5
BAB II
DATA DAN ANALISA
2.1
Sumber
Data
Data data dan
informasi
yang digunakan untuk
mendukung proyek TA
ini akan
diambil dari berbagai sumber, diantaranya :
1.   Literatur : buku dan artikel dari media elektronik maupun non elektronik.
2.   Wawancara / Interview dengan pihak pihak terkait
3.   Pengamatan langsung di lapangan.
2.2
Wacana  dan
Semiotika
Wacana-wacana
mengenai
semiotika
di
Indonesia
sangat
sedikit,
Apalagi
yang
membahas dari segi Desain Komunikasi Visual.
Bahkan
masih sedikit desainer-
desainer
non
profesional (student) maupun
profesional di
Indonesia
yang
memahami
apa
semiotika
itu,
hanya
desainer-desainer yang
benar-benar
mempelajari
bidangnya
yang
benar-benar memahami
semiotika.
Pertanyaan-
pertanyaan
yang
dilontarkan
mengenai
semiotika
akan
dipertanyakan kembali
“Apakah semiotika
itu?”. Dari
survey
Penulis
menemukan sangat
sedikit
buku-
buku
yang
membahas semiotika di
toko-toko buku
terkemuka Jakarta 
seperti
Gramedia, Gunung Agung, QB, Aksara, Kharisma, Spectra, Basheer, Kinokunia.
Ketika memasuki toko buku dan bertanya kepada mereka di mana untuk temukan
buku-buku
mengenai semiotika dan
mereka
menjawabnya dengan
suatu
wajah
  
6
yang
kosong.
Bahkan
lebih
buruk,
mereka
menanyakan
untuk
menggambarkan
apa
yang
dimaksud
dengan
semiotika. Hal
ini
adalah
hal
yang
sulit
karena
kebanyakan
orang
yang
ingin
membaca
buku
semiotika
ingin
mengetahui lebih
dalam
tenteng
semiotika
namun
mereka
dihadapkan dengan
pertanyaan-
pertanyaan definisi semiotika
itu
sendiri. 
Hal
ini
membuat calon pembeli
buku
tersebut
merasa
pilihan
bijaksana
untuk
tidak
bertanya.
Sebenarnya kita
telah
mengenal semiotika dari
sekitar
kita
Penemuan
semiotika lebih
mirip
dengan
penemuan teori grafitasi, fenomenanya sudah ada secara alami, penemunya hanya
mengamati
fenomena
itu dan
merumuskannya. Ketika Newton
menemukan teori
grafitasi, bukan
berarti
bahwa
sebelum
ia
menemukan
teori
itu,
semua
mahluk
mengambang
tanpa bobot.   Singkatnya, semiotika
itu sudah
ada sejak
manusia
hadir
di
muka
bumi.
Semua
orang
dengan
sendirinya sudah
tahu
dan
mahir
menggunakannya, tanpa
perlu
mahir
di
dalam
teori
semiotika.
tanpa
membaca
buku orang mengetahui bahwa janur itu artinya ada orang yang sedang menikah,
bendera kuning artinya ada orang yang telah yang meninggal, orang akan senang
jika ada yang memberi bunga mawar, dan orang pasti tidak senang terhadap orang
yang berbohong atau menjelek-jelekkan orang lain, dsb.
Lantas
apa
perlunya
belajar
teori
semiotika
Kita
mungkin
tidak
akan
mati
jika
tidak
mempelajarinya, tapi
manusia
akan sangat
dipermudah
dalam
melakukan
pekerjaan
sebagai desainer,
seniman, komunikator
dan
orang-orang
advertising.
jika
kita
bisa
menguasainya. Pemahaman akan
semiotika dan
ilmu-ilmu
lainnya
akan   menentukan   kekuatan   consciousness,   semakin   tinggi   consciousness
  
7
seseorang, semakin sadar ia akan seluruh aspek pekerjaannya, semakin tinggi pula
kemampuannya  mengkontrol 
dan 
mengintegrasikan
aspek-aspek 
tersebut,
sehingga hampir tidak
ada
lagi
keputusan yang dibuat
secara 'tidak sengaja' dan
tidak
selaras
dengan konsep
dan
idea.
Hal
ini
yang
membedakan orang-orang
awam dengan orang-orang seperti
Brody,
Paul
Rand atau
Bill
Bernbach, betapa
consciousness
mereka
sudah
sedemikian tinggi
sehingga
semua
elemen
dalam
desain
mereka
tak
lebih
adalah
artikulasi dari
idea/gagasan
yang
akan
dikomunikasikan. Bahwa penerapan semiotika bukan selalu perkara keseragaman
visual 
seperti  warna, 
font, 
dsb  tapi 
lebih  dari 
itu,  semiotika 
menentukan
konsistensi tone&manner sehingga desain bisa
membuat pesan di benak dan
hati
audience, sehingga apresiasi audiens bisa mencapai taraf empati. Bahkan seniman
pun akan mebutuhkan kesadaran akan semiotika itu sendiri untuk pencapaiannya
pada proses berkarya agar
orang-orang dapat menerima setidaknya gagasan atau
idea
mereka
secara
garis
besar dan
ikut
merasakan
gagasan
atau
idea
tersebut.
Bahkan semiotika dapat bersifat dekonstruktif dan
rekonstruktif suatu
pemikiran
sehingga
akan
lahirnya
gagasan-gagasan baru
dan
bukan
hanya
mepelajari
pengulangan
visual,
seperti
simbol
swastika
yang
dipakai
lagi oleh
partai
fasis
jerman, Nazi.
Arti,
impact,
tone
dan
manner dari
simbol
yang
sama
akan
jauh
berbeda terhadap masyarakat.
Namun  wacana-wacana  semiotika  yang  dapat  diperoleh  di  Indonesia  sangat
sedikit, pada khususnya wacana-wacana pada bidang
Desain
Komunikasi Visual
ditemukan hampir tidak ada. Berikut judul buku semiotika di Indonesia dengan
  
8
author
Indonesia
yang berkaitan
dengan dunia
Desain
Komunikasi Visual
yang
didapat dari
survey
di
toko-toko
buku
terkemuka di
Jakarta seperti
Gramedia,
Gunung Agung, QB, Aksara, Kharisma, Spectra, Basheer, Kinokunia.:
SEMIOTIKA KOMUNIKASI
Pengarang
"Drs.  Alex Sobur,
M.Si"
Penerbit
REMAJA ROSDAKARYA
Tahun terbit
2003
Jumlah Halaman
xxix+333 halaman
ISBN  979-692-238-X
Kertas
HVS 70 gr.
Ukuran  16 x 24 cm. (cm)
Keterangan  
"Sinopsis
:
Buku ini
memfokuskan diri
pada
semiotika
komunikasi, yang berkaitan dengan penggunaan dan produksi tanda secara
sosial
di
dalam
proses
komunikasi. Di
dalamnya
diuraikan
secara
komprehensif sistem-sistem tanda, penggunaan tanda secara sosial
TEORI  DASAR DESAIN KOMUNIKASI
VISUAL
Pengarang
Artini
Kusmiati  R, Sri
Pidjiastuti,
J. Pamuadji Suptandar
Penerbit
DJAMBATAN, PT
Tahun terbit
1999
Jumlah Halaman 
halaman
ISBN  979-428-362-2
  
9
Kertas
HVO
Ukuran  15,5 x 23,5 (cm)
SEMANTIK  I (PENGANTAR  KE ARAH ILMU MAKNA)
Pengarang
Prof.
Dr. Fatimah
Djaja
Sudarma
Penerbit
REFIKA ADITAMA
Cetakan
III
Tahun terbit
2002
Jumlah Halaman
68 halaman
ISBN  979-8020-74-X
Kertas
HVS 70 gr.
Ukuran  15 x 21 cm. (cm)
SEMANTIK  II (PEMAHAMAN  ILMU
MAKNA)
Pengarang
Prof.
Dr. Fatimah
Djaja
Sudarma
Penerbit
REFIKA ADITAMA
Cetakan
III
Tahun terbit
2002
Jumlah Halaman
96 halaman
ISBN  979-8020-72-X
Kertas
HVS 70 gr.
Ukuran  15 x 21 cm. (cm)
  
10
ANALISIS
TEKS
MEDIA,
Suatu  Pengantar
untuk 
Analisis
Wacana,
Analisis Semiotik dan
Analisis
Framing
Pengarang
"Drs.  Alex Sobur,
M.Si"
Penerbit
REMAJA ROSDAKARYA
Cetakan
II
Tahun terbit
2002
Jumlah Halaman
xii+200 halaman
ISBN  979-692-142-1
Kertas
HVS 70 gr.
Ukuran  16 x 24 cm. (cm)
Harga
Rp 20000
Keterangan 
"Sinopsis
:
Berita
yang
diterbitkan media
massa
tidaklah
identik
dengan
peristiwa
yang
melatarbelakanginya. Berita
lebih
merupakan
upaya
rekonstruksi tertulis
terhadap
suatu
realitas.
Sebagai
hasil, rekonstruksi, peritiwa yang sama dapat mempunyai wujud.
Jumlah
buku-buku
tersebut
tidak
banyak
dan
sulit
didapat
bahkan
buku-buku
impor mengenai semiotika pun sangat sulit didapat di Jakarta.
2.3
Semiotika
Semiotika memiliki sifat dasar interdisiplioner. Dan menurut filsuf Amerika yang
juga 
penemu 
semiotika 
moderen, 
Charles    Saunders 
Peirce   –   semiotika
  
