BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Persediaan
Menurut  Rangkuti  (2000,  p1)  persediaan  adalah  suatu  aktiva  yang  meliputi
barang –
barang
milik
perusahaan
dengan
maksud
untuk
dijual
dalam
suatu
periode
usaha tertentu, atau persediaan barang-barang yang masih dalam pengerjaan atau proses
produksi,
ataupun
persediaan
bahan
baku
yang
menunggu
penggunanya
dalam suatu
proses produksi.
Persediaan  adalah  stok  yang  akan  digunakan  pada  masa  yang  akan  datang
(Bronson et al., 1997, p259) .
Persediaan didefinisikan sebagai bahan baku, barang dalam proses dan perakitan,
dan
barang jadi
yang
ada
dalam sistem produksi
pada suatu waktu tertentu
(Elsayed,
1994, p63).
Menurut Sipper et al.(1997, p206) definisi persediaan adalah sejumlah komoditas
atau barang dagangan dalam hal pengontrolan dari sebuah perusahaan, disimpan selama
beberapa waktu untuk memenuhi permintaan yang akan datang.
Menurut Schroeder (2000, p304) Persediaan adalah stok dari suatu material yang
digunakan untuk memudahkan produksi dan memenuhi persediaan pelanggan.
2.2
Manfaat Persediaan
Menurut 
Mulyono 
(2002, 
p300), 
ada 
banyak 
alasan 
mengapa 
perusahaan
memiliki persediaan, antara lain:
  
8
1.   Untuk   memenuhi   permintaan   konsumen   yang   telah   diramalkan.   Karena
permintaan tak diketahui dengan pasti, dapat dimiliki persediaan tambahan yang
dinamakan
safety
or
buffer stock
untuk memenuhi lonjakan permintaan yang
diramalkan.
Faktor
musim sangat
berpengaruh
terhadap
gejolak
permintaan.
Dengan demikian safety stock dapat menghindari shortage.
2.   Untuk mendapatkan potongan harga jika membeli dalam jumlah banyak.
3.   Untuk menghindari resiko akibat kenaikan harga.
4.
Persediaan barang mentah dapat menjaga kelancaran produksi karena dapat
menghindari stock out jika terjadi kelambatan pengiriman, kerusuhan massa atau
bencana alam.
Sedangkan menurut Ballou (2004, pp405-406),
beberapa
alasan
diadakannya
persediaan berkaitan dengan pelayanan konsumen atau untuk meminimalkan biaya yang
secara tidak langsung dihasilkan dari usaha memuaskan pelanggan. Secara singkat dapat
dipaparkan sebagai :
1.   Meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan.
Sistem  pengendalian  persediaan  yang  dijalankan  oleh  perushaan  tidak  selalu
dapat bereaksi secara cepat dan ekonomis terhadap permintaan konsumen atau
jasa,   yang   jika   diperhitungkan   secara   benar   dapat   memenuhi   fluktuasi
permintaan yang tinggi akan produk maupun jasa. Adanya persediaan
berpengaruh pada peningkatan penjualan.
2.   Mengurangi biaya operasional, agar :
a.   Pelaksanaan produksi lebih ekonomis karena persediaan bertindak sebagai
penyangga antara jumlah yang harus diproduksi dengan variasi permintaan.
  
9
b.   Dapat  mengurangi  biaya  transportasi  dan  menyeimbangkan  biaya  dari
sejumlah kuantitas yang dibeli dengan penurunan harga pasar.
c.   Pembelian   dalam   jumlah   yang   besar   semakin   mendekati   kuantitas
kebutuhan yang mendesak.
d.   Persediaan  bertindak  sebagai  penyangga  terhadap  variasi  waktu  antara
produksi dan pengiriman.
e.   Persediaan dapat mengantipasi
masalah pemogokan buruh, bencana
alam,
keterlambatan pengiriman.
2.3
Jenis-jenis Persediaan
Penanganan
modal
dalam persediaan
mempermudah
perusahaan
untuk
melancarkan 
proses 
produksi 
dan 
untuk 
mengantisipasi 
permintaan 
yang 
mudah
berubah.
Persediaan
dapat
digolongkan
dalam
dua
bentuk,
yaitu
berdasarkan
proses
yang dialami.
2.3.1
Persediaan Berdasarkan Fungsi
Jenis-jenis persediaan yang umum dimiliki
pada suatu perusahaan diantaranya
adalah sebagai berikut (Tersine, 1994, pp7-8):
1.   Working Stock (Cycle atau Lot Size Stock)
Adalah
persediaan
yang
diperlukan
dan
di
simpan
sebelum diperlukan
agar
pemesanan  dapat  dilakukan  dalam  bentuk 
lot  sejumlah  yang  diinginkan.
Ukuran lot ini bertujuan untuk meminimalisasikan
biaya
pemesanan
dan
penyimpanan, dan
mendapatkan potongan
harga. Secara umum, jumlah
rata-
  
10
rata persediaan di “tangan” yang dihasilkan dari ukuran lot membentuk stok
aktif suatu organisasi.
2.   Safety stock (Buffer atau Fluctuation Stock)
Adalah
persediaan
yang
disimpan
untuk
mengantisipasi kemungkinan supply
dan
demand
yang
tidak
pasti.
Dalam siklus
pemenuhan
kembali,
stok
ini
berfungsi sebagai tameng terhadap kekurangan stok.
3.   Anticipation Stock (Seasonal atau Stabilization Stock)
Adalah persediaan yang digunakan untuk menghadapi permintaan musiman
yang memuncak, keperluan sampingan (promosi, pemogokan buruh, penutupan
karena libur). Stok ini disediakan atau diproduksi sebelum diperlukan dan
berkurang selama
permintaan
puncak, dengan harapan agar
tingkat produksi
rata-rata tetap tercapai dan jumlah tenaga kerja tetap stabil.
4.   Pipeline stock ( work in process )
Adalah
persediaan
yang
ada
dalam perjalanan
dan
membutuhkan
waktu dari
penerimaan barang pada saat masuk, pengiriman bahan dalam proses produksi,
pengiriman barang sampai ke outputnya. Secara external pipeline stock dapat
digambarkan
persediaan
dalam perjalanan
di
truk,
kapal
atau
alat
angkut
lainnya. Sedangkan secara internal, merupakan proses menuggu diproses dan
dipindahkan
5.   Decoupling stock
Merupakan persediaan yang memungkinkan perusahaan dapat memenuhi
permintaan pelanggan tanpa tergantung pada supplier.
  
11
6.   Physics stock
Merupakan
persediaan
barang
yang
diadakan
dalam bentuk
pajangan
untuk
mendorong  pembelian  dan  stock  ini  bersifat  sebagai  seorang  sales  yang
berdiam diri.
2.3.2
Persediaan Berdasarkan Proses Produksi
Persediaan dapat
dikelompokkan
menurut
bentuknya, dimana
hal
ini
berkaitan
dengan
jenis dan posisi barang tersebut dalam urutan pengerjaan produk,
yaitu (Sofjan
Asauri, p222-223):
1.   Persediaan bahan baku (Raw Materials)
Yaitu
persediaan
dari barang-barang berwujud
yang
digunakan dalam proses
produksi,  barang  mana  dapat  diperoleh  dari  sumber-sumber  alam  ataupun
dibeli
dari
pemasok
atau
perusahaan yang
dihasilkan
bahan
baku
bagi
perusahaan pabrik yang menggunakannya.
2.   Persediaan komponen (Component Part)
Yaitu
persediaan
yang
terdiri
dari komponen-komponen
yang
diterima
dari
perusahaan
lain,
yang
dapat
secara langsung dirakit
dengan
komponen
lain,
tanpa melalui proses produksi sebelumnya.
3.   Persediaan barang setengah jadi atau persediaan barang dalam proses (Work in
process)
Yaitu persediaan barang-barang
yang keluar dari tiap-tiap bagian dalam suatu
pabrik atau bahan-bahan yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih
perlu diproses kembali untuk kemudian dijual sebagai barang jadi.
  
