![]() 4
BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1 Data Pendukung
2.1.1 Seniman Tari Bali
(
BaliPost, Umanis Paing, Senin 27 Oktober 2000 )
Oleg dapat berarti gerakan yang lemah gemulai, sedangkan tambulilingan berarti
kumbang pengisap madu bunga. Tari Oleg Tambulilingan melukiskan gerak-gerik
seekor
kumbang,
yang
sedang
bermain-main dan
bermesra-mesraan dengan
sekuntum
bunga di sebuah taman. Tarian ini sangat indah.
Tari Oleg Tambulilingan, yang semula dinamakan Tambulilingan Mangisep Sari,
merupakan ciptaan I Ketut Mario dari
Tabanan pada tahun 1952 atas
permintaan John
Coast (dari Amerika).
a. I Ketut Mario ( tahun 1897-1968 )
I
Ketut Mario diperkirakan
lahir di
Desa
Belaluan, Denpasar, dan besar hingga
dewasa di
Banjar Lebah,
Tabanan. Seorang bangsawan bernama Anak
Agung Ngurah
Made
Kaleran
yang sangat
suka
seni
dan
memberi
perhatian serta
dukungan kepada
seniman-seniman dianggap sebagai bapak angkat oleh Mario.
Mario pertama kali
menjadi penari untuk kelompok Gong Pangkung di Tabanan.
Tahun
1958 dia dan kelompok
gong itu
melawat
ke Paris,
Belanda, Amerika
dan
Kanada, dan di tahun 1962 mereka berkeliling Amerika.
|
5
Mario
tidak
hanya
seorang penari,
ia
juga
seorang pencipta tari.
Kreasinya,
Kebyar
Duduk,
atau
jika
ditarikan
dengan trompong
menjadi
Kebyar
Trompong,
membawa revolusi dalam tarian Bali. Kreasi
ini sangat kontras dengan tarian-tarian lain
pada
saat
itu, dimana
sebagian
besar
dari
tarian
ini
ditarikan dalam
posisi
setengah
duduk. Kelahiran Kebyar Duduk di
tahun 1925
mendapat pengaruh besar dari gamelan
gong kebyar yang dimainkan oleh kelompok gong dari Desa Bantiran yang dengan tidak
sengaja didengar oleh Mario. Kreasi Mario lainnya adalah Oleg Tamulilingan yangn dia
buat di tahun 1952. Tarian ini juga memberi sumbangan untuk perkembangan tari Bali.
b. Ni Ketut Reneng ( tahun 1816-1993 )
(Never Ending Art Creativity, Denpasar, Bali: Cultural Affairs Office Bali Province,
2000.)
"Aku merasa
Tuhan
duduk
di dalam
pikiran
di keningku.
Kemudian
aku tidak
merasakan apapun. Aku hanya bergerak. Badanku menjadi ringan seperti bulu burung.
Aku merasa demikian cantik dan penonton terpesona."
Lahir
di
Kedaton,
Denpasar,
Ni
Reneng
mengabdikan
dirinya di
Geria
Punia,
kediaman
seorang
pendeta.
Di sana
dia
mempelajari
beberapa keahlian
seperti
bagaimana
menjadi
seorang pembantu
yang baik,
bagaimana
membuat sesaji,
menari,
dan main gamelan. Keahlian ini kemudian berguna ketika dia menari di pura.
Didikan
yang
ketat
dari
guru-gurunya membuat
Ni
Reneng
menjadi
seorang
seniman
sejati.
Dia
ternama
karena
kecantikannya, keahliannya
menari,
dan
juga
integritasnya.
Tak
henti-hentinya dia
memikirkan kelangsungan
hidup
dari
tari-tarian
|
6
klasik
yang
dikuasainya.
Kebanyakan
dari
murid-muridnya adalah
orang
asing
dan
mereka benar-benar rajin. Ni Reneng khawatir suatu saat nanti di masa yang akan datang
orang
Bali
justru
akan
belajar tarian
Bali
klasik
di
luar
negeri.