11
memperhatikan
logika
relasi…apapun jenis
relasi
yang
diperhatikan…Nadin
mengeluarkan pernyataan
bahwa
semiotika
merupakan
logika
yang
tidak
berbentuk.     Dalam sudut pandang yang luas
ini, semiotika dilihat sebagai suatu
bentuk perluasan persepsi kita terhadap dunia.
2.3.1 Sejarah singkat
semiotika
Dalam
sejarahnya,
semiotika
berumur
setidaknya setua pengobatan
dan
filosofi
Yunani.
Kata
‘semiotika’ itu
sendiri
berasal
dari
bahasa
Yunani
‘sema’
yang
berarti ‘tanda’ atau ‘simbol’, dan dari kata
‘semeiotikos’ yang berarti ‘pengamat
simbol’.  Dalam  pengobatan  Yunani  semiotika  ataupun  minat  dalam  simbol-
simbol yang bersifat diagnosa, menjadi salah satu dari tiga cabang obat-obatan.
Para
filsuf 
terus
menyibukkan diri
dengan
semiotika. Pada abad
pertengahan,
sejumlah pelajar
menspesifikasikan sebuah
teori
komprehensif 
tentang simbol-
simbol
yang dikenal sebagai 'scientia sermocinalis',
yang mencakup tata bahasa,
logika,
dan
retorik.
Pada
akhir
abad
ke-17
John  Locke,
salah
satu empiris
dari
Inggris
yang
juga
merupakan ahli
fisika,
kembali
memperkenalkan 'semeiotike'
didalam filsafat, menyatakan 'doctrine of signs' untuk dijadikan cabang divisi ilmu
pengetahuannya (logika,
fisika,
dan
etika)
sebagai
‘bisnis
untuk
memperhatikan
sifat simbol
yang dipergunakan
pikiran
untuk pemahaman
hal-hal
tertentu
atau
untuk
mentransfer
pengetahuannya mengenai
hal-hal
lainnya’.
Jean 
Henri
Lambert, di abad ke-18, mengambil 'semeiotike' Locke dan menulis sepuluh bab
  
12
mengenai 
prinsip-prinsip  komunikasi 
dan 
implikasi 
didalam 
pandangan
semiotika.
Namun
baru
pada
permulaan
abad
inilah
komponen-komponen teoritis
lebih
dikembangkan, pada
prinsipnya
oleh
dua
figure
penting
:
ahli
bahasa
dari
Ferdinand de Saussure, dan
filsuf/ ahli matematika/ ahli
logika Saunders Peirce.
Mereka mewakili dua sekolah pemikiran : de Saussure menyebutnya  Semiology,
dan
Peirce menyebutnya Semiotic. (Sekolah pemikiran
yang ketiga - the
Prague
School – diwakili oleh figur seperti Jan Mukarovsky dan Roman Jackobson).
2.3.2 Mengenai
Semiotika
Menurut
Thomas  Ockerse, 
kunci
semiotika adalah konsep
unit
yang
disebut
‘sign’. Sign berpartisipasi didalam hubungan simbiotik dengan bahasa, tetapi juga
merupakan priori
terhadap
bahasa.
Secara
kasar
dinyatakan, sebuah
sign
merupakan
suatu
unit
yang
mengijinkan
seseorang
menginterpretasikan
sesuatu
yang 
mewakili  makna 
yang 
mengacu  ke  hal  lain.  Dengan  kata  lain  sign
sebenarnya merupakan sebuah proses. Melalui sign kita dapat merepresentasikan
dan 
menginterpretasikan,  dan 
juga 
mengembangkan 
pengetahuan 
dan
pemahaman.
Meskipun
semua
hal
bisa
digunakan sebagai
sign,
tidak
semua
hal
merupakan
sign.
Sebuah
sign dihasilkan dari
sebuah
proses
yang jelas
yang
disebut
Peirce
semiosis.  Semiosis
merupakan  interaksi  kooperatif  antara  tiga  komponen:  1)
  
13
kondisi interpretasi ;
2)
yang
mewakili ;
dan 3)
yang diwakili. Hanya pada saat
ketiga
bagian
ini
diselesaikan
saja,
suatu
informasi
dimungkinkan, -
termasuk
persepsi
terhadap
unit
yang
kita
kenal
sebagai sign.
Kita
juga
memerlukan
penggunaan sign sebagai penengah antara sign dan sign systems.
Maka itu, segala
sesuatu yang berhubungan dengan informasi, terlepas dari
level atau kualitasnya,
melibatkan persepsi
terhadap
sign.
Sesungguhnya,
sign
merupakan unit
yang
menengahi segala sesuatu yang kita lakukan : beraksi, bereaksi, mengidentifikasi,
mewakili,
mengasosiasi,
mengasimilasi,
mengekspresikan, mengevaluasi,
menghasilkan, dll. Bahkan untuk Peirce, tidak ada pemikiran tanpa sign.
Untuk
benar-benar
memahamai dan
menghargai persepsi
mediasi
ini,
seseorang
harus
mengetahui
model
konseptual
dari
sign.
Mediasi
ini
berada
diantara
tiga
komponen yang disebutkan sebelumnya
yang dinamai oleh Peirce:  Interpretant,
Representamen, dan Object.
Object
adalah segala sesuatu
yang akan diwakilkan, seperti sebuah perusahaan,
acara, 
informasi, 
relasi, 
komoditi,  objek, 
ide, 
sistem, 
fungsi,   dll. 
Object
merupakan objektif
utama dari
sign, yang ditandai atau dikomunikasikan. Object
terbuat dari ikon, simbol, dan indeks.
Representamen adalah
yang
berfungsi
sebagai
sebuah
sign.
Meskipun
dalam
praktek biasanya kita cenderung menyebutnya ‘sign ‘, sebenarnya representamen
bukanlah sign. Representamen
menggantikan dan
mewakili object, sebagai alat
  
14
hingga akhir, komponen
sebuah bahasa
yang digunakan
untuk
menstimulasi apa
yang
tidak
terlihat
(object), bermanifestasi dalam sejumlah bentuk bahasa: lisan
atau
tertulis,
gambar-gambar, grafik,
poster,
produk, alat-alat,
lingkungan,
gerak
tubuh, suara, perilaku, dan seterusnya.
Pada
poin
ini,
penulis
mengelaborasikan
secara
singkat
mengenai representasi.
Satu
hal
yang
juda
dilakukan
Peirce  adalah
mengembangkan
konsep
tipologi
sign, sebuah pengelompokan terhadap enampuluh enam aspek.
Icons adalah representasi secara langsung berdasarkan kesukaan (seperti gambar,
peta). Dikarenakan sebuah representasi yang bersifat ikon hanya memberikan satu
sudut pandang, maka
hal tersebut
menjadi jenis yang paling
lemah. Orang yang
ingin
menginterpretasi tidak perlu diinformasikan. Namun, barangkali untuk
tiga
alasan  inilah  representasi
yang  bersifat  ikon  cenderung
menjadi  yang  paling
sering digunakan.
Symbols merupakan
representasi
‘abstrak’
yang
berdasarkan
pada
satu
kesepakatan (contohnya warna
merah
untuk
bahaya,
angka
satu
untuk
pertama,
salib  untuk  Kristianitas,  bendera  untuk  negara,  dll).  Beberapa  lebih  mudah
diterima
daripada
yang
lainnya.
Di
lingkungan yang
berbeda
dengan
satu
kesepakatan yang berbeda akan diperlukan symbols yang berbeda.
  
15
Representasi indexical
bersifat
tidak
langsung.
Mereka
menunjuk
pada
atau
merupakan
tanda-tanda
fisik
yang
ditinggalkan
objek
(seperti
asap
untuk
api,
sidik jari, daun yang diwarnai, dll).
are 'indirect'. They point to or are
the physical
mark left by the object (seperti asap untuk kebakaran, sebuah sidik jari, daun-daun
berwarna).
Indexical
signs,
merupakan bentuk
yang
paling
menarik
karena
lompatan
konseptual yang
harus
dilakukan
pikiran
untuk
dapat
menjadi
lebih
terlibat secara aktif dengan sign.
Tentu saja, cara kita
mengelompokkan suatu representasi benar-benar tergantung
pada fungsi atau konteks (yaitu tergantung pada Interpretant). Untuk penggunaan
lebih jauhnya, semua representasi dan signs lebih disesuaikan dengan konteksnya.
Ketidak konsistenan ini
merupakan perhatian utama dari
komponen yang ketiga,
yang
mungkin
juga
merupakan komponen
yang
paling
kompleks: Interpretant.
Disini, pengguna/
konsumen, atau pasar,
turut dipertimbangkan; dan
fungsi sign
benar-benar
dijelaskan.
Disini
kondisi
konteks
dan
nilai
direalisasikan. Dalam
proses desain, komponen  Interpretant  bertindak sebagai semacam
filter dimana
komponen
sign
yang
lain
diuji
dan
dikualifikasi, melalui
proses
dimana
Representamen
maupun Object
terus
menerus dijelaskan,
dievaluasi
ulang,
dan
diklarifikasi. Dalam tugas desain, sangatlah penting untuk benar-benar memahami
apa yang terlibat didalam Interpretant, Object dan Representamen. Semakin rumit
sebuah
sign,  maka
tugas
desain
pun 
menjadi
semakin
berhubungan
terutama
dalam aspek meditasi.
  