12
4.   Persediaan barang jadi (Finished goods)
Yaitu persediaan yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap
dijual kepada pelanggaan atau perusahaan lain.
5.   Persediaan bahan-bahan pembantu (Supplies Stock)
Yaitu
persediaan
barang atau
bahan
yang
diperlukan
dalam proses produksi
untuk
membantu
berhasilnya
produksi
atau
yang
dipergunakan dalam
bekerjanya suatu perusahaan, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen
barang jadi.
2.4
Komponen – Komponen Biaya Persediaan
Kriteria
performansi dari
sistem persediaan
akan
dievaluasi
berdasarkan Total
Inventory Costs (TIC) yang paling kecil, dimana variabel keputusannya akan meliputi
(Wignjosoebroto, 2003, p388):
a.   Kapan suatu pesanan harus dibuat
b.   Berapa banyak volume pesanan setiap kali pemesanan akan dilakukan (Q)
Kedua  variabel  tersebut  diantisipasikan  untuk  memenuhi  laju  permintaan  (D)  pada
tingkat biaya yang minimal (TC).
Sedangkan
menurut
Siagian
(1987,
p17),
titik
pusat
dari
sistem pengendalian
persediaan adalah pembentukan model yang
sesuai
dan
dapat
menjelaskan
hubungan
antara 
variabel 
diatas. 
Keputusan 
berupa 
jawab 
optimal 
dari 
model 
persediaan
merupakan masalah pokok dalam manajemen persediaan. Terdapat banyak faktor yang
harus diperhatikan
dalam pembentukan
model
persediaan,
tetapi
ternyata
faktor biaya
yang sangat dominan dalam pembentukan
model. Meskipun analisis biaya cukup sukar
dilakukan karena sulitnya perincian dan penaksiran, namun analisis biaya tetap sebagai
  
13
pusat 
dari  analisis  persediaan. 
Karenanya, 
keputusan 
optimal 
ditujukan 
terhadap
keputusan yang meminimumkan biaya.
Wignjosoebroto (2003, p388) menyatakan, kinerja dari perencanaan persediaan
akan sangat ditentukan oleh keputusan yang berorientasi pada struktur biaya persediaan
(Total
Costs
TC,
atau
Total Inventory Costs
TIC)
yang
minimal.
Besar
nilai
TC
dapat dihitung berdasarkan biaya penyimpanan (holding costs), biaya kelangkaan
(shortage
costs), biaya
pengadaan/pemesanan
(ordering/replenishment
costs) dan
biaya/harga produk yang dibeli (purchase costs) dalam jumlah yang harus disediakan.
Untuk melakukan perencanaan dan pengendalian persediaan, maka harus
diketahui terlebih
dahulu
komponen
komponen
biaya
yang
akan
dijadikan
dasar
perhitungannya, yaitu sebagai berikut:
2.4.1
Ordering Costs
Menurut Wignjosoebroto (2003,
p388),
biaya
pemesanan
(ordering
/
replenishment
costs) yaitu semua biaya yang meliputi biaya administrasi untuk
pembelian/pemesanan
kepada
pemasok
(supplier/vendor)
dari
luar,
atau
penggantian
stok
material
yang dipakai
untuk
kegiatan produksi (setting-up).
Besar kecilnya biaya
pemesanan akan sangat bergantung pada seberapa sering pesanan akan dibuat dengan
jumlah/volume pesanan barang sedikit per pesanan atau sekaligus dalam jumlah besar
sekali pesan dengan maksud untuk meminimalkan biaya pemesanan itu sendiri.
Menurut Mulyono (2002, p301), ordering costs adalah biaya yang berhubungan
dengan
penambahan
persediaan
yang
dimiliki. Biaya
ini
biasanya dinyatakan
dalam
rupiah
per
pesanan
dan
tidak
terkait
dengan
volume
pemesanan.
Jadi ordering
costs
berhubungan positif dengan frekuensi persediaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah
  
14
biaya pengiriman, pesanan beli, inspeksi penerimaan dan pencatatan.
Ordering costs
biasanya berhubungan terbalik dengan carrying costs, jika
volume pesanan bertambah,
ordering costs berkurang tapi carrying costs bertambah.
Biaya pemesanan (ordering costs) mecakup biaya-biaya pasokan, formulir,
pemrosesan
pesanan,
tenaga
kerja,
dan
sebagainya. Pada
saat produk pesanan dibuat,
timbul pula biaya pemesanan, tetapi biaya ini dikenal dengan nama biaya pemasangan
(Render dan Heizer, 2001, p319)
Sedangkan Subagyo et al. (2000, p207)
menyatakan, ordering costs
merupakan
total
biaya
pemesanan
dan
pengadaan
bahan sehingga siap untuk dipergunakan atau
diproses lebih lanjut dengan kata lain, mencakup pula biaya-biaya pengangkutan,
pengumpulan, pemilikan, penyusunan dan penempatan di gudang, sampai kepada biaya-
biaya manajerial dan klerikal yang berhubungan dengan pemesanan sampai penempatan
bahan / barang di gudang.
2.4.2    Holding / Carrying Costs
Render dan Heizer (2001, p319) menyatakan, biaya penyimpanan (holding costs)
adalah
biaya-biaya
yang
berkaitan dengan
penyimpanan
atau
penahanan
(carrying)
persediaan  sepanjang 
waktu 
tertentu. 
Oleh 
karena 
itu, 
biaya 
penyimpanan  juga
mencakup 
biaya 
yang 
berkaitan  dengan 
gudang, 
seperti 
biaya 
asuransi, 
staffing
tambahan, dan pembayaran bunga.
Siagian
(1987, p18)
menyatakan, holding costs atau biaya penyimpanan terdiri
dari semua
ongkos
yang berhubungan dengan
biaya
penyimpanan
barang dalam stok.
Biaya ini meliputi bunga modal yang tertanam dalam persediaan, sewa gudang, asuransi,
  
