5
BAB II
DATA DAN ANALISA
2.1
Sumber
Data
Data data dan
informasi
yang digunakan untuk
mendukung proyek TA
ini akan
diambil dari berbagai sumber, diantaranya :
1. Literatur : buku dan artikel dari media elektronik maupun non elektronik.
2. Wawancara / Interview dengan pihak pihak terkait
3. Pengamatan langsung di lapangan.
2.2
Wacana dan
Semiotika
Wacana-wacana
mengenai
semiotika
di
Indonesia
sangat
sedikit,
Apalagi
yang
membahas dari segi Desain Komunikasi Visual.
Bahkan
masih sedikit desainer-
desainer
non
profesional (student) maupun
profesional di
Indonesia
yang
memahami
apa
semiotika
itu,
hanya
desainer-desainer yang
benar-benar
mempelajari
bidangnya
yang
benar-benar memahami
semiotika.
Pertanyaan-
pertanyaan
yang
dilontarkan
mengenai
semiotika
akan
dipertanyakan kembali
Apakah semiotika
itu?. Dari
survey
Penulis
menemukan sangat
sedikit
buku-
buku
yang
membahas semiotika di
toko-toko buku
terkemuka Jakarta
seperti
Gramedia, Gunung Agung, QB, Aksara, Kharisma, Spectra, Basheer, Kinokunia.
Ketika memasuki toko buku dan bertanya kepada mereka di mana untuk temukan
buku-buku
mengenai semiotika dan
mereka
menjawabnya dengan
suatu
wajah
|
6
yang
kosong.
Bahkan
lebih
buruk,
mereka
menanyakan
untuk
menggambarkan
apa
yang
dimaksud
dengan
semiotika. Hal
ini
adalah
hal
yang
sulit
karena
kebanyakan
orang
yang
ingin
membaca
buku
semiotika
ingin
mengetahui lebih
dalam
tenteng
semiotika
namun
mereka
dihadapkan dengan
pertanyaan-
pertanyaan definisi semiotika
itu
sendiri.
Hal
ini
membuat calon pembeli
buku
tersebut
merasa
pilihan
bijaksana
untuk
tidak
bertanya.
Sebenarnya kita
telah
mengenal semiotika dari
sekitar
kita
Penemuan
semiotika lebih
mirip
dengan
penemuan teori grafitasi, fenomenanya sudah ada secara alami, penemunya hanya
mengamati
fenomena
itu dan
merumuskannya. Ketika Newton
menemukan teori
grafitasi, bukan
berarti
bahwa
sebelum
ia
menemukan
teori
itu,
semua
mahluk
mengambang
tanpa bobot. Singkatnya, semiotika
itu sudah
ada sejak
manusia
hadir
di
muka
bumi.
Semua
orang
dengan
sendirinya sudah
tahu
dan
mahir
menggunakannya, tanpa
perlu
mahir
di
dalam
teori
semiotika.
tanpa
membaca
buku orang mengetahui bahwa janur itu artinya ada orang yang sedang menikah,
bendera kuning artinya ada orang yang telah yang meninggal, orang akan senang
jika ada yang memberi bunga mawar, dan orang pasti tidak senang terhadap orang
yang berbohong atau menjelek-jelekkan orang lain, dsb.
Lantas
apa
perlunya
belajar
teori
semiotika
Kita
mungkin
tidak
akan
mati
jika
tidak
mempelajarinya, tapi
manusia
akan sangat
dipermudah
dalam
melakukan
pekerjaan
sebagai desainer,
seniman, komunikator
dan
orang-orang
advertising.
jika
kita
bisa
menguasainya. Pemahaman akan
semiotika dan
ilmu-ilmu
lainnya
akan menentukan kekuatan consciousness, semakin tinggi consciousness
|
7
seseorang, semakin sadar ia akan seluruh aspek pekerjaannya, semakin tinggi pula
kemampuannya mengkontrol
dan
mengintegrasikan
aspek-aspek
tersebut,
sehingga hampir tidak
ada
lagi
keputusan yang dibuat
secara 'tidak sengaja' dan
tidak
selaras
dengan konsep
dan
idea.
Hal
ini
yang
membedakan orang-orang
awam dengan orang-orang seperti
Brody,
Paul
Rand atau
Bill
Bernbach, betapa
consciousness
mereka
sudah
sedemikian tinggi
sehingga
semua
elemen
dalam
desain
mereka
tak
lebih
adalah
artikulasi dari
idea/gagasan
yang
akan
dikomunikasikan. Bahwa penerapan semiotika bukan selalu perkara keseragaman
visual
seperti warna,
font,
dsb tapi
lebih dari
itu, semiotika
menentukan
konsistensi tone&manner sehingga desain bisa
membuat pesan di benak dan
hati
audience, sehingga apresiasi audiens bisa mencapai taraf empati. Bahkan seniman
pun akan mebutuhkan kesadaran akan semiotika itu sendiri untuk pencapaiannya
pada proses berkarya agar
orang-orang dapat menerima setidaknya gagasan atau
idea
mereka
secara
garis
besar dan
ikut
merasakan
gagasan
atau
idea
tersebut.
Bahkan semiotika dapat bersifat dekonstruktif dan
rekonstruktif suatu
pemikiran
sehingga
akan
lahirnya
gagasan-gagasan baru
dan
bukan
hanya
mepelajari
pengulangan
visual,
seperti
simbol
swastika
yang
dipakai
lagi oleh
partai
fasis
jerman, Nazi.
Arti,
impact,
tone
dan
manner dari
simbol
yang
sama
akan
jauh
berbeda terhadap masyarakat.
Namun wacana-wacana semiotika yang dapat diperoleh di Indonesia sangat
sedikit, pada khususnya wacana-wacana pada bidang
Desain
Komunikasi Visual
ditemukan hampir tidak ada. Berikut judul buku semiotika di Indonesia dengan
|
8
author
Indonesia
yang berkaitan
dengan dunia
Desain
Komunikasi Visual
yang
didapat dari
survey
di
toko-toko
buku
terkemuka di
Jakarta seperti
Gramedia,
Gunung Agung, QB, Aksara, Kharisma, Spectra, Basheer, Kinokunia.:
SEMIOTIKA KOMUNIKASI
Pengarang
"Drs. Alex Sobur,
M.Si"
Penerbit
REMAJA ROSDAKARYA
Tahun terbit
2003
Jumlah Halaman
xxix+333 halaman
ISBN 979-692-238-X
Kertas
HVS 70 gr.
Ukuran 16 x 24 cm. (cm)
Keterangan
"Sinopsis
:
Buku ini
memfokuskan diri
pada
semiotika
komunikasi, yang berkaitan dengan penggunaan dan produksi tanda secara
sosial
di
dalam
proses
komunikasi. Di
dalamnya
diuraikan
secara
komprehensif sistem-sistem tanda, penggunaan tanda secara sosial
TEORI DASAR DESAIN KOMUNIKASI
VISUAL
Pengarang
Artini
Kusmiati R, Sri
Pidjiastuti,
J. Pamuadji Suptandar
Penerbit
DJAMBATAN, PT
Tahun terbit
1999
Jumlah Halaman
halaman
ISBN 979-428-362-2
|
9
Kertas
HVO
Ukuran 15,5 x 23,5 (cm)
SEMANTIK I (PENGANTAR KE ARAH ILMU MAKNA)
Pengarang
Prof.
Dr. Fatimah
Djaja
Sudarma
Penerbit
REFIKA ADITAMA
Cetakan
III
Tahun terbit
2002
Jumlah Halaman
68 halaman
ISBN 979-8020-74-X
Kertas
HVS 70 gr.
Ukuran 15 x 21 cm. (cm)
SEMANTIK II (PEMAHAMAN ILMU
MAKNA)
Pengarang
Prof.
Dr. Fatimah
Djaja
Sudarma
Penerbit
REFIKA ADITAMA
Cetakan
III
Tahun terbit
2002
Jumlah Halaman
96 halaman
ISBN 979-8020-72-X
Kertas
HVS 70 gr.
Ukuran 15 x 21 cm. (cm)
|
10
ANALISIS
TEKS
MEDIA,
Suatu Pengantar
untuk
Analisis
Wacana,
Analisis Semiotik dan
Analisis
Framing
Pengarang
"Drs. Alex Sobur,
M.Si"
Penerbit
REMAJA ROSDAKARYA
Cetakan
II
Tahun terbit
2002
Jumlah Halaman
xii+200 halaman
ISBN 979-692-142-1
Kertas
HVS 70 gr.
Ukuran 16 x 24 cm. (cm)
Harga
Rp 20000
Keterangan
"Sinopsis
:
Berita
yang
diterbitkan media
massa
tidaklah
identik
dengan
peristiwa
yang
melatarbelakanginya. Berita
lebih
merupakan
upaya
rekonstruksi tertulis
terhadap
suatu
realitas.
Sebagai
hasil, rekonstruksi, peritiwa yang sama dapat mempunyai wujud.
Jumlah
buku-buku
tersebut
tidak
banyak
dan
sulit
didapat
bahkan
buku-buku
impor mengenai semiotika pun sangat sulit didapat di Jakarta.
2.3
Semiotika
Semiotika memiliki sifat dasar interdisiplioner. Dan menurut filsuf Amerika yang
juga
penemu
semiotika
moderen,
Charles Saunders
Peirce semiotika
|
11
memperhatikan
logika
relasi
apapun jenis
relasi
yang
diperhatikan
Nadin
mengeluarkan pernyataan
bahwa
semiotika
merupakan
logika
yang
tidak
berbentuk. Dalam sudut pandang yang luas
ini, semiotika dilihat sebagai suatu
bentuk perluasan persepsi kita terhadap dunia.
