34
Umat
Buddha
supaya
dapat
memaknai
Hari
Raya
Waisak
2550,
yang
jatuh
13
Mei
2006,
dengan
melaksanakan ibadah di
Vihara
maupun
secara
nasional di
komplek
Candi
Borobudur,
kemudian
di
tengah
keluarga,
kata
Ketua
Pengurus
Cabang
Majelis
Agama Buddha Treravada Indonesia Kota Semarang, D. Henry Basuki.
Dalam pembinaannya dihadapan
umat Buddha di
Vihara
Tanah Putih Semarang,
Minggu,
ia
mengatakan, umat
Buddha
hendaknya
dapat
menunjukkan jatidirinya
di
Vihara, di
masyarakat maupun di rumah, dan perilaku berhari raya menyesuaikan
dengan kebiasaan di tempat tinggal.
Memaknai Hari
Raya
Waisak
2550,
umat
Buddha
hendaknya dapat
menempatkan
dirinya
sebagai
seseorang
berhari
raya,
katanya.
Ia menjelaskan,
eksistensi agama
Buddha
pernah
lenyap
sejak
akhir
abad
ke-15,
muncul
kembali
awal
abad ke- 20 dengan datangnya Bhikkhu Narada yang secara tekun
mengajarkan kembali
ritual
agama
yang
"hilang"
sekitar
500
tahun.
Bertitik
tolak
Perayaan
Waisak
1953
di
Borobudur
menandai eksisnya
kembali
agama
Buddha
di
Bumi
Indonesia.
Pengakuan Hari
Raya
Waisak,
kata
dia,
merupakan
salah
satu
tolok
ukur
eksistensi
agama Buddha
yang diperjuangkan oleh pemuka agama Buddha sebagai
hari raya resmi.
"Kalau pada saat
ini kita rayakan Waisak dalam
libur
nasional,
umat
Buddha hendaknya
dapat
memperoleh manfaat
akan
hari
raya
tersebut
dengan
menempatkan jatidirinya
sebagai umat Buddha Indonesia," katanya.
Mengenai
upacara
Waisak
Nasional
2550
di
Candi
Borobudur,
menurut
dia,
umat
Buddha
hendaknya dapat
menentukan pilihannya,
hadir
di
Borobudur
atau
berada
di
basis
Vihara. Nilai
peribadatannya sama. Bagi
mereka
yang
tepat
Hari
Waisak tidak
dapat
memperoleh
manfaat
libur
karena pekerjaannya, peribadatan Waisak
tetap
wajib
|