15
pajak, ongkos bongkar muat, harga penyusutan, harga kerusakan, dan penurunan harga.
Biasanya biaya ini sebanding dengan jumlah persediaan dalam stok.
Holding costs atau carrying costs timbul karena perusahaan menyimpan
persediaan. Biaya ini sebagian besar merupakan biaya
penyimpanan
(secara
fisik),
di
samping pajak dan asuransi barang yang disimpan. Seringkali biaya penyimpanan
dinyatakan per satuan nilai persediaan (Subagyo et al., 2000, p208).
Mulyono
(2002,
p301)
mendefinisikan, carrying
costs
adalah
biaya
untuk
memiliki
dan
menyimpan
persediaan
selama periode
tertentu.
Biaya
ini
berhubungan
positif dengan jumlah persediaan dan terkadang dengan waktu penyimpanan. Termasuk
dalam kelompok
ini adalah bunga atas dana yang ditanamkan dalam persediaan, sewa
gudang,
penyusutan,
dan
lain-lain.
Carrying
costs
dapat
dinyatakan
dalam dua
cara,
pertama,
yang paling
sering,
adalah
dinyatakan
dalam rupiah per
unit persediaan
per
periode waktu. Kedua, dinyatakan sebagai persentase tertentu dari nilai persediaan,
biasanya antara 10-40 persen.
Fogarty (1991, pp185-192) menyatakan, holding costs ditimbulkan oleh hal – hal
yang berhubungan dengan penyimpanan barang. Resiko –
resiko penyimpanan
diantaranya   adalah   modal   yang   ditanamkan,   kerusakan   barang   yang   disimpan,
kadaluarsa kualitas, dan lain-lain. Resiko – resiko ini menimbulkan biaya – biaya yang
menjadi komponen holding costs. Komponen – komponen holding costs adalah:
a.   Capital Costs
Biaya  ini  timbul  karena  hilangnya  kesempatan  penggunaan  modal  untuk
pembelian aset – aset lain yang lebih menguntungkan bagi perusahaan.
b.   Pajak
Pajak ini dikenakan terhadap barang yang disimpan.
  
16
c.   Asuransi
Merupakan  biaya  yang  dikeluarkan  untuk  menanggung  resiko  kerusakan
barang yang disimpan.
d.   Obsolescence
Merupakan penyusutan kualitas dari produk yang disimpan.
e.   Storage
Meliputi  biaya  yang  dikeluarkan  untuk  fasilitas  –  fasilitas  penyimpanan
barang.
2.4.3
Shortage / Stockout Costs
Menurut
Wignjosoebroto
(2003
,p388), biaya kelangkaan atau shortage
costs
yaitu biaya yang harus dikeluarkan sebagai konsekuensi kekurangan atau kelangkaan
persediaan.
Mulyono
(2002,
p301)
menyatakan, shortage
atau
stockout
costs tercipta jika
permintaan 
tak 
dapat 
dipenuhi 
karena 
kekosongan 
persediaan. 
Termasuk 
dalam
kelompok ini adalah ketidakpuasan konsumen
dan
potensi
keuntungan
yang
tak
terealisasi. Sangat sulit memperkirakan shortage
costs,
sebagai
gantinya
dilakukan
perkiraan
subjektif.
Shortage
costs berhubungan
terbalik
dengan
holding
costs. Jika
persediaan bertambah, holding costs bertambah sementara shortage costs berkurang.
Siagian (1987, p18) menyatakan, shortage costs timbul akibat tidak terpenuhinya
kebutuhan konsumen. Kalau konsumen mau
menunggu, maka biaya terdiri dari ongkos
produksi yang terburu-buru. Tetapi kalau kosumen tidak rela menunggu, maka biaya
terdiri dari kehilangan
untung dan lebih-lebih
lagi kehilangan kepercayaan.
Biaya dari
  
17
jenis
ini umumnya mendapat perhatian
yang sungguh-sungguh karena akibatnya tidak
segera terasa dan sifatnya merusak dan berlangsung secara lambat-laun.
Fogarty (1991, p185) menyatakan, stockout terjadi apabila jumlah stok yang ada
tidak dapat memenuhi permintaan. Akibat terjadinya stockout, kepercayaan konsumen
menjadi
berkurang
atau
hilang.
Kerugian
ini
bersifat intangible
yang
menyebabkan
stockout cost sulit untuk dihitung
2.5
Properti persediaan
Secara universal, sistem persediaan
selalu berkaitan dengan hal-hal berikut
sebelum pada
akhirnya sampai
pada penentuan
jumlah
pemesanan
yang
tepat dengan
biaya total yang optimal, yaitu (Tersine, pp12-13):
1.
Permintaan (Demand)
Demand size
merupakan
ukuran skala magnitude dari permintaan, yang
dibedakan
antara
konstan
atau
variabel
dan
deterministik
atau
probabilistik (diskrit atau kontinu).
Demand rate adalah ukuran permintaan per satu satuan waktu.
Demand pattern mengacu pada berapa banyak barang yang dikeluarkan
dari persediaan.
2.
Waktu tunggu (Lead Time)
Adalah tenggang waktu yang diperlukan antara saat pemesanan bahan baku
dan datangnya bahan baku itu sendiri. Waktu tunggu ini dapat konstan,
dapat juga bersifat probabilistik. (Elsayed and Boucher, pp64-65)
  
18
3.
Pemesanan kembali (Replenishment)
a.   Replenishment size mengacu  pada  kuantitas  atau  sejumlah  barang
yang akan diterima
masuk kedalam persediaan. Ukurannya dapat
konstan, dapat juga variabel tergantung dari tipe sistem persediaan.
b.   Replenishment
pattern 
mengacu 
pada 
bagaimana 
sejumlah 
unit
tertentu ditambahkan dalam persediaan.
c.   Replenishment  lead  time   adalah   tenggang   waktu   antara   saat
pemesanan
suatu
item dan
penambahan sejumlah
unit
tersebut
pada
persediaan.
4.
Persediaan pengaman (Safety Stock)
Adalah
persediaan
yang diadakan
untuk
mencegah terjadinya kekurangan
persediaan ketika permintaan tidak pasti atau karena keterlambatan
penerimaan bahan baku yang telah dipesan. Faktor-faktor yang menentukan
besarnya persediaan ini adalah penggunaan bahan baku rata-rata selama
periode tertentu sebelum barang yang
dipesan
datang
dan waktu tunggu
yang bervariasi. (Sofjan Assauri, Manajemen produksi, pp242-243)
2.6
Penentuan Sumber Daya Persediaan
Keputusan
yang
berkaitan
dengan
penentuan
sumber
daya
persediaan
meliputi
dua hal, yaitu waktu pemesanan dan ukuran kuantitas pemesanan per sekali pesan.
2.6.1
Penentuan Titik Pemesanan (Reorder Point)
Menurut
Bowersox
et
al.
(1996, p258), titik pemesanan (reorder
point)
merupakan suatu titik pada tingkat persediaan, dimana bagian pengadaan (procurement)
harus melakukan pemesanan kembali
sejumlah
ukuran kuantitas pemesanan (lot size).
  