2.3.1 Sejarah singkat
semiotika
Dalam
sejarahnya,
semiotika
berumur
setidaknya setua pengobatan
dan
filosofi
Yunani.
Kata
semiotika itu
sendiri
berasal
dari
bahasa
Yunani
sema
yang
berarti tanda atau simbol, dan dari kata
semeiotikos yang berarti pengamat
simbol. Dalam pengobatan Yunani semiotika ataupun minat dalam simbol-
simbol yang bersifat diagnosa, menjadi salah satu dari tiga cabang obat-obatan.
Para
filsuf
terus
menyibukkan diri
dengan
semiotika. Pada abad
pertengahan,
sejumlah pelajar
menspesifikasikan sebuah
teori
komprehensif
tentang simbol-
simbol
yang dikenal sebagai 'scientia sermocinalis',
yang mencakup tata bahasa,
logika,
dan
retorik.
Pada
akhir
abad
ke-17
John Locke,
salah
satu empiris
dari
Inggris
yang
juga
merupakan ahli
fisika,
kembali
memperkenalkan 'semeiotike'
didalam filsafat, menyatakan 'doctrine of signs' untuk dijadikan cabang divisi ilmu
pengetahuannya (logika,
fisika,
dan
etika)
sebagai
bisnis
untuk
memperhatikan
sifat simbol
yang dipergunakan
pikiran
untuk pemahaman
hal-hal
tertentu
atau
untuk
mentransfer
pengetahuannya mengenai
hal-hal
lainnya.
Jean
Henri
Lambert, di abad ke-18, mengambil 'semeiotike' Locke dan menulis sepuluh bab
|
12
mengenai
prinsip-prinsip komunikasi
dan
implikasi
didalam
pandangan
semiotika.
Namun
baru
pada
permulaan
abad
inilah
komponen-komponen teoritis
lebih
dikembangkan, pada
prinsipnya
oleh
dua
figure
penting
:
ahli
bahasa
dari
Ferdinand de Saussure, dan
filsuf/ ahli matematika/ ahli
logika Saunders Peirce.
Mereka mewakili dua sekolah pemikiran : de Saussure menyebutnya Semiology,
dan
Peirce menyebutnya Semiotic. (Sekolah pemikiran
yang ketiga - the
Prague
School diwakili oleh figur seperti Jan Mukarovsky dan Roman Jackobson).
2.3.2 Mengenai
Semiotika
Menurut
Thomas Ockerse,
kunci
semiotika adalah konsep
unit
yang
disebut
sign. Sign berpartisipasi didalam hubungan simbiotik dengan bahasa, tetapi juga
merupakan priori
terhadap
bahasa.
Secara
kasar
dinyatakan, sebuah
sign
merupakan
suatu
unit
yang
mengijinkan
seseorang
menginterpretasikan
sesuatu
yang
mewakili makna
yang
mengacu ke hal lain. Dengan kata lain sign
sebenarnya merupakan sebuah proses. Melalui sign kita dapat merepresentasikan
dan
menginterpretasikan, dan
juga
mengembangkan
pengetahuan
dan
pemahaman.
Meskipun
semua
hal
bisa
digunakan sebagai
sign,
tidak
semua
hal
merupakan
sign.
Sebuah
sign dihasilkan dari
sebuah
proses
yang jelas
yang
disebut
Peirce
semiosis. Semiosis
merupakan interaksi kooperatif antara tiga komponen: 1)
|
13
kondisi interpretasi ;
2)
yang
mewakili ;
dan 3)
yang diwakili. Hanya pada saat
ketiga
bagian
ini
diselesaikan
saja,
suatu
informasi
dimungkinkan, -
termasuk
persepsi
terhadap
unit
yang
kita
kenal
sebagai sign.
Kita
juga
memerlukan
penggunaan sign sebagai penengah antara sign dan sign systems.
Maka itu, segala
sesuatu yang berhubungan dengan informasi, terlepas dari
level atau kualitasnya,
melibatkan persepsi
terhadap
sign.
Sesungguhnya,
sign
merupakan unit
yang
menengahi segala sesuatu yang kita lakukan : beraksi, bereaksi, mengidentifikasi,
mewakili,
mengasosiasi,
mengasimilasi,
mengekspresikan, mengevaluasi,
menghasilkan, dll. Bahkan untuk Peirce, tidak ada pemikiran tanpa sign.
Untuk
benar-benar
memahamai dan
menghargai persepsi
mediasi
ini,
seseorang
harus
mengetahui
model
konseptual
dari
sign.
Mediasi
ini
berada
diantara
tiga
komponen yang disebutkan sebelumnya
yang dinamai oleh Peirce: Interpretant,
Representamen, dan Object.
Object
adalah segala sesuatu
yang akan diwakilkan, seperti sebuah perusahaan,
acara,
informasi,
relasi,
komoditi, objek,
ide,
sistem,
fungsi, dll.
Object
merupakan objektif
utama dari
sign, yang ditandai atau dikomunikasikan. Object
terbuat dari ikon, simbol, dan indeks.
Representamen adalah
yang
berfungsi
sebagai
sebuah
sign.
Meskipun
dalam
praktek biasanya kita cenderung menyebutnya sign , sebenarnya representamen
bukanlah sign. Representamen
menggantikan dan
mewakili object, sebagai alat
|
14
hingga akhir, komponen
sebuah bahasa
yang digunakan
untuk
menstimulasi apa
yang
tidak
terlihat
(object), bermanifestasi dalam sejumlah bentuk bahasa: lisan
atau
tertulis,
gambar-gambar, grafik,
poster,
produk, alat-alat,
lingkungan,
gerak
tubuh, suara, perilaku, dan seterusnya.
Pada
poin
ini,
penulis
mengelaborasikan
secara
singkat
mengenai representasi.
Satu
hal
yang
juda
dilakukan
Peirce adalah
mengembangkan
konsep
tipologi
sign, sebuah pengelompokan terhadap enampuluh enam aspek.
Icons adalah representasi secara langsung berdasarkan kesukaan (seperti gambar,
peta). Dikarenakan sebuah representasi yang bersifat ikon hanya memberikan satu
sudut pandang, maka
hal tersebut
menjadi jenis yang paling
lemah. Orang yang
ingin
menginterpretasi tidak perlu diinformasikan. Namun, barangkali untuk
tiga
alasan inilah representasi
yang bersifat ikon cenderung
menjadi yang paling
sering digunakan.
Symbols merupakan
representasi
abstrak
yang
berdasarkan
pada
satu
kesepakatan (contohnya warna
merah
untuk
bahaya,
angka
satu
untuk
pertama,
salib untuk Kristianitas, bendera untuk negara, dll). Beberapa lebih mudah
diterima
daripada
yang
lainnya.
Di
lingkungan yang
berbeda
dengan
satu
kesepakatan yang berbeda akan diperlukan symbols yang berbeda.
|
15
Representasi indexical
bersifat
tidak
langsung.
Mereka
menunjuk
pada
atau
merupakan
tanda-tanda
fisik
yang
ditinggalkan
objek
(seperti
asap
untuk
api,
sidik jari, daun yang diwarnai, dll).
are 'indirect'. They point to or are
the physical
mark left by the object (seperti asap untuk kebakaran, sebuah sidik jari, daun-daun
berwarna).
Indexical
signs,
merupakan bentuk
yang
paling
menarik
karena
lompatan
konseptual yang
harus
dilakukan
pikiran
untuk
dapat
menjadi
lebih
terlibat secara aktif dengan sign.
Tentu saja, cara kita
mengelompokkan suatu representasi benar-benar tergantung
pada fungsi atau konteks (yaitu tergantung pada Interpretant). Untuk penggunaan
lebih jauhnya, semua representasi dan signs lebih disesuaikan dengan konteksnya.
Ketidak konsistenan ini
merupakan perhatian utama dari
komponen yang ketiga,
yang
mungkin
juga
merupakan komponen
yang
paling
kompleks: Interpretant.
Disini, pengguna/
konsumen, atau pasar,
turut dipertimbangkan; dan
fungsi sign
benar-benar
dijelaskan.
Disini
kondisi
konteks
dan
nilai
direalisasikan. Dalam
proses desain, komponen Interpretant bertindak sebagai semacam
filter dimana
komponen
sign
yang
lain
diuji
dan
dikualifikasi, melalui
proses
dimana
Representamen
maupun Object
terus
menerus dijelaskan,
dievaluasi
ulang,
dan
diklarifikasi. Dalam tugas desain, sangatlah penting untuk benar-benar memahami
apa yang terlibat didalam Interpretant, Object dan Representamen. Semakin rumit
sebuah
sign, maka
tugas
desain
pun
menjadi
semakin
berhubungan
terutama
dalam aspek meditasi.
|
16
Melalui
komponen Interpretant
dari
sign,
seseorang dapat
melihat
logistik
representasi dan menegosiasikan sebuah solusi desain.
Dalam
model Peirce's mengenai
semiosis, gagasan Interpretant - atau, yang kita
sebut
sebagai
konteks,
atau kondisi,
atau
fungsi
memiliki nilai
yang
sangat
penting.
Disinilah
perbedaan
antara
dua
sekolah
pemikiran yang
disebutkan
sebelumnya, yaitu semiotika Peirce
versus semiologi Saussure.
