yaitu  : advertising,  sales promotion, 
public  relation,  personal  selling,  dan  direct  marketing.  Untuk  strategi
komunikasi dibagi menjadi 2, yaitu: (1) push strategy yaitu mendorong produk 
melalui  channels  dengan  menggunakan  cara  seperti  trade  promotion,  trade 
shows  dan  personal  selling  kepada  distributors  ataupun  channel  members
lainnya, (2) pull strategy yaitu tujuannya untuk menciptakan demand dari end-
user  dan  mengandalkan  demand  tersebut  untuk  menarik  produk  melalui 
channels.
Selain  itu,  perlu  untuk  melakukan  guerilla  marketing  yang  merupakan 
aktivitas  marketing  non-traditional,  grassroots,  dan  captivating  untuk 
mendapatkan  perhatian  dari  customer  dan  membangun  brand  awareness. 
  
  
51 
Guerilla  marketing  dibagi  menjadi  3,  yaitu  :  word  of  mouth  marketing,  buzz
marketing, dan viral marketing.
2.6 Product Life Cycle
Menurut Kotler & Keller (2012), Product Life Cycle menjelaskan bahwa : 
1.  Produk memiliki masa hidup. 
2.  Penjualan  produk  melewati  fase  yang  berbeda  –  beda,  setiap  fase  memiliki 
tantangan, kesempatan dan masalah yang berbeda – beda pula. 
3.  Profit naik dan turun pada fase product life cycle yang berbeda. 
4.  Setiap fase product life cycle, dibutuhkan strategi bisnis yang berbeda – beda. 
Kotler & Keller (2012) menjelaskan product life cycle terdiri dari 4 fase, yaitu : 
1.  Introduction
Pada  fase  ini,  penjualan  berkembang  lambat  dikarenakan  produk  baru 
diperkenalkan  ke  pasar.  Profit  juga  belum  didapatkan  dikarenakan  pengeluaran 
yang besar untuk investasi awal produk. 
  
  
52 
2.  Growth
Pada fase ini, pasar mulai aware dan menerima produk yang diperkenalkan 
dan mulai mendapatkan profit. 
3.  Maturity
Pada  fase  ini,  perkembangan  penjualan  produk  lambat  dikarenakan  telah 
mendapatkan  seluruh  potential  customer.  Profit  yang  didapatkan  stabil  atau 
menurun dikarenakan meningkatnya kompetisi persaingan. 
4.  Decline
Pada fase ini, dimana penjualan dan profit menurun. 
  
Gambar 2.6 Product Life Cycle 
Sumber : Marketing Management 14 Edition (2012) 
2.7 Inventory System
  
  
53 
Menurut Chase & Jacobs (2011), Inventory System adalah sebuah sistem yang 
digunakan  untuk  maintaining  dan  controlling  barang  yang  keluar  masuk  di 
warehouse.  Sistem  ini  bertanggung  jawab  untuk  melakukan  pemesanan  dan
penerimaan  barang.  Sistem  ini  didesain  untuk  bisa  mengetahui  kapan  waktu  yang 
tepat untuk melakukan pemesanan barang ke supplier, melakukan tracking terhadap 
barang yang sudah dipesan seperti apakah barang yang dipesan sudah dikirim sesuai 
dengan  jadwal,  berapa  jumlah  barang  yang  harus  dipesan,  dan  untuk  siapa  barang 
tersebut dipesan. 
Inventory system yang penulis gunakan adalah multi-period inventory systems.
Multi-period inventory systems artinya melakukan pemesanan barang secara periodik
ketika  inventory  sudah  terpakai.  Chase  &  Jacobs  (2011)  membagi  Multi-period 
inventory systems  menjadi  2 tipe  yaitu,  Fixed-order quantity model  dan  Fixed-time
period model. Berikut perbedaan diantara 2 model Multi-period inventory systems :
Tabel 2.1 Perbedaan Fixed-order quantity model dengan Fixed-time period model 
  
  
54 
  
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011) 
Dalam penulisan ini,  penulis  menggunakan  Fixed-order quantity  model  untuk 
Inventory system berdasarkan beberapa pertimbangan.
2.8 The Triple Bottom Line
Strategi  bisnis yang dirancang oleh perusahaan  harus  bisa  menciptakan  value 
bagi  shareholdersnya.  Oleh  karena  itu,  strategi  tersebut  biasanya  bersifat  profit 
oriented  sesuai  dengan  tujuan  dari  sebuah  perusahaan  yaitu  memperkaya
shareholders.  Thomson,  Peteraf, Gamble,  dan  Strickland  (2014) menjelaskan,  pada
saat ini  sudah banyak  perusahaan yang  merubah  cara  bisnisnya ke arah sustainable 
business  practices  yaitu  dengan  cara  tetap  memenuhi  requirements  untuk  generate
  