19
Titik pemesanan ini biasanya sebesar total stok yang ada ditambah dengan barang yang
sedang dalam pemesanan, sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut:
R
=
D
×
T
dengan:
R = Reorder point (unit)
D = Permintaan rata-rata tahunan (unit/tahun)
T = Panjang siklus performansi (tahun)
Formulasi diatas
digunakan
jika permintaan serta siklus performansi besarnya
konstan, 
namun  pada  kenyataannya  permintaan  cenderung  bervariasi,  begitu  juga
dengan
siklus performansinya. Variasi tersebut menimbulkan adanya ketidakpastian.
Dengan
adanya
ketidakpastian
tersebut maka
diperlukan
pengaman
persediaan,
yang
disebut dengan safety stock. Safety stock ini akan memenuhi permintaan konsumen yang
lebih
tinggi
dari
permintaan
rata
rata
atau
yang
memiliki siklus
performansi
lebih
panjang. Formulasi titik pesanan untuk kasus ini menjadi:
R
=
D
×
T
+
SS
dimana :
R
= reorder point (unit)
D
= permintaan rata-rata tahunan (unit/tahun)
T
= panjang siklus performansi rata-rata (tahun)
SS
= Safety stock (unit)
Perhitungan
safety
stock
dalam
model
probabilistik sistem
persediaan
dengan
permintaan
yang
independent, sangat bergantung pada keadaan demand dan lead time,
apakah   sifatnya   konstan   atau   bervariasi,   serta   kebijakan   perusahaan   mengenai
permintaan yang tidak dapat dipenuhi. Pada sistem persediaan dengan permintaan yang
bervariasi dan lead
time
yang
tetap,
serta
dengan
mengasumsikan
semua
kekurangan
  
20
persediaan sebagai kehilangan permintaan (lost sale), safety stock dapat dihitung sebagai
berikut:
R
SS
=
?
(
R
-
z h(z
)h(z
)
d
z
0
dengan :
SS
= safety stock (unit)
z
= permintaan selama lead time (unit)
h(z)
= fungsi distribusi permintaan selama lead time
R
= reorder point (unit)
Persamaan diatas dapat diuraikan menjadi:
8
8
SS
=
R
?
h
(
z
)d
z
-
?
(
z h
)
(
z
)d
z
0
0
=
R
-
z
dengan : z = rata-rata permintaan selama lead time (unit)
Ekspektasi jumlah kekurangan diformulasikan sebagai berikut:
8
E
(z
>
R
)
?
(
z
-
R
)h(
z
)
d
z
R
2.6.2
Penentuan Ukuran Kuantitas Pemesanan (Lot Size) Dengan EOQ
Pada
dasarnya,
konsep
untuk
ukuran lot
size
ini
digunakan
untuk
menyeimbangkan antara biaya simpan persediaan dengan biaya pemesanan. Hubungan
diantara kedua biaya itu digambarkan melalui hubungan antara persediaan rata –
rata
dengan kuantitas pemesanan. Persediaan
rata – rata adalah sama dengan setengah dari
kuantitas pemesanan. Hal ini didasarkan pada persediaan yang menurun secara konstan
dari
ukuran
lot
maksimum
(Q)
ke
ukuran
lot
minimum
yaitu 0. Sehingga
persediaan
rata-rata
sama
dengan
(Q+0)/2
atau
Q/2. Maka
dari
itu,
semakin
besar
kuantitas
pemesanan, semakin besar pula persediaan rata – rata, sehingga akibatnya semakin besar
  
21
biaya penyimpanan tiap tahunnya. Namun, semakin besar kuantitas pemesanan, semakin
kecil
pesanan
yang
dibutuhkan
untuk tiap periode yang direncanakan, dan akibatnya
semakin kecil total biaya pemesanan.
Tingkat 
persediaan 
di-review setiap 
transaksi 
dilakukan  dan 
ketika 
posisi
persediaan
mencapai
titik
tertentu,
maka
pesanan
untuk
sejumlah
unit,
yang sifatnya
tetap, dilakukan. Secara garis besar sistem ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Stok yang tersedia
Terjadi permintaan
Penentuan tingkat stok
Apakah tingkat stok
reorder point ?
tidak
ya
Pesan
gambar 2.1 Fixed Order System
Titik dimana jumlah dari biaya pemesanan dan biaya penyimpanan minimal,
menggambarkan
biaya
total
terendah.
Dimana pada
titik
tersebut
akan
didapatkan
kuantitas pemesanan atau periode, yang meminimasi biaya total dari penyimpanan dan
pemesanan   persediaan.   Kuantitas   pada   titik   tersebut   diistilahkan   dengan   EOQ
(Economic Order Quantity).
Untuk menentukan EOQ ini maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu:
Biaya total
sama
dengan
biaya pemesanan
(persiapan)
ditambah
dengan
biaya
penyimpanan.
  
22
Biaya pemesanan
sama
dengan biaya per pemesanan dikalikan dengan jumlah
pemesanan per periode.
Biaya  penyimpanan  sama  dengan  kuantitas  persediaan  rata  –  rata  dikalikan
dengan biaya penyimpanan per unit per periode, atau kuantitas persediaan rata–
rata dikalikan dengan tarif (rate) biaya angkut per unit untuk periode tersebut.
Hubungan diatas dapat diformulasikan sebagai:
TC
=
PR
+
CR
HQ
atau
TC
=
PR
+
CR
PFQ
Q
2
Q
2
dimana:
TC
= biaya total per periode
C
= biaya pesan
R
= jumlah kebutuhan per periode (unit)
H
= biaya simpan per unit per periode
P
= biaya pembelian per unit
F
= tarif biaya angkut per unit per periode
Q
= ukuran lot pemesanan
dengan
mengingat
bahwa
EOQ
merupakan
kuantitas
saat biaya
simpan
sama
dengan
biaya pesan, maka:
d
TC (Q)
H
-
CR
=
0
d
Q
2
Q
2
sehingga 
ukuran  pemesanan  kuantitas 
ekonomi  (economic order quantity)  adalah
sebagai berikut:
Q
=
2CR
=
H
2CR
PF
  
23
Dalam EOQ sederhana ini terdapat asumsi – asumsi utama yaitu:
Permintaan diketahui secara pasti dan konstan.
Tidak ada shortage.
Lead time (waktu antara penempatan pesanan dan penerimaannya) diketahui dan
konstan.
Sekali pesan sekali terima.
Tidak ada potongan harga karena membeli dalam jumlah banyak.
2.7
Supply Chain Management (SCM)
SCM pertama kali dikemukakan oleh Oliver & Weber pada tahun 1982. Menurut
The Council of Logistics Management yang dikutip Pujawan (2005, p7),
“Supply Chain Management is the systematic, strategic coordination of the
traditional business functions within a particular company and across business within
the supply chain for the purpose of improving the long-term performance of the
individual company and the supply chain as a value”.
Manajemen rantai suplai merupakan manajemen aktivitas yang merubah bahan
baku  menjadi  barang  intermediate  dan  produk  akhir,  dan  pengiriman  produk  akhir
kepada
pelanggan.
Manajemen
rantai
suplai berkaitan
erat
dengan
proses
distribusi
produk
akhir
hingga
ke
tangan
konsumen.
Aktivitas
yang
terlibat
dalam manajemen
rantai suplai dari pembelian, manufaktur, logistik, distribusi, dan transportasi ke pasar.
Manajemen rantai suplai memiliki tiga aspek utama yaitu:
  
24
Rantai  suplai  sebagai  entitas 
fungsi-silang  (cross-functional).  Rantai  suplai
bertanggung  jawab  terhadap  segala  aktivitas  rantai  suplai  dari  area 
fungsi
berbeda.
Rantai  suplai 
sebagai 
pengguna  strategis 
dari 
inventori 
dan 
sumber  daya
produksi.
Rantai
suplai
dapat
digunakan
sebagai
alat
efektif
dalam
menyeimbangkan kebutuhan permintaan dan kebutuhan kapasitas.
Rantai
suplai
sebagai
integrator
dan
koordinator
pada
kegiatan
produksi
dan
logistik.
Merupakan
esensi dari
manajemen
rantai
suplai,
dan
merupakan
cara
mencapai efisiensi operasional dengan biaya,
lead time, dan tingkat pelayanan
tertentu.
aliran barang fisik
Supplier
Manufaktur
Wholesaler
Retailer
aliran informasi permintaan
gambar 2.2 Aliran barang dan informasi pada Rantai Suplai Linier
Semakin meningkatnya tingkat persaingan pasar menyebabkan pihak perusahaan
perlu
memikirkan cara – cara yang
lebih baik. Sedikitnya terdapat tiga tantangan
yang
harus diantisipasi oleh perusahaan, yaitu:
1.   Keinginan  konsumen 
akan  kepuasan 
tidak 
hanya 
atas 
produk 
yang  baik
melainkan waktu pelayanan merupakan salah satu parameter tingkat pelayanan
yang baik pula.
2.   Industri global.
3.   Integrasi antar perusahaan.
  