Dalam
versi
De
Saussure, perspektif
linguistik
semiologi
memandang sign
dari
tingkat
beku
kata
didalam
teks
dimana
ia
ditempatkan, sign
sebagaimana
ditetapkan dan diungkapkan oleh urutan linear dari teks. Semiologi pada dasarnya
merupakan
sebuah
perspektif
didaktik
(dua
bagian)
mengenai
sign,
yaitu
'signifier'
dan
'signified'
.
Hal
ini
pada
dasarnya
merupakan
perilaku
reduktif,
yang
mungkin
sesuai
untuk
sebuah
sign
linguistik namun
menjadi
bermasalah
untuk
sign
visual.
Sign
visual
pada
umumnya
tidak
berada
didalam
konstruksi
linear
yang telah diberikan, dan
maka itu
memiliki kecenderungan bersifat
mandiri dalam konteksnya. Elemen-elemen waktu dan tempat yang berubah-ubah
dapat
mempengaruhi
dan
merombak
representasi. Menyadari
hal
ini, Peirce
menambahkan Interpretant. Sejak para semiologis
memandang
linguistik sebagai
sistem
yang dominan
untuk semua
sign,
kesulitannya menjadi semakin terbukti
ketika
perilaku
reduktifnya
diterapkan
pada
sign
selain
sign
systems. Meski
demikian, Peirce menampakkan semua sign systems yang setara nilainya - bukan
|
17
untuk
mendominasi
atau
mensubjekkan yang
lainnya.
Bahkan
ia
melihat
keseluruhan alam semesta seperti mengandung signs atau terdiri dari signs.
Dengan pemikiran ini, dan sejak pekerjaan Peirce sejauh ini menjadi usaha yang
paling
spesifik dan teguh
untuk
memberikan
sejumlah
signs
beserta
maknanya,
pekerjaan
Peirce
meminjamkan dirinya
sendiri
sumber
terbaik
untuk
mengembangkan sebuah desain atau teori komunikasi visual mengenai semiotic.
Bahasa, sebagai sebuah sistem,
mengkorelasikan signs dalam satu kelompok dan
mengkoordinasikan aturan-aturan
yang
mengijinkan
pemakaian
yang
berarti
beserta penggunaan signs. Korelasi semacam ini dapat dipecah menjadi tiga jenis
yang
dalam bahasa kita dikenal:
syntax,
relasi
formal/
struktural
antara
signs
kita
dapat
menyebutnya tata
bentuk,
atau
cara
segala
sesuatunya
dibentuk;
semantik,
relasi antara yang mewakili
dan objek yang diwakili
cara segala
sesuatu dikenali
dalam proses
interpretasi (maka
itu
mengacu pada sistem yang
kita kenal sebagai sign); dan pragmatik, atau relasi fungsional dari signs didalam
bahasa
untuk
para
pengguna.
Model
semiotika
sign
memungkinkan kita
meletakkan
tiga komponen
ini didalam perspektif yang logis: ketiganya
sebenarnya tidak
terpisah
namun berdiri sendiri sambil
saling
mendukung
didalam gaya
yang
hirarkis.
Ketika
kita
menyadari relasinya
yang
benar
kita
mencapai
apa
yang
kita
sebut
didalam desain
sebagai
'appropriateness'.
Level
sintaktik adalah yang termudah untuk mengidentifikasi dan mengontrol,
sedangkan level pragmatik adalah yang tersulit.
|
18
Mempelajari sebuah bahasa berarti menjadi mampu mengidentifikasi suatu logika
sistematik
tertentu,
beserta
strukturnya, dan
menjadi
mampu
untuk
mendeskripsikan
logika
didalam
bagian-bagian yang
berhubungan
secara
keseluruhan, bagian-bagian yang berhubungan dengan bagian-bagian lainnya, dan
keseluruhan
yang
berhubungan dengan
bagian-bagiannya. Hal
ini
hanya
dapat
dicapai melalui prinsip-prinsip mediasi signs. Bila kita sudah dapat
membedakan
relasi
logis
dari
komponen-komponen sistem,
barulah
kita
dapat
memahami
bahasanya.
Memahami prinsip-prinsip mediasi ini, sebagaimana digambarkan oleh semiotika,
sangatlah
penting
bagi
desainer.
Bahasa-bahasa yang
mengelilingi
kita
harus
setidaknya didefinisikan dengan beberapa dasar
logis
yang
mencerminkan suatu
tujuan dalam beberapa relasi yang nyata.
Komponen
semantik
dalam
bahasa
menunjuk kepada sebuah
aktivitas
semiotik
sistem.
Disadari
atau tidak,
dan
tanpa
mempertimbangkan sifat
tugas
desainnya
(lingkungan, produk,
atau
pesan;
atau
masalah
teknis/
konseptual), sebagai
desainer
kita
terus
menerus
terlibat
dalam
mediasi
ini. Ini
mencakup semua
tingkatan dan fase desain: antara target dan nontarget; antar klien, objektif pasar,
dan pasar sesungguhnya; antara bentuk dan lawan bentuknya; antar bentuk,
fungsi,
dan
representasi. Perhatian
terhadap
detail
berarti
mempertimbangkan
konsep sign semiotik.
|
19
Yang diperlukan desainer untuk memahami adalah bahwa produk biasanya eksis
dalam bentuk
satu
set kompleks
yang
terdiri
dari
signs.
Hal
ini
mengacu pada
alam
semesta
sistemik
yang
disebutkan
sebelumnya,
atau
konsep
bahasa.
Kerumitannya menjadi
jelas
ketika
sebuah
desain
visual
dianalisa
karena
kita
cenderung
menemukan
variasi
elemen-elemen yang
pada
saat
dipisahkan
dan
keluar
dari
konteks,
tidak
akan
terlihat
harmonis sama
sekali;
namun
entah
bagaimana
akan
terlihat
harmonis ketika dibawa bersama dengan
harmoni
tertentu,
seperti
didalam
bahasa
corporate.
Bentuk-bentuk verbal
dan
elemen-
elemen
visual
seperti
ruang
relasi
waktu,
hanyalah beberapa contoh
yang
tersedia. Secara
lebih
luas, yang disebut sebagai bahasa dapat
melibatkan jenis-
jenis
representasi
yang
berbeda
yang
berkooperasi menuju objektif
yang
sama
(contohnya: sebuah judul, teks
yang lebih terperinci, sebuah gambar, dan sebuah
simbol, -
masing-masing
mengacu pada objek
yang
sama
namun dari perspektif
yang
berbeda
suatu
pandangan 'parallax'
yang
memiliki
lapisan-lapisan
informasi.
Sebuah pencarian desain terhadap sudut pandang alternatif dapat dipertimbangkan
dengan menerapkan operasi tiga sign Peirce:
substitution - insertion - omission
sebagai sebuah jalan yang generatif. Tiga operasi ini dapat diaplikasikan ke semua
tiga elemen sign, yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Level sintaktik adalah
yang termudah, sedangkan level pragmatik menjadi jauh lebih sulit. Seleksi dari
|
20
hal-hal
ini
dapat
dikombinasikan
untuk
mengekspresikan informasi
secara
optimal.
Menurut
model
ini,
sangatlah
jelas
bahwa
dapat
ditemukan beberapa
Representamen dalam
korelasi
dengan
beberapa
Interpretants,
dengan
masing-
masing set mengacu pada Object yang sama. Hal ini
menciptakan sebuah
SUPERsign dalam realita, sebagaimana pengaruh sebuah kata terhadap sebuah
teks,
sebuah
sign
terhadap sebuah
supersign.
Maka itu, sebuah supersign
dimaksudkan dengan cara yang sama kita menyederhanakan kata bahasa, namun
juga
merupakan sebuah
istilah
yang
lebih
tepat
daripada
bahasa
karena
merefleksikan prinsip-prinsip semiotika terhadap
mediasi
dan
relasi.
Semiotika
adalah
alat
yang
menggabungkan untuk
perkembangan
supersign.
Contohnya,
sebagai sebuah bahasa corporate,
yang mencakup konsistensi-konsistensi untuk
elemen-elemen seperti identitas, produk
grafis, kemasan, periklanan, dan bahkan
perilaku
corporate.
Atau
contoh
lainnya,
integrasi dari
konsistensi-konsistensi
untuk sebuah komputer,
kemampuannya
membatasi,
nama
perusahaan, kualitas
fungsi mesin dan outputnya.
Segala
sesuatu
yang
dicantumkan
dalam
prinsip
'supersign'
menjadi sistem
dan
model
untuk tugas desain kita. Masalah desain apapun dapat mengikuti prinsip-
prinsip
ini
sebagai
sebuah
metodologi untuk
proses
desain
mediasi.
(Interpretant/Expression Matrix)
Dalam proses
mediasi
ini, tiap-tiap
komponen
harmoni sign bertindak sebagai elemen penyaring melalui apa yang terus menerus
|
21
dimodifikasi oleh
yang
lainnya. Melalui sign atau
disiplin
semiotika, kita terikat
untuk
menanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang
tepat
dari
klien
dan
dari
kita
sendiri
yang
dapat
mengacaukan. Semakin
komplek
masalahnya,
semakin
desainer memerlukan perspektif semiotik.
Pada akhirnya, dimana desainer bermediasi antara semua aspek aktivitas desain
dan
mengakhirinya
dengan
perkembangan
Representamen, maka
seharusnya
dimengerti bahwa
pengguna
memulai
proses
identifikasi melalui
pragmatik
Representamen dan
melibatkan proses
pembalikan atau
retrosemiosis
akses
yang disebutkan sebelumnya. Apa yang disaring oleh desainer melalui
interpretant
harus
dimanifestasikan didalam
desain
supersign.
