BAB 2
LANDASAN  TEORI
2.1 Pengertian Pemasaran
Dalam setiap
bidang
industri,
dimanapun
industri
itu
berada
baik
itu
bergerak
dibidang
produk
maupun
jasa,
pasti
tidak terlepas
dari
kegiatan pemasaran.
Mengapa
demikian?
Karena
tanpa
kegiatan
tersebut
,
sangatlah sulit
suatu
produk
bisa
sampai
ke
tangan
konsumennya.
Menurut
Kotler
(2005,
p10),
pemasaran
adalah proses
sosial
yang
dengan
proses
itu
individu
dan
kelompok mendapatkan apa
yang mereka
butuhkan
dan
inginkan
dengan
menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai
dengan pihak lain.
Menurut
George
dan
Michael
Belch (2004,p7):
Marketing
is the process of planning
and
executing
the econception,
pricing,
promotion,
and distribution of ideas, goods, and services
to create exchanges that satisfy individual and organizational
objectives.”
Berikut
ini
beberapa
definisi
pemasaran
yang
dikemukakan
oleh
para
ahli
dalam
buku
Saladin (2003,p1) sebagai berikut:
Pendapat  Stanton,  Etzel  dan  Walker  pemasaran  adalah  suatu  sistem  total  dari
kegiatan
bisnis
yang
dirancang
untuk mendistribusikan
barang-barang
yang
dapat
memuaskan keinginan dan mencapai sasaran serta tujuan organisasi.
Pemasaran
menurut
Keegan
adalah
suatu
proses
yang
berfokus
pada sumber daya
manusia dan bertujuan untuk memanfaatkan peluang-peluang pasar secara global.
(Lamb, 2001, p6) definisi pemasaran dibagi menjadi dua, yang pertama yaitu pemasaran
merupakan filosofi, sikap, perspektif atau
orientasi
manajemen
yang
menekankan
kepuasan
pelanggan. Sedangkan yang
kedua
adalah sekumpulan
aktivas atau kegiatan
yang digunakan
untuk
mengimplementasikan
filosofi
ini.
Dari
pengertian
yang
telah
diuraikan diatas,
dapat
disimpulkan bahwa
pada
dasarnya
pemasaran
merupakan serangkaian
kegiatan
yang
dilakukan oleh setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya.
5
  
Titik awal
fokus
sarana
akhir
Pabrik
Produk
Penjualan
Keuntungan melalui
Dan
volume penjualan
Promosi
a. Konsep Penjualan
Pasar
Kebtuhan
Pemasaran
Keuntungan melalui
Sasaran
pelanggan
yang
kepuasan
Terintegrasi
pelanggan
b. Konsep pemasaran
Gambar 2.1 Perbandingan
Konsep Penjualan dengan Pemasaran
Sumber Kotler 2005
2.2 Bauran
Pemasaran
Menurut
Kotler (2005,
p17)
bauran pemasaran adalah
seperangkat
alat pemasaran
yang
digunakan 
perusahaan 
untuk 
terus  menerus 
mencapai  tujuan  pemasarannya  di 
pasar
sasaran. Bauran pemasaran terdiri atas segala sesuatu yang dapat dilakukan perusahaan
untuk
mempengaruhi
permintaan produknya.
Kemungkinan-kemungkinan itu
menurut
McCarthy dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok variabel yang dikenal dengan “4 P”:
Product, Price, Place, dan Promotion
(produk, harga, distribusi dan promosi).
  
1.   Produk
(
product) adalah
kombinasi
barang
dan
jasa
yang
ditawarkan
oleh
perusahaan
kepada pasar sasaran.
2.  
Harga 
(price) 
adalah 
sejumlah 
uang 
yang 
harus 
dibayar 
oleh 
pelanggan 
untuk
memperoleh
produk.
3.  
Distribusi
(place)
adalah
aktivitas perusahaan agar
produk mudah
didapatkan
konsumen
sasarannya.
4.   Promosi 
(promotion)
adalah  aktivitas 
mengkomunikasikan 
keunggulan 
produk 
serta
membujuk pelanggan sasaran untuk membelinya.
Bauran Pemasaran
Produk
Keragaman produk
Kualitas
Design
Ciri
Nama merek
Kemasan
Ukuran
Pelayanan
Garansi
Imbalan
Harga
Pasar
sasaran
Promosi
Tempat
Saluran
pemasaran
Cakupan pasar
Pengelompokan
Lokasi
Persediaan
Transportasi
Daftar harga
Rabat/diskon
Potongan harga khusus
Periode pembayaran
Syarat kredit
Promosi penjualan
Periklanan
Tenaga penjualan
Kehumasan
Pemasaran langsung
Gambar 2.2 Komponen 4P
Sumber Kotler (2005)
2.3 Produk
2.3.1 Pengertian Produk
Produk merupakan
segala
sesuatu
yang
dapat ditawarkan ke pasar
untuk
mendapatkan
perhatian,
untuk
dibeli,
untuk
kegunaan atau
pemakaian
dan mungkin
memenuhi
kebutuhan
  
dan
keinginan
dari
pelanggan.
Produk
dapat
berupa
barang
fisik,
berbagai
jenis
jasa
atau
gagasan.
Menurut 
Kotler 
dan 
Amstrong 
(2004,p7) 
Produk 
merupakan 
sesuatu 
yang 
bisa
ditawarkan
ke
pasar
untuk
diperhatikan,
dimiliki, digunakan
atau
dikonsumsi
yang
bisa
memuaskan keinginan dan kebutuhan.
Menurut
pendapat
Simamora
(2000,p440)
produk
adalah segala
sesuatu yang diterima
oleh
konsumen atau pemakai
industrial
pada saat melakukan pembelian atau
menggunakan
produk.
2.3.2 Klasifikasi Produk
Menurut
Kotler
(2000,
p396)
produk
diklasifikasikan
menjadi
tiga
kelompok menurut
ketahan dan keberwujudannya, yaitu :
1.  
Barang
habis pakai
(non durable goods)
,
merupakan barang
berwujud
yang lebih
cepat
dikonsumsi, biasanya dalam satu atau beberapa kali penggunaan.
2.   Barang
tahan lama
(durable goods)
,
Merupakan barang berwujud yang digunakan dalam
waktu yang cukup lama.
3.   Jasa
(services), Merupakan
segala
aktivitas
atau
manfaat
yang
dapat
ditawarkan
untuk
dijual
oleh
satu
pihak
kepada
pihak
lain,
yang
pada
dasarnya
tidak
berwujud dan
tidak
menghasilkan kepemilikan apapun.
Menurut penggunaan atau jenis pembelinya, Kotler (2000, p397) mengklasifikasikan
produk sebagai berikut :
A. 
Barang Konsumsi (consumer Goods)
Merupakan produk
yang dibeli
dengan pola
pembelian
untuk
digunakan
oleh
konsumen   akhir   untuk   konsumsi   pribadi.   Barang-barang   ini  
dapat   diklasifikasi
berdasarkan
kebiasaan berbelanja konsumen, yaitu:
  
1. Convenience Goods
Merupakan produk yang sering dibeli konsumen, segera, hanya sedikit membanding-
bandingkan 
dan  usaha  membelinya  minimal.  Biasanya  hargaproduk  ini  rendah  dan
tempat penjualannya tersebar luas. Convenience Goods dibedakan jadi:
a. Staples goods
b. Impulse goods
c. Emergency goods
2. 
Shopping Goods
Merupakan
barang-barang
dengan
karakteristik
dibandingkan
berdasarkan
kesesuaian, kualitas, harga, dan gaya dalam proses pemilihan dan pembeliannya.
Dibedakan menjadi :
a. 
Homogenous goods
b. 
Heterogenous goods
3.
Speciality Goods
Merupakan
barang-barang
dengan
karakteristik
unik
dan
atau
identifikasi
merek
yang
untuknya sekelompok
pembeli
yang
cukup
besar bersedia
senantiasa melakukan
usaha khusus untuk membelinya.
4.
Unsought Goods
Merupakan
barang-barang
yang
tidak
diketahui
konsumen atau
diketahui
namun
secara normal konsumen tidak berpikir untuk membelinya.
B.  
Barang Industri
Merupakan produk yang dibeli untuk keperluan bisnis atau diproses lebih lanjut.
Terdiri dari 3 bagian :
1. Bahan baku dan suku cadang
2. Barang modal
3. Perlengkapan dan jasa bisnis
  
2.4 Merek (b®and)
2.4.1 Sejarah dan Pengertian Merek (b®and)
Praktik
branding
telah
berlangsung
berabad-abad.
Kata
brand
dalam
bahasa
Inggris
berasal
dari
kata
“brandr”
dalam
bahasa
Old norse, yang
berarti
to burn”,
mengacu
pada
pengidentifikasian
ternak.
Pada
waktu
itu,
pemilik
peternakan
menggunakan 
“cap”
khusus
untuk menendai
ternak
milinya
dan membedakannya
dari ternak milik
orang
lain.
Melalui cap
seperti ini, konsumen menjadi lebih mudah mengidentifikasi ternak-ternak berkualitas yang
ditawarkan
oleh
para
peternak
bereputasi bagus.
Manfaat
merek
sebagai
pedoman
yang
memudahkan
konsumen memilih produk berlaku hingga saat ini.
Merek  adalah 
tanda 
yang  berupa 
gambar, 
nama, 
kata, 
huruf-huruf,  angka-angka,
susunan
warna
atau
kombinasi
dari
unsur-unsur
tersebut
yang memiliki
daya
pembeda
dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa (Iman S.T, 2001, p19).
Menurut
Lamb
(2001,
p421)
merek
adalah
suatu
nama,
istilah,
tanda,
simbol,
atau
desain,  atau 
kombinasi 
semuanya,  yang  mengidentifikasikan 
produk 
para  penjual 
dan
membedakannya dari produk pesaing.
Menurut Keller yang dikutip
dari Tjiptono (2005, p19) merek adalah
produk yang mampu
memberikan
dimensi
tambahan
yang
secara
unik
membedakannya
dari
produk-produk
lain
yang dirancang untuk memutuskan kebutuhan serupa.
Menurut Kotler (2000, 404) merek memiliki 6 tingkatan pengertian, yaitu :
1.   Atribut, merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu
2.  
Manfaat,
suatu
merek
lebih
dari
serangkaian
atribut.
Pelanggan
tidak
membeli
atribut, tetapi membeli
manfaat, atribut diperlukan
untuk
diterjemahkan
menjadi
manfaat fungsional atau emosional.
3.  
Nilai, Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen
4.  
Budaya, merek juga mewakili budaya tertentu
5.  
Kepribadian, merek juga mencerminkan
kepribadian tertentu
  