  
55 
revenue  saat ini tanpa  mengorbankan  requirements  untuk  generasi selanjutnya. Hal
ini  mengindikasikan  bahwa  scope  dari  strategi  bisnis  perusahaan  tidak  lagi  hanya 
terfokus kepada sisi economy  / profit semata tetapi sudah mulai mempertimbangkan 
impact terhadap social dan environment.
Oleh karena itu lahirlah  konsep  Triple Bottom Line yang  diciptakan  oleh John 
Elkington (1997). Triple Bottom Line mengevaluasi kriteria dari sisi economy, social, 
dan  environmental.  Konsep  Triple  Bottom  Line  ini  juga  biasa  disebut  3P’s  yaitu 
People, Planet, Profit.
  
Gambar 2.7 The Triple Bottom Line 
Sumber : Operations and Supply Chain Management (2011) 
2.9 Laporan Keuangan
  
  
56 
Laporan keuangan bisa digunakan oleh manager perusahaan untuk melakukan 
3 tugas pentingnya yaitu mengukur performa perusahaan, melakukan monitoring dan 
controling,  melakukan  perencanaan  performa  keuangan  perusahaan  dimasa  depan.
Titman, Keown, & Martin (2011) menjelaskan tugas tersebut sebagai berikut : 
1.  Financial statement analysis 
Tujuan dari melakukan analisis laporan keuangan adalah untuk mengetahui 
kondisi keuangan perusahaan. Sehingga manager  / analyst bisa melihat performa 
keuangan perusahaan yang sama dengan investor. 
2.  Financial control 
Manager menggunakan laporan keuangan untuk  melakukan monitoring dan 
controlling kegiatan operasi perusahaan. 
3.  Financial forecasting and planning 
Laporan keuangan menyediakan format informasi yang bisa dipahami secara 
universal untuk menggambarkan kegiatan operasi perusahaan. 
Titman,  Keown,  & Martin (2011)  membagi  laporan keuangan menjadi 3  tipe, 
yaitu : income statement, balance sheet, dan cash flow statement. Berikut penjelasan 
dari masing – masing tipe laporan keuangan : 
  
  
57 
  
2.9.1 Income Statement
Income  statement  adalah  suatu  laporan  yang  dibuat  secara sistematis  yang
berisikan tentang pendapatan (revenues) dan biaya (expenses) yang timbul  akibat 
aktivitas  operasi  dalam  periode  tertentu  dari  suatu  perusahaan.  Komponen  – 
komponen dasar dari income statement adalah sebagai berikut : 
1.  Revenues  :  pendapatan  yang  didapatkan  perusahaan  dari  hasil  penjualan 
produk / jasa dalam periode waktu tertentu. 
2.  Cost of goods sold : biaya yang timbul untuk memproduksi barang atau jasa. 
3.  Gross  profit  :  pendapatan  kotor  hasil  pengurangan  revenues dengan  biaya 
yang berkaitan dengan pembuatan atau penyediaan produk atau jasa (cost of 
goods sold).
4.  Operating expenses : biaya yang timbul akibat aktivitas operasi / bisnis. 
5.  Net operating  income  (EBIT)  :  pendapatan  operasi setelah dikurangi  biaya 
operasi namun diluar bunga dan pajak penghasilan. 
6.  Interest expense : biaya yang timbul akibat pinjaman uang. 
7.  Earnings  before  taxes  :  pendapatan  setelah  dikurangi  seluruh  biaya  yang 
timbul namun diluar pajak. 
8.  Income taxes : pajak penghasilan 
9.  Net  income  :  pendapatan  bersih  setelah  dikurangi  seluruh  biaya  termasuk 
depresiasi, bunga dan pajak. 
  