Desainer
mesti
menyadari atau
memperkirakan karakteristik asosiatif
yang
potensial
dari
signs
didalam sistem, sebagaimana
juga keseluruhan
supersign fungsi-fungsi
istimewa Interpretant.
Semiotika, sebagai sebuah
alat penggabungan, mempertahankan sebuah alat yang
tepat untuk evaluasi dan analisa. Namun, semiotika juga memanifestasikan
dirinya sendiri menjadi alat generatif dan sebuah bantuan yang signifikan didalam
perkembangan kreatif
strategi
desain.
Karena
semiotika
menstimulasi
penyelidikan dan
membantu penemuan,
deainer dapat
bersikap
individualis
dan
tetap pantas. Kontribusi desain menjadi semakin baik, dan berkurangnya stereotip.
Di
masa depan hal ini akan menjadi lebih lebih penting, karena bagaimanapun, ia
akan berkembang untuk meletakkan solusi-solusi stereotip didalam komputer
|
22
2.3.3 Metodologi-metodologi Semiotika
Sejauh semiosis sebagai proses biasa
untuk semua bentuk
hidup, semiosis dapat
digunakan
untuk
mengembangkan
metodologi-metodologi untuk
mempelajari
kompleksitas eksistensi (hidup, pengalaman, evolusi). Kita menyebut metodologi-
metodologi ini semiotika.
Metodologi-metodologi semiotika
mengarah pada penemuan atau penciptaan
relasi
antara
kejadian-kejadian, fenomena,
dan
proses-proses
eksistensi.
Metodologi-metodologi semiotika
mengungkap
integritas dan keseluruhan
hidup
pada skala-skala yang berbeda dari
manifestasinya di alam semesta. Metodologi-
metodologi
semiotika
merupakan
alat
yang berguna dalam
mempelajari
sistem-
sistem
manusia
pada
level
individual
(intrapersonal) maupun
social
(interpersonal). Keduanya membantu mengeksplorasi struktur-struktur fraktal dari
sistem
kehidupan yang
kompleks
(alami
ataupun
buatan)
untuk
mengungkap
penarik
didalam
dinamikanya, untuk
menemukan
cara-cara
untuk
memulai
properti-properti yang
muncul
yang
mampu
untuk
meningkatkan
vitalitas,
yaitu
kemampuan adaptasi, evolusi, dan pertumbuhan dari sistem-sistem ini.
2.4
Gambaran
umum
buku
Semiotika
Dalam Buku
Ini
penulis
akan
mem-visualkan
semiotika
itu
sendiri,
membuatnya dalam
suatu
bentuk
essai
visual
dari
semiotika
dan
penggunaan
semiotika
di
dalam buku
yang bertemakan
semiotika,
sebuah
persuasif
visual
|
23
dengan
penggunaan pengeksplorasian bentuk esai visual
yang
juga
sangat
dekat
dengan tema yang diangkat itu sendiri, yakni semiotika. Mempelajari fungsi dari
simbol dan tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial yang merupakan salah satu
bagian
dari
desain
komunikasi
visual. Mempelajari sebuah bidang
dari
sebuah
studi yang melibatkan banyak pernyataan teori-teori dan banyak metodologi.
2.4.1 Sejarah Singkat
Semiotika
Sebuah
ilmu
pengetahuan yang
mempelajari
peran
tanda/isyarat sebagai
bagian dari kehidupan sosial. Itu dapat membentuk bagian dari sosial, dan
kemudian bagian
dari
psikologi umum.
Kita akan
menyebutnya semiologi
(dari
bahasa Yunani
semeion,
tanda)
Ilmu
itu
akan
menyelidiki sifat
dari
tanda-tanda dan
hukum-hukum yang
melingkupinya.
Karena ilmu
itu
belum eksis, seseorang tidak dapat secara yakin menyatakan
bahwa itu
akan eksis. Tapi
ilmu
itu berhak untuk eksis,
mempunyai tempat
yang siap
untuknya
terlebih
dahulu.
Linguistik hanyalah satu
cabang
dari
ilmu
pengetahuan yang
umum
ini.
Hukum-hukum
semiologi
akan
menemukan
berupa
hukum-hukum yang
berlaku
dalam
linguistik,
dan
karenanya
linguistik
akan
ditempatkan
pada
tempat
yang
benar-benar jelas
dalam
bidang pengetahuan manusia (Saussure 1983, 15-16; Saussure 1974, 16)
Begitulah yang ditulis oleh
ahli
bahasa
berkebangsaan Swiss Ferdinand de
Saussure (1857-1913), seorang penggagas bukan
hanya
linguistik tapi juga
apa yang sekarang biasanya lebih disebut sebagai semiotik (dalam
|
24
karyanya
Pengajaran dalam
Linguistik
Umum,1916).
Selain
Saussure
(sebagaimana disingkat), sosok-sosok kunci dalam perkembangan awal
dari
semiotik
adalah
seorang
filsuf
berkebangsaan
Amerika,
Charles
Sanders
Peirce
(kira-kira diucapkan purse)
(1839-1914)
dan
kemudain
Charles
William
Morris
(1901-1979)
yang
mengembangkan semiotik
behaviorist.
Ahli-ahli teori semiotik modern terkemuka termasuk Roland
Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-
1993),
Christian Metz
(1931-1993),
Umbero
Eco
(lahir
1932)
dan
Julia
Kristeva (lahir
1941). Sejumlah
ahli
bahasa
selain Saussure
telah
bekerja
dalam
kerangka kerja
semiotik
sperti
Louis
Hjelmslev (1899-1966)
dan
Roman Jakobson
(1896-1982)
sulit
unutk
melepaskan
semiotik
Eropa
dari
strukturalisme dalam
bentuk
asalnya;
sebagian
besar
ahli
strukturalisme
termasuk
bukan
saja
Saussure
tapi
juga
Claude
Levi-Strauss (lahir 1908)
dalam antropologi
(yg melihat bidangnya
sebagai bagian dari semiotik)
dan
Jacques Lacan
(1901-1981)
dalam
psikoanalisis. Strukturalisme
adalah
sebuah
metode
analitikal
yang
sudah
digunakan oleh
banyak
ahli
semiotik dan
yang
berdasar pada
model
linguisik Saussure.
Ahli-ahli
strukturalisme mencari
untuk
menerangkan keseluruhan
organisasi
dari
sistem
tanda
seperti
bahasa
sebagaimana dilakukan
oleh
Levi-Straus
tentang
mitos,
aturan
kekerabatan
dan
toteisme,
Lacan
tentang
yang
tidak
sadar, dan Barthez dan Greimas tentang
tata bahasa dari naratif. Mereka
menyatu
dalam
sebuah
pencarian bagi
struktur dalam
yang
mendasari
fenomena
fitur-fitur permukaan. Namun semiotik sooial
kontemporer
|
25
telah
bergerak
melampaui
perhatian
ahli
strukturalisme dengan
hubungan
internal
dan
dari
bagian-bagian di
dalam
sebuah
sistem
yang
terpenuhi
sendiri,
yang
mencari
untuk
mengeksplor
penggunann tanda-tanda/isyarat
dalam
situasi-situasi
sosial
spesifik. Teori
semiotik
modern kaang-kadang
digabungkan dengan pendekatan
Marxist
yang
menekankan pada
peranan
ideologi.
Semiotik
mulai
menjadi
pendekatan utama terhadap
ilmu-ilmu
kultural
di
akhir
1960-an,sebagian merupakan
hasil
ekrja
Roland
Barthes.
Penerjemahan ke
dalam
bahasa
Inggris
atas
essai-essainya yang
terkenal
dalam
sebuah
koleksi
berjudul
Mythologies (Barthes
1957), diikuti oleh
banyak
dari
tulisan-tulisannya yang
lain pada tahun
1970-an dan
1980-an,
menyatakan
bahwa
semiologi
bertujuan
menyerap sistem
apa
saja
tentang
tanda/isyarat.
Apapun
sunstansi dan
keterbatasannya; citra,
gerak,
bunyi,
musikal, obyek-obyek dan penyatuan
kompleks
dari
semua
itu
yang
dapat
membentuk
isi
ritual,
aturan
atau
hiburan
publik
ini
semua
menciptakan,
bila
bukan
bahasa,
setidaknya
sistem
penandaan (Barthes
1967,
9).
Pengadopsian
semiotik
di
Inggris
dipengaruhi
oleh
keutamaannya dalam
karya
Pusat
Ilmu-ilmu
Kebudayaan Kontempore (PIKK/CCCS)
pada
Universitas Birmingham ketika lembaga itu berada di bawah pimpinan
Stuart
hall
(direktur
1969-1979)
seorang
ahli
sosiologi neo
Marxist.
Walaupun sekarang
semiotik
mungkin
kurang
berperan
dalam
ilmu-ilmu
kebudayaan
dan
media
(setidaknya
dalam
masa-masa
awalnya,
lebih
pada
bentuk structuralis), ilmu itu tetap berguna dalam menyibak tabir dari
|
26
aspek
apa saja yang menajdi
perhatian
mereka.
Cata bahwa
istilah
Saussure, Semiologi kadang-kadang
digunakan untuk merujuk pada
tradisi Saussurean, sementara semiotik kadang-kadang
merujuk pada
tradisi
Peircean, tapi bahwa
sekarang ini
istilah
semiotik
lebih
cenderung
digunakan
sebagai
sebuah
istilah
payung
untuk
merangkul semua
bidang
(Nöth 1990, 14).
