Perbedaan
yang paling
menonjol dari two-tier dengan tree-tier
yaitu adanya
middle
tier
pada
arsitektur
tree-tier
yaitu
business
logic
layer.
Arsitektur
tree -tier
muncul
karena
adanya keterbatasan
pada arsitektur
two-tier,
dimana jika ada perubahan
fungsi
suatu
komponen pada satu sisi mempengaruhi kedua sisi client dan server. Hal
ini tidak terjadi
pada system
tree-tier.
Arsitektur
tree-tier
digunakan
ketika diperlukan
suatu
rancangan
client-server
yang efektif,
dimana
meningkatkan
kinerja,
fleksibilitas,
kemudahan
perawatan, kemampuan untuk digunakan ulang, dan skalabilitas
Arsitektur
tree-tier
memiliki komponen
terdepan
yang bertanggung jawab dalam
penyediaan
anarmuka
ke
pengguna,
dan
komponen
yang paline
belakang
adalah
server
basisdata
itu
sendiri.
Komponen
middle
tier
memperbolehkan
pengguna
untuk
berbagi
dan
mengontrol business
logic
layer dengan
mengisolasi komponen-komponen
yang ada
di
dalam
middle
tier
tersebut
dari
aplikasi
yang sesungguhnya
dihadapi
pengguna.
Dengan
middle
tier tersebut
maka business
logic dan
rules
dieksekusi
dan
dapat
mencangkup
hingga banyak
user,
lebih banyak dari pada menggunakan
two-tier, dengan
menyediakan fungsi-fungsi
untuk antrian, eksekusi
aplikasi, maupun akses basisdata.
Sistem
pada
client
berinteraksi
dengan
middle
tier
melalui
sebuah
protocol
yang sudah
menjadi
standar
seperti
misalnya
HTTP,
RPC, ataupun
middleware
seperti
CORBA,
DCOM,
atau
JavaBean.
Dan
middle tier tersebut
berinteraksi
dengan
database server
melalui
protocol
database
standar
seperti
SQL,
ODBC,
dan
JDBC.
Middle
tier
merupakan lapisan
yang paling penting dan menentukan adanya komunikasi antara
client
dengan
server.
Pada
middle
tier
ini
segala
fungsi- fungsi
yang
dibutuhkan
untuk
komunikasi antara client dan server muncul. Adanya
istilah
fat server
maupun
fat client
merupakan
pengertian
bahwa fungsi-fungsi
tersebut
cenderung
lebih
banyak
menempel
pada client atau pada server.
|