16
Melalui
komponen Interpretant
dari
sign,
seseorang dapat
melihat
logistik
representasi dan menegosiasikan sebuah solusi desain.
Dalam
model Peirce's  mengenai
semiosis, gagasan Interpretant - atau, yang kita
sebut
sebagai
konteks,
atau kondisi,
atau
fungsi
memiliki nilai
yang
sangat
penting.
Disinilah
perbedaan
antara
dua
sekolah
pemikiran yang
disebutkan
sebelumnya, yaitu semiotika Peirce
versus semiologi Saussure.
Dalam
versi
De
Saussure,  perspektif
linguistik
semiologi
memandang sign
dari
tingkat
beku
kata
didalam
teks
dimana
ia
ditempatkan, sign
sebagaimana
ditetapkan dan diungkapkan oleh urutan linear dari teks. Semiologi pada dasarnya
merupakan 
sebuah 
perspektif 
didaktik 
(dua 
bagian) 
mengenai 
sign, 
yaitu
'signifier'
dan
'signified'
.
Hal
ini
pada
dasarnya
merupakan
perilaku
reduktif,
yang
mungkin
sesuai
untuk
sebuah
sign
linguistik namun
menjadi
bermasalah
untuk
sign
visual.
Sign
visual
pada
umumnya
tidak
berada
didalam
konstruksi
linear 
yang  telah  diberikan,  dan 
maka  itu 
memiliki  kecenderungan  bersifat
mandiri dalam konteksnya. Elemen-elemen waktu dan tempat yang berubah-ubah
dapat
mempengaruhi –
dan
merombak –
representasi. Menyadari
hal
ini, Peirce
menambahkan Interpretant. Sejak para semiologis
memandang
linguistik sebagai
sistem
yang dominan
untuk semua
sign,
kesulitannya menjadi semakin terbukti
ketika
perilaku
reduktifnya
diterapkan
pada
sign
selain
sign
systems. Meski
demikian, Peirce menampakkan semua sign systems yang setara nilainya  - bukan
  
17
untuk
mendominasi
atau
mensubjekkan yang
lainnya.
Bahkan
ia
melihat
keseluruhan alam semesta seperti mengandung signs – atau terdiri dari signs.
Dengan pemikiran ini, dan sejak pekerjaan Peirce sejauh ini menjadi usaha yang
paling
spesifik dan teguh
untuk
memberikan
sejumlah
signs
beserta
maknanya,
pekerjaan
Peirce
meminjamkan dirinya
sendiri
sumber
terbaik
untuk
mengembangkan sebuah desain atau teori komunikasi visual mengenai semiotic.
Bahasa, sebagai sebuah sistem,
mengkorelasikan signs dalam satu kelompok dan
mengkoordinasikan aturan-aturan
yang
mengijinkan
pemakaian
yang
berarti
beserta penggunaan signs. Korelasi semacam ini dapat dipecah menjadi tiga jenis
yang
dalam bahasa kita dikenal:
syntax,
relasi
formal/
struktural
antara
signs
kita
dapat
menyebutnya tata
bentuk,
atau
cara
segala
sesuatunya
dibentuk;
semantik,
relasi  antara  yang  mewakili
dan  objek  yang  diwakili
–cara  segala
sesuatu dikenali
dalam proses
interpretasi (maka
itu
mengacu pada sistem yang
kita kenal sebagai sign); dan pragmatik, atau relasi fungsional dari signs didalam
bahasa
untuk
para
pengguna.
Model
semiotika
sign
memungkinkan kita
meletakkan 
tiga   komponen 
ini   didalam   perspektif   yang   logis:   ketiganya
sebenarnya  tidak 
terpisah 
namun  berdiri  sendiri  sambil 
saling 
mendukung
didalam gaya
yang
hirarkis.
Ketika
kita
menyadari relasinya
yang
benar
kita
mencapai
apa
yang
kita
sebut
didalam desain
sebagai
'appropriateness'.
Level
sintaktik   adalah   yang   termudah   untuk   mengidentifikasi   dan   mengontrol,
sedangkan level pragmatik adalah yang tersulit.
  
18
Mempelajari sebuah bahasa berarti menjadi mampu mengidentifikasi suatu logika
sistematik
tertentu,
beserta
strukturnya, dan
menjadi
mampu
untuk
mendeskripsikan  
logika
didalam
bagian-bagian yang
berhubungan
secara
keseluruhan, bagian-bagian yang berhubungan dengan bagian-bagian lainnya, dan
keseluruhan
yang
berhubungan dengan
bagian-bagiannya. Hal
ini
hanya
dapat
dicapai melalui prinsip-prinsip mediasi signs. Bila kita sudah dapat
membedakan
relasi
logis
dari
komponen-komponen sistem,
barulah
kita
dapat
memahami
bahasanya.
Memahami prinsip-prinsip mediasi ini, sebagaimana digambarkan oleh semiotika,
sangatlah
penting
bagi
desainer.
Bahasa-bahasa yang
mengelilingi
kita
harus
setidaknya didefinisikan dengan beberapa dasar
logis
yang
mencerminkan suatu
tujuan dalam beberapa relasi yang nyata.
Komponen
semantik
dalam
bahasa
menunjuk kepada sebuah
aktivitas
semiotik
sistem.
Disadari
atau tidak,
dan
tanpa
mempertimbangkan sifat
tugas
desainnya
(lingkungan, produk,
atau
pesan;
atau
masalah
teknis/
konseptual), sebagai
desainer
kita
terus
menerus
terlibat
dalam
mediasi
ini.   Ini
mencakup semua
tingkatan dan fase desain: antara target dan nontarget; antar klien, objektif pasar,
dan  pasar  sesungguhnya;  antara  bentuk  dan  lawan  bentuknya;  antar  bentuk,
fungsi,
dan
representasi. Perhatian
terhadap
detail
berarti
mempertimbangkan
konsep ‘sign’ semiotik.
  
19
Yang diperlukan desainer untuk memahami adalah bahwa produk biasanya eksis
dalam bentuk
satu
set kompleks
yang
terdiri
dari
signs.
Hal
ini
mengacu pada
alam
semesta
sistemik
yang
disebutkan
sebelumnya,
atau
konsep
bahasa.
Kerumitannya menjadi
jelas
ketika
sebuah
desain
visual
dianalisa
karena
kita
cenderung
menemukan
variasi
elemen-elemen yang
pada
saat
dipisahkan
dan
keluar
dari
konteks,
tidak
akan
terlihat
harmonis sama
sekali;
namun
entah
bagaimana 
akan 
terlihat 
harmonis  ketika  dibawa  bersama  dengan 
harmoni
tertentu,
seperti
didalam
bahasa
corporate.
Bentuk-bentuk verbal
dan
elemen-
elemen
visual
seperti
ruang
relasi
waktu,
hanyalah beberapa contoh
yang
tersedia. Secara
lebih
luas, yang disebut sebagai bahasa dapat
melibatkan jenis-
jenis
representasi
yang
berbeda
yang
berkooperasi menuju objektif
yang
sama
(contohnya: sebuah judul, teks
yang lebih terperinci, sebuah gambar, dan sebuah
simbol, -
masing-masing
mengacu pada objek
yang
sama
namun dari perspektif
yang
berbeda
suatu
pandangan 'parallax' 
yang
memiliki
lapisan-lapisan
informasi.
Sebuah pencarian desain terhadap sudut pandang alternatif dapat dipertimbangkan
dengan menerapkan operasi tiga sign Peirce:
substitution - insertion - omission –
sebagai sebuah jalan yang generatif. Tiga operasi ini dapat diaplikasikan ke semua
tiga elemen sign, yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Level sintaktik adalah
yang termudah, sedangkan level pragmatik menjadi jauh lebih sulit. Seleksi dari
  
20
hal-hal
ini
dapat
dikombinasikan  
untuk
mengekspresikan informasi
secara
optimal.
Menurut
model
ini,
sangatlah
jelas
bahwa
dapat
ditemukan beberapa
Representamen dalam
korelasi
dengan
beberapa
Interpretants,
dengan
masing-
masing  set  mengacu  pada  Object  yang  sama.  Hal  ini 
menciptakan  sebuah
‘SUPERsign’ dalam realita, sebagaimana pengaruh sebuah ‘kata’ terhadap sebuah
‘teks’,
sebuah
‘sign’
terhadap sebuah
‘supersign’.  
Maka itu, sebuah supersign
dimaksudkan dengan cara yang sama kita menyederhanakan kata ‘bahasa’, namun
juga
merupakan sebuah
istilah
yang
lebih
tepat
daripada
bahasa
karena
merefleksikan  prinsip-prinsip semiotika terhadap
mediasi
dan
relasi.
Semiotika
adalah
alat
yang
menggabungkan untuk
perkembangan
supersign.
Contohnya,
sebagai sebuah ‘bahasa corporate’,
yang mencakup konsistensi-konsistensi untuk
elemen-elemen seperti identitas, produk
grafis, kemasan, periklanan, dan bahkan
perilaku
corporate.
Atau
contoh
lainnya,
integrasi dari
konsistensi-konsistensi
untuk sebuah komputer,
kemampuannya
membatasi,
nama
perusahaan, kualitas
fungsi mesin dan outputnya.
Segala
sesuatu
yang
dicantumkan
dalam
prinsip
'supersign'
menjadi sistem
dan
model
untuk tugas desain kita. Masalah desain apapun dapat mengikuti prinsip-
prinsip
ini
sebagai
sebuah
metodologi untuk
proses
desain
mediasi.
(Interpretant/Expression  Matrix)
Dalam proses
mediasi
ini, tiap-tiap
komponen
harmoni sign bertindak sebagai elemen penyaring melalui apa yang terus menerus
  
21
dimodifikasi oleh
yang
lainnya. Melalui sign atau
disiplin
semiotika, kita terikat
untuk
menanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang
tepat
dari
klien
dan
dari
kita
sendiri
yang
dapat
mengacaukan. Semakin
komplek
masalahnya,
semakin
desainer memerlukan perspektif semiotik.
Pada akhirnya, dimana desainer bermediasi antara semua aspek aktivitas desain
dan
mengakhirinya
dengan
perkembangan
Representamen, maka
seharusnya
dimengerti bahwa
pengguna
memulai
proses
identifikasi melalui
pragmatik
Representamen dan
melibatkan proses
pembalikan atau
retrosemiosis –
‘akses’
yang   disebutkan   sebelumnya.   Apa   yang   disaring   oleh   desainer   melalui
interpretant
harus
dimanifestasikan didalam
desain
supersign.
Desainer
mesti
menyadari atau
memperkirakan karakteristik asosiatif
yang
potensial
dari
signs
didalam   sistem,   sebagaimana 
juga   keseluruhan 
supersign   –   fungsi-fungsi
istimewa Interpretant.
Semiotika, sebagai sebuah
alat penggabungan, mempertahankan sebuah alat yang
tepat  untuk  evaluasi  dan  analisa.  Namun,  semiotika  juga  memanifestasikan
dirinya sendiri menjadi alat generatif dan sebuah bantuan yang signifikan didalam
perkembangan  kreatif 
strategi 
desain. 
Karena 
semiotika 
menstimulasi
penyelidikan dan
membantu penemuan,
deainer dapat
bersikap
individualis
dan
tetap pantas. Kontribusi desain menjadi semakin baik, dan berkurangnya stereotip.
Di
masa depan hal ini akan menjadi lebih lebih penting, karena bagaimanapun, ia
akan berkembang untuk meletakkan solusi-solusi stereotip didalam komputer
  