25
Salah
satu
cara
pengantisipasian
tersebut
maka
di
dalam sistem logistik
melahirkan konsep baru yang dikenal sebagai Supply Chain Management (SCM). Fokus
SCM adalah pada bentuk kerjasama, kepercayaan, dan manajemen yang sesuai.
2.7.1
Fungsi Supply Chain Management
Ada dua fungsi SCM, yaitu (Zabidi, 2001, p5) :
1. SCM
secara
fisik
mengkonversi
bahan
baku
menjadi
produk
jadi
dan
menghantarkannya
ke
pemakai
akhir. Fungsi
pertama
ini
berkaitan
dengan
ongkos-ongkos fisik, yaitu ongkos
material,
ongkos
penyimpanan,
ongkos
produksi, ongkos transportasi, dan sebagainya.
2.   SCM
sebagai
mediasi
pasar,
yakni
memastikan
bahwa
apa
yang
disuplai
oleh
rantai  suplai  mencerminkan  aspirasi  pelanggan  atau  pemakai  akhir  tersebut.
Fungsi kedua ini berkaitan dengan biaya-biaya survey pasar, perancangan produk,
serta biaya-biaya akibat tidak terpenuhinya aspirasi konsumen oleh produk yang
disediakan oleh sebuah
rantai suplai. Ongkos-ongkos ini bisa berupa ongkos
markdown, yakni penurunan harga produk yang tidak laku dijual dengan harga
normal, atau ongkos kekurangan supply yang dinamakan dengan stockout cost.
2.8
Sistem Persediaan Bertingkat ( Multiechelon Inventory)
Secara
luas,
teori
multiechelon
inventory ditujukan
pada
berbagai
masalah
inventori
yang
melibatkan
dua
atau
lebih suplai
atau
fasilitas
produksi
yang
saling
berkaitan.
Eselon sendiri memiliki definisi sistem yang terdiri dari stok yang terdapat pada
instalasi tersebut ditambah stok yang terdapat pada tempat penyimpanan atau persediaan
pada instalasi level bawahnya (Hadley dan Whitin, 1963, p4).
  
26
2.8.1
Struktur Sistem Multiechelon Inventory
Struktur paling umum dari sistem persediaan multieselon adalah satu keterlibatan
sejumlah
pengecer
(toko,
fasilitas,
instalasi,
basis)
dalam bisnis
untuk
memenuhi
permintaan
pelanggan
untuk
produk.
Sistem multi
inventori
dapat
juga
digambarkan
sebagai jaringan langsung dimana node mewakili berbagai aktivitas atau fasilitas dalam
sistem
dan linkage mewakili
aliran barang. Bila jaringan
memiliki paling banyak satu
hubungan kedatangan untuk tiap node dan alirannya bersifat acyclic (tidak terdapat loop
dalam jaringan),
maka
dikatakan
struktur
pohon
terbalik
atau
arborescene. Bila
dipandang sebagai jaringan langsung, tampak bahwa dapat terjadi sistem yang sangat
kompleks.   Pengecer   dapat   memperoleh   suplai   lebih   dari   satu   wholesaler,   atau
wholesaler  dapat
membeli 
lebih 
dari 
satu  pabrik,  atau 
mungkin 
pengecer 
dapat
menyuplai   pengecer   lainnya.   Jumlah   kombinasi   tersebut   sangat   besar.   Namun,
kebanyakan teori multiechelon inventory dibatasi pada struktur arborescene.
Pabrik
Barat
Pusat
Timur
Produksi
Distributor/
Toko /
Pengecer
Gambar 2.3 Contoh sistem distribusi pada struktur arborescene
Pada
struktur
arborescene,
berbagai
level
sistem
diidentifikasi
sebagai
eselon
dan  permasalahan  ditujukan  pada  keseluruhan  multiechelon.  Terdapat  dua  macam
struktur  arborescene yang  biasa  digunakan  dalam  literatur.  Seperti  pada  gambar,
  
27
pertama adalah struktur seri,
terdiri dua atau
lebih aktivitas dengan
tiap eselon
hanya
menyuplai satu pada eselon bawahnya. Kedua, struktur paralel yang terdiri dari sejumlah
aktivitas pemenuhan kebutuhan eksternal secara independent.
Sumber
Sumber
….
Struktur aktivitas seri
Struktur aktivitas Paralel
Gambar 2.4 Jenis struktur arborescene
2.8.2
Permasalahan Pengendalian Inventori Multi-aktivitas
Dipandang sebagai jaringan aktivitas, dengan permintaan eksternal terjadi pada
beberapa aktivitas, permasalahan
pengendalian
inventori
multi-aktivitas yang
dasar
mengikuti aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan, yang menjadikan fungsi jaringan
sebagai fungsi waktu dan pemenuhan objektif tertentu, seperti minimasi biaya atau
memenuhi
level pelayanan pelanggan. Pasangan kebijakan, untuk tiap sistem, biasanya
meliputi kebijakan pemesanan (ordering) dan kebijakan suplai (supply). Situasi yang
menyebabkan perbedaan kebijakan keduanya adalah dimana terjadi stok yang tak
mencukupi (pada demand yang random atau penyebab lainnya).
  
28
2.9
Model Persediaan
Bertingkat yang Telah Dikembangkan
Model-model persediaan multiechelon yang telah dikembangkan, diantaranya:
2.9.1
Model Optimasi Integral Sistem Rantai Nilai 3 Eselon oleh Nur Bahagia
Model
optimasi
integral
sistem rantai
nilai
3
eselon
ini
merupakan
model
persediaan 3 eselon yang terdiri atas 1 unit produksi, 1 depot, dan n pengecer, dan setiap
pengecer
hanya
memiliki
1
alternatif
jalur
pasokan,
yaitu
dari
depot.
Berikut adalah
gambar representasi objek kajian:
Unit Produksi
depot
1
2
3
n
pengecer
pengecer
Gambar 2.5 Representasi Objek Kajian Nur Bahagia
Fungsi minimasi total biaya tahunan model yang dihasilkan untuk sistem di atas adalah
sebagai berikut:
  