6.   Pemakai,
merek
menunjukan
jenis
konsumen yang
membeli atau
menggunakan
produk tersebut
Merek  harus  memiliki  kualitas  yang  lebih
sehingga  suatu  merek  dapat  dikenal  dan
memiliki  
keunikan   sendiri.  
Menurut   Kotler   (2000,   p413),   suatu   perusahaan   dapat
menentukan  kebijakan  mereknya  perlu 
memperhatikan  kualitas 
dari 
merek 
itu  sendiri.
Adapun kualitas dari suatu merek sebagai berikut :
1.  
Nama merek harus menunjukan manfaat produk tersebut
2.  
Nama merek harus menunjukan mutu suatu produk
3.  
Nama merek mudah diucapkan, dikenal dan diingat
4.  
Nama merek harus menjadi ciri
khas yang dapat dibedakan
5.  
Nama merek
tidak membawa arti yang kurang baik di lain negara atau bahasa
Menurut
Durianto, Sugiarto
dan
Sitinjak (2001,
p1),
merek menjadi sangat
penting
saat
ini karena beberapa faktor, seperti :
1.   Emosi konsumen terkadang turun naik
2.   Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar
3.   Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dan konsumen
4.   Merek sangat berpengaruh
dalam membentuk prilaku
konsumen
5.   Merek memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen
6.   Merek berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan
Tabel 2.1 Intepretasi Terhadap Merek
No
Intepretasi
Deskripsi
A. Perspektif
Input
1
Merek sebagai
logo
Merek didefinisikan sebagai nama, istilah,
tanda, simbol, atau desain, atau
kombinasi diantara keduanya, yang dimaksudkan untuk
mengidentifikasikan barang dan jasa dari satu penjual atau sekelompok
penjual dan membedakannya dari barang dan jasa pesaingnya. (definisi
  
American Marketing Association, dikutip
dalam Kotler (2004,p407). Definisi
ini menekankan peranan merek sebagai identifier dan differentiator.
2
Merek sebagai
instrumen
hukum
Merek mencerminkan hak kepemilikan yang dilindungi secara hukum.
3
Merek sebagai
perusahaan
Merek merepresentasikan
perusahaan, dimana nilai-nilai korporat diprluas
keberbagai macam kategori produk.
4
Merek sebagai
shorthand
Merek memfasilitasi dan mengakselerasi pemrosesan informasi konsumen.
5
Merek sebagai
penekan resiko
Merek menekan persepsi konsumen terhadap risiko (misalnya risiko
kinerja, risiko finansial, risiko waktu, risiko sosial, risiko psikologis)
6
Merek sebagai
positioning
Merek di intepretasikan sebagai wahana yang memungkinkan pemiliknya
untuk mengasosiasikan penawarannya dengan manfaat fungsional
tertentu yang penting, bisa dikenali, dan dinilai penting oleh para
konsumen
7
Merek sebagai
kepribadian
Merek memiliki nilai-nilai emosional atau kepribadian
yang bisa sesuai
dengan citra
diri konsumen (baik citra aktual, citra aspirasional, maupun
citra situasional).
8
Merek sebagai
serangkaian
nilai
Merek memili serangkaian
yang mempengaruhi pilihan merek.
9
Merek sebagai
visi
Merek merupakan visi para manajer senior dalam rangka membuat dunia
ini semakin baik. Dengan kata lain, merek mencerminkan apa yang
hendak diwujudkan dan ditawarkan oleh para manajer senior kepada
masyarakat luas.
10
Merek sebagai
penambah nilai
Merek merupakan nabfaat ekstra (fungsional dan emosional) yangb
ditambahkan pada produk atau jasa inti dan dipandang b ernilai oleh
konsumen.
11
Merek sebagai
identitas
Merek memberikan makna pada produk dan menentukan identitasnya,
baik dalam hal ruang dan waktu.
B. Perspektif Output
12
Merek sebagai
citra
Merek merupakan serangkaian asosiasi yang dipersepsikan oleh individu
sepanjang waktu, sebagai hasil pengalaman langsung maupun tidak
langsung atas sebuah merek.
  
13
Merek
sebagai
relasi
Oleh karena itu merek bisa dipersonifikasikan, maka para pelanggan bisa
menjalin relasi dengannya. Merek membantu pelanggan melegitimasi
pandangan atau pemikirannya terhadap diri sendiri.
C. Perspektif Waktu
14
Merek sebagai
envolving entity
Merek
bertumbuh
seiring
perubahaan
permintaan
pelanggan
dan
persaingan.
Sumber: de Chernatony dikutip oleh Tjiptono (2005)
2.4.2 Keputusan Memberi Merek (branding)
Keputusan
branding biasanya
dilakukan
pada
salah
satu
tahap
terakhir
dalam
proses
pengembangan
produk
baru, khususnya ditempatkan
sebagai salah
satu
isu
strategi
produk.
Keputusan branding ini meliputi 6 aspek
utama, yaitu :
1.  
Keputusan
branding
Yakni
keputusan
menyangkut
apakah
akan
menggunakan
merek atau tidak untuk
merek yang dihasilkan,
branding berlaku untuk semua jenis produk, yaitu dengan cara
memberikan nama
pada
produk
dan
menyertakan makna atau arti
khusus menyangkut
apa
yang
ditawarkan
produk
bersangkutan
dan apa yang
membedakan
produknya
dari
produk pesaing.
2.  
Keputusan brand sponsor
Yakni keputusan berkenaan dengan siapa yang harus mensponsori merek. Setiap
organisasi pemasaran memiliki tiga pilihan utama :
a.   Produk menggunakan nama pemanufaktur
b. 
Pemanufaktur
menjual
produk
ke
distributor
atau
perantara
dan
menggunakan
house brand atau private label
c.
Menerapkan 
mixed 
brand 
strategy, 
yakni 
menjual  sebagian  produk  dengan
menggunakan nama merek pemanufaktur dan sebagian lagi dengan
private label
  
3.  
Keputusan brand hierarchy
Yaitu  keputusan  menyangkut 
apakah  setiap  produk  perlu 
diberi 
merek  sendiri
ataukah menggunakan
corporate
brand. Menurut
Keller
yang
dikutip
dari Tjiptono (2005,
p15) hirarki merek meliputi 4 level, yaitu
a.  
Corporate
brand, yaitu
menggunakan
nama perusahaan
(baik perusahaan
induk
maupun anak perusahaan atau kantor cabangnya) sebagai merek produk.
b.   Family brand,
yaitu
nama
merek
yang
diguanakan
di
lebih
dari
satu
kategori
produk, tetapi tidak selalu merupakan nama perusahaan pemiliknya.
c.
Individual brand,
yakni
merek
yang
dibatasi
hanya
untuk
satu
kategori
produk,
meskipun
bisa
digunakan
untuk
beberapa
tipe
produk
berada
dalam
kategori
yang sama.
d.  
Modifier, yaitu
wahana
untuk
menandakan
item
spesifik
atau
tipe
model
atau
versi/konfigurasi tertentu dari produk.
4.  
Keputusan
brand extension
Yakni
keputusan
menyangkut
apakah nama
merek
spesifik
perlu
diperluas
pada
merek-merek  lain.
Dalam
brand
extension,
nama
merek
yang
telah
terbukti
sukses
dipakai
untuk meluncurkan produk
baru atau
produk
modifikasi
dalam
kategori produk
baru.
Brand extension
memiliki
sejumlah
keunggulan
,
diantaranya
pangsa
pasar
lebih
besar,  efisiensi  periklanan  lebih  besar,  perusahaan  lebih  mudah  memasuki  kategori
produk
baru,
produk
baru
lebih
mudah
dan cepat
dikenal
dan
diterima
konsumen,
dan
lain-lain. Akan
tetapi, b®and extension juga mengandung
kelemahan, seperti resiko sikap
negatif konsumen
terhadap
produk-produk
lain bermerek
sama jika
produk baru
gagal di
pasaran.
Brand extension juga termasuk salah satu dari empat st®ategi merek.
  
Baru
Line Extension
Brand Extension
Multibrands
New Brands
Kategori Produk
Nama
Merek
Saat ini
Baru
Saat Ini
Baru
Gambar 2.3 Strategi Merek
Sumber : Tjiptono (2005)
5.  
Keputusan
multibrand
Yakni  
mengembangan   dua   atau   lebih   merek   dalam   kategori  
yang   sama.
Multibranding
memungkinkan
perushaan
mendapatkan
tempat
yang
lebih
besar
di
rak-
rak
pajangan pengecer,
dalam
hal
tertentu
perusahaan
bermaksud
melindungi
merek-
merek utamanya dengan jalan mengembangkan fighting brand.
6.  
Keputusan
brand repositioning
Yaitu
keputusan untuk
mengubah
produk
dan
citranya
agar
dapat
lebih memenuhi
ekspektasi
palanggan.
Repositioning bisa pula dilakukan dengan hanya mengubah citera
produk. Prose keputusan branding dapat dilihat pada gambar 2.4.
Lebih
lanjut,
tersedia
pula
berbagai cara
untuk memperluas
merek
dalam rangka
meningkatkan nilainya, seperti menyediakan garansi kinerja, menyediakan fasilitas kredit,
pengaturan
dan pelayanan dan
purnajual
yang
efektif.
Merek
dapat
pula dikembangkan lebih
lanjut 
menjadi  potential brand
dengan 
menambahkan 
berbagai 
atribut 
tambahan 
yang
berperan
penting
dalam
membentuk
preferensi
dan
loyalitas
pelanggan.
Doyle
(Tjiptono,
2005, 
p17)  beragumen 
bahwa 
kunci 
utama  proses  membangun  merek  sukses 
adalah
kualitas, layanan, inovasi, dan diferensiasi.
  