22
2.3.3 Metodologi-metodologi  Semiotika
Sejauh semiosis sebagai proses biasa
untuk semua bentuk
hidup, semiosis dapat
digunakan
untuk
mengembangkan
metodologi-metodologi untuk
mempelajari
kompleksitas eksistensi (hidup, pengalaman, evolusi). Kita menyebut metodologi-
metodologi ini semiotika.
Metodologi-metodologi  semiotika 
mengarah  pada  penemuan  atau  penciptaan
relasi
antara
kejadian-kejadian, fenomena,
dan
proses-proses
eksistensi.
Metodologi-metodologi semiotika
mengungkap
integritas dan keseluruhan
hidup
pada skala-skala yang berbeda dari
manifestasinya di alam semesta. Metodologi-
metodologi
semiotika
merupakan
alat
yang berguna dalam
mempelajari
sistem-
sistem 
manusia 
pada 
level 
individual 
(intrapersonal)  maupun 
social
(interpersonal). Keduanya membantu mengeksplorasi struktur-struktur fraktal dari
sistem
kehidupan yang
kompleks
(alami
ataupun
buatan)
untuk
mengungkap
penarik
didalam
dinamikanya, untuk
menemukan
cara-cara
untuk
memulai
properti-properti yang
muncul
yang
mampu
untuk
meningkatkan
vitalitas,
yaitu
kemampuan adaptasi, evolusi, dan pertumbuhan dari sistem-sistem ini.
2.4
Gambaran
umum
buku
“Semiotika”
Dalam  Buku 
Ini 
penulis 
akan 
mem-visualkan
“semiotika”
itu 
sendiri,
membuatnya dalam
suatu
bentuk
essai
visual
dari
semiotika
dan
penggunaan
semiotika
di
dalam buku
yang bertemakan
semiotika,
sebuah
persuasif
visual
  
23
dengan
penggunaan pengeksplorasian bentuk esai visual
yang
juga
sangat
dekat
dengan tema yang diangkat itu sendiri, yakni semiotika. Mempelajari fungsi dari
simbol dan tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial yang merupakan salah satu
bagian
dari
desain
komunikasi
visual. Mempelajari sebuah bidang
dari
sebuah
studi yang melibatkan banyak pernyataan teori-teori dan banyak metodologi.
2.4.1 Sejarah Singkat
Semiotika
Sebuah
ilmu
pengetahuan yang
mempelajari
peran
tanda/isyarat sebagai
bagian dari kehidupan sosial. Itu dapat membentuk bagian dari sosial, dan
kemudian bagian
dari
psikologi umum.
Kita akan
menyebutnya semiologi
(dari
bahasa Yunani
semeion,
tanda)
Ilmu
itu
akan
menyelidiki sifat
dari
tanda-tanda  dan 
hukum-hukum  yang 
melingkupinya. 
Karena  ilmu 
itu
belum  eksis,  seseorang  tidak  dapat  secara  yakin  menyatakan
bahwa  itu
akan eksis. Tapi
ilmu
itu berhak untuk eksis,
mempunyai tempat
yang siap
untuknya
terlebih
dahulu.
Linguistik hanyalah satu
cabang
dari
ilmu
pengetahuan yang
umum
ini.
Hukum-hukum
semiologi
akan
menemukan
berupa
hukum-hukum yang
berlaku
dalam
linguistik,
dan
karenanya
linguistik
akan
ditempatkan
pada
tempat
yang
benar-benar jelas
dalam
bidang pengetahuan manusia (Saussure 1983, 15-16; Saussure 1974, 16)
Begitulah yang ditulis oleh
ahli
bahasa
berkebangsaan Swiss Ferdinand de
Saussure (1857-1913), seorang penggagas bukan
hanya
linguistik tapi juga
apa   yang   sekarang   biasanya   lebih   disebut   sebagai   semiotik   (dalam
  
24
karyanya
“Pengajaran dalam
Linguistik
Umum”,1916).
Selain
Saussure
(sebagaimana  disingkat),  sosok-sosok  kunci  dalam  perkembangan  awal
dari 
semiotik 
adalah 
seorang 
filsuf 
berkebangsaan 
Amerika, 
Charles
Sanders
Peirce
(kira-kira diucapkan “purse”)
(1839-1914)
dan
kemudain
Charles
William
Morris
(1901-1979)
yang
mengembangkan semiotik
behaviorist.
Ahli-ahli teori semiotik modern   terkemuka termasuk Roland
Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-
1993),
Christian Metz
(1931-1993),
Umbero
Eco
(lahir
1932)
dan
Julia
Kristeva (lahir
1941). Sejumlah 
ahli
bahasa
selain Saussure
telah
bekerja
dalam
kerangka kerja
semiotik
sperti
Louis
Hjelmslev (1899-1966)
dan
Roman Jakobson
(1896-1982)
sulit
unutk
melepaskan
semiotik
Eropa
dari
strukturalisme dalam
bentuk
asalnya;
sebagian
besar
ahli
strukturalisme
termasuk
bukan
saja
Saussure
tapi
juga
Claude
Levi-Strauss (lahir 1908)
dalam  antropologi
(yg  melihat  bidangnya
sebagai  bagian  dari  semiotik)
dan 
Jacques  Lacan    
(1901-1981) 
dalam 
psikoanalisis.  Strukturalisme
adalah
sebuah
metode
analitikal
yang
sudah
digunakan oleh
banyak
ahli
semiotik dan
yang
berdasar pada
model
linguisik Saussure.
Ahli-ahli
strukturalisme mencari
untuk
menerangkan keseluruhan
organisasi
dari
sistem
tanda
seperti
“bahasa”
sebagaimana dilakukan
oleh
Levi-Straus
tentang
mitos,
aturan
kekerabatan
dan
toteisme,
Lacan
tentang
yang
tidak
sadar, dan Barthez dan Greimas tentang
“tata bahasa” dari naratif. Mereka
menyatu
dalam
sebuah
pencarian bagi
“struktur dalam”
yang
mendasari
fenomena 
fitur-fitur  permukaan”.  Namun  semiotik  sooial 
kontemporer
  
25
telah
bergerak
melampaui
perhatian
ahli
strukturalisme dengan
hubungan
internal
dan
dari
bagian-bagian di
dalam
sebuah
sistem
yang
terpenuhi
sendiri,
yang
mencari
untuk
mengeksplor
penggunann tanda-tanda/isyarat
dalam
situasi-situasi
sosial
spesifik. Teori
semiotik
modern kaang-kadang
digabungkan dengan pendekatan
Marxist
yang
menekankan pada
peranan
ideologi.
Semiotik
mulai
menjadi
pendekatan utama terhadap
ilmu-ilmu
kultural
di
akhir
1960-an,sebagian merupakan
hasil
ekrja
Roland
Barthes.
Penerjemahan ke
dalam
bahasa
Inggris
atas
essai-essainya yang
terkenal
dalam
sebuah
koleksi
berjudul
“Mythologies” (Barthes
1957), diikuti oleh
banyak
dari
tulisan-tulisannya yang
lain pada tahun
1970-an dan
1980-an,
menyatakan
bahwa
semiologi
bertujuan
menyerap sistem
apa
saja
tentang
tanda/isyarat.
Apapun
sunstansi dan
keterbatasannya; citra,
gerak,
bunyi,
musikal, obyek-obyek dan penyatuan
kompleks
dari
semua
itu
yang
dapat
membentuk
isi
ritual,
aturan
atau
hiburan
publik
ini
semua
menciptakan,
bila
bukan
bahasa,
setidaknya
“sistem
penandaan” (Barthes
1967,
9).
Pengadopsian
semiotik
di
Inggris
dipengaruhi
oleh
keutamaannya dalam
karya
Pusat
Ilmu-ilmu
Kebudayaan Kontempore (PIKK/CCCS)
pada
Universitas  Birmingham  ketika  lembaga  itu  berada  di  bawah  pimpinan
Stuart
hall
(direktur
1969-1979)
seorang
ahli
sosiologi neo
Marxist.
Walaupun sekarang
semiotik
mungkin
kurang
berperan
dalam
ilmu-ilmu
kebudayaan
dan
media
(setidaknya
dalam
masa-masa
awalnya,
lebih
pada
bentuk  structuralis),  ilmu  itu  tetap  berguna  dalam  menyibak  tabir  dari
  
26
aspek 
apa   saja   yang   menajdi 
perhatian 
mereka. 
Cata   bahwa 
istilah
Saussure,   “Semiologi   kadang-kadang 
digunakan   untuk   merujuk   pada
tradisi   Saussurean,   sementara   semiotik   kadang-kadang 
merujuk   pada
tradisi
Peircean, tapi bahwa
sekarang ini
istilah
semiotik
lebih
cenderung
digunakan
sebagai
sebuah
istilah
payung
untuk
merangkul semua
bidang
(Nöth 1990, 14).
Semiotik   tidak   di   institusikan   secara   luas   sebagai   sebuah   disiplin
akademis.   Ia   adalah   sebuah   bidang   ilmu   yang   melibatkan   banyak
bangunan  teoritis  dan  alat-alat  metodologis 
yang  berbeda.  Salah 
satu
definisi
terluas
disampaikan
oleh
Umberto
Eco
yang
menyatakan bahwa
“semiotik berhubungan dengan segala sesuatu yang dapat dianggap ebagai
tanda/isyarat.”
(Eco,
196,
7).
Semiotik
melibatkan
ilmu
yang
bukan
saja
apa  yang  kita  anggap  sebagai  isyarat/tanda
dalam  perkataan  sehari-hari
tapi
juga
apa
saja
“yang
mewakili” sesuatu
yang
lain.
Dalam sebuah
arti
semiotik
isyarat/tanda
mengambil
bentuk
kata,
citra,
bunyi,
gerak
isyarat
dan
benda. Semsntara bagi
sang
ahli
bahasa
Sausure,
semiologi “pernah”
merupakan 
sebuah 
ilmu 
pengetahuan  yang 
mempelajari 
peran
tanda/isyarat sebagai
bagian
dari
kehidupan
sosial,
dan
bagi
sang
filsuf
Charles
Peirce      
“semiotic” pernah
menjadi
“doktrin
formal
dari
tanda/isyarat”   yang   sangat   erat   hubungannya   dengan   logika   (Peirce
193158,
2227).
Bagi dia,
“sebuah tanda/isyarat adalah sesuatu
yang bagi
seseorang  mewakili  sesuatu  dalam  suatu  bentuk  atau  kapasitas”  (Peirce
1931-58,  2228). 
Dia 
menyatakan  bahwa  “setiap  pikiran  adalh  sebuah
  
27
tanda/isyarat” (Peirce
1931-58,
21.538;
cf.
5.250ff,
5.283ff).
ahli-ahli
semiotik
kontemporer
mempelajari
tanda-tanda/isyarat-isyarat bukan
terpisah 
dari, 
tapi 
sebagai 
bagian 
dari 
semiotik  “sistem-sistem
tanda/isyarat
(misalnya
medium
atau
genre).
Mereka
mempelajari
bagian
arti  dibuat:  Sebagaimana  yang  ditunjukkan,  yang 
berhubungan  bukan
hanya
dengan
komunikasi tapi
juga
dengan
konstruksi
dan
pemeliharaan
realitas.   Semiotik   dan   cabang   dari   linguistik   yang   dikenal   sebagai
semantik
mempunyai sebuah
persamaan
perhatian
terhadap
arti
tanda/isyarat, tapi
John
Sturrock
berpendapat
bahwa
sementara
semantik
fokus pada apa arti dari kata, semiotik menaruh perhatian pada bagaimana
tanda/isyarat berarti
(Sturrock
1968, 22).
Bagi
CW
Morris
(menjabarkan
klasifikasi 
tiga 
lapis 
ini 
adri 
Peirce), 
semiotik 
merangkul 
semantik,
bersama cabang-cabang tradisional dari linguistik:
·Semantik: hubungan tanda-tanda dengan apa yang diwakilinya.
·Sintatik (sintaksis): hubungan formal atau struktural dimana tanda/isyarat
·Pragmatik:
hubungan
tanda/isyarat
dengan
interpreternya
(Morris  1938,
6-7)
Semiotik
sering
digunakan
dalam
teks
analisis
(walaupun
dia
jauh
lebih
dari
sekedar
mode
analisis
tekstual). Dalam hal
ini
mungkin sebaiknya
dianggap  bahwa 
teks 
dapat 
eksis 
dalam 
medium  apa  saja  dan 
dapat
  
28
menjadi
verbal,
non-verbal, atau
keduanya
walaupun
ada
bias
logosentrik
dari
perbedaan ini.
Istilah
teks
biasanya
merujuk
pada
pesan
yang
telah
direkam
dalam
suatu
cara
(contoh:penulisan, rekaman
audio
dan
video)
sehingga  ia 
terpisah  secara 
fisik 
dari 
pengirimnya  atau 
penerimanya.
Sebuah
teks
adalah
pembentukan
tanda/isyarat (seperti
kata,
citra,
bunyi
dan/atau
gerak
isyarat)
yang
tersusun
(dan
terinterpretasi)sesuai dengan
aturan
yang
berhubungan dengan
sebuah
genre
dan dalam
sebuah
medium
tertentu dari komunikasi.
Istilah “medium” digunakan dalam berbagai cara oleh teoritikus-teoritikus
yang  berbeda;dan  dapat  termasuk  dalam  kategori-kategori  luas  seperti
bicara
dan
menulis atau
cetakan
dan
penyiaran
atau
berhubungan dengan
bentuk  teknikal  khusus  di  dalam 
media  massa  (radio,  televisi,  koran,
majalah,  buku, 
foto, 
film 
dan 
rekaman)  atau 
media 
komunikasi
interpersonal (telepon,
surat,
fax,
e-mail,
konferensi
video,
sistem
percakapan berbasis
komputer). Beberapa
teoritikus
mengklasifikasikan
media
seturut
dengan
“kanal-kanal” yang
terlibat
(Noth 1995, 175). Setiap
medium
dibatasi oleh
kanal-kanal yang
ia
gunakan.
Contoh, bahkan
pada
medium  bahasa  yang 
sangat 
fleksibel 
“kata-kata  mengecewakan  kita”
dalam  mencoba  untuk 
mewakili  beberapa  pengalaman,  dan 
kita 
sama
sekali   tidak   punya   cara   untuk   mewakili   bau   atau   sentuhan   dengan
memakai 
media 
konvensional,.  Media 
dan 
genre 
yang 
berbeda
memberikan kerangka
kerja
yang
berbeda
untuk
mewakili
pengalaman,
memfasilitasi bentuk ekspresi dan menjauhi yang lain. Perbedaan di antara
  
29
media 
menuntuk 
Emile 
Benveniste  pada 
pendapat 
bahwa 
“prinsip
pertama”
sistem-sistem
semiotik
adalah
bahwa
mereka
“tidak
sama”:
kita
tidak   dapat   mengatakan 
“hal   yang   sama” 
dalam 
sistem-sistem 
yang
berdasar
pada
unit-unit
yang
berbeda
(dalam Innis
1986,
235)
berbeda
dengan
Hjelmslev
yang
menyatakan bahwa
secara
praktek, bahasa
adalah
sebuah
semiotik kemana
semua
semiotik yang
lain
dapat
diterjemahkan
(dikutip dari Genosko 1994, 62)
Penggunan
medium
sehari-hari
oleh
seseorang
yang
memahaminya biasa
berjalan
tanpa
meragukan
sebagaimana
tanpa
masalah
dan
“netral”:
suatu
hal
yang
hampir
tanpa
kejutan
karena
media
berevolusi sebagai
alat
pencapaian tujuan
dimana
media
biasanya
dimaksudkan
sebagai
hal
insidental.
Semakin
sering
dan
lancar
sebuah
medium digunakan medium
cenderung semakin “transparan” atau
“tidak kasat mata” bagi pemakainya.
Bagi
sebagian
besar
tujuan
rutin,
kesadaran akan
adanya
medium dapat
menghambat  efektifitasnya  sebagai 
alat 
untuk 
mencapai 
tujuan  akhir.
Tentu
saja
hal
ini biasa
pada
saat
medium
memperoleh transparansi
maka
potensinya untuk memenuhi fungsi utamanya menjadi sangat besar.
Kepemilikan
atas
medium
apa
saja
mengarah
pada
penggunaannya yang
mendapat
pengaruh
yang
mana
mungkin
tidak
disadari
penggunanya dan
mungkin tidak
pernah
menjadi
bagian
dari
tujuan
dalam
penggunaanya.
Begitu 
kenalnya 
kita 
pada 
medium 
itu  sehingga 
kita 
”terbius”  pada
mediasi
yang dilibatkannya. Akibatnya, kita tidak tahu apa kerugian kita.
  
30
Sampai  sedemikian  jauh  manakala  kita  dilumpuhkan
oleh  proses-proses
yang
ada
kita
tidak
bisa
bilang
bahwa
kita
melakukan ”pilihan”
dalam
penggunaannya. Dalam
hal
ini
cara
yang
kita
tempuh
dapat
memodifikasitujuan akhir
kita.
Alasan
menggunakan
medium
untuk
memperoleh
tujuan
akhir adalah
salah
satu denomena
yang
diperkuat atau
diperlemah oleh
kepemilihan
media.
Dalam
beberapa
kasus,
”tujuan”
kita
dapat
didefinisi ulang
secara
halus
(dan
mungkin tak
terlihat)
oleh
penggunaan
kita
atas
sebuah
medium tertentu.
Hal
ini
berlawanan dengan
pendirian
prakmatis
dan
rasionalistis, yang
menurutnya
cara
ditentukan
untuk
menyesuaikan tujuan
akhir
pengguna,
dan
secara
penuh
berada
di
bawah pengaruh pengguna.
Kesadaran
akan
fenomena
transformasi oleh
media
ini
sudah
sering
menuntun 
teoritikus 
media 
untuk  teguh  berpendapat  bahwa 
cara 
dan
sistem  teknis  kita  selalu  dan  tak  terhindarkan
menjadi  “tujuan  akhir  di
dalam
mereka”
(sebuah
interpretasi aforisme
yang
umum
yang
terkenal
dilakukan
oleh
Marshall
McLuhan,
“medium adalah pesan”),
dan bahkan
sudah
menuntun
beberapa
dari
mereka
untuk
menyatakan media
sebagai
entitas-entitas  yang 
mandiri 
secara 
utuh 
dengan 
“tujuan-tujuan”
(berlawanan dengan fungsi-fungsi) mereka sendiri.
Namun
Seseorang tidak
perlu
mengadopsi
pendirian
ekstrim seperti
ini
dalam
memaklumi
transformasi-transformasi yang
terlibat
dalam
proses-
proses
mediasi,. Ketika kita menggunakan sebuah
medium utk tujuan apa
  
31
saja,
penggunaannya menjadi
bagian
dari
tujuan
itu.
Perjalanan
adalah
bagian
tak
terhindarkan dari
tiba
pada
suatu
tempat;
itu
bahkan
dapat
menjaditujuan utama.
Melakukan
perjalanan
memakai
salah
satu
metode
transportasi
ketimbang
yang
lain
adalah
bagian
dari
pengalaman.
Begitu
juga
dengan
memilih
penulisan
ketimbang berbicara,
atau
menggunakan
sebuah   prosesor   kata   ketimbang   sebuah   pena.   Dalam   menggunakan
medium
apa 
saja, 
sampai 
paa 
satu 
titik 
kita 
melayani  tujuannya
sebagaimana medium
itu
melayani
tujuan
kita.
Ketika
kita
berhubungan
dengan  media  kita  bertindak  maupun  mendapat  tindakan,  menggunakan
dan
digunakan.
Manakala
sebuah
medium
mempunyai beragam
fungsi,
mustahil
untuk
menggunakannya hanya
untuk
satu
dari
fungsi-fungsi
ini
secara
terpisah.
Pemaknaan dengan
media
seperti
itu
harus
melibatkan
kompromi 
beberapa 
tingkat.  Kecocokan  penuh 
antara 
tujuan 
spesifik
apapun
dengan
fungsionalitas sebuah
medium
cenderung
jarang
terjadi
walaupun tingkat kecocokan pada banyak peristiwa dapat diterima sebagai
hal yang pantas.
Saya
teringat
pada
observasi
yang
dilakukan oleh
sang
ahli
antropologi
Claude
Levi-Strauss bahwa
pada
kasus
yang
dia
sebut
bricolage
(proses
pembuatan  atau  penyusunan  sesuatu  dari  beragam  material  yang  ada),
proses
penciptaan sesuatu
bukanlah
mengenai
pilihan
yang
sudah
diperhitungkan dan
material
apapun
yang
secara
teknis
dapat
paling
bisa
disesuaikan   dengantujuan   yang   direncanakan   denganjelas,   tapi   lebih
kepada   keterlibatan   sebuah   ”perundingan   dengan   material   dan   cara
  
32
pelaksanaan”
(Levi-Strauss 1974,
29).
Dalam
perundingan
seperti
ini,
material   yang   ada   dapat   sebagaimana   kita   sebut   ”mengsugestikan”
rangkaian   aksi   yang   adaptif,   dan   sasaran   awal   dapat   dimodifikasi.
Akibatnya,
tindakan-tindakan penciptaan
seperti
itu
tidak
murni
instrumental:  bricoluer  ”bicara”  bukan  hanya  dengan  benda-benda  tapi
juga 
melalui 
medium 
benda-benda 
(Levi-Strauss  1974, 
21) 
jadi
penggunaan medium
itu
dapat
menjadi
ekspresif.
Konteks
dari
pendapat
Levi-Strauss  adalah  sebuah  diskusi  dari  ”pikiran  mitikal:,  tapi  menurut
saya bricolage
dapat dilibatkan
dalamnpenggunaan medium
apa saja untuk
tujuan apa
saja. Tindakan
menulis, contohnya, dapat dibentuk tidak hanya
oleh
tujuan-tujuan
penulis
yang
disadari
tapi
juga
oleh
fitur-fitur
media
yang
terlibat
-
seperti
misal
jenis
bahasa
dan
alat
tulis
yang
digunakan
-
juga
oleh proses
mediasi
sosial dan
psikologis yang
terlibat.
”hambatan”
apapun
yang
diberikan
oleh
bahan-bahan si
penulis
dapat menjadi
bagian
intrinsik dari
proses
menulis..
Namun,
tidak semua penulis
bertindak atau
berperasaan
seperti
sebuah
bricoleur.
Individu-individu secara
menyolok
berbeda
dalam
responnya
terhadap
ide
transformasi media.
Perbedaan
terlihat
mulai
dari
mereka yang
memaksa
adanya
kontrol total
mereka
terhadap  media 
yang 
mereka 
gunakan  sampai 
pada 
mereka 
yang
mengalami    perasaan    yang    luar    biasa    diubah    oleh    media    yang
”menggunakan” mereka (Chandler 1995).
  
33
Norman
Fairclough
berkomentar atas
pentingnya
perbedaan
diantara
beragam media di dalam kanal-kanal dan teknologi-teknologi yang mereka
andalkan.
Pers
menggunakan kanal
visual,
bahasanya
tertulis,
dan
mengendalikan
teknologi
reproduksi fotografi,
desain
grafis
dan
percetakan. Sebaliknya
radio   menggunakan 
kanal   oral   dan   bahasa   lisan   dan   mengandalkan
teknologi-teknologi perekaman
suara
dan
penyiaran.
Sementara
televisi
mengkombinasikan teknologi-teknologi perekaman
suara
dan
citra,
dan
penyiaran.
Perbedaan-perbedaan dalam kanal dan teknologi
ini mempunyai implikasi-
implikasi
lebih
luas
yang
jelas dalam artian
potensi
dimaksud pada media
berbeda.  Contoh,  cetakan  kurang  bersifat  pribadi  dibanding  radio  and
televisi   dalam artian penting. Radio
mengawali dengan
memberi   tempat
pada
individualitas dan
personalitas
untuk
diperjelas
melalui
pengiriman
kualitas
individual suara.
Televisi
membawa proses
ini
lebih
jauh
lagi
dengan  membuat  orang-orang  tampil  secara  visual,  dan  tidak  didalam
foto-foto
tak
bergerak
didalam koran,
tetapi
dalam
aksi
dan
pergerakan.
(Fairclough 1995, 38-9)
Ketika
kebutuhan
akan
tehnologi
berkembang,
ekologi-ekologi semiotik
dipengaruhi
oleh
fitur-fitur
disain
yang
mendasar
dari
media-media yang
berbeda,
penting
bagi
kita
untuk
mengenali
arti
pentingnya dari
budaya
sosial  and  faktor-faktor  sejarah  dalam  pembentukan  bagaimana  media-
  
34
media
yang
berbeda
digunakan
dan
status
kekal
mereka
didalam konteks-
konteks  utama  budaya.  Contohnya  banyak  teori-teori  budaya  yang  ada
pada  saat  itu  menandai  pada  perkembangan  dari  arti  pentingnya  media
visual 
dibandingkan  dengan 
media 
linguistic 
didalam 
kehidupan
masyarakat pada
saat
itu
dan
bantuan
gabungan
didalam
fungsi-fungsi
komunikasi seperti
media. Berpikir dengan batas ekologi tentang interaksi
dari
struktur-struktur semiotik
yang berbeda
dan
bahasa-bahasa membawa
ahli    semiotik    budaya    asal    Rusia    Yuri    Lotman    mengubah    batas
‘semiosphere’ 
menjadi 
‘the   whole   semiotic 
space   of   the   culture 
in
question (Lotman
1990,
124-125). Konsepnya
berkaitan
dengan
referensi-
referensi
ahli-ahli ekologi tentang ‘biosphere’ dan
munkin
mengacu
pada
referensi-referensi
ahli-ahli  budaya  tentang  ‘public  and  private  spheres,
tapi  kebanyakan
mengingatkan
pada  faham
Teilhard
de  Chardin
(dating
back  to  1949)  tentang  ‘noosphere’  –  tempat  dilatihnya  pikiran.  Ketika
Yuri 
Lotman 
mengarah 
pada  beberapa 
semiosphere 
sebagai  pengatur
fingsi
bahasa-bahasa didalam
berbagai
kebudayaan,
John
Hartly
mengomentari bahwa
‘ada lebih dari
satu tingkat
di
yang
mana
yang bisa
mengindentifikasi semiosphere
dalam
tingkatan
a
single
national
atau
linguistic culture, contohnya, atau sebuah kesatuan
yang
lebih luas seperti
“the
West”,
langsung
ke
“the
species”’; kita
bisa
juga
mengkarakterkan
semiosphere dalam
periode
sejarah
tertentu
(Hartley
1996,
106).
Konsep
sebuah semiosphere ini  
bisa
membuat
pengikut
faham semiotic terlihat
mendominasi, mempertahankan kritik-kritik
mereka,
tapi
ini
menawarkan
  
35
visi-visi yang
lebih menyatu dan dinamis dari semiosis dari pada pelajaran
sebuah
media
spesifikasi
yang
masing-masing telah
ada
didalam
sebuah
kekosongan.
Tentu
saja
ada
beberapa
pendekatan
lain
untuk
textual
analysis
terpisah
dari  semiotik-semiotik  –  tercatat  rhetorical  analysis,  discourse  analysis
dan
‘content
analysis’.
Di
dalam bidang
media
dan
pelajaran komunikasi
berisi
analisa
adalah
sebuah
lawan
utama
dari
semiotik-semiotik sebagai
metode
dari
textual analisis.
Dimana
semiotik
saat
ini
berhubungan
dekat
dengan
pelajaran-pelajaran budaya,
kepuasan
analisa
berdiri
dengan
baik
didalam tradisi yang berperan
penting
dalam
penelitian ilmu pengetahuan
sosial.
Ketika kepuasan analisa
menimbulkan pendekatan
yang
berkualitas
kepada
pembuktian analisa
‘content’
dari
media
teks,
semiotk-semiotik
mencoba
untuk
menganalisa media
teks
kesatuan
yang
tersusun  
dan
menyelidiki 
yang 
tersembunyi,  arti-arti 
konotasi. 
Semiotik-semiotik
jarang
sekali
berkualitas,
sering
kali
meninbulkan sebuah
penolakan
dari
beberapa pendekatan-pendekatan.
Pendekatan  kuantitatif  terhadap  analisi  dan 
manifestasi 
“isi”  teks-teks
media,
semiotik
meneliti
teks-teks
media
sebagaikeseluruhan yang
terstruktur  dan 
menyelidiki 
arti-arti 
laten,  konotatif. 
Semiotik 
jarang
bersifat
kuantitatif,
dan
sering
melibatkan sebuah
penolakan
terhadap
pendekatan-pendekatan seperti
itu.
Hanya
karena
satu
hal
sering
muncul
dalam  sebuah  teks  bukan  berarti  hal  itu  penting.  Seorang  ahli  semiotik
  
36
struktural
lebih
memperhatikan hubungan
antar
elemen.
Seorang
ahli
semiotik
sosial
juga
akan
menekankan pada
pentingnya
suatu
keutamaan
yang
para
pembaca
rekatkan
pada
tanda-tanda/isyarat-isyarat di
dalam
sebuah   teks.   Sementara 
analisis   isi   berfokus   pada   isi   eksplisit   dan
cenderung
mengemukakan
bahwa
hal
ini
adalah
sebuah
arti
tunggal
dan
baku,   pengetahuan   semiotik   berfokus   pada   sistem   dari   aturan   yang
mengatur “diskursus
yang
terlibat
dalam
teks-teks
media,
dan
yang
menekankan pada
peran
konteks
semiotik
dengan
analisis
isi
(seperti
misalnya 
Grup   media 
Universitas 
Glasgow   1980; 
Leiss 
et   al   1990;
McQuarrie & Mick 1992).
Beberapa 
komentator 
mengadopsi  definisi 
semiotik  dari 
CW. 
Morris
(dalam semangat
Saussure)
sebagai
‘ilmu
tentang
tanda-tanda/isyarat-
isyarat’
(Morris
1938,
1-2).
Istilah
‘ilmu’
menyesatkan. Karena semiotik
tidak
melibatkan
asumsi-asumsi teoritis,
model-model atau
metodologi-
metodologi   yang   disepakati   secara   luas.   Semiotik   teloah   cenderung
menjadi
sebagian besar
teoritis,
banyak
ahli-ahli teorinya
mencari
untuk
menetapkan
cakupan
dan
prinsip-prinsip umunya.
Peirce
dan
Saussure,
sebagai   contoh,   memperhatikan   definisi   mendasar   dari   tanda/isyarat.
Peirce 
membangun  taksonomi 
logis 
yang 
jelas 
dari 
jenis-jenis
tanda/isyarat. Ahli-ahli
semiotik
sesudah
mereka
telah
mencari
untuk
mengenali
dan
mengelompokkan kode-kode
atau
aturan-aturan
yang
mengorganisasikan
tanda-tanda/isyarat-isyarat.
Jelas
ada
kebutuhan untuk
menetapkan  fondasi  teoritis  yang  sedang  berlomba.  Untuk  metodologi,
  
37
teori-teori
Saussure
menetapkan sebuah
awal
bagi
perkembangan
metodologi-metodologi
strukturalis
untuk
menganalisis
teks
dan
praktek-
praktek
sosial.
Hal-hal
ini
telah
digunakan secara
luas
sekali
dalam
menganalisis fenomena
kultural
yang
sangat
banyak.
Namun,
metode-
metode
seperti
ini
tidak
diterima
secara
universal: ahli-ahli
teori
yang
berorientasi sosial
telah
mengkritik
fokus
eksklusif
mereka
terhadap
struktur,
dan
belum
ada
metodologi-metodologi alternatif
yang
sudah
diadopsi secara
luas.
Beberapa
riset
semiotik berorientasi secara
empiris,
yang
menerapkan
dan
menguji
prinsip-prinsip semiotik.
Bob
Hodge
dan
David  Tripp  menggunakan  metode-metode  empiris  dalam  studi  mereka
yang
klasik
tentang
Anak-anak and
Televisi
(Children
and
Television)
(Hodge
&
Tripp 1986).
Tapi
sekarang
ini
ada sedikit
pandangan tentang
semiotik 
sebagai 
sebuah 
bangunan  usaha 
yang 
seragam  terhadap
penemuan-penemuan riset kumulatif.
Semiotik  mewakili  beragam  studi  dalam  seni,  kesusastraan,
antropologi
dan
media
massa
ketimbang sebuah
disiplin
akademis
yang
independen.
Mereka
yang
terlibat
dalam semiotik termasuk
ahli-ahli bahasa,
filsuf,
psikolog,
ahli-ahli
sosial,
antropolog,
teoritikus-teoritikus
sastra,
estetika
dan
media, psikoanalis dan
ahli-ahli pendidikan. Lebih dari
sebagian ebsar
definisi
dasar,
ada
variasi
yang
begitu banyak
diantara para
ahli semiotik
mengenai apa
yang
semiotik
libatkan.
Bukan
hanya
memperhatikan
komunikasi   (intensional)   tapi   juga   askripsi   kita   tentang   keutamaan
terhadap segala sesuatu di dunia. Semiotik telah berubah sepanjang waktu
  
38
karena
ahli-ahli
semiotik
telah
mencari
untuk
memperbaiki kelemahan-
kelemahan
dalam
pendekatan semiotik.
Bahkan
dengan
istilah-istilah
semiotik   yang   paling   mendasarpun   ada   banyak   definisi.   Akibatnya,
siapapun
yang
mencoba
analisis
semiosis
sebaiknya bijaksana
untuk
memberikan penjelasan
definisi
apa
yang
diterapkan, dan
memberi
tahu
sumbernya
bila ada
pendekatan dari
ahli
semiotik
tertentu
yang
diadopsi.
Ada
dua
tradisi
yang
berbeda
dalam
semiotik
yang beraras
secara berurut
dari
Saussure
dan
Peirce.
Karya
Louis
Hjelmslev, Roland
Barthes, Claude
Levi-Strauss,
Julia  Kristeva,
Christian
Metz  dan  Jean  Baudrillard
(lahir
1929)   mengikuti   tradisi’semiologis’   Saussure,   sementara   karya   dari
Charles W Morris, Ivor A Richards (1892-1979), Charles K Ogden (1889-
1957) 
dan 
Thomas 
Sebeok 
(lahir 
1920) 
mengikuti 
tradisi  ‘semiotik’
Peirce.  Ahli  semiotik  terkemuka  yang 
menjembatani  kedua  tradisi 
ini
adalah   sang   pengarang 
terkenal   berkebangsaan 
Italia,   Umberto   Eco,
seorang pengarang daril cerita terlaris
The Name of
the Rose (novel 1980,
film  1986),  yang  mungkin
satu-satunya
ahli  semiotik
yang  hak  filmnya
punya nilai (Eco, 1980)
Saussure
berpendapat bahwa
‘tidak
ada
yang
lebih
tepat
dibanding
studi
tentang   bahasa   dalam   menerangkan   sifat   dari   problem   semiologis’
(Saussure
1983,
16;
Saussure
1974,
16).
Semiotik
melakukan pendekatan
penuh
pada
konsep-konsep
linguistik, sebagian
karena
pengaruh
dari
Saussure
dan
karena
linguistik adalah
sebuah
ilmu
yang
lebih
mapan
dibanding   
ilmu-ilmu    lain   
tentang    sistem    tanda/isyarat.    Ahli-ahli
  
39
strukturalis
mengadopsi bahasa
sebagai
model
mereka
dalam
menjelajahi
fenomena
sosial
yang
lebih
luas:
Levi-Strauss untuk
mitos,
aturan
kekerabatan, dan
totemisme;
Lacan
untuk
yang
tidak
sadar;
Barthes
dan
Greimas untuk ‘tata bahasa’ dari naratif. Julia Kristeva menyatakan bahwa
‘apa yang semiotik sudah temukan…..adalah bahwa hukum yang
mengatur
atau,  bila  orang 
menginginkan, 
hambatan 
utama 
yang 
mempengaruhi
praktek
sosial
apapun
terletak
pada
fakta
bahwa
ia
menandai; misalnya
bahwa  ia  diartikulasikan
seperti  sebuah  bahasa’
(dikutip
dalam
Hawkes
1977,  125).  Saussure  menganggap  bahasa  (modelnya  adalah  perkataan)
sebagai
‘yang
paling
penting’
dari
semua
sistem
tanda/isyarat
(Saussure
1983,
15;
Saussure
1974,
16).
Bahasa
hampir
seragam sangat
dianggap
sebagai sistem komunikasi yang paling bertenaga. Sebagai contoh, Marvin
Harris
mengamati bahwa
‘bahasa-bahasa 
manusia
unik
diantara
sistem-
sistem   komunikasi   yang   memiliki   universalitas   semantik…..   Sebuah
sistem 
komunikasi 
yang 
mempunyai 
universalitas  semantik 
dapat
membawa
informasi tentang
semua
aspek,
domain,
properti,
tempat,
atau
kejadian-kejadian  dimasa 
lampau,  sekarang 
atau 
masa 
depan, 
apakah
aktual  atau  mungkin,
nyata  atau  imajiner’
(dikutip
dalam
Wilden
1987,
138).
Mungkin bahasa
adalah
sesungguhnya mendasar:
Emile
Benveniste
mengamati
bahwa
‘bahasa
adalah
sistem
penginterpretasian dari
semua
sistem  lainnya,  linguistik  ataupun  bukan  linguistik’  (dalam  Innis  1986,
239), 
sementara 
Claude 
Levi-Strauss 
mencatat 
bahwa 
‘bahasa 
adalah
  
40
sistem
semiotik
yang  sangat
hebat;  ia  hanya
dapat
menandai,
dan  eksis
hanya melalui penandaan’ (Levi-Strauss 1972, 48).
Saussure melihat linguistik sebagai sebuah cabang dari ‘semiologi’:
Linguistik  hanya  satu  cabang  dari  ilmu  pengetahuan
umum  (semiologi)
ini.
Hukum-hukum yang
semiologi akan
temukan
akan
menjadi
hukum-
hukum
yang
dapat
diterapkan
dalam
linguistik….. Sejauh
yang
kita
ketahui……
problem
linguistik
adalah
semiologis
yang pertama
dan
yang
utama… 
Bila 
orang 
ingin 
menemukan 
sifat 
alami 
dari 
sistem-sistem
bahasa, ia
harus
pertama-tama
mempertimbangkan 
apa persamaan mereka
dengan
sistem-sistem
yang
lain
dari
jenis
yang
sama….
Dengan
cara
ini,
titik terang dapat
di
temui bukan
hanya
dalam
problem
linguistik. Dengan
mempertimbangkan ritus,
adat-istiadat
dan
lain-lain
sebagai
tanda-
tanda/isyarat-isyarat, 
akan 
mungkin, 
kita 
yakin, 
untuk 
dapat 
melihat
sistem-sistem  itu  dalam  sebuah  perspektif  yang  baru.  Kebutuhan  akan
dapat
dirasakan
untuk
mempertimbangkan mereka
sebagai
fenomena
semiologis 
dan 
menerangkan  mereka 
dalam 
istilah-istilah 
hukum
semiologi.
2.4.2.Cabang-Cabang
Semiotika
Cabang-cabang semiotika
sangat
banyak
ini
dikarenakan
semiotika dapat
mewakili
beragam
studi
dalam
seni,
kesusastraan, antropologi
dan
media
massa ketimbang sebuah disiplin akademis yang independen. Mereka yang
  
41
terlibat
dalam
semiotik
termasuk
ahli-ahli
bahasa,
filsuf,
psikolog,
ahli-
ahli
sosial,
antropolog,
teoritikus-teoritikus sastra,
estetika
dan
media,
psikoanalis dan
ahli-ahli
pendidikan. Lebih
dari
sebagian
besar
definisi
dasar,   ada   variasi   yang   begitu   banyak   diantara   para   ahli   semiotik
mengenai apa
yang
semiotik
libatkan.
Bukan
hanya
memperhatikan
komunikasi   (intensional)   tapi   juga   askripsi   kita   tentang   keutamaan
terhadap
segala
sesuatu di
dunia.
Beberapa orang
menaruh semiotika dan
diimplementasikan 
ke   dalam   beberapa   bidang   namun   hal   ini   hanya
mewakili sebagian dalam ilmu pengetahuan semiotika ini; Seperti dalam:
Cultural
Semiotics
Visual Media
Komunikasi Massa
Media Berita
Advertising
Cinema Semiotics
Semiotika pada Televisi
Computer Semiotics
Namun
hal
ini
tidak
menutup bahwa
masih banyak
bidang
dalam
menerapkan
semiotika.
2.5
Data
Gambaran
Pembuatan
Buku
2.5.1 Isi buku
  
42
Menurut struktur penulisan buku semiotika oleh Göran Sonesson,Daniel Chandler,
Dan J. L. Lemke:
Pengenalan Semiotika : Penjelasan mengenai semiotika itu sendiri
Sign: >Mengenai tanda, fraktal, dan dinamika
Semantik,
Sintaktik,
Dan
Pragmatik Penjelasan
mengenai
bagian
dari
semiotika itu sendiri
Sensasi,  Paradigma  dan  sintaktik:  Pengalaman 
yang 
disadari  atau
perasaan
bahwa
nampaknya
mengkomunikasikan kesadaran
dunia
eksternal. 
Para   penganut 
empiris 
biasanya 
menganggap 
bahwa
sensasi
merupakan  
dasar  
untuk  
pengetahuan  
posteriori  
kita
mengenai dunia
Denotasi Dan Konotasi
Kekuatan
Analisis
Semiotik:
Penjelasan
mengenai
pencapaian
analisis
semiotika,
Kode
<>
de-kode
<>
kode,
Logika
abduktif,
Manipulasi &
doktrinasi
Hyper Semiotika:
Pemahaman-pemahaman   baru
mengenai semiotika,
Hyper semiotika, Semiotika kompleks
2.5.2 Tokoh-tokoh
yang diambil
pembahasannya
menngenai  semiotika
Ferdinand de Saussure. Charles S Peirce. John Fiske. Claude Lévi-Strauss. Paul
Bouissac.
Daniel
Chandler.
Göran sanisson.
Roland Barthes. Jean
Baudrillard.
  
43
Umberto
Eco.
PaulCobley. Litza
Jansz.
Rosalind
Coward.
John
Ellis.
Marcel
Danesi. 
John   Deely. 
Pierre 
Guiraud. 
Hodge   Gunther 
Kress.Jørgen   Dines
Johansen. Svend Erik Larsen. Winfried Nöth. David Sless. Jonathan Culler. Roy
Harris.
David
Holdcroft.
Paul J
Thibault. Marshall
Blonsky. Algirdas
Greimas.
Gary Genosko. Robert
E
Innis. Charles
W
Morris.
Thomas
A
Sebeok. Jacques
Derrida.
Michel
Foucault.
Gary
Genosko.
David
M
Halperin.
Fredric Jameson.
Jacques Lacan. Michael Lane. Christopher Norris.Rajnath. John Sturrock. Marcel
Danesi.
Edmund
Leach.
Yuri
Lotman.Tim O'Sullivan.
John
Hartley
.Danny
Saunders. Martin Montgomery. Jack Solomon. Dominic Strinati. Tony
Thwaites.
Lloyd
Davies.
Warwick
Mules.
Graeme
Turner.Jean-Marie Floch.
Ernst
H
Gombrich. Nelson  Goodman. Gunther Kress. Theo van Leeuwen. Paul Messaris.
John
Tagg. Jonathan Bignell. Olivier
Burgelin.Marcel Danesi. Stuart Hall. Klaus
Bruhn Jensen. Winfried Nöth. Andrew Tolson. Howard Davis. Paul Walton. John
Hartley.
Guy
Cook. Howard Davis.
Paul Walton. Gillian Dyer.
Varda Langholz
Leymore. William Leiss. Stephen Kline. Sut Jhally. Trevor Millum. Kathy Myers.
Barbara B Stern. Jean Umiker-Sebeok. Judith Williamson. Peter Bogh Andersen
2.6
Target  Sasaran
•   
Demografi
Sex
:
Laki-laki
dan perempuan.
Usia
:
21- 35 tahun.
Pendidikan
:
Lulus
kuliah/sedang
kuliah
bidang
Desain
Komunikasi
Visual/Hal-hal yang berkaitan dengan seni dan desain, Komunikasi, Kultural.
  
44
Kelas Sosial        
:
b,b+,A Keatas.
Geografi
Tempat tinggal : kota-kota besar (ibu kota propinsi).
Psikografi
Terbuka,
imajinatif,
menyukai
hal-hal
yang bersifat pengetahuan atau
kultur,
jenis 
humor 
satire, 
high 
couriousity,
berani 
tampil, 
memiliki  jiwa
eksperimental (di
dalam
benaknya
selalu
timbul
pertanyaan
“bagaimana
jika…”). Suka ke rumah budaya, museum, perpustakaan, namun suka hangout
ke
café
dan
coffeshop. Menyukai
musik-musik experimental, dan
elektronik
pada umumnya namun tidak menutup diri dengan musik lainnya. Menyenangi
hal-hal
yang
baru,
selalu
ingin
mencoba sesuatu.
Membeli
barang
di
mall
ataupun
butik-butik. Sering
membeli
sesuatu
yang
berjenis
collectible
item.
Kadang
suka
keramaian
namun
selalu ada
moment
untuk pribadi.
Jam
tidur
tidak
teratur.
Menghabiskan minimal
10%
dari
waktu pada
tiap
harinya
di
depan
monitor
computer /
laptop.
Sering
online
dan
browsing
internet.
Biasanya
ikut
dalam
suatu
komunitas tertentu
seperti
komunitas film,
komunitas desain, komunitas musik,dll.
2.7
Kompetitor
2.7.1 Kompetitor
langsung
Buku-buku mengenai desain atau semiotika produksi lokal.
  
45
2.7.2 Kompetitor tak
langsung
Buku-buku mengenai desain atau semiotika produksi internasional.
Buku-buku desain komunikasi visual yang membahas teknis seperti pengoprasian
program computer dll.
2.8
Positioning
Buku  dalam  bentuk  esai 
visual  bertemakan  semiotika  dengan  hubungannya
dengan desain komunaikasi visual.
2.9
Analisa SWOT
2.9.1 Strength
(kekuatan)
Buku
ini sangat
specific dan
content-nya
sangat
jarang
ditemukan
di
Indonesia
sehingga buku ini menjadi suatu wacana yang baru di Indonesia dan dunia desain
komunikasi visual. Peminat buku ini adalah orang-orang yang khusus dan
mereka
akan
menyambut dengan baik dan mengkoleksi buku ini. Kehadiran bentuk buku
yang
menampilkan
visual
esai
yang
masih
jarang sehingga
kehadirannya akan
menyegarkan para peminat.
2.9.2 Weakness
(kendala)
Buku
ini  cenderung
kepada
target
sasaran
remaja
dewasa
yang
khusus
sehingga target lebih sempit.
•   Peminat membaca buku mengenai hal ini di Indonesia sangat sedikit.
  
46
•   Masih jarang peminat yang mengetahui hal mengenai semiotika itu sendiri.
2.9.3 Opportunities
(peluang)
Dengan
tema
yang
baru,
segar
dan
menambah
pengetahuan baru
diharapkan
menjadi daya
tarik
pembaca buku.
Serta
desain
buku
yang
unik,
kuat,
dan
berkarakter menjadi salah satu nilai jual terpenting untuk menarik hati pasar.
2.9.4 Threat
(ancaman)
Peminat  buku  pengetahuan
seperti  ini  masih  sedikit,  bahkan  tema  semiotika
sangat
sedikit
diketahui oleh
masyarakat.
Buku-buku
desain
komunikasi
visual
yang
membahas
teknis
pengoprasian program computer
(seperti
TIP
&
TRIK
DESAIN
WEB
DINAMIS
DENGAN
CSS
DAN
JAVASCRIPT +
DISKET
Abdullah   ELEX MEDIA
KOMPUTINDO
TIP
& TRIK
MEMBUAT
EFEK
SPESIAL
DESAIN
GRAFIS
DENGAN
FIREWORKS
MX + CD
Gregorius
Agung 
ELEX MEDIA KOMPUTINDO)
terkadang
membuat
masyarakat merasa
lebih
perlu
untuk
membeli
buku
seperti
itu daripada buku-buku yang berkontekstual konsep dan apresiasi dari idea.