 Q       D D i  0
29
?
?
0
?
+
L
?
n
i
0
d
N
n  
?
D
j
?
Q
j
?
D
j
?
MinC =
?
?
A
j
j
=1
?
?
j
+
H
j
?
?  
2
+
SS
j
?
+
B
j
M
j
?
Q
?
?
?
D
?
Q
n
?
+
A
i
Q
+
H
i
?
+
?
(
L
ij
D
+
SS
j
)
?
i
?  
2
j
=1
?
A
D
?
?
?
Q
n  
?
?
Q
?
?
?
+
0
+
H
?
?
1
-
?
+
?
?
?
0i
+
L
ij
?
D
j
+
SS
j
?
?
Q
0
?
?
K
?  
2
j
=1
?
K
?
?
?
+
?
[(
C
0i
+
C
ij
)
D
j
]
j
=1
dimana:
D
=
D
d
n
=
?
D
j
j
=1
Q
0  
=
N
Q
d
D
0
d
Q
j
=
N
0
d
dj
j
Q
0
,
Q
d
,Q
j
=
0;?
j
N
0
d
,
N
dj 
=
1;
?
j
integer
Keterangan parameter persamaan-persamaan diatas:
A
j
: biaya pemesanan dari pengecer j ke depot (RP/pesan)
D
j
: permintaan rata-rata tahunan pada pengecer j (unit/tahun)
Q
j
: ukuran lot pemesanan pada pengecer j (unit)
H
j
: biaya simpan per unit per satuan waktu pada pengecer j (RP/unit/tahun)
B
j
: biaya kekurangan barang per unit pada pengecer j (Rp/unit)
M
j
: banyaknya kekurangan barang pada setiap siklus (Qj/Dj) pada pengecer j
SS
j
: Safety Stock pada pengecer j (unit)
  
30
A
i
: biaya pemesanan dari depot ke unit produksi (Rp/pesan)
D
i
: permintaan rata-rata tahunan pada depot (unit/tahun)
Q
i
: ukuran lot pemesanan pada depot (unit)
H
i
: biaya simpan per unit per satuan waktu pada depot (RP/unit/tahun)
A
0
: biaya produksi di unit produksi (Rp/pesan)
D
0
: Permintaan rata-rata tahunan pada unit produksi (unit/tahun)
Q
0
: ukuran lot produksi pada unit produksi (unit)
H
0
: biaya simpan per unit per satuan waktu pada unit produksi (RP/unit/tahun)
L
0i
: lead time dari unit produksi ke depot (tahun)
L
ij
: lead time dari depot ke pengecer j (tahun)
K
: kapasitas produksi per tahun produksi (unit/tahun)
C
0i
: biaya angkut dari unit produksi ke depot (Rp/unit)
C
ij
: biaya angkut dari depot ke pengecer j (Rp/unit)
2.9.2
Model Persediaan Tiga Eselon: Satu Depot, n Pengecer oleh L.Toruan
Model persediaan tiga eselon ini melibatkan satu unit produksi, satu depot dan n
pengecer, tetapi masing-masing pengecer memiliki 2 alternatif jalur pasokan, yaitu jalur
pasokan langsung dari unit produksi dan jalur
pasokan
tidak
langsung
melalui
depot.
Berikut ini adalah gambar representasi objek kajian:
  
 Q  i
31
0
?
2
?
Unit Produksi
depot
1
2
n
pengecer
pengecer
Gambar 2.6 Representasi Objek Kajian L.Toruan
Fungsi minimasi total biaya tahunan model yang dihasilkan untuk sistem tersebut adalah
sebagai berikut:
n  
?
D
j
?
Q
j
?
D
j
?
MinC
=
?
?
A
j
j
=1
?
?
Q
j
+
H
j
?
?  
2
+
SS
j
?
B
j
M
j
?
?
X
0
j
Q
?
?
n  
?
D
j
?
Q
j
?
D
j
?
+
?
?
A
j
j
=1
?
?
j
+
H
j
?
?  
2
+
SS
j
?
B M
j
j
?
Q
?
X
ij
?
?
n  
?
?
D
?
Q
n
?
?
?
+
?
?
?
A
      i  
+
H
?  
         i  
+
?
(
L  D
+
SS
)
?
?
?
?
j
=1
?
?
?
?
Q
i
i
?
?
j
=1
ij
j
j  
?
?  
ij
?
?
?
?
?
A
D
?
?
?
Q
n  
?
?
Q
?
?
?
+
0
+
H
Q
?
?
1
-
?
K
+
?
?
2
+
L
K
j
?
D
j
+
SS
j
?
X
?
0
j
?
0
?
?
?  
n  
?
?
Q
?
j
=1
?
?
?
?
?
?
?
?
0
?
?
?
0i
ij
j
j
?
ij
?
+
?
?
?
+
L
+
? D
+
SS 
?
?
?
j
=1
?
K
?
?
?
  
32
n
n
+
?
[(C
0
j
)D
j
]X
0
j
+
?
[(C
0i
+
C
ij
)D
j
]X
ij
j
=1
j
=1
  
33
dengan:
n
D
=
?
D
j
j
=
1
n
D
=
?
D
j
X
ij
j
=1
Q
0
Q
i
=
N
0
i
D
0
D
i
Q
j
=
N
0
i
N
ij
D
j
=
N
0
j
Q
j
;
?
i
?
j
D
j
Q
0
,
Q
i
,
Q
=
0;
?
j
N
0
i
,
N
ij
,
N
0
=
1;
?
j
X
0
j
;
X
ij 
=
01;
,1;
?i
X
oj 
+
X
ij 
=
1;
?j
integer
Keterangan parameter persamaan-persamaan diatas:
A
j
: biaya pemesanan dari pengecer j ke unit produksi maupun depot (RP/pesan)
D
j
: permintaan rata-rata tahunan pada pengecer j (unit/tahun)
Q
j
: ukuran lot pemesanan pada pengecer j (unit)
H
j
: biaya simpan per unit per satuan waktu pada pengecer j (RP/unit/tahun)
B
j
: biaya kekurangan barang per unit pada pengecer j (Rp/unit)
M
j
: banyaknya kekurangan barang pada setiap siklus (Qj/Dj) pada pengecer j
SS
j
: Safety Stock pada pengecer j (unit)
A
i
: biaya pemesanan dari depot ke unit produksi (Rp/pesan)
D
i
: permintaan rata-rata tahunan pada depot (unit/tahun)
Q
i
: ukuran lot pemesanan pada depot (unit)
H
i
: biaya simpan per unit per satuan waktu pada depot (RP/unit/tahun)
A
0
: biaya produksi di unit produksi (Rp/pesan)
D
0
: Permintaan rata-rata tahunan pada unit produksi (unit/tahun)
Q
0
: ukuran lot produksi pada unit produksi (unit)
  
34
H
0
: biaya simpan per unit per satuan waktu pada unit produksi (RP/unit/tahun)
L
0j
: lead time dari unit produksi ke pengecer j (tahun)
L
0i
: lead time dari unit produksi ke depot (tahun)
L
ij
: lead time dari depot ke pengecer j (tahun)
K : kapasitas produksi per tahun produksi (unit/tahun)
C
0j
: biaya angkut dari unit produksi ke pengecer j (Rp/unit)
C
0i
: biaya angkut dari unit produksi ke depot (Rp/unit)
C
ij
: biaya angkut dari depot i ke pengecer j (Rp/unit)
Kedua model persediaan diatas dibangun dengan memanfaatkan tiga pendekatan, yaitu:
Melakukan perencanaan terkoordinasi
Menerapkan konsep echelon stock
Menerapkan kebijakan single cycle policy
2.10
Definisi dan Karakteristik Piranti Lunak
Menurut Pressman (2002, p10), definisi piranti lunak adalah:
1.   Perintah (program komputer) yang bila dieksekusi akan memberikan fungsi dan
unjuk kerja seperti yang diinginkan.
2.   Struktur  data  yang 
memungkinkan  program  memanipulasi 
informasi  secara
proporsional.
3.   Dokumen yang menggambarkan operasi dan kegunaan program.
  