Semiotik tidak di institusikan secara luas sebagai sebuah disiplin
akademis. Ia adalah sebuah bidang ilmu yang melibatkan banyak
bangunan teoritis dan alat-alat metodologis
yang berbeda. Salah
satu
definisi
terluas
disampaikan
oleh
Umberto
Eco
yang
menyatakan bahwa
semiotik berhubungan dengan segala sesuatu yang dapat dianggap ebagai
tanda/isyarat.
(Eco,
196,
7).
Semiotik
melibatkan
ilmu
yang
bukan
saja
apa yang kita anggap sebagai isyarat/tanda
dalam perkataan sehari-hari
tapi
juga
apa
saja
yang
mewakili sesuatu
yang
lain.
Dalam sebuah
arti
semiotik
isyarat/tanda
mengambil
bentuk
kata,
citra,
bunyi,
gerak
isyarat
dan
benda. Semsntara bagi
sang
ahli
bahasa
Sausure,
semiologi pernah
merupakan
sebuah
ilmu
pengetahuan yang
mempelajari
peran
tanda/isyarat sebagai
bagian
dari
kehidupan
sosial,
dan
bagi
sang
filsuf
Charles
Peirce
semiotic pernah
menjadi
doktrin
formal
dari
tanda/isyarat yang sangat erat hubungannya dengan logika (Peirce
193158,
2227).
Bagi dia,
sebuah tanda/isyarat adalah sesuatu
yang bagi
seseorang mewakili sesuatu dalam suatu bentuk atau kapasitas (Peirce
1931-58, 2228).
Dia
menyatakan bahwa setiap pikiran adalh sebuah
|
27
tanda/isyarat (Peirce
1931-58,
21.538;
cf.
5.250ff,
5.283ff).
ahli-ahli
semiotik
kontemporer
mempelajari
tanda-tanda/isyarat-isyarat bukan
terpisah
dari,
tapi
sebagai
bagian
dari
semiotik sistem-sistem
tanda/isyarat
(misalnya
medium
atau
genre).
Mereka
mempelajari
bagian
arti dibuat: Sebagaimana yang ditunjukkan, yang
berhubungan bukan
hanya
dengan
komunikasi tapi
juga
dengan
konstruksi
dan
pemeliharaan
realitas. Semiotik dan cabang dari linguistik yang dikenal sebagai
semantik
mempunyai sebuah
persamaan
perhatian
terhadap
arti
tanda/isyarat, tapi
John
Sturrock
berpendapat
bahwa
sementara
semantik
fokus pada apa arti dari kata, semiotik menaruh perhatian pada bagaimana
tanda/isyarat berarti
(Sturrock
1968, 22).
Bagi
CW
Morris
(menjabarkan
klasifikasi
tiga
lapis
ini
adri
Peirce),
semiotik
merangkul
semantik,
bersama cabang-cabang tradisional dari linguistik:
·Semantik: hubungan tanda-tanda dengan apa yang diwakilinya.
·Sintatik (sintaksis): hubungan formal atau struktural dimana tanda/isyarat
·Pragmatik:
hubungan
tanda/isyarat
dengan
interpreternya
(Morris 1938,
6-7)
Semiotik
sering
digunakan
dalam
teks
analisis
(walaupun
dia
jauh
lebih
dari
sekedar
mode
analisis
tekstual). Dalam hal
ini
mungkin sebaiknya
dianggap bahwa
teks
dapat
eksis
dalam
medium apa saja dan
dapat
|
28
menjadi
verbal,
non-verbal, atau
keduanya
walaupun
ada
bias
logosentrik
dari
perbedaan ini.
Istilah
teks
biasanya
merujuk
pada
pesan
yang
telah
direkam
dalam
suatu
cara
(contoh:penulisan, rekaman
audio
dan
video)
sehingga ia
terpisah secara
fisik
dari
pengirimnya atau
penerimanya.
Sebuah
teks
adalah
pembentukan
tanda/isyarat (seperti
kata,
citra,
bunyi
dan/atau
gerak
isyarat)
yang
tersusun
(dan
terinterpretasi)sesuai dengan
aturan
yang
berhubungan dengan
sebuah
genre
dan dalam
sebuah
medium
tertentu dari komunikasi.
Istilah medium digunakan dalam berbagai cara oleh teoritikus-teoritikus
yang berbeda;dan dapat termasuk dalam kategori-kategori luas seperti
bicara
dan
menulis atau
cetakan
dan
penyiaran
atau
berhubungan dengan
bentuk teknikal khusus di dalam
media massa (radio, televisi, koran,
majalah, buku,
foto,
film
dan
rekaman) atau
media
komunikasi
interpersonal (telepon,
surat,
fax,
e-mail,
konferensi
video,
sistem
percakapan berbasis
komputer). Beberapa
teoritikus
mengklasifikasikan
media
seturut
dengan
kanal-kanal yang
terlibat
(Noth 1995, 175). Setiap
medium
dibatasi oleh
kanal-kanal yang
ia
gunakan.
Contoh, bahkan
pada
medium bahasa yang
sangat
fleksibel
kata-kata mengecewakan kita
dalam mencoba untuk
mewakili beberapa pengalaman, dan
kita
sama
sekali tidak punya cara untuk mewakili bau atau sentuhan dengan
memakai
media
konvensional,. Media
dan
genre
yang
berbeda
memberikan kerangka
kerja
yang
berbeda
untuk
mewakili
pengalaman,
memfasilitasi bentuk ekspresi dan menjauhi yang lain. Perbedaan di antara
|
29
media
menuntuk
Emile
Benveniste pada
pendapat
bahwa
prinsip
pertama
sistem-sistem
semiotik
adalah
bahwa
mereka
tidak
sama:
kita
tidak dapat mengatakan
hal yang sama
dalam
sistem-sistem
yang
berdasar
pada
unit-unit
yang
berbeda
(dalam Innis
1986,
235)
berbeda
dengan
Hjelmslev
yang
menyatakan bahwa
secara
praktek, bahasa
adalah
sebuah
semiotik kemana
semua
semiotik yang
lain
dapat
diterjemahkan
(dikutip dari Genosko 1994, 62)
Penggunan
medium
sehari-hari
oleh
seseorang
yang
memahaminya biasa
berjalan
tanpa
meragukan
sebagaimana
tanpa
masalah
dan
netral:
suatu
hal
yang
hampir
tanpa
kejutan
karena
media
berevolusi sebagai
alat
pencapaian tujuan
dimana
media
biasanya
dimaksudkan
sebagai
hal
insidental.
Semakin
sering
dan
lancar
sebuah
medium digunakan medium
cenderung semakin transparan atau
tidak kasat mata bagi pemakainya.
Bagi
sebagian
besar
tujuan
rutin,
kesadaran akan
adanya
medium dapat
menghambat efektifitasnya sebagai
alat
untuk
mencapai
tujuan akhir.
Tentu
saja
hal
ini biasa
pada
saat
medium
memperoleh transparansi
maka
potensinya untuk memenuhi fungsi utamanya menjadi sangat besar.
Kepemilikan
atas
medium
apa
saja
mengarah
pada
penggunaannya yang
mendapat
pengaruh
yang
mana
mungkin
tidak
disadari
penggunanya dan
mungkin tidak
pernah
menjadi
bagian
dari
tujuan
dalam
penggunaanya.
Begitu
kenalnya
kita
pada
medium
itu sehingga
kita
terbius pada
mediasi
yang dilibatkannya. Akibatnya, kita tidak tahu apa kerugian kita.
|
30
Sampai sedemikian jauh manakala kita dilumpuhkan
oleh proses-proses
yang
ada
kita
tidak
bisa
bilang
bahwa
kita
melakukan pilihan
dalam
penggunaannya. Dalam
hal
ini
cara
yang
kita
tempuh
dapat
memodifikasitujuan akhir
kita.
Alasan
menggunakan
medium
untuk
memperoleh
tujuan
akhir adalah
salah
satu denomena
yang
diperkuat atau
diperlemah oleh
kepemilihan
media.
Dalam
beberapa
kasus,
tujuan
kita
dapat
didefinisi ulang
secara
halus
(dan
mungkin tak
terlihat)
oleh
penggunaan
kita
atas
sebuah
medium tertentu.
Hal
ini
berlawanan dengan
pendirian
prakmatis
dan
rasionalistis, yang
menurutnya
cara
ditentukan
untuk
menyesuaikan tujuan
akhir
pengguna,
dan
secara
penuh
berada
di
bawah pengaruh pengguna.
Kesadaran
akan
fenomena
transformasi oleh
media
ini
sudah
sering
menuntun
teoritikus
media
untuk teguh berpendapat bahwa
cara
dan
sistem teknis kita selalu dan tak terhindarkan
menjadi tujuan akhir di
dalam
mereka
(sebuah
interpretasi aforisme
yang
umum
yang
terkenal
dilakukan
oleh
Marshall
McLuhan,
medium adalah pesan),
dan bahkan
sudah
menuntun
beberapa
dari
mereka
untuk
menyatakan media
sebagai
entitas-entitas yang
mandiri
secara
utuh
dengan
tujuan-tujuan
(berlawanan dengan fungsi-fungsi) mereka sendiri.
Namun
Seseorang tidak
perlu
mengadopsi
pendirian
ekstrim seperti
ini
dalam
memaklumi
transformasi-transformasi yang
terlibat
dalam
proses-
proses
mediasi,. Ketika kita menggunakan sebuah
medium utk tujuan apa
|
31
saja,
penggunaannya menjadi
bagian
dari
tujuan
itu.