2.4.3 Manfaat Merek
Menurut
Keller
yang dikutip
oleh Tjiptono (2005,
p20), merek bermanfaat
bagi
produsen
dan konsumen. Bagi produsen merek berperan penting sebagai :
1.   Sarana identifikasi
untuk
memudahkan proses
penangan atau pelacakan
produk
bagi
perusahaan,
terutama
dalam
pengorganisasian
persediaan dan
pencatatan
akuntansi.
2.  
Bentuk
proteksi
hukum terhadap
fitur
atau
aspek
produk
yang
unik.
Merek
bisa
mendapat perlindungan seperti intelektual.
3.   Signal
tingkat
kualitas
bagi
para
pelanggan
yang
puas,
sehingga
mereka
bisa
dengan mudah memilih dan membelinya lagi dilain waktu.
4.   Sarana
menciptakan
asosiasi
dan
makna
unik
yang
membedakan
produk
dari
para pesaing.
5.   Sumber
keunggulan
kompetitif,
terutama
melalui
perlindungan
hukum,
lolaylitas
pelanggan, dan citra unikyang terbentuk dalam benak konsumen.
6.   Sumber financial return
,
terutama menyangkut pendapatan masa datang.
Bagi kosumen, merek bisa memberikan beraneka ragam nilai melalui sejumlah fungsi dan
manfaat potensial.
Keller yang dikutip Tjiptono (2005, p21) mengemukakan 7 manfaat pokok
merek bagi konsumen, yaitu sebagai:
1.  
Identifikasi sumber produk
2.   Penetapan tanggung jawab pada pemanufaktur atau distributor tertentu
3.   Pengurang resiko
4.   Penekan biaya pencarian internal dan eksternal
5.  
Janji atau ikatan khusus dengan produsen
6.   Alat simbolis yang memproyeksikan citra diri
7.   Signal kualitas
  
Manfaat merek bagi konsumen menurut Kapferer yang dikutip Tjiptono (2005, pp21-22) :
1.  
Identifikasi, 
bisa 
dilihat 
dengan 
jelas, 
memberikan 
makna 
bagi 
produk, 
gampang
mengidentifikasi produk yang dibutuhkan atau dicari.
2.   Praktikalitas,  Memfasilitasi 
penghematan 
waktu  dan  energi 
melalui 
pembelian 
uang
identik dan loyalitas.
3.  
Jaminan, Memberikan jaminan bagi konsumen bahwa mereka bisa
mendapatkan kualitas
yang sekalipun pembelian
dilakukan pada waktu dan di tempat berbeda.
4.   Optimisasi,
Memberikan
kepastian
bahwa
konsumen
dapat
membeli
alternatif
terbaik
dalam kategori produk tertentu dan pilihan terbaik untuk tujuan spesifik.
5.  
Karakterisasi,
mendapatkan
konfirmasi
mengenai
citra
diri
konsumen
atau
citra
yang
ditampilkannya kepada orang lain.
6.  
Kontinuitas,
kepuasan
terwujud
melalui
familiaritas
dan
intimasi
dengan
merek
yang
telah digunakan atau dikonsumsi pelanggan selama bertahun-tahun.
7.  
Hedonistik, Kepuasan terkait dengan daya tarik merek, logo dan komunikasinya.
8.   Etis,
Kepuasan
berkaitan
dengan
perilaku bertanggung jawab merek
bersangkutan dalam
hubungannya dengan masyarakat.
Manfaat-manfaat merek menurut Ambler yang dikutip oleh Tjiptono (2005, p23) :
1.   Manfaat ekonomik
a.   Merek
merupakan
sarana
bagi
perusahaan
untuk
saling
bersaing
memperebutkan pasar
b.  
Konsumen 
memilih 
merek 
berdasarkan 
value 
for 
money 
yang 
ditawarkan
berbagai macam merek
c.
Relasi
antara
merek
dan
konsumen
dimulai
dengan
penjualan.
Premium
harga
bisa 
berfungsi 
layaknya 
asuransi 
risiko 
bagi 
perusahaan. 
Sebagian 
besar
konsumen lebih suka
memilih
penyedia
jasa
tyang lebih
mahal
namun diyakinya
  
bakal memuaskannya
ketimbang
memilih penyedia
jasa
lebih murah
yang
tidak
jelas kinerjanya.
2.   Manfaat Fungsional
a.
Merek memberikan peluang bagi diferensiasi. Selain memperbaiki kualitas,
perusahaan-perusahaan
juga
memperluas
mereknya dengan
tipe-tipe
produk
baru.
b.   Merek
memberikan
jaminan
kualitas.
Apabila
konsumen
membeli
merek
yang
sama
lagi,
maka
ada
jaminan
bahwa
kinerja
merek
tersebut
akan
konsisten
dengan sebelumnya.
c.
Pemasar
merek
berempati
dengan
para
pemakai
akhir
dan
masalah
yang
akan
diatasi merek yang ditawarkan.
d.   Merek memfasilitasi ketersediaan produk secara luas.
e.   Merek memudahkan iklan dan sponsorship.
3.   Manfaat Psikologis
a.   Merek  merupakan 
penyerderhanaan 
atau  simplifikasi 
dari 
semua 
informasi
produk yang perlu diketahui konsumen.
b.
Pilihan 
merek
tidak 
selalu 
didasarkan 
pada 
pertimbangan 
rasional. 
Dalam
banyakmkasus
faktor
emosional
memainkan
peran dominan
dalam
keputusan
pembelian.
c.
Merek
bisa memperkuat  citra diri dan persepsi orang lain terhadap pemakai atau
pemiliknya.
d.
Brand
symbolism tidak hanya berpenga®uh pada persepsi o®ang lain,
namun juga
pada identifikasi diri sendiri dengan objek tertentu.
  
Keputusan branding
Keputusan brand
sponsor
Keputusan brand hierarchy
Perlukah
mengembangkan
merek untuk produk
Siapa yang harus
mensponsori
merek ?
Apakah setiap
produk perlu diberi
merek sendiri atau
menggunakan
corporate brand
Bermerek
Tanpa merek
Merek pemanufaktur
Private brand
Mixed brand
Corporate brand
Family brand
Individual brand
Modifer
Keputusan brand extension
Keputusan multibrand
Apakah produk-
produk lain perlu
diberi merek yang
sama ?
Apakah perlu
mengembangjan dua
atau lebih merek
dalam kategori produk
yang sama ?
Perlukah
melakukan
brand
repositioning ?
Brand extension
Tidak memerlukan
brand extension
Satu merek
Lebih dari satu merek
Gambar 2.4 proses keputusan branding
Sumber : Kotler dan keller dikutip oleh Tjiptono (2005)
Brand
repositioning
Tidak melakukan
brand
repositioning
2.4.4 Menempatkan
Merek pada Posisi Pemenang (
Winning Position)
Untuk
menempatkan
merek
pada posisi pemenang
dapat
dikaitkan
dengan
pengeluaran
biaya operasional dan
tanggapan atau nilai yang diberikan konsumen untuk sebuah merek.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
  
Good
Position
Winning
Position
Fatal
Position
Good
Position
High
Customer
Percieved
value of brands
Low
High
Low
Operational costs
Gambar 2.5 Brand power : The winning position
Sumber : Paul Temporal (2006)
Suatu merek
yang terletak pada good position (pojok kiri atas) merupakan hal yang
baik
dengan
tingginya nilai yang
diberikan
pelanggan walaupun
dengan biaya
yang tinggi.
Untuk
kebalikannya
adalah
pada
merek
yang
terletak
pada
fatal position (pojok
kiri
bawah)
yang
mendapatkan
nilai
yang
rendah
dari
konsumen padahal
sudah
mengeluarkan
banyak
biaya.
Merek
yang
berada
pada
winning position
yaitu
terlaetak
pada
kombinasi
antara
tingginya
nilai yang diberikan oleh konsumen atas merek tersebut dan biaya operasional yang rendah.
2. 5 Ekuitas Merek (Brand Equity)
2.5.1 Pengertian Ekuitas Merek (b®and equity)
Seperti
halnya
konsep
merek,
terdapat
banyak
makna
konsep
brand equity,
akuntan
cenderung
mendefinisikan
brand equity
secara
berbeda
dengan
pemasar,
dimana
konsep
brand
equity dirumuskan
berdasarkan
relasi
antara
pelanggan
dan
merek
atau
sebagai
sesuatu yang diperoleh pemilik
merek. Dalam
perspektif
finansial,
whitwell (Tjipono,
2005,
p39)
yang menyatakan
bahwa brand equity
adalah Net Present Value
(NPV)
dari
aliran kas
masa
datang
yang
dihasilkan
oleh
suatu
merek,
dengan
kata
lain
brand equty
dihitung
berdasarkan nilai inkremental diatas nilai yang diperoleh produk tanpa merek.
Dalam
perspektif pemasaran,
salah satu definisi
brand equity
yang
paling
banyak dikutip
adalah 
definisi 
versi 
David 
A. 
Aaker 
yang 
menyatakan 
bahwa 
brand  equity  adalah
serangkaian  aset  dan 
kewajiban  merek  yang
terkait  dengan
sebuah  merek,  nama  dan
  
simbolnya,
yang
menambah
atau
mengurangi
nilai yang
diberikan
sebuah
produk
atau
jasa
kepada perusahaan atau pelanggan perusahaan tersebut Aset ekuitas merek pada umumnya
menambah
atau
mengurangi
nilai
bagi
para konsumen.
Aset-aset
ini
membentu
mereka
menafsirkan, berproses
dan
menyimpan
informasi
dalam
jumlah besar mengenai produk
dan
merek. 
Ekuitas 
merek 
juga 
bisa 
mempengaruhi 
rasa 
percaya 
diri 
konsumen 
dalam
mengambil
kepastian
pembelian,
yang
lebih penting adalah
kenyataan
bahwa
kesan kualitas
dan asosiasi merek bisa menguatkan keputusan konsumen dengan pengalaman
menggunakannya.
Aaker 
menyiratkan 
bahwa 
brand  equity 
bisa 
bernilai 
bagi 
perusahaan 
dan 
bagi
konsumen. Bagi perusahaan
brand equity berperan sebgai :
1.  
Dapat 
menguatkan 
program, 
memikat 
konsumen 
baru 
atau 
merangkul 
kembali
konsumen lama
2.   Memungkinkan 
margin 
yang 
lebih 
tinggi 
dan 
memungkinkan 
harga 
optimum 
dan
mengurangi ketergantungan pada promosi
3.  
Dapat memberikan landasan untuk pertumbuhan melalui perluasan merek
4.   Ekuitas
merek
yang
kuat
dapat
meningkatkan
penjualan
karena
mampu
menciptakan
loyalitas saluran distribusi
5.  
Dapat  memberikan 
keuntungan 
kompetitif 
bagi 
perusahaan 
dengan 
memanfaatkan
celah-celah yang tidak dimiliki pesaing
2.5.2 Strategi untuk Membangun
Ekuitas Merek
Dalam
membangun
ekuitas
merek
dari
sebuah produk
dimulai
oleh
pihak
senior
manajemen
dengan
mengembangkan
visi
dari
sebuah
merek
(brand vision).
Pihak
senior
manajemen dapat membuat rencana ke depan dengan taktik untuk merek yang mereka buat
serta mengimplementasikannya. Dibawah ini adalah proses untuk membangun dan
menghasilkan merek yang dikemukakan oleh De Chernatony (2001)
  