35
Piranti
lunak adalah
suatu
elemen
sistem yang
bersifat
logic,
bukan
fisik,
jadi
piranti
lunak
memiliki
karakteristik
yang berbeda dengan perangkat keras (hardware).
Adapun karakteristik dari piranti lunak menurut Pressman (2002, pp10-13) adalah:
1.   Piranti  lunak  dibangun  dan  dikembangkan,  tidak  dibuat  dalam  bentuk  yang
klasik.
2.   Piranti lunak tidak pernah usang, tidak mudah rusak dan tidak habis pakai.
3.   Piranti lunak dibuat secara custom built / khusus, serta tidak dapat dirakit dari
komponen yang sudah ada.
2.10.1  Dasar Perancangan Piranti Lunak
Menurut Mahyuzir (1991, p78), perancangan merupakan proses penerapan
bermacam –
macam teknik dan prinsip dengan tujuan
untuk
mendefinisikan peralatan,
proses 
atau 
sistem  secara 
rinci. 
Perancangan 
dilakukan 
dalam 
tahap 
awal
pengembangan.
2.10.2  Konsep Dasar Rekayasa Piranti Lunak
2.10.2.1 Pengertian Rekayasa Piranti Lunak
Pengertian rekayasa piranti lunak pertama kali diperkenalkan oleh Fritz Bauer
sebagai penetapan dan penggunaan prinsip – prinsip rekayasa dalam usaha mendapatkan
piranti
lunak
yang
ekonomis,
yaitu
piranti
lunak
yang
terpercaya
dan bekerja
efisien
pada mesin atau komputer (Pressman, 1992, p19).
  
36
Tujuan perancangan adalah menghasilkan model yang akan dibuat. Perancangan
piranti
lunak
mengalami perubahan
jika
didapatkan
metode
yang
baru, analisis
yang
baik dan penyusunan pengertian yang lebih luas.
2.10.2.2 Paradigma Rekayasa Piranti Lunak
Terdapat lima paradigma
(model proses) dalam
merekayasa suatu piranti
lunak,
yaitu Prototyping Model, Spiral Model, The Classic Life Cycle atau sering juga disebut
Waterfall Model, Fourth Generation Techniques (4GT),
dan Combine Model. Pada
penulisan skripsi ini dipergunakan Waterfall model.
Menurut Pressman (1997, p19) piranti lunak telah menjadi elemen kunci dari
evolusi computer based-system dan computer product. Selama
lebih dari empat dekade
terakhir, piranti
lunak telah
berkembang
dari
sebuah pemecahan
berorientasi
permasalahan dan alat analisis informasi menjadi sebuah industri sendiri. Namun
kebiasaan pemrograman awal dan sejarah telah dengan sendirinya menciptakan
sekumpulan masalah yang hingga kini masih ada. Piranti lunak telah menjadi faktor
pembatas dalam evolusi computer-based systems.
Berangkat dari itulah dikembangkan
metode
yang menyediakan framework untuk membangun piranti lunak dengan kualitas
lebih tinggi.
Rekayasa  piranti  lunak  (Software  Engineering)  berdasarkan  Pressman  (1997,
p23) adalah studi pendekatan untuk pengaplikasian secara sistematis, pendekatan terukur
untuk pengembangan, operasi, dan pemeliharaan dari sebuah piranti lunak.
  
37
2.10.2.3 Fase Pengembangan Piranti Lunak
Metode
pengembangan Prototyping
menawarkan
pendekatan
alternatif
yang
menghasilkan
model
piranti
lunak
yang
dapat dijalankan sehingga kebutuhan calon
pengguna
dapat
direvisi
kembali.
Sebagai konsekuensinya,
spesifikasi
kebutuhan
dianalisis kembali. Review bersama antara pengembang sistem dan calon pengguna akhir
sangat penting sehingga mereka memiliki persepsi yang sama terhadap sistem.
Pada Spiral model, langkah – langkahnya meliputi komunikasi dengan user atau
customer
untuk
mengetahui
kebutuhan
mereka,
planning
(tahap
perencanaan), risk
analysis (tahap menganalisa masalah teknis dan yang mungkin terjadi), engineering
(tahap
membuat aplikasi), construction and release (tahap untuk
mengimplementasikan
aplikasi
yang
sudah
jadi)
dan
yang
terakhir evaluasi dari pengguna (Pressman, 2002,
p47).
Fourth
Generation
Techniques
(4GT)
merupakan
suatu
deretan
dari software
tools 
yang 
mempunyai 
satu  kesamaan, 
yaitu 
semuanya 
memungkinkan 
software
engineer untuk menspesifikasikan karakteristik tertentu dari sebuah piranti lunak pada
level tinggi. Sedangkan Combine
model
merupakan
kombinasi dari model –
model
lainnya yang dianggap sesuai dengan kebutuhan pengguna (Pressman, 2002, pp44-45).
Salah satu cara perancangan piranti lunak adalah dengan menggunakan waterfall
model (model air terjun), Model ini mengusulkan sebuah pendekatan kepada
pengembangan piranti lunak yang sistematik dan sekuensial yang mulai pada tingkat dan
kemajuan
sistem pada
seluruh
analisis
kebutuhan,
desain,
implementasi,
integrasi,
pengujian, pengoperasian dan pemeliharaan. Menurut Sommerville
(1996), tahap–tahap
utama dalam Waterfall model dapat digambarkan dalam aktivitas dasar pengembangan
seperti berikut ini:
  
38
1.   Analisis Kebutuhan
Pada tahap ini, dianalisis apa yang menjadi kebutuhan dan yang menjadi tujuan
dari dibuatnya piranti lunak ini.
2.   Desain sistem dan piranti lunak
Proses desain sistem terbagi dalam kebutuhan perangkat keras dan piranti lunak.
Hal ini menentukan arsitektur piranti lunak secara keseluruhan. Desain piranti
lunak
mewakili
fungsi
sistem
piranti
lunak
dalam suatu
bentuk
yang
dapat
ditransformasikan ke dalam satu atau lebih program yang dapat dieksekusi.
3.   Implementasi dan pengujian unit
Dalam tahap
ini,
desain
piranti
lunak
direalisasikan
dalam
suatu
himpunan
program atau unit –
unit program. Pengujian
unit
mencakup kegiatan
verifikasi
terhadap setiap unit sehingga memenuhi syarat spesifikasinya.
4.   Integrasi dan pengujian sistem
Unit program secara
individual diitegrasikan dan diuji sebagai satu sistem yang
lengkap  untuk  memastikan  bahwa  kebutuhan  piranti  lunak  telah  terpenuhi.
Setelah pengujian, sistem piranti lunak disampaikan kepada pengguna.
5.   Pengoperasian dan Pemiliharaan
Secara normal, walaupun tidak selalu diperlukan, tapi merupakan tahap siklus
hidup
yang terpanjang.
Sistem telah
terpasang
dan
sedang
dalam penggunaan.
Pemeliharaan mencakup perbaikan kesalahan yang tidak ditemukan dalam tahap-
tahap
sebelumnya,
meningkatkan
implementasi
unit
unit
sistem dan
mempertinggi pelayanan sistem sebagai kebutuhan baru yang ditemukan.
  