Perjalanan
adalah
bagian
tak
terhindarkan dari
tiba
pada
suatu
tempat;
itu
bahkan
dapat
menjaditujuan utama.
Melakukan
perjalanan
memakai
salah
satu
metode
transportasi
ketimbang
yang
lain
adalah
bagian
dari
pengalaman.
Begitu
juga
dengan
memilih
penulisan
ketimbang berbicara,
atau
menggunakan
sebuah prosesor kata ketimbang sebuah pena. Dalam menggunakan
medium
apa
saja,
sampai
paa
satu
titik
kita
melayani tujuannya
sebagaimana medium
itu
melayani
tujuan
kita.
Ketika
kita
berhubungan
dengan media kita bertindak maupun mendapat tindakan, menggunakan
dan
digunakan.
Manakala
sebuah
medium
mempunyai beragam
fungsi,
mustahil
untuk
menggunakannya hanya
untuk
satu
dari
fungsi-fungsi
ini
secara
terpisah.
Pemaknaan dengan
media
seperti
itu
harus
melibatkan
kompromi
beberapa
tingkat. Kecocokan penuh
antara
tujuan
spesifik
apapun
dengan
fungsionalitas sebuah
medium
cenderung
jarang
terjadi
walaupun tingkat kecocokan pada banyak peristiwa dapat diterima sebagai
hal yang pantas.
Saya
teringat
pada
observasi
yang
dilakukan oleh
sang
ahli
antropologi
Claude
Levi-Strauss bahwa
pada
kasus
yang
dia
sebut
bricolage
(proses
pembuatan atau penyusunan sesuatu dari beragam material yang ada),
proses
penciptaan sesuatu
bukanlah
mengenai
pilihan
yang
sudah
diperhitungkan dan
material
apapun
yang
secara
teknis
dapat
paling
bisa
disesuaikan dengantujuan yang direncanakan denganjelas, tapi lebih
kepada keterlibatan sebuah perundingan dengan material dan cara
|
32
pelaksanaan
(Levi-Strauss 1974,
29).
Dalam
perundingan
seperti
ini,
material yang ada dapat sebagaimana kita sebut mengsugestikan
rangkaian aksi yang adaptif, dan sasaran awal dapat dimodifikasi.
Akibatnya,
tindakan-tindakan penciptaan
seperti
itu
tidak
murni
instrumental: bricoluer bicara bukan hanya dengan benda-benda tapi
juga
melalui
medium
benda-benda
(Levi-Strauss 1974,
21)
jadi
penggunaan medium
itu
dapat
menjadi
ekspresif.
Konteks
dari
pendapat
Levi-Strauss adalah sebuah diskusi dari pikiran mitikal:, tapi menurut
saya bricolage
dapat dilibatkan
dalamnpenggunaan medium
apa saja untuk
tujuan apa
saja. Tindakan
menulis, contohnya, dapat dibentuk tidak hanya
oleh
tujuan-tujuan
penulis
yang
disadari
tapi
juga
oleh
fitur-fitur
media
yang
terlibat
-
seperti
misal
jenis
bahasa
dan
alat
tulis
yang
digunakan
-
juga
oleh proses
mediasi
sosial dan
psikologis yang
terlibat.
hambatan
apapun
yang
diberikan
oleh
bahan-bahan si
penulis
dapat menjadi
bagian
intrinsik dari
proses
menulis..
Namun,
tidak semua penulis
bertindak atau
berperasaan
seperti
sebuah
bricoleur.
Individu-individu secara
menyolok
berbeda
dalam
responnya
terhadap
ide
transformasi media.
Perbedaan
terlihat
mulai
dari
mereka yang
memaksa
adanya
kontrol total
mereka
terhadap media
yang
mereka
gunakan sampai
pada
mereka
yang
mengalami perasaan yang luar biasa diubah oleh media yang
menggunakan mereka (Chandler 1995).
|
33
Norman
Fairclough
berkomentar atas
pentingnya
perbedaan
diantara
beragam media di dalam kanal-kanal dan teknologi-teknologi yang mereka
andalkan.
Pers
menggunakan kanal
visual,
bahasanya
tertulis,
dan
mengendalikan
teknologi
reproduksi fotografi,
desain
grafis
dan
percetakan. Sebaliknya
radio menggunakan
kanal oral dan bahasa lisan dan mengandalkan
teknologi-teknologi perekaman
suara
dan
penyiaran.
Sementara
televisi
mengkombinasikan teknologi-teknologi perekaman
suara
dan
citra,
dan
penyiaran.
Perbedaan-perbedaan dalam kanal dan teknologi
ini mempunyai implikasi-
implikasi
lebih
luas
yang
jelas dalam artian
potensi
dimaksud pada media
berbeda. Contoh, cetakan kurang bersifat pribadi dibanding radio and
televisi dalam artian penting. Radio
mengawali dengan
memberi tempat
pada
individualitas dan
personalitas
untuk
diperjelas
melalui
pengiriman
kualitas
individual suara.
Televisi
membawa proses
ini
lebih
jauh
lagi
dengan membuat orang-orang tampil secara visual, dan tidak didalam
foto-foto
tak
bergerak
didalam koran,
tetapi
dalam
aksi
dan
pergerakan.
(Fairclough 1995, 38-9)
Ketika
kebutuhan
akan
tehnologi
berkembang,
ekologi-ekologi semiotik
dipengaruhi
oleh
fitur-fitur
disain
yang
mendasar
dari
media-media yang
berbeda,
penting
bagi
kita
untuk
mengenali
arti
pentingnya dari
budaya
sosial and faktor-faktor sejarah dalam pembentukan bagaimana media-
|
34
media
yang
berbeda
digunakan
dan
status
kekal
mereka
didalam konteks-
konteks utama budaya. Contohnya banyak teori-teori budaya yang ada
pada saat itu menandai pada perkembangan dari arti pentingnya media
visual
dibandingkan dengan
media
linguistic
didalam
kehidupan
masyarakat pada
saat
itu
dan
bantuan
gabungan
didalam
fungsi-fungsi
komunikasi seperti
media. Berpikir dengan batas ekologi tentang interaksi
dari
struktur-struktur semiotik
yang berbeda
dan
bahasa-bahasa membawa
ahli semiotik budaya asal Rusia Yuri Lotman mengubah batas
semiosphere
menjadi
the whole semiotic
space of the culture
in
question (Lotman
1990,
124-125). Konsepnya
berkaitan
dengan
referensi-
referensi
ahli-ahli ekologi tentang biosphere dan
munkin
mengacu
pada
referensi-referensi
ahli-ahli budaya tentang public and private spheres,
tapi kebanyakan
mengingatkan
pada faham
Teilhard
de Chardin
(dating
back to 1949) tentang noosphere tempat dilatihnya pikiran. Ketika
Yuri
Lotman
mengarah
pada beberapa
semiosphere
sebagai pengatur
fingsi
bahasa-bahasa didalam
berbagai
kebudayaan,
John
Hartly
mengomentari bahwa
ada lebih dari
satu tingkat
di
yang
mana
yang bisa
mengindentifikasi semiosphere
dalam
tingkatan
a
single
national
atau
linguistic culture, contohnya, atau sebuah kesatuan
yang
lebih luas seperti
the
West,
langsung
ke
the
species; kita
bisa
juga
mengkarakterkan
semiosphere dalam
periode
sejarah
tertentu
(Hartley
1996,
106).
Konsep
sebuah semiosphere ini
bisa
membuat
pengikut
faham semiotic terlihat
mendominasi, mempertahankan kritik-kritik
mereka,
tapi
ini
menawarkan
|
35
visi-visi yang
lebih menyatu dan dinamis dari semiosis dari pada pelajaran
sebuah
media
spesifikasi
yang
masing-masing telah
ada
didalam
sebuah
kekosongan.
Tentu
saja
ada
beberapa
pendekatan
lain
untuk
textual
analysis
terpisah
dari semiotik-semiotik tercatat rhetorical analysis, discourse analysis
dan
content
analysis.
Di
dalam bidang
media
dan
pelajaran komunikasi
berisi
analisa
adalah
sebuah
lawan
utama
dari
semiotik-semiotik sebagai
metode
dari
textual analisis.
Dimana
semiotik
saat
ini
berhubungan
dekat
dengan
pelajaran-pelajaran budaya,
kepuasan
analisa
berdiri
dengan
baik
didalam tradisi yang berperan
penting
dalam
penelitian ilmu pengetahuan
sosial.
Ketika kepuasan analisa
menimbulkan pendekatan
yang
berkualitas
kepada
pembuktian analisa
content
dari
media
teks,
semiotk-semiotik
mencoba
untuk
menganalisa media
teks
kesatuan
yang
tersusun
dan
menyelidiki
yang
tersembunyi, arti-arti
konotasi.
Semiotik-semiotik
jarang
sekali
berkualitas,
sering
kali
meninbulkan sebuah
penolakan
dari
beberapa pendekatan-pendekatan.
Pendekatan kuantitatif terhadap analisi dan
manifestasi
isi teks-teks
media,
semiotik
meneliti
teks-teks
media
sebagaikeseluruhan yang
terstruktur dan
menyelidiki
arti-arti
laten, konotatif.
Semiotik
jarang
bersifat
kuantitatif,
dan
sering
melibatkan sebuah
penolakan
terhadap
pendekatan-pendekatan seperti
itu.
Hanya
karena
satu
hal
sering
muncul
dalam sebuah teks bukan berarti hal itu penting. Seorang ahli semiotik
|
36
struktural
lebih
memperhatikan hubungan
antar
elemen.