Brand vision
Organisational culture
Brand Objectives
Audit brandsphere
Brand evaluating
Brand essence
Internal implementation
Brand resourcing
Gambar 2.6 Proses membangun merek
Sumber : De Chernatony (2001)
1.  
Brand vision
menyangkut
masa depan dari sebuah
merek,
dan mau jadi
dan
seperti apa
merek
dimasa
depan.
Ada
tiga
komponen
dari
brand vision yaitu
bagaimana
merek
di
masa depan, tujuan dari merek, dan nilai dari merek.
2.  
Budaya  organisasi  (organisational culture),
merek
yang  memperhatikan  budaya  dari
organisasi dapat memberikan keunggulan bersaing. Dengan memperhatikan budaya
organisasi dapat menciptakan nilai bagi sebuah merek,
seperti logo.
3.   Brand objectives
,
setiap
merek
memiliki
makna
dan
tujuan
untuk
jangka
pendek
dan
jangka
panjang. Tujuan ini
merupakan transformasi dari
visi yang telah
dibuat.
Seperti
British
Airways
membuat
tujuan
jangka
panjang menjadi
salah
satu
pemenang
untuk
menjadi pemimpin dalam perusahaan travel di dunia.
  
4.   Audit brandsphere, ada 5
kunci untuk
meningkatkan sebuah merek, dengan menganalisis
setiap
kunci
tersebut
dapat
memperkuat
strategi yang telah dibuat. 5 kunci tersebut
adalah : Pelanggan, pesaing, lingkungan makro, distributor, dan perusahaan.
5.   Brand essence
dan
internal implementation,
untuk mengimplementasikan brand essence
memerlukan dukungan
dari
aspek-aspek
fungsional dan
emosional
dari
merek.
Aspek-
aspek fungsional
berhubungan
dengan pelayanan dari
merek.
Sedangkan
untuk
aspek-
aspek emosional dikaitkan
dengan relasi konsumen terhadap merek.
6.   Brand resourcing,
berhubungan  erat 
dengan  brand essence
karena 
dengan  brand
resourcing
maka
brand essence
dapat terbentuk.
Ada
8
komponen dalam
brand essence
yaitu symbol feature,
distinetive name, sign of ownership, functional
capabilities, service
components, risk reducer, legal protection, dan shorthand notation.
7.   Brand evaluating,
merek merupakan
sesuatu
hal yang
komplek, dan
tidak
dapat
diukur
oleh
satu
hal saja, seperti penjualan. Merek juga
perlu diawasi
secara internal.
Informasi
dari
evaluasi dapat
memperbaiki
merek
dari
waktu
ke
waktu, dan
dapat
membangun
ekuitas merek.
2.5.3 Teori
Brand Equity
Keller
(Tjiptono,
2005,
p40)
mengidentifikasi
tiga
aliran utama dalam studi
brand
equity
:
Psikologi
Konsumen
(psikologi
kognitif),
ekonomika
(
Signalling theory),
serta
biologi
dan
sosiologi.
1.   Ancangan berbasis psikologi
Berdasarkan perspektif
ini,
merek
dipandang
sebagai
node
dalam
memori
yang
berkaitan
dengan
berbagai asosiasi yang
berbeda dan
dengan
kekuatan
yang bervariasi.
Konsumen
memahami merek
sebagai kategori yang sepanjang waktu diasosiasikan
dengan
atribut-atribut
spesifik,
dimana
sebagian diantaranya
didasarkan
pada
atribut-
atribut
diasosiasikan
dengan
produk
yang
mewakili
anggota
individual
kategori
merek.
  
Sejauh
ini
terdapat
dua
model
brand equity
mapan
dalam
aliran
psikologi
konitif,
yaitu
model Aaker dan Keller.
Dalam
model
Aaker,
brand equity
diformulasikan dari
sudut
pandang manajerial dan
strategi
korporat,
meskipun
landasan utamanya
adalah
prilaku
konsumen.
Aaker
menjabarkan aset merek yang
berkontribusi
pada
penciptaan brand equity
kedalam
lima
dimensi,
yaitu
brand awareness, percieved quality, brand associations, brand loyality,
dan
other proprietary brand assets (Tjiptono, 2005, pp40-41)
a.   Brand awareness,
yaitu
kemampuan
konsumen untuk mengenali atau mengingat
bahwa 
sebuah 
merek 
merupakan 
anggota 
dari 
kategori 
produk 
tertentu
(Durianto, Sugiarto,
Sitinjak, p4). Peran
brand awareness
terhadap
brand equity
dapat
dipahami
dengan
membahas
bagaimana
brand awareness menciptakan
suatu nilai. Penciptaan nilai dapat dilakukan dengan empat cara :
1.   Anchor to which other association
can be attached, artinya
suatu
merek
dapat  digambarkan  dengan  suatu  jangkar  dengan 
beberapa  rantai.
Rantai menggambarkan asosiasi tersebut.
2.  
Familiarity–Lingking, artinya dengan mengenal merek akan menimbulkan
rasa
terbiasa
terutama
untuk
produk-produk
yang
bersifat
keterlibatan
rentah.
3.   Substance/©ommitment,
Kesadaran
akan
nama
menandakan
keberadaan, 
komitmen, 
dan 
inti 
yang 
sangat 
penting 
bagi 
suatu
perusahaan.
4.   Brand to
Consider, Langkah
pertama
dalam
melakukan
suatu
proses
pembelian
adalah
menyeleksi
dari
suatu
kelompok
merek-merek
yang
dikenal untuk
dipertimbangkan merek mana yang akan diputuskan dibeli.
Pengukuran
brand
awareness
didasarkan
pada
pengertian-pengertian
brand
awareness yang
mencakup 
tingkatan  brand awa®eness
(Durianto,  sugiarto,  Sitinjak,
2001,  p4),  yaitu
Top
of
Mind
(puncak  pikiran),
Brand Recall
(pengingatan
kembali
  
merek),  brand
recognition (penenalan merek), dan Brand Unware (tidak mengenal
merek).
Puncak
Pikiran
(Top of Mind)
Pengingatan kembali merek
(Brand
Recall)
Pengenalan merek (brand recognition)
Tidak meyadari merek (brand unware)
Gambar 2.7 Piramida Brand Awareness
Sumber : Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2001)
b.  
Percieved quality,
merupakan
penilaian
konsumen
terhadap
keunggulan
atau
superioritas produk
secara
keseluruhan.
Oleh sebab
itu
percieved
quality
didasarkan
evaluasi
subyektif
konsumen
terhadap kualitas
produk
(Durianto,
Sugiarto, Sitinjak, 2001, p69).
Menurut
pendapat
Garvin
yang
dikutip oleh
Durianto,
Sugiarto,
Sitinjak
(2001,
p71), 
dimensi 
percieved 
quality 
dibagi 
menjadi 
Kinerja, 
pelayanan,
ketahanan,
keandalan,
karakteristik
produk,
kesesuaian
dengan spesifikasi,
dan
hasil.
c.
Brand associations,
yakni segala
sesuatu
yang
terkait
dengan
memori
terhadap
sebuah merek,
berkaitan erat dengan 
brand image, yang
didefinisikan
asosiasi
merek
dengan
makna tertentu (Durianto, Sugiarto,
Sitinjak,
2001, p69).
Asosiasi
merek
memiliki tingkat
kekuatan
tertentu
dan akan
semakin
kuat seiring dengan
  
bertambahnya  pengalaman  konsumsi.  Asosiasi-asosiasi  yang  terkait  dengan
suatu 
merek  umumnya  dihubungkan  dengan 
berbagai 
hal 
berikut:  atribut
produk,
atribut
tak
berwujud,
manfaat bagi
pelanggan,
harga
relatif,
penggunaan/aplikasi,
pengguna,
orang terkenal,
gaya
hidup,
kelas
produk,
para
pesaing, negara/wilayah geografis.
d. 
Brand loyalty, mencerminkan
tingkat
keterikatan konsumen
dengan suatu merek
produk  (Durianto,  Sugiarto,  Sitinjak,  2001,  p126). 
Dalam  kaitannya  dengan
brand loyalty
dengan
suatu
produk,
didapati
adanya
beberapa
tingkatan
brand
loyalty, yaitu
switcher (be®pindah-pindah),
Habitual
buyer (Pembeli yang
bersifat
kebiasaan),
satisfied buyer
(pembeli
yang puas dengan biaya
peralihan),
like the
brand
(menyukai merek), commited buyer (pembeli yang komit)
e.  
Other proprietary brand assets.
Brand awareness
Percieved quality
Brand associations
Brand loyalty
Other proprietary
brand assets
BRAND EQUITY
(Nama, Simbol)
Memberikan nilai kepada pelanggan
dengan memperkuat :
Interpretasi/proses informasi
Rasa percaya diri dalam
pembelian
Pencapaian kepuasan dari
pelanggan
Memberikan nilai kepada perusahaan dengan
memperkuat :
Efisiensi dan efektivitas program pemasaran
Brand loyalty
Harga/laba
Perluasan me®ek
Peningkatan perdaganag
Keuntungan kompetitif
Gambar 2.8  Konsep Brand Equity
Sumber : Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2001)
  