Belakangan
banyak
muncul
penari-penari
baru,
tetapi
hanya
sedikit
dari
mereka
yang
menghidupkan seni
sebagai
pengabdian untuk
masyarakat. Pariwisata
menjadi
tujuan
utama,
bukannya
menari
di
pura.Sejumlah
tarian
Bali
memang
hanya
khusus
dibawakan
oleh
wanita
seperti halnya tari Oleg Tambulilingan, tari tenun dan tari
nelayan. Tari kelincahan olah
tubuh yang serasi dengan
instrumen gamelan
hasil racikan I Ketut Maria, seniman asal
Tabanan
tahun
1951,
di
dalamnya
menyangkut
perubahan
sosial
yang
menghadirkan
gaya seni
yang khas, kata Ni Made Wiratini, SST. MA, dosen jurusan tari Institut Seni
Indonesia (ISI) Denpasar Jumat.
Ketika tampil sebagai pembicara dengan kertas kerja "Penampilan wanita dalam
seni pertunjukan Bali" pada seminar yang digelar Fakultas Sastra Universitas Udayana,
ia
mengatakan, kesenian
yang
hanya
cocok
ditarikan
oleh
kaum
wanita
itu
hingga
sekarang
hidup
dalam
keabadian.Masuknya wanita
ke
dalam
seni
pertunjukan
Bali
banyak
dimotivasi
oleh
wanita-wanita
yang
hidup
di
kalangan
masyarakat
perkotaan,
termasuk yang bergerak di lingkungan dunia akademis dan pendidikan seni formal.
Di Bali memang ada jenis tari-tarian yang dibawakan oleh para gadis atau wanita
dewasa
untuk
kelengkapan pelaksanaan kegiatan ritual atau upacara keagamaan.Tarian
tersebut sifatnya feminim, karena menuntut gerakan-gerakan yang lemah gemulai seperti
tarian Sanghyang Dedari,
tari Pendet,
tari
Rejang, Sutri
dan
tari
Gabor. Wiratini
yang
juga
mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas
Udayana
itu menambahkan, tarian-
tarian Bali yang dipentaskan untuk keperluan upacara keagamaan disebut tarian wali dan
|
![]() 7
pementasan
di
luar
pura
"Balih-balihan".Tari sakral
dan
profan
dibentuk
oleh
faktor
kultural
yang
dipengaruhi
oleh persepsi,
penilaian,
pengalaman
dan
adat-istiadat
yang
berkaitan dengan seni sakral serta profan.
"Semua
jenis
tarian
itu
diciptakan
untuk
kepentingan
masyarakat Bali
dalam
mendapatkan kesejahteraan
lahir
dan
batin,"
ujar
Ni
Made
Wiratini.Ia
menjelaskan,
wanita Bali dalam beberapa tahun belakangan ini juga menggeluti seni pedalangan, satu
jenis pertunjukkan yang sebelumnya hanya digeluti kaum pria.
Keberhasilan wanita
dalam
seni
pertunjukan
teater
kontemporer
juga
mulai
diperhitungkan,
mengingat wanita Bali
tidak
hanya
sekedar
tampil
dalam bidang tari,
namun
juga dalam bidang seni
lainnya, termasuk seni teater.Wanita
yang tampil dalam
berbagai
jenis
tarian
dan
dramatari
klasik/tradisional Bali
membawa
dampak
artistik
terhadap kesenian, ujar Ni Made Wiratini.
2.1.2 Tari Oleg Tamulilingan
a. Asal Usul Tari Oleg Tamulilingan
(Minggu Umanis, 14 Mei 2006,Balipost)
|
8
Salah
satu tari yang
menjadi
ikon dan kemudian
menjadi
genre
tari Bali
pada
kurun
masa berikutnya adalah Oleg Tamulilingan. Karya tari
yang amat kesohor hingga
ke
mancanegara
ini
diciptakan I Ketut
Marya
yang kemudian
lebih akrab
dipanggil
I
Mario. Berikut ini perjalan singkat awal mulanya terciptanya Tari Oleg Tambulilingan
Adalah budayawan bernama
John
Coast
(1916-1989),
kelahiran
Kent,
Inggris,
sangat terkesan dengan kebudayaan Bali. Sebelum berkiprah di Bali, ketika perang dunia
kedua
meletus, Coast masuk wajib
militer dan sebagai perwira, sampai sempat bertugas
di
Singapura. Ketika Singapura keburu dikuasai
Jepang, Coast yang
berstatus tawanan
lalu
dikirim
ke
Thailand. Namun
begitu