Seorang
ahli
semiotik
sosial
juga
akan
menekankan pada
pentingnya
suatu
keutamaan
yang
para
pembaca
rekatkan
pada
tanda-tanda/isyarat-isyarat di
dalam
sebuah teks. Sementara
analisis isi berfokus pada isi eksplisit dan
cenderung
mengemukakan
bahwa
hal
ini
adalah
sebuah
arti
tunggal
dan
baku, pengetahuan semiotik berfokus pada sistem dari aturan yang
mengatur diskursus
yang
terlibat
dalam
teks-teks
media,
dan
yang
menekankan pada
peran
konteks
semiotik
dengan
analisis
isi
(seperti
misalnya
Grup media
Universitas
Glasgow 1980;
Leiss
et al 1990;
McQuarrie & Mick 1992).
Beberapa
komentator
mengadopsi definisi
semiotik dari
CW.
Morris
(dalam semangat
Saussure)
sebagai
ilmu
tentang
tanda-tanda/isyarat-
isyarat
(Morris
1938,
1-2).
Istilah
ilmu
menyesatkan. Karena semiotik
tidak
melibatkan
asumsi-asumsi teoritis,
model-model atau
metodologi-
metodologi yang disepakati secara luas. Semiotik teloah cenderung
menjadi
sebagian besar
teoritis,
banyak
ahli-ahli teorinya
mencari
untuk
menetapkan
cakupan
dan
prinsip-prinsip umunya.
Peirce
dan
Saussure,
sebagai contoh, memperhatikan definisi mendasar dari tanda/isyarat.
Peirce
membangun taksonomi
logis
yang
jelas
dari
jenis-jenis
tanda/isyarat. Ahli-ahli
semiotik
sesudah
mereka
telah
mencari
untuk
mengenali
dan
mengelompokkan kode-kode
atau
aturan-aturan
yang
mengorganisasikan
tanda-tanda/isyarat-isyarat.
Jelas
ada
kebutuhan untuk
menetapkan fondasi teoritis yang sedang berlomba. Untuk metodologi,
|
37
teori-teori
Saussure
menetapkan sebuah
awal
bagi
perkembangan
metodologi-metodologi
strukturalis
untuk
menganalisis
teks
dan
praktek-
praktek
sosial.
Hal-hal
ini
telah
digunakan secara
luas
sekali
dalam
menganalisis fenomena
kultural
yang
sangat
banyak.
Namun,
metode-
metode
seperti
ini
tidak
diterima
secara
universal: ahli-ahli
teori
yang
berorientasi sosial
telah
mengkritik
fokus
eksklusif
mereka
terhadap
struktur,
dan
belum
ada
metodologi-metodologi alternatif
yang
sudah
diadopsi secara
luas.
Beberapa
riset
semiotik berorientasi secara
empiris,
yang
menerapkan
dan
menguji
prinsip-prinsip semiotik.
Bob
Hodge
dan
David Tripp menggunakan metode-metode empiris dalam studi mereka
yang
klasik
tentang
Anak-anak and
Televisi
(Children
and
Television)
(Hodge
&
Tripp 1986).
Tapi
sekarang
ini
ada sedikit
pandangan tentang
semiotik
sebagai
sebuah
bangunan usaha
yang
seragam terhadap
penemuan-penemuan riset kumulatif.
Semiotik mewakili beragam studi dalam seni, kesusastraan,
antropologi
dan
media
massa
ketimbang sebuah
disiplin
akademis
yang
independen.
Mereka
yang
terlibat
dalam semiotik termasuk
ahli-ahli bahasa,
filsuf,
psikolog,
ahli-ahli
sosial,
antropolog,
teoritikus-teoritikus
sastra,
estetika
dan
media, psikoanalis dan
ahli-ahli pendidikan. Lebih dari
sebagian ebsar
definisi
dasar,
ada
variasi
yang
begitu banyak
diantara para
ahli semiotik
mengenai apa
yang
semiotik
libatkan.
Bukan
hanya
memperhatikan
komunikasi (intensional) tapi juga askripsi kita tentang keutamaan
terhadap segala sesuatu di dunia. Semiotik telah berubah sepanjang waktu
|
38
karena
ahli-ahli
semiotik
telah
mencari
untuk
memperbaiki kelemahan-
kelemahan
dalam
pendekatan semiotik.
Bahkan
dengan
istilah-istilah
semiotik yang paling mendasarpun ada banyak definisi. Akibatnya,
siapapun
yang
mencoba
analisis
semiosis
sebaiknya bijaksana
untuk
memberikan penjelasan
definisi
apa
yang
diterapkan, dan
memberi
tahu
sumbernya
bila ada
pendekatan dari
ahli
semiotik
tertentu
yang
diadopsi.
Ada
dua
tradisi
yang
berbeda
dalam
semiotik
yang beraras
secara berurut
dari
Saussure
dan
Peirce.
Karya
Louis
Hjelmslev, Roland
Barthes, Claude
Levi-Strauss,
Julia Kristeva,
Christian
Metz dan Jean Baudrillard
(lahir
1929) mengikuti tradisisemiologis Saussure, sementara karya dari
Charles W Morris, Ivor A Richards (1892-1979), Charles K Ogden (1889-
1957)
dan
Thomas
Sebeok
(lahir
1920)
mengikuti
tradisi semiotik
Peirce. Ahli semiotik terkemuka yang
menjembatani kedua tradisi
ini
adalah sang pengarang
terkenal berkebangsaan
Italia, Umberto Eco,
seorang pengarang daril cerita terlaris
The Name of
the Rose (novel 1980,
film 1986), yang mungkin
satu-satunya
ahli semiotik
yang hak filmnya
punya nilai (Eco, 1980)
Saussure
berpendapat bahwa
tidak
ada
yang
lebih
tepat
dibanding
studi
tentang bahasa dalam menerangkan sifat dari problem semiologis
(Saussure
1983,
16;
Saussure
1974,
16).
Semiotik
melakukan pendekatan
penuh
pada
konsep-konsep
linguistik, sebagian
karena
pengaruh
dari
Saussure
dan
karena
linguistik adalah
sebuah
ilmu
yang
lebih
mapan
dibanding
ilmu-ilmu lain
tentang sistem tanda/isyarat. Ahli-ahli
|
39
strukturalis
mengadopsi bahasa
sebagai
model
mereka
dalam
menjelajahi
fenomena
sosial
yang
lebih
luas:
Levi-Strauss untuk
mitos,
aturan
kekerabatan, dan
totemisme;
Lacan
untuk
yang
tidak
sadar;
Barthes
dan
Greimas untuk tata bahasa dari naratif. Julia Kristeva menyatakan bahwa
apa yang semiotik sudah temukan
..adalah bahwa hukum yang
mengatur
atau, bila orang
menginginkan,
hambatan
utama
yang
mempengaruhi
praktek
sosial
apapun
terletak
pada
fakta
bahwa
ia
menandai; misalnya
bahwa ia diartikulasikan
seperti sebuah bahasa
(dikutip
dalam
Hawkes
1977, 125). Saussure menganggap bahasa (modelnya adalah perkataan)
sebagai
yang
paling
penting
dari
semua
sistem
tanda/isyarat
(Saussure
1983,
15;
Saussure
1974,
16).
Bahasa
hampir
seragam sangat
dianggap
sebagai sistem komunikasi yang paling bertenaga. Sebagai contoh, Marvin
Harris
mengamati bahwa
bahasa-bahasa
manusia
unik
diantara
sistem-
sistem komunikasi yang memiliki universalitas semantik
.. Sebuah
sistem
komunikasi
yang
mempunyai
universalitas semantik
dapat
membawa
informasi tentang
semua
aspek,
domain,
properti,
tempat,
atau
kejadian-kejadian dimasa
lampau, sekarang
atau
masa
depan,
apakah
aktual atau mungkin,
nyata atau imajiner
(dikutip
dalam
Wilden
1987,
138).
Mungkin bahasa
adalah
sesungguhnya mendasar:
Emile
Benveniste
mengamati
bahwa
bahasa
adalah
sistem
penginterpretasian dari
semua
sistem lainnya, linguistik ataupun bukan linguistik (dalam Innis 1986,
239),
sementara
Claude
Levi-Strauss
mencatat
bahwa
bahasa
adalah
|
40
sistem
semiotik
yang sangat
hebat; ia hanya
dapat
menandai,
dan eksis
hanya melalui penandaan (Levi-Strauss 1972, 48).
Saussure melihat linguistik sebagai sebuah cabang dari semiologi:
Linguistik hanya satu cabang dari ilmu pengetahuan
umum (semiologi)
ini.
Hukum-hukum yang
semiologi akan
temukan
akan
menjadi
hukum-
hukum
yang
dapat
diterapkan
dalam
linguistik
.. Sejauh
yang
kita
ketahui
problem
linguistik
adalah
semiologis
yang pertama
dan
yang
utama
Bila
orang
ingin
menemukan
sifat
alami
dari
sistem-sistem
bahasa, ia
harus
pertama-tama
mempertimbangkan
apa persamaan mereka
dengan
sistem-sistem
yang
lain
dari
jenis
yang
sama
.
Dengan
cara
ini,
titik terang dapat
di
temui bukan
hanya
dalam
problem
linguistik. Dengan
mempertimbangkan ritus,
adat-istiadat
dan
lain-lain
sebagai
tanda-
tanda/isyarat-isyarat,
akan
mungkin,
kita
yakin,
untuk
dapat
melihat
sistem-sistem itu dalam sebuah perspektif yang baru. Kebutuhan akan
dapat
dirasakan
untuk
mempertimbangkan mereka
sebagai
fenomena
semiologis
dan
menerangkan mereka
dalam
istilah-istilah
hukum
semiologi.