Sementara itu model Keller lebih berfokus pada
perspektif prilaku konsumen. Ia
mengembangkan
model
equitas
merek berbasis
pelanggan
(CBBE
: Customer-Based
Brand Equity).
Menurut
Keller
model
ini
menekankan
bahwa
kekuatan
sebuah
merek
terletak apa yang
dipelajari, dirasakan,
dilihat
dan
didengarkan konsumen
tentang
merek
tersebut
sebagai
hasil pengalamannya
sepanjang
waktu
(Tjiptono,
2005,
p41).
Berdasarkan
model
ini,
sebuah
merek
dikatakan
memiliki
customer-based
brand equity
positif apabila
pelanggan bereaksi
lebih positif
terhadap
sebuah
produk dan cara
produk
tersebut dipasarkan manakala mereknya
diidentifikasi,
dibandingkan
bila
nama mereknya
tidak
teridentifikasi.
Brand
equity
baru
terbentuk
jika
pelanggan
mempunyai
tingkat
awareness
dan
familiaritas
yang
tinggi
terhadap
sebuah
merek
dan
memiliki
asosiasi
merek yang kuat, positif dan unik dalam memorinya.
Keller
mengajukan
proses
empat
langkah
dalam membangun merek
:
menyusun
identitas merek yang tepat, menciptakan makna merek yang sesuai, menstimulasi respon
merek
yang
diharapkan,
dan
menjalin
relasi merek
yang
tepat
bagi
pelanggan.
Denagn
kata lain keempat langkah ini mencerminkan empat pertanyaan fundamental :
a.  
Who are you
? (identitas merek)
b.  
What are you
? (makna merek)
c.
What
about you, what do I think or feel about you
? (respon merek)
d.   What about you and me
?
what kind association and
how much of
a
connection would I like to have with you
? (relasi merek)
Prose
implementasi
keempat
tahap
ini
membutuhkan
enam
building blocks
utama,
yaitu 
brand
salience, brand performance, brand
imagery, brand
judgments, brand
feelings dan brand resonance.
a.   Brand
salience,
berkenaan 
dengan 
aspek-aspek 
awareness 
sebuah 
merek,
seperti 
seberapa 
sering 
dan 
mudahkah 
merek 
diingat 
dan 
dikenali 
dalam
berbagai situasi.
  
b.   Brand perfo®mance, berkenaan 
dengan  kemampuan  produk  dan  jasa 
dalam
memenuhi kebutuhan fungsional
konsumen.
Secara
garis
besar ada
lima atribut
dan manfaat
poko yang mendasari kinerja merek
1.  
Unsur primer dan fitur suplemen
2.   Reliabilitas, durabilitas, dan serviceability produk
3.   Efektivitas, efisiensi, dan empati layanan
4.   Model dan desain
5.  
Harga
Pada
hakikatnya,
kinerja
merek
mencerminkan
intrinsic properties merek dalam
hal karakteristik inheren sebuah produk atau jasa.
c.
Brand 
imagery
menyangkut 
extrinsic
properties
produk 
atau 
jasa, 
yaitu
kemampuan merek
dalam
memenuhi
kebutuhan
psikologis
atau
social
atau
pelanggan.
Brand imagery bisa
terbentuk
secara
langsung
dan
tak
langsung.
Empat kategori brand imagery meliputi :
1.   Profil pemakai
2.   Situasi pembelian dan pemakian
3.  
Kepribadian dan nilai-nilai
4.   Sejarah, warisan, dan pengalaman
d.   Brand judgments,
berfokus
pada
pendapat
dan
evaluasi
personal
konsumen
terhadap merek
dan asosiasi
citra
yang
dipersepsikannya.
Aspek
brand
judgments meliputi :
1.   Brand quality,
yakni
persepsi
konsumen
terhadap
nilai
dan
kepuasan
yang dirasakannya.
2.  
Brand
credibility,
yaitu  seberapa  jauh  sebuah  merek  dinilai 
kredibel
dalam
hal   
expertise   
(kompeten,   
inovatif,   
pemimpin   
pasar),
trustworthiness
(bisa 
diandalkan,  selalu  mengutamakan 
kepentingan
  
3. Response
What about you?
2. Meaning
What are you?
1. Identity
Who are you
pelanggan),
dan
likeability
(menarik,
memang
layak
untuk
dipilh
dan
digunakan).
3.   Brand consideration
,
yaitu
sejauh mana
sebuah
merek
dipertimbangkan
untuk dibeli atau digunakan oleh konsumen.
4.  
Brand  superiority
,  yakni   sejauh   mana   konsumen   menilai   merek
bersangkutan unik dan lebih baik disbanding dengan merek-merek lain.
e.  
Brand feelings, yaitu respond an reaksi emosional konsumen terhadap merek.
f.
Brand resonance, menga©u
pada
karakteristik
relasi
yang
dirasakan
pelanggan
terhadap merek spesifik. Resonansi tercermin pada intensitas atau kekuatan
ikatan  psikologis 
antara  pelanggan  dan  merek,  serta  tingkat  aktivitas 
yang
ditimbulkan loyalitas tersebut.
4. Relationship
What about you and me?
Resonance
Judgments
Feelings
Performance
Imagery
Salience
Gambar 2.9 Customer-Based Brand Equity Pyramid
Sumber : Keller dikutip oleh Tjiptono (2005)
  
Model Aaker dan
Keller memiliki
kesamaan prinsip,
yaitu bahwa
brand equity
mencerminkan
nilai
tambah
yang
didapatkan
sebuah
produk sebagai
hasil investasi
pemasaran sebelumnya pada merek bersangkutan.
2.   Ancangan Berbasis ekonomika
Walaupun
model-model
behavioral
mendominasi
wacana
brand
equity,
perspektif
lainnya juga berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Erdem dan Swait
(Tjiptono,
2005,
p43)
menggunakan
perspektif
information economics atas
nilai
(atau
ekuitas)
yang dianggap
dari
konsumen berasal
dari merek. Manakala
konsumen
tidak
yakin  mengenai  atribut  produk,  perusahaan  menggunakan  merek  untuk
menginformasikan konsumen tentang posisi produk dan memastikan bahwa klaim produk
bersangkutan
kredibel.
Merek
sebagai
market signal meningkatkan
persepsi
konsumen
terhadap tingkat
atribut
merek
dan
meningkatkan
pula
keyakinan
konsumen terhadap
klaim
merek.
Berkurangnya
ketidakpastian ini
berperan
signifikan dalam
menekan
biaya
informasi
dan
Percieved risk konsumen,
dimana
brand
signal
terdiri
atas
strategi
dan
aktivitas bauran pemasaran masa lalu dan saat ini berkenan dengan merek spesifik.
3.   Ancangan Berbasis Biologi dan Sosiologi
Alasan
riset merek
lainnya
adalah studi
berbasis
perspektif
biologi, sosiologi dan
atropologi.
McCracken
(Tjiptono,
2005,
p44)
berfokus
pada
makna
kultural
merek
dan
produk.
Berdasarkan ancangan
antropologis atau kultural, McCracken
mendefinisikan
merek
sebagai
sesuatu
yang
memiliki
nilai karena
merek
menambah
nilai  
melalui
penambahan 
makna
pada
produk.
Makna kultural
sebuah
merek
bisa
berupa
gender
meaning, status meaning, country meaning, multicultural meaning.
Merek
juga
bisa
mencerminkan  makna
tradisi, trustworthiness
,
cinta
tanah air,
keluarga dan seterusnya.
  
Pendek 
kata, 
makna-makna  kultural  semacam 
ini  bisa 
diinvestasikan 
dalam 
merek
melalui proses transfer makna.
Budaya
Produk dan Merek
Konsumen
Iklan dan pemasaran
lainnya
Ritual pembelian dan
konsumsi
Gambar 2.10 Model Transfer Makna McCracken
Sumber: Tjiptono (2005)
Menurut
Keller
(Tjiptono,
2005,
p45),
ketiga
ancangan
teoretikal
tersebut
memiliki
keunggulan dan
kelemahan
sendiri,
terutama
berkaitan
dengan masing-masing
bidang
disiplin spesifik.
Dalam beberapa tahun terakhir berkembang pula sejumlah skala pengukuran spesifik
customer-based brand equity (CBBE)
berbasis  survey 
konsumen,  diantaranya  dapat
dijumpai
pada
Kim &
Kim,
Lassar,
Mittal, &
Sharma,
Netemeyer,
et al,
Vazques,
Rio &
Iglesias (Tjiptono, 2005, p51).
2.6 Late Ent®ants
dan
Imitator
Sebagai
perusahaan
yang masuk
belakangan saat
pasar
sudah
siap
mengadopsi
suatu
produk  baru, 
later
entrants bisa belajar dari
pengalaman 
pionir. 
Later
entrants dapat
menekan resiko kegagalan introduksi produk
baru
dan
biaya menciptakan
permintaan primer
atas kategori
produk. Berikut ini beberapa keunggulan later ent®ants :
a.   Menghindari  produk-produk  yang 
tidak 
berpotensi. 
Imitator 
bisa  terhindar 
dari
pemborosan waktu dan
biaya
yang
dikeluarkan untuk produk-produk
yang
ternyata
permintaannya tidak signifikan.
  
b.  
Pengeluaran
riset
dan
pengembangan
yang
lebih
kecil.
Imitator
bisa
menghemat
biaya
yang
dibutuhkan
untuk
mengidentifikasi
dan
melakukan
berbagai macam
pengujian
atas
produk baru.
Selain itu, imitator
juga
bisa
mempelajari
dan
menyempurnakan
produk maupun
proses
pionir
melalui
beberapa
cara:
membedah
produk
baru
lewat
reverse engineering
,
menghadiri
seminar
dan
presentasi
ilmiah
yang
diselenggarakan oleh akademi dan praktisi
dan imitator
bisa berusaha
menarik
staff
teknik maupun
perusahaan
pionir
yang
ingin
beralih
pekerjaan,
bahkan
tak
jarang imitator membajak
karyawan pesaing.
c.
Adanya 
peluang 
untuk 
meraup 
pangsa 
pasar 
melalui
promosi 
besar-besaran.
Penghematan
biaya
R
&
D
dapat
dimanfaatkan
untuk
melakukan
positioning
dan
promosi produk secara gencar, yang pada gilirannya dapat mendongkrak pangsa
pasar perusahaan.
d.  
Biaya
mendidik
pelanggan
yang
lebih
murah.
Untuk
inovasi
yang
sifatnya
radikal,
pioner
harus
mengeluarkan
banyak
dana untuk
menginformasikan
dan
meyakinkan
konsumen akan
manfaat
dan
keunggulan
produk
baru
tersebut, sementara
imitator
lebih
banyak menunggu
sampai
pasar benar-benar siap,
baru
ia
ikut
berpartisipasi
dalam mengeksploitasi pasar.
e.   Technologi©al leapfrog, Jarang
sekali
dijumpai
teknologi
generasi
pertama
sebuah
inovasi  
yang
langsung sempurna,
baku
dan bertahan
lama.
Para
imitator
berkesempatan untuk menyempurnakan atau bahkan mengubah teknologi tersebut.
f.
Terbukanya 
peluang 
untuk 
mendapatkan 
manfaat 
dari 
perubahan 
pasar. 
Tipe
konsumen
yang
membeli
produk
baru pada
tahap perkenalan kerapkali
berbeda
dengan mereka yang membelinya
pada tahap-tahap selanjutnya.
g.   Adanya 
peluang 
untuk 
memanfaatkan 
pengalaman 
serupa 
dalam 
memasarkan
produk
sejenis. Jika
potensi
pasar telah terkuak
jelas,
imitator berpeluang
mengungguli
pionir dengan
memanfaatkan pengalaman serupa. Pengalaman
seperti
  