  
58 
  
2.9.2 Balance Sheet
Balance  sheet  adalah  laporan  yang  menggambarkan  posisi  keuangan
perusahaan  pada  akhir  periode  tertentu.  Persamaan  dasar  akutansi  mengenai 
balance sheet adalah sebagai berikut :
Total Assets = Total Liabilities + Total Stockholders’ Equity
  Total  Assets  adalah  seluruh  sumber  daya  (resources)  yang  dimiliki  oleh 
perusahaan.  
  Total  Liabilities  adalah  kewajiban  atau  hutang  yang  dimiliki  perusahaan 
kepada kreditur untuk akitivitas operasi / bisnis. 
  Total  Stockholders’  Equity  adalah  modal  yang  didapatkan  dari  paid  in 
capital  (biaya  yang  dikeluarkan  investor  untuk  mendapatkan  saham),
common stock, dan retained earnings (laba ditahan).
2.9.3 Cash Flow
Cash  flow  adalah  laporan  arus  kas  yang  mengidentifikasi  sumber  dan
penggunaanya pada  periode  tertentu.  Di  dalam  cash  flow ada  3 kegiatan  utama, 
yaitu: 
1.  Operating activities : arus kas yang berkaitan dengan aktivitas bisnis utama 
perusahaan termasuk revenues dan expenses. 
  
  
59 
  
2.  Investment  activities  :  arus  kas  yang  berkaitan  dengan  pembelian  atau 
penjualan fixed assets seperti tanah, bangunan. 
3.  Financing  activities  :  arus  kas  yang  berkaitan  dengan  perolehan  kas  dari 
issuing debt,  penjualan atau pembelian stocks, pembayaran dividend.
2.10 Analisa Kelayakan Bisnis
2.10.1 Net Present Value (NPV)
Menurut Titman, Keown, & Martin (2011), untuk mengetahui apakah suatu 
perencanaan  bisnis  layak  untuk  dijalankan  atau  tidak,  maka  dibutuhkan  tools  / 
metode  untuk  menganalisa  tingkat  profitabilitasnya.  Tools  yang paling  powerful 
adalah  Net  Present  Value  (NPV).  Net  Present  Value  adalah  perbedaan  diantara 
present value dari cash inflows (arus kas  masuk) dengan cash outflows (arus kas
keluar). Berikut cara menghitung NPV : 
  
  
  
60 
Kriteria penilaian NPV : 
1.  Jika nilai NPV > 0 (positif), maka proyek diterima. 
2.  Jika nilai NPV < 0 (negatif), maka proyek ditolak. 
3.  Jika  nilai  NPV  =  0,  maka  proyek  tersebut  tidak  menciptakan  keuntungan 
ataupun kerugian.  
2.10.2 Profitability Index (PI)
Cara  lain  untuk  mengetahui  kelayakan  usaha  selain  dari  NPV  yaitu 
Profitability Index. Menurut Titman, Keown, & Martin (2011), Profitability Index
adalah  rasio  cost-benefit  yaitu  nilai  present  value  dari  future  cash  flows  dibagi 
dengan initial cost. Profitability Index dapat dihitung dengan rumus berikut : 
Keterangan : 
  PI = Profitability Index 
  CFt = future cash flows 
  I = initial cost 
  
  
61 
   r = discount rate 
  t = number of periods 
Kriteria penilaian PI : 
1.  Jika PI > 1, maka proyek diterima dikarenakan NPV positif. 
2.  Jika PI < 1, maka proyek ditolak dikarenakan NPV negatif. 
2.10.3 Internal Rate of Return (IRR)
Menurut  Titman,  Keown,  &  Martin  (2011), Internal  Rate  of  Return  (IRR) 
adalah  discount  rate  yang menghasilkan  NPV  menjadi  0.  IRR  merupakan  batas 
minimum discount rate project yang dapat diterima. 
Berikut cara penghitungan IRR : 
  
Keterangan : 
  CF0 = initial outlay 
  CFn = future cash flows 
  r = IRR 
  n = number of periods 
  
  
62 
  
Kriteria penilaian IRR : 
1.  Jika IRR > k (required rate of return / discount rate), maka proyek diterima 
dikarenakan NPV positif. 
2.  Jika  IRR < k (required rate of return / discount rate), maka proyek ditolak 
dikarenakan NPV negatif. 
2.10.4 Payback Period
Menurut  Titman,  Keown,  &  Martin (2011),  Payback  Period  adalah  waktu 
yang  dibutuhkan  untuk  pengembalian  modal  investasi  (initial  cash  outlay). 
Kriteria  penilaian  Payback  Period  adalah  jika  periode  Payback  Period  lebih 
singkat  dibandingkan  waktu  maksimal  yang  dibutuhkan  untuk  pengembalian 
modal  investasi,  maka  proyek  diterima  dikarenakan  memiliki  tingkat 
pengembalian modal yang tinggi.