39
Analisis
Kebutuhan
Desain sistem dan
piranti lunak
Implementasi dan
pengujian unit
Integrasi dan
pengujian sistem
Pengoperasian dan
pemeliharaan
Gambar 2.7  Waterfall Model
2.11
State Transition Diagram (STD)
State  Transition  Diagram  merupakan sebuah modeling  tool  yang digunakan
untuk
mendeskripsikan
sistem yang
memiliki
ketergantungan
terhadap
waktu.
STD
merupakan suatu kumpulan keadaan atau atribut yang mencirikan suatu keadaan pada
waktu tertentu.
Komponen – komponen utama STD adalah:
a.   State, disimbolkan dengan
State merepresentasikan reaksi
yang ditampilkan ketika suatu tindakan dilakukan.
Ada dua jenis state, yaitu: state
awal dan state akhir. State akhir dapat berupa
beberapa state, sedangkan  state  awal tidak boleh lebih dari satu.
b.   Arrow, disimbolkan dengan
Arrow sering disebut juga dengan transisi state yang diberi
label dengan ekspresi
aturan, label tersebut menunjukan kejadian yang menyebabkan transisi terjadi.
  
40
c.   Condition dan Action, disimbolkan dengan
Condition
Action
State 1
State 2
Gambar 2.8 Simbol Condition dan Action
Untuk melengkapi STD diperlukan dua hal lagi, yaitu Condition dan Action seperti
yang
dapat
dilihat
pada Gambar 2.10
diatas.
Condition
adalah
suatu
event
pada
lingkungan
eksternal
yang
dapat dideteksi
oleh
sistem,
sedangkan action
adalah
yang
dilakukan
oleh
sistem bila
terjadi
perubahan
state
atau
merupakan
reaksi
terhadap kondisi. Aksi akan menghasilkan keluaran atau tampilan.
2.12
Interaksi Manusia Komputer
Saat ini sistem atau program yang interaktif lebih populer dan digemari, karena
itu penggunaan komputer telah berkembang pesat sebagai suatu program yang interaktif
dan
membuat orang
tertarik untuk
menggunakannya. Program yang
interaktif ini perlu
dirancang 
dengan 
baik 
sehingga 
pengguna  dapat 
merasa 
senang 
dan 
juga 
ikut
berinteraksi dengan baik dalam menggunakannya.
Interaksi  Manusia  dan  Komputer  (IMK)  atau  Human-Computer Interaction
(HCI)
adalah
disiplin
ilmu
yang
berhubungan dengan perancangan, evaluasi, dan
implementasi
sistem
komputer
interaktif untuk
digunakan
oleh
manusia,
serta
studi
fenomena – fenomena besar yang berhubungan dengannya.
  
41
2.12.1  Program Interaktif
Suatu program yang interaktif dan baik harus bersifat user friendly. Shneiderman
(1998, p15) menjelaskan lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu program yang user
friendly, yaitu:
1.   Waktu belajar yang tidak lama.
2.   Kecepatan penyajian informasi yang tepat.
3.   Tingkat kesalahan pemakaian rendah.
4.   Penghafalan sesudah melampaui jangka waktu.
5.   Kepuasan pribadi.
Suatu program yang interaktif dapat dengan mudah dibuat dan dirancang dengan
suatu perangkat bantu pengembang sistem antarmuka, seperti: Macromedia Flash MX,
Visual Basic, Borland Delphi dan sebagainya. Keuntungan penggunaan perangkat bantu
untuk mengembangkan antarmuka menurut Santosa (1997, p7) yaitu:
1.   Antarmuka yang dihasilkan menjadi lebih baik.
2.   Program antarmukanya
menjadi lebih
mudah ditulis dan
lebih ekonomis
untuk dipelihara.
2.12.2  Pedoman untuk Merancang User Interface
Terdapat beberapa
pedoman
yang
dianjurkan
dalam merancang
program
guna
mendapatkan suatu program yang user friendly. User Interface atau antarmuka pemakai
adalah
bagian
sistem komputer
yang
memungkinkan
manusia
berinteraksi
dengan
komputer.
  
42
2.12.2.1 Delapan Aturan Emas (Eight Golden Rules)
Menurut Shneiderman
(1998, p74)
untuk
merancang
sistem
interaksi
manusia
dan komputer yang baik, harus memperhatikan delapan aturan utama dibawah ini, yaitu:
1.   Strive for consistency (berusaha untuk konsisten)
2.   Enable frequent user to use shortcuts (memungkinkan pengguna sering memakai
shortcut)
3.   Offer informative feed back (memberikan umpan balik yang informatif)
4.   Design dialogs to yield closure (pengorganisasian yang baik sehingga pengguna
mengetahui kapan awal dan akhir dari suatu aksi)
5.   Offer simple error handling (memberikan pencegahan kesalahan dan penanganan
kesalahan yang sederhana)
6.   Permit easy reversal of actions (memungkinkan pembalikan aksi (undo) dengan
mudah)
7.   Support
internal
locus
of
control
(memungkinkan pengguna
untuk
menguasai
dan mengontrol sistem)
8.   Reduce short term memory load (mengurangi  beban  ingatan  jangka  pendek,
dimana 
manusia 
hanya 
dapat 
mengingat
7
±
2
satuan 
informasi 
sehingga
perancangannya harus sederhana agar pengguna tidak perlu banyak menghapal)
2.12.2.2 Pedoman Merancang Penampilan Data
Beberapa pedoman yang disarankan untuk digunakan dalam merancang tampilan
data yang baik menurut Smith and Mosier yang dikutip Shneiderman (1998, p80) yaitu:
1.   Konsistensi  tampilan  data,  istilah,  singkatan, 
format,  dan  sebagainya 
harus
standar.
  
43
2.   Beban
ingatan
yang
sesedikit
mungkin
bagi
pengguna.
Pengguna
tidak
perlu
mengingat informasi dari layar satu ke layar yang lain.
3.   Kompatibilitas tampilan data dengan pemasukan data. Format tampilan informasi
perlu berhubungan erat dengan tampilan pemasukan data.
4.   Fleksibilitas kendali pengguna terhadap data. Pemakai harus dapat
memperoleh
informasi dari tampilan dalam bentuk yang paling memudahkan.
2.12.2.3 Teori Waktu Respon
Waktu respon dalam sistem komputer menurut Shneiderman (1998, p352) adalah
jumlah detik dari saat pemakai memulai aktivitas (misalnya dengan penekanan tombol
enter atau tombol mouse) sampai ditampilkannya hasil pada display atau printer.
Beberapa
pedoman
yang
disarankan
mengenai
kecepatan
waktu respons
pada
suatu program menurut Shneiderman (1998, p367) yaitu:
1.   Pemakai lebih menyukai waktu respons yang lebih pendek.
2.   Waktu respons yang panjang (lebih dari 15 detik) menggangu.
3.   Waktu respons yang lebih pendek menyebabkan waktu pengguna berpikir lebih
pendek.
4.   Langkah
yang
lebih cepat dapat
meningkatkan produktivitas, tetapi juga dapat
meningkatkan tingkat kesalahan.
5.   Waktu respons harus sesuai dengan tugasnya.
a.   Untuk mengetik, menggerakan kursor, memilih dengan mouse: 50 – 150
milidetik.
b.   Tugas sederhana yang sering: <1 detik
c.   Tugas biasa: 2-4 detik.
  
44
d.   Tugas kompleks: 8-12 detik.
6.   Pemakai harus diberitahu mengenai penundaan yang panjang.