ini
muncul
bila
imitator
memiliki
atau
melakukan
sesuatu
yang
berhubungan
erat
dengan apa yang dinyatakan sebagai “baru” oleh pionir.
Konsep
later entry terkait
erat
namun
berbeda
dengan
konsep
imitasi.
Perusahaan
yang
dikategorikan 
sebagai
later
entrants adalah perusahaan yang
masuk ke
pasar
setelah
pionir
pasar.
Sedangkan
imitasi
menyiratkan
peniruan
sebagian
atau
semua
aspek
produk
pionir.
Dengan
demikian,
imitasi
mencerminkan
later entry
, namun
later
entry belum tentu imitasi.
Menurut
kamus
besar
bahasa
indonesia
istilah
imitasi
berarti
tiruan,
kendati
istilah
imitasi sering dipersepsikan
negatif,
namun
konteks
pemasaran
tidaklah
selalu demikian.
Imitasi
tidak segampang yang
dipikirkan
banyak orang. Lingkup
imitasi
bisa
meliputi
produk,
jasa, prosedur, proses,
maupun strategi.
Yang lebih
penting,
tidak semua
imitasi
atau
tiruan
itu sama. Ada empat
tipe
imitasi, mulai dari yang
berupa
duplikasi terhadap
produk
terkenal
secara
ilegal
dan sembunyi-sembunyi
sampai
produk
yang
benar-benar
baru dengan inspirasi dari merek pionir (Tjiptono, 2005, p77)
a. 
Counterfeits
atau
disebut
product pirantes, Yaitu
produk-produk
tiruan
dengan
memalsukan atau
membajak
nama
merek,
simbol,
logo,
atau
merek
dagang
produk
asli.
Tipe
ini
sifatnya
ilegal, melanggar
hak
cipta
dan
paten,
serta
merupakan jenis imitasi yang paling tidak kreatif.
b. 
Knockoffs atau
clones,
yaitu 
produk-produk 
tiruan 
yang  sangat  mirip  atau
kompatibel
dengan
produk
orisonal,
tetapi
menggunakan
nama merek
sendiri.
Biasanya tipe ini berupa produk dasar yang sama dengan inovator, tetapi dengan
harga lebih murah dan tampa merek prestisius.
c.
Design copies atau trade dress, ysng
meniru
dan
mengandalkan
gaya,
desain,
model,
atau
corak
produk
pesaing
yang
populer.
Dalam
kasus
di
mana
model
atau
desain
merupakan
bagian
terpenting
dari
produk,
design copies serupa
dengan
clones.
Sedangkan
jika
desain
memainkan
peranan
yang
lebih
kecil,
  
maka  desaign copies bisa 
dipandang
sebagai  kombinasi  antara  aspek-aspek
inovasi dan imitasi, yang didasarkan pada teknologi unik dan inovatif.
d. 
Creative adaptations, perusahaan
melakukan
penyempurnaan
inkremental
atas
produk
yang sudah ada atau mengadaptasinya
pada
arena
kompetisi
yang baru.
Adaptasi
kreatif
atas
produk
yang
sudah
ada
kerap
kali
lebih selaras
dengan
proses inovasi ketimbang penemuan terobosan.
2.6.1 Motivasi Menjadi imitator
Imitator adalah
perusahaan
yang
meniru atau
mencontah
paling
tidak
beberapa
aspek
dari
produk
pionir
(Tjiptono,
2005,
p79).
Secara
garis
besar
terdapat
dua
motivasi
pokok
yang mendorong sebuah perusahaan untuk menjadi imitator. Yaitu ;
1.  
Keterdesakan atau keterpaksaan, yang biasanya disebabkan oleh kelengahan perusahaan
yang mengabaikan
potensi produk baru
yang diluncurkan oleh perusahaan lain (terutama
perusahaan
kecil). Apabila
ternyata permintaan
melonjak,
produk tersebut
menjadi
mode
yang
disukai di
mana-mana,
dan
ada
kecenderungan
bertahan lama,
makatidak
ada
pilihan lain selain ikut arus, ini mendorong perusahaan menjadi imitator.
2.   Pertimbangan
strategik
untuk
melakukan
wait and see.
Biasanya
ini
dilakukan
oleh
perusahaan-perusahaan
yang
kuat
dalam
pendanaan,
distribusi dan
periklanan.
Mereka
mengamati secara sabar dan
peruh
perhitungan sampai
pasar untuk suatu
produk
baru
sungguh-sungguh
atraktif dan pionir melakukan
kesalahan sebagaimana lazimnya terjadi,
barulah
mereka
masuk  
dengan
produk
yang lebih
superior.
Strategi
ini
berusaha
memanfaatkan
perjalanan
waktu
untuk
menekan
resiko
kegagalan
introduksi
produk
baru dan biaya menciptakan permintaan primer atas kategori produk.
Hasil
riset Schnaars
yang
dikutip
dari
Tjiptono
(2005,
p80)
menunjukan
bahwa
manfaat/keunggulan
pionir
terlampau dilebih-lebihkan.
Walaupun
secara
teoritis
keunggulan
pionir
tampaknya
kokoh
dan
langgeng,
namun
dalam
praktik
itu
semua
sangat
lemah
dan
  
rentan terhadap strategi imitator yang piawai. Studi yang dilakukan Mansfield, Schwartz dan
Wagner
yang dikutip
dari Tjiptono (2005,
p80) mengungkap
bahwa
60%
dari
inovasi sukses
yang
dipetenkan
dapat
ditiru
dalam
tempo rata-rata
4
tahun
dengan
biaya
pengembangan
yang
dikeluarkan imitator setidaknya
35% lebih rendah dari
pada
biaya inovator.
Studi
yang
sama
juga menunjukan bahwa
untuk
inovasi
yang
tidak dipatenkan
lebih
dari
65%
diantaranya bakal ditiru dalam waktu kurang dari setahun.
2.6.2 Strategi
Late Entrants dan Imitasi
Meniru
bukanlah
pekerjaan
semudah yang banyak dibayangkan
orang.
Dalam
banyak
kasus,
imitasi
malah
sama
rumitnya
dengan inovasi.
Meniru
membutuhkan
pertimbangan
strategik
yang
tidak
kalah kompleksnya dengan inovasi, sehingga diperlukan
strategi
khusus.
Carpenter dan
Nakamoto yang
dikuti
dari Tjiptono
(2005,
p81) mengidentifikasi 4
alternatif
strategi sukses untuk meluncurkan produk baru ke pasar yang didominasi oleh satu merek.
1.   strategi 
diferensiasi, 
yakni 
memposisikan 
merek 
berbeda 
dengan 
merek
dominan,  disertai  harga  setara  atau 
premium 
dan 
dana 
iklan  besar 
untuk
membangun merek baru sebagai alternatif yang kredibel.
2.   Strategi challengger, Yakni
memposisikan merek setara atau sama dengan merek
dominan,
dengan
dibarengi
periklanan
gencar
dan
harga
setingkat
dan
atau
premium untuk menentang merek dominan sebagai standar kategori produk.
3.   Strategi
niche
,
yakni
memposisikan
merek
berbeda
dengan
merek
dominan,
dengan
harga
murah
den anggaran
iklan
yang
kecil
guna
mengeksploitasi
ceruk
pasar yang menguntungkan.
4.   Strategi
premium,
yakni
memposisikan
merek berbeda
dengan merek
dominan,
dibarengi
dengan sedikit
iklan dan harga
premium untuk
beraluh ke
pasar kelas
atas, relatif terhadap merek dominan tersebut.
  
2.6.3 Peluang Bagi Imitator
Peluang besar
terbuka
bagi imitator untuk mengalahkan pioner
bilamana salah satu atau
kombinasi dari bebrapa faktor berikut tersedia (Tjiptono, 2005, p91)
1.  
Jika
perusahaan
kecil
mempelopori
pasar
baru.
Dengan
kekuatan
pasar
yang
lebih
besar, imitator raksasa
akan mampu menghancurkan pionir kecil saat pasar
mulai berkembang pesat.
2.   Apabila
tidak
berlaku
hak
paten
atau
hak
paten
dapat
dielakan,
bila
sebuah
produk baru tidak memperoleh perlindungan hak paten, maka dengan sendirinya
para imitator berpeluang besar menirunya.
3.  
Bilamana
ada
kemungkinan
memanfaatkan
shared experience.
Peluang
imitator
akan
bertambah
besar
jika
memiliki pengalaman memproduksi dan
menjual
produk-produk  terkait.  Pengalaman 
ini  bisa  dalam  hal 
pemanufakturan, 
lini
produk
terkait,
distribusi,
pemasaran,
manfaat
reputasi
yang
dapat
diperluas,
atau dalam melayani pelanggan yang sama.
4.  
Bila
pionir
diposisikan
hanya
pada
satu
segmen
pasar.
Para
pionir,
terutama
yang
kecil,
biasanya
memasuki
pasar
baru saat
pasar
tersebut
masih
kecil
dan
berfokus pada
segmen yang sangat kecil. Seiring dengan berkembangnya pasar,
bermunculan
segmen-segmen
baru yang
lebih
besar,
bila
pioner hanya
terpaku
pada segmen awalnya, maka imitator berpeluang besar mengeksploitasi pasar.
2.7. Analisis Strategi Michael R. Porter
Menurut 
Michael 
R. 
Porter 
(Keegan, 
2003, 
pp2-3), 
terdapat 
lima 
kekuatan 
yang
mempengaruhi persaingan dalam suatu industri.
1.   Ancaman pendatang baru (Threat of New Ent®ants)
Apabila suatu perusahaan dapat memasuki
suatu
industri khusus
dengan
mudah,
maka  itensitas  persaingan 
diantara  perusahaan-perusahaan  akan  meningkat.
  
Pendatang
baru
akan
mengurangi
potensi pasar
industri
lama
karena
biasanya
membawa kapasitas baru.
2.   Ancaman produk pengganti (Threat of Substitor
Products
or Services)
Pada
banyak industri, perusahaan-perusahaan
berkompetisi secara
ketat
dengan
para
produsen
produk
pengganti. Tekanan
persaingan
akibat
produk
pengganti
dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas produk.
3.  
Kekuatan tawar menawar pemasok (Bargaining Power of Suppliers)
Beberapa factor yang mempengaruhi daya tawar pemasok :
Pemasok  
akan  
mempunyai  
keunggulan  
bila  
mereka  
besar  
dan jumlahnyan relative sedikit.
Kalau 
produk 
atau 
jasa 
pemasok 
merupakan 
masukan 
penting 
bagi perusahaan  
industri,  
atau  
diferensiasi,  
atau  
menanggung  
biaya pengalihan, 
pemasok 
akan 
mempunya 
daya 
tuas 
yang 
besar 
atas pembeli.
Pemasok
akan
menikmati
kekuatan
tawar
menawar
bila
bisnis 
mereka tidak terancam oleh produk alternatif.
Kemauan
dan
kemampuan
pemasok
untuk
dan
mengembangkan
produk dan
merek
meraka
sendiri
bila
mereka
tidak
mampu 
mengembangkan persyaratan
yang
memuaskan
dari
pembeli
industri
yang
mempengaruhi kekuatan mereka.
4.  
Kekuatan tawar menawar pembeli (Bargaining Power of Customer)
Bila
persaingan
terkonsentrasi,
berukuran
besar,
dan
konsumen membeli
dalam
jumlah
volume
besar,
maka
kekuatan
tawar-menawar
sangat
mempengaruhi
itensitas persaingan dalam suatu industri.
5.   Persaingan sesama industri (Rivalry
Among
Exiting Competitors)
Persaingan
diantara
persaingan
yang
telah
ada
biasanya
merupakan
pesaing
yang 
paling 
penting, 
kadang-kadang 
strategi 
yang   dikembangkan 
suatu
  
perusahaan 
dapat 
berhasil 
hanya 
dengan 
berkonsentrasi 
pada 
keunggulan
kompetitif yang secara langsung menyerang strategi pesaing.
Ancaman pendatang baru
Kekuatan Tawar –
Menawar Pemasok
Persaingan di Antara
Pesaing yang sudah
Ada
Kekuatan Tawar –
Menawar Pembeli
Ancaman Produk atau Jasa
Pengganti
Gambar 2.11 kekuatan yang Mempengaruhi Persaingan di suatu Industri
Sumber : Keegan (2003)
2.8 Metodologi  Penelitian
2.8.1 Jenis dan Metode Penelelitian
Penelitian  yang  dilakukan  termasuk  jenis  penelitian 
menurut 
tingkat 
eksplanasinya,
karena  
peneliti  
ingin  
menjelaskan  
kedudukan  
variabel-variabel  
yang   diteliti   serta
hubungannya
dengan
variabel
lain.
Dalam
penelitian tingkat
eksplanasi
terdapat
beberapa
metode, yaitu deskriptif, komparatif dan asosiatif.
Metode
penelitian
yang
digunakan
yaitu
metode
deskriptif.
Metode
deskriptif
adalah
penelitian
yang
dilakukan
untuk
mengetahui
variabel
mandiri
baik
satu
variabel
atau
lebih
(independent)
tanpa
membuat
perbandingan
atau menghubungkan
dengan variabel
lain (
Sugiyono, 2002, p11)
Penelitian
ini didasarkan
pada
pemikiran bahwa
dalam
rangka
mengukur
tingkat
customer-based  brand equity pada
produk
Pasta
gigi
Ciptadent,
suatu
perusahaan
harus
dipengaruhi
oleh
beberapa
elemen-elemen
yang
terkandung
dalam customer-based
brand
equity, yaitu
brand salience, brand performence,
brand imagery, brand judgments, brand
feelings dan brand resonance.
  
2.8.2 Jenis
Data Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah :
1.   Data
primer adalah
sumber
data
yang
langsung diberikan
datanya pada
pengumpul
data,
data
primer
secara
khusus
dikumpulkan
oleh
peneliti untuk
menjawab
pertanyaan penelitian.
Data primer
yang diperoleh melalui
wawancara dengan pihak
perusahaan untuk
memperoleh
data
dan
keterangan
mengenai perusahaan serta
kuesioner yang disebarkan kepada responden yang berisi pernyataan-pernyataan
mengenai
brand salience, brand performence, brand imagery, brand judgments,
brand feelings, dan brand resonance
Pasta gigi Ciptadent.
2.   Data
sekunder merupakan
data
yang
tidak
langsung
yang
diperoleh
peneliti
melalui
orang
lain
atau
dokumen
(sugiyono,
2004, p129).
Data
sekunder
berupa
data
eksternal, yaitu
penelitian pustaka
dengan
mencari
dan
membaca buku, jurnal, dan
internet.
2.8.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan
teknik
pengumpulan data
dengan
kuesioner.
Kuesioner yaitu
pengumpulan
data
yang
dilakukan
dengan cara
memberi
seperangkat
pertanyaan
pertanyaan/Pernyataan-pernyataan tertulis yang mampu memberikan informasi yang relevan
dengan tujuan
survei, mampu
memberikan
informasi
dengan tingkat keandalan
dan
validitas
setinggi
mungkin.
Penelitian
ini
menggunakan tingkat
kesalahan
5%
yang
berarti
tingkat
kepercayaan
95%.
Pengumpulan
data
mengenai b®and salience, brand perfo®mence,
brand
imagery, brand judgments,
brand feelings, dan brand resonance
pada
Pasta
gigi
Ciptadent
dilakukan melalui penyebaran kuesioner secara acak kepada
para pelanggan.
Selain itu penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan
wawancara,
dalam hal ini menggunakan wawancara tidak terstruktur, dimana wawancara tidak
menggunakan
pedoman  
wawancara
yang
telah
tersusun
secara
sistematis
dan
lengkap
untuk pengumpulan datanya (Sugiyono, 2004, p132).
  
2.8.4 Pupolasi dan
Sampel
Penelitian
ini
menggunakan
teknik
simple random sampling, yaitu
pengambilan
sampel
anggota  populasi  dilakukan 
secara  acak 
tanpa  memperhatikan  strata 
yang 
ada 
dalam
populasi itu, serta memberikan peluang yang sama.
Jumlah
anggota sampel
yang
diambil
sering
menjadi
masalah
dalam
penelitian.
Jumlah
anggota
sampel
tergantung
tingkat
kepercayaan yang
dikehendaki.
Tingkat
kepercayaan
sering
tergantung
pada
sumber
dana,
waktu, den
tenaga
peneliti.
Makin
kecil
tingkat
kesalahan,
maka
makin
besar
jumlah
anggota sampel.
Ada
berbagai
referensi
yang
dipakai
untuk
menghitung
ukuran sampel
yang
dipakai
dalam
penelitian,
seperti
Cohen,
Slovin
dan
lain-lain.
Rumus
yang satu
dengan
yang
lainnyahanya
terdapat
sedikit
perbedaan
dalam
ukuran sampel.
Penelitian
ini
menggunakan
rumus
yang dikemukakan oleh Slovin.
Berdasarkan data
dari
Dinas
Kependudukan
Pemda
Jakarta,
jumlah
populasi
penduduk
di
Jakarta 7.515.262 orang
yang
terdiri dari
7.510.769 WNI
dan 4.493
WNA.
Penduduk Jakarta
Barat sebesar 1.577.820 orang terdiri dari 1.576.824 WNI dan 978 WNA. Sedangkan menurut
data perusahaan pasta gigi Ciptadent mengusai pangsa
pasar sebesar 17 % di Jakarta.
N
n =
1 + Ne²
Rumus Perhitungan Sampel
n = ukuran sampal
N = ukuran populasi
e  = estimasi ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir
Untuk itu sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah
1.577.820 : 7.515.262 = 0, 20 x 100%
=
20%, berarti 20 % jumlah penduduk Jakarta ada
di
Jakarta
Barat. Ciptadent mengusai 17% pangsa
pasar di seluruh
Jakarta, jadi 17% x 7.515.262
=
  
1.277.595 orang yang menggunakan pasta gigi Ciptadent diseluruh Jakarta. Jadi untuk Jakarta
barat
20%
x
1.227.595
=
255.519
orang.
Dengan
populasi
255.519
orang
(N)
dan
estimasi
ketidaktelitian (e)
0,5% maka sample
yang
diambil
sebesar
399,37
atau
setara
dengan 400
sampel,
tetapi
karena
sulitnya
mencari responden
yang
pernah
atau
menggunakan
pasta
gigi
Ciptadent, jadi sample yang diambil sebesar 200 sampel.
2.8.5 Definisi Operasional dan Instrumen Pengukuran
Definisi
operasiaonal
adalah
penentuan
variabel,
sehingga dapat
diukur.
Definisi
operasional menjelaskan
cara
tertentu
yang
digunakan
oleh peneliti
dalam
mengoperasionalisasikan
variabel.
Dengan membaca
definisi operasional dalam
suatu
penelitian,
akan diketahui ukuran suatu variabel, sehingga diketahui baik buruknya
pengukuran tersebut.
Tabel 2.2 Definisi Operasional
Variabel
Dimensi
Indikator
Pengukuran
Customer-
based brand
equity
Brand Salience
Aspek-aspek awareness :
Top of mind
Brand recall
Brand recognition
Brand unware
kuesioner
Brand
Performence
Kemampuan produk dalam memenuhi
kebutuhan fungsional konsumen, seperti:
desain, harga, Ukuran, kemasan.
Kuesioner
Brand imagery
Kemampuan merek dalam memenuhi
kebutuhan psikologis atau sosial
pelanggan, seperti: Kemudahan
menemukan, pengenalan merek, profil
pengguna, iklan, dan moto.
Kuesioner
Brand Judgments
Evaluasi personal konsumen terhadap
merek berdasarkan kinerja merek dan
asosiasi citra yang dipersepsikannya,
Kuesioner
  
seperti:
Brand quality, brand credibility,
brand consideration, brand superoirity.
Brand Feelings
Reaksi emosional konsumen terhadap
merek. Seperti : rasa
Kuesioner
Brand Resonance
Relasi yang dirasakan pelanggan terhadap
merek spesifik, seperti:
Kekuatan ikatan psikologis antara
pelanggan dan merek.
Kuesioner
2.8.6. Uji Validitas dan Reliabilitas
Validitas
menunjuk
sejauh
mana
suatu
alat
pengukur
itu
mampu
mengukur
apa
yang
ingin
diukur.
Hasil
penelitian
yang
valid
bila terdapat kesamaan anrata
data
yang terkumpul
dengan
data
yang
sesungguhnya
terjadi
pada objek
yang
diteliti
(Sugiyono,
2004,
p109).
Dalam
hal
analisis
ini
Masrun
(Sugiyono, 2004,p124)
menyatakan
teknik korelasi
untuk
menentukan validitas
item
ini
sampai
sekarang merupakan teknik
yang paling
banyak
digunakan.
Selanjutnya
interpretasi
terhadap
koefisien
korelasi, masrun
menyatakan
item
yang
mempunyai
korelasi
positif
dengan
kriterium (skor
total)
serta
korelasi
yang
tinggi,
menunjukan bahwa
item
tersebut
mempunyai
validitas
yang
tinggi
pula.
Biasanya
syarat
minimum
untuk
dianggap memenuhi
syarat adalah
kalau
r
>
0,3.
Jadi
kalau
korelasi
antar
butir dengan skor total
kurang dari 0,3 maka butir dalam instrument dinyatakan tidak valid.
Angka
reliabilitas
instrumen
diwakili
oleh  
r
(alpha)
berdasarkan  
aturan
yang
direkomendasikan
oleh
masrun,
apabila
r
alpha (positif)
>
0,7
maka
variabel
tersebut
dinyatakan reliabel.
Apabila r alpha (negatiif)
< 0,7 maka
variabel
tersebut
dinyatakan tidak
reliabel.
  
2.8.7 Teknik Pengolahan Data
Pengolahan
data
mengenai
brand salience dilakukan
dengan
cara
mentabulasikan
data
yang
diperoleh.
Terhadap data tersebut
dilakukan
perhitungan
prosentase.
Informasi
yang
diberikan
variabel
ini
ialah tingkat
kemampuan
responden
dalam mengenal
dan
mengingat
nama
merek.
Variabel
ini
terdiri
dari:
top of mind, brand recall, brand recognition, brand
unware.
Sedangkan
untuk
menyusun
kuesioner
mengenai
brand performence, brand imagery,
brand judgments, brand feelings dan brand resonance
digunakan skala likert. Penyajian data
dalam
penelitian
ini
dipergunakan
metode
chi
square
(X²
)
adalah
teknik statistik
yang
digunakan
untuk
menguji hipotesis
bila
dalam
populasi terdiri atas dua atau lebih
kelas dan
sampelnya besar.
Rumus uji chi square:
X2 =
?
(fo-fh)
2
fo
X2
=  chi kuadrat / chi square
fo
=  Frekuensi
yang diperoleh dari sample
fh
=  frekuensi yang diharapkan dalam sample sebagai pencerminan frekuensi
yang
diharapkan dalam populasi
Derajat kebebasan (db) diperoleh dari (b-1) (k-1)
Untuk mempermudah
dan
mempercepat analisa
data serta agar
hasil perhitungan yang
dihasilkan
lebih
dapat
dipercaya,
maka
seluruh
pengolahan
data
dalam
penelitian
ini
akan
dilakukan dengan menggunakan SPSS.
2.8.8 Kelemahan Teknik Analisis Data
Kelemahan skala likert (Durianto, Sugiarto, Sitinjak 2004, pp41-42) adalah :
  
1.
Karena
ukuran
yang
dipergunakan adalah
ukuran ordinal,
skala
likert
hanya
dapat
mengurutkan
tingkat  
tanggapan  
individu  
dalam  
skala  
tetapi  
tidak  
dilakukan
pembandingan berapa kali satu individu lebih baik dari individu lain.
2.  
Kadangkala 
skor  tidak 
memberikan  arti  yang 
jelas 
karena 
bayak 
pola 
tanggapan
terhadap beberapa item
akan memberikan skor yang sama.
Validitas
dari
skala
likert
masih
memerlukan
penelitian
emphiris. Masalah
apakah
kombinasi
yang
berbeda
dari
tanggapan
masih
mempunyai
arti
karena
diberikan
pada
skor yang sama masih menghendaki penelitian empiris
2.8.9 Hipotesa Penelitian
Hipotesa dalam penelitian ini ;
1.
Brand Performance
Ho
:
konsumen
tidak
mengetahui brand perfo®mance
pada
ekuitas
merek
pasta
gigi
Ciptadent
Ha 
2  :  konsumen 
mengetahui  brand
performance
pada 
ekuitas 
merek 
pasta 
gigi
Ciptadent
Indikatornya sebagai berikut :
1) 
Hasil uji harga pasta gigi Ciptadent terjangkau
2) 
Hasil uji desain atau model tutup pasta gigi Ciptadent menarik
3) 
Hasil uji ukuran pasta gigi
pasta gigi Ciptadent bervariasi
4) 
Hasi
uji
kemasan
kotak
pasta
gigi
Ciptadent
memiliki
informasi
lengkap
mengenai
informasi yang saya butuhkan mengenai pasta gigi Ciptadent
Dengan :
Ho
=
menolak
Ha
1
(konsumen
tidak mengetahui
brand performance pada ekuitas merek
pasta gigi Ciptadent)
Ha
=
menerima
Ha
1
(konsumen
mengetahui
brand performance
pada
ekuitas
merek
pasta gigi Ciptadent)
  
2.
Brand Imagery
Ho  2  :  konsumen  tidak
mengetahui
brand
imagery pada ekuitas merek
pasta 
gigi
Ciptadent
Ha 2 : konsumen mengetahui
brand imagery
pada ekuitas merek pasta gigi Ciptadent
Indikatornya sebagai berikut :
1) 
Hasil uji ketersediaan pasta gigi Ciptadent disetiap toko/minimarket/supermarket
2) 
Hasil uji pasta gigi Ciptadent dapat dipakai segala usia
3) 
Hasil uji pengenalan pasta gigi Ciptadent diantara merek-merek yang bersaing
4) 
Hasil uji pengingatan iklan pasta gigi Ciptadent
5) 
Hasil uji pengingatan moto pasta gigi Ciptadent gigi kuat, mulut segar lebih lama
Dengan :
Ho
=
menolak
Ha
2
(konsumen
tidak
mengetahui
brand imagery
pada
ekuitas
merek
pasta gigi Ciptadent)
Ha
=
menerima
Ha 2 (konsumen mengetahui
brand imagery
pada
ekuitas merek
pasta
gigi Ciptadent)
3.
Brand Judgments
Ho
3
:
konsumen
tidak
mengetahui
brand judgments
pada
ekuitas
merek
pasta
gigi
Ciptadent
Ha 3 : konsumen mengetahui
brand judgments pada ekuitas merek pasta gigi Ciptadent
Indikatornya sebagai berikut :
1) 
Hasil uji pasta gigi Ciptadent berkualitas baik
2) 
Hasil
uji
pasta
gigi
Ciptadent
cukup
menonjol
dibandingkan
dengan
merek-merek
pasta gigi yang bersaing.
3) 
Hasil uji pasta gigi Ciptadent adalah merek yang memiliki reputasi bagus
4) 
Hasil
uji
perusahaan
yang memproduksi
pasta gigi Ciptadent sangat
memperdulikan
kepentingan
para konsumen.
  
Dengan :
Ho
=
menolak
Ha
3
(konsumen
tidak
mengetahui brand judgments
pada ekuitas
merek
pasta gigi Ciptadent)
Ha
=
menerima
Ha
3
(konsumen mengetahui b®and judgments pada ekuitas merek pasta
gigi Ciptadent)
4. Brand Feelings
Ho  4  :  konsumen  tidak  mengetahui  brand feelings pada  ekuitas  merek  pasta 
gigi
Ciptadent
Ha 4 : konsumen
mengetahui brand feelings pada ekuitas merek pasta gigi Ciptadent
Indikatornya sebagai berikut:
1) 
Hasil uji rasa fresh mint/ menthol pasta gigi Ciptadent benar-benar terasa
2) 
Hasil uji pasta gigi Ciptadent membuat mulut segar lebih lama
Dengan :
Ho
=
menolak
Ha
4
(konsumen
tidak
mengetahui
brand feelings pada
ekuitas
merek
pasta gigi Ciptadent)
Ha
=
menerima
Ha 4 (konsumen
mengetahui brand feelings
pada
ekuitas merek
pasta
gigi Ciptadent)
5. Brand Resonance
Ho
5
:
konsumen
tidak
mengetahui
brand resonance
pada
ekuitas
merek
pasta
gigi
Ciptadent
Ha 5 : konsumen mengetahui
brand resonance pada ekuitas merek pasta gigi Ciptadent
Indikatornya sebagai berikut:
1) 
Hasil uji tidak akan memimilih pasta gigi lain jika Pasta gigi Ciptadent tersedia di toko
2) 
Hasil uji pasta gigi Ciptadent menjadi pilihan pertama
  
3) 
Hasil
uji
lebih
memilih
pasta
gigi Ciptadent
jika merek pasta gigi
lain sebagus
Pasta
gigi Ciptadent
Dengan :
Ho
=
menolak
Ha 5 (konsumen
tidak
mengetahui brand resonance
pada ekuitas merek
pasta gigi Ciptadent )
Ha
=
menerima
Ha 5
(konsumen mengetahui b®and resonance
pada ekuitas merek
pasta
gigi Ciptadent )
Dasar pengambilan keputusan dalam uji chi square
yakni :
1.  
Jika chi square hitung > chi square table maka Ha diterima.
Jika chi square hitung < chi square table, maka Ha ditolak.
2.  
Berdasarkan probabilitas, jika probabilitas lebih kecil
dari 0.05 maka Ha diterima.
Pasta gigi Ciptadent
mengukur tingkat
customer-based
brand equity pasta gigi Ciptadent
Brand
Salience
Brand
Performance
Brand
Imagery
Brand
Judgments
Brand
Feelings
Brand
Resonance
Analisis
Customer- based brand equity
pasta gigi Ciptadent
Tingkat b®and
equity
pasta gigi Ciptadent
Gambar 2.12 Kerangka Berpikir