2.4.2.Cabang-Cabang
Semiotika
Cabang-cabang semiotika
sangat
banyak
ini
dikarenakan
semiotika dapat
mewakili
beragam
studi
dalam
seni,
kesusastraan, antropologi
dan
media
massa ketimbang sebuah disiplin akademis yang independen. Mereka yang
|
41
terlibat
dalam
semiotik
termasuk
ahli-ahli
bahasa,
filsuf,
psikolog,
ahli-
ahli
sosial,
antropolog,
teoritikus-teoritikus sastra,
estetika
dan
media,
psikoanalis dan
ahli-ahli
pendidikan. Lebih
dari
sebagian
besar
definisi
dasar, ada variasi yang begitu banyak diantara para ahli semiotik
mengenai apa
yang
semiotik
libatkan.
Bukan
hanya
memperhatikan
komunikasi (intensional) tapi juga askripsi kita tentang keutamaan
terhadap
segala
sesuatu di
dunia.
Beberapa orang
menaruh semiotika dan
diimplementasikan
ke dalam beberapa bidang namun hal ini hanya
mewakili sebagian dalam ilmu pengetahuan semiotika ini; Seperti dalam:
Cultural
Semiotics
Visual Media
Komunikasi Massa
Media Berita
Advertising
Cinema Semiotics
Semiotika pada Televisi
Computer Semiotics
Namun
hal
ini
tidak
menutup bahwa
masih banyak
bidang
dalam
menerapkan
semiotika.
2.5
Data
Gambaran
Pembuatan
Buku
2.5.1 Isi buku
|
42
Menurut struktur penulisan buku semiotika oleh Göran Sonesson,Daniel Chandler,
Dan J. L. Lemke:
Pengenalan Semiotika : Penjelasan mengenai semiotika itu sendiri
Sign: >Mengenai tanda, fraktal, dan dinamika
Semantik,
Sintaktik,
Dan
Pragmatik Penjelasan
mengenai
bagian
dari
semiotika itu sendiri
Sensasi, Paradigma dan sintaktik: Pengalaman
yang
disadari atau
perasaan
bahwa
nampaknya
mengkomunikasikan kesadaran
dunia
eksternal.
Para penganut
empiris
biasanya
menganggap
bahwa
sensasi
merupakan
dasar
untuk
pengetahuan
posteriori
kita
mengenai dunia
Denotasi Dan Konotasi
Kekuatan
Analisis
Semiotik:
Penjelasan
mengenai
pencapaian
analisis
semiotika,
Kode
<>
de-kode
<>
kode,
Logika
abduktif,
Manipulasi &
doktrinasi
Hyper Semiotika:
Pemahaman-pemahaman baru
mengenai semiotika,
Hyper semiotika, Semiotika kompleks
2.5.2 Tokoh-tokoh
yang diambil
pembahasannya
menngenai semiotika
Ferdinand de Saussure. Charles S Peirce. John Fiske. Claude Lévi-Strauss. Paul
Bouissac.
Daniel
Chandler.
Göran sanisson.
Roland Barthes. Jean
Baudrillard.
|
43
Umberto
Eco.
PaulCobley. Litza
Jansz.
Rosalind
Coward.
John
Ellis.
Marcel
Danesi.
John Deely.
Pierre
Guiraud.
Hodge Gunther
Kress.Jørgen Dines
Johansen. Svend Erik Larsen. Winfried Nöth. David Sless. Jonathan Culler. Roy
Harris.
David
Holdcroft.
Paul J
Thibault. Marshall
Blonsky. Algirdas
Greimas.
Gary Genosko. Robert
E
Innis. Charles
W
Morris.
Thomas
A
Sebeok. Jacques
Derrida.
Michel
Foucault.
Gary
Genosko.
David
M
Halperin.
Fredric Jameson.
Jacques Lacan. Michael Lane. Christopher Norris.Rajnath. John Sturrock. Marcel
Danesi.
Edmund
Leach.
Yuri
Lotman.Tim O'Sullivan.
John
Hartley
.Danny
Saunders. Martin Montgomery. Jack Solomon. Dominic Strinati. Tony
Thwaites.
Lloyd
Davies.
Warwick
Mules.
Graeme
Turner.Jean-Marie Floch.
Ernst
H
Gombrich. Nelson Goodman. Gunther Kress. Theo van Leeuwen. Paul Messaris.
John
Tagg. Jonathan Bignell. Olivier
Burgelin.Marcel Danesi. Stuart Hall. Klaus
Bruhn Jensen. Winfried Nöth. Andrew Tolson. Howard Davis. Paul Walton. John
Hartley.
Guy
Cook. Howard Davis.
Paul Walton. Gillian Dyer.
Varda Langholz
Leymore. William Leiss. Stephen Kline. Sut Jhally. Trevor Millum. Kathy Myers.
Barbara B Stern. Jean Umiker-Sebeok. Judith Williamson. Peter Bogh Andersen
2.6
Target Sasaran
Demografi
Sex
:
Laki-laki
dan perempuan.
Usia
:
21- 35 tahun.
Pendidikan
:
Lulus
kuliah/sedang
kuliah
bidang
Desain
Komunikasi
Visual/Hal-hal yang berkaitan dengan seni dan desain, Komunikasi, Kultural.
|
44
Kelas Sosial
:
b,b+,A Keatas.
Geografi
Tempat tinggal : kota-kota besar (ibu kota propinsi).
Psikografi
Terbuka,
imajinatif,
menyukai
hal-hal
yang bersifat pengetahuan atau
kultur,
jenis
humor
satire,
high
couriousity,
berani
tampil,
memiliki jiwa
eksperimental (di
dalam
benaknya
selalu
timbul
pertanyaan
bagaimana
jika
). Suka ke rumah budaya, museum, perpustakaan, namun suka hangout
ke
café
dan
coffeshop. Menyukai
musik-musik experimental, dan
elektronik
pada umumnya namun tidak menutup diri dengan musik lainnya. Menyenangi
hal-hal
yang
baru,
selalu
ingin
mencoba sesuatu.
Membeli
barang
di
mall
ataupun
butik-butik. Sering
membeli
sesuatu
yang
berjenis
collectible
item.
Kadang
suka
keramaian
namun
selalu ada
moment
untuk pribadi.
Jam
tidur
tidak
teratur.
Menghabiskan minimal
10%
dari
waktu pada
tiap
harinya
di
depan
monitor
computer /
laptop.
Sering
online
dan
browsing
internet.
Biasanya
ikut
dalam
suatu
komunitas tertentu
seperti
komunitas film,
komunitas desain, komunitas musik,dll.
2.7
Kompetitor
2.7.1 Kompetitor
langsung
Buku-buku mengenai desain atau semiotika produksi lokal.
|
45
2.7.2 Kompetitor tak
langsung
Buku-buku mengenai desain atau semiotika produksi internasional.
Buku-buku desain komunikasi visual yang membahas teknis seperti pengoprasian
program computer dll.
2.8
Positioning
Buku dalam bentuk esai
visual bertemakan semiotika dengan hubungannya
dengan desain komunaikasi visual.
2.9
Analisa SWOT
2.9.1 Strength
(kekuatan)
Buku
ini sangat
specific dan
content-nya
sangat
jarang
ditemukan
di
Indonesia
sehingga buku ini menjadi suatu wacana yang baru di Indonesia dan dunia desain
komunikasi visual. Peminat buku ini adalah orang-orang yang khusus dan
mereka
akan
menyambut dengan baik dan mengkoleksi buku ini. Kehadiran bentuk buku
yang
menampilkan
visual
esai
yang
masih
jarang sehingga
kehadirannya akan
menyegarkan para peminat.
2.9.2 Weakness
(kendala)
Buku
ini cenderung
kepada
target
sasaran
remaja
dewasa
yang
khusus
sehingga target lebih sempit.
Peminat membaca buku mengenai hal ini di Indonesia sangat sedikit.
|
46
Masih jarang peminat yang mengetahui hal mengenai semiotika itu sendiri.
2.9.3 Opportunities
(peluang)
Dengan
tema
yang
baru,
segar
dan
menambah
pengetahuan baru
diharapkan
menjadi daya
tarik
pembaca buku.
Serta
desain
buku
yang
unik,
kuat,
dan
berkarakter menjadi salah satu nilai jual terpenting untuk menarik hati pasar.
2.9.4 Threat
(ancaman)
Peminat buku pengetahuan
seperti ini masih sedikit, bahkan tema semiotika
sangat
sedikit
diketahui oleh
masyarakat.
Buku-buku
desain
komunikasi
visual
yang
membahas
teknis
pengoprasian program computer
(seperti
TIP
&
TRIK
DESAIN
WEB
DINAMIS
DENGAN
CSS
DAN
JAVASCRIPT +
DISKET
Abdullah ELEX MEDIA
KOMPUTINDO
TIP
& TRIK
MEMBUAT
EFEK
SPESIAL
DESAIN
GRAFIS
DENGAN
FIREWORKS
MX + CD
Gregorius
Agung
ELEX MEDIA KOMPUTINDO)
terkadang
membuat
masyarakat merasa
lebih
perlu
untuk
membeli
buku
seperti
itu daripada buku-buku yang berkontekstual konsep dan apresiasi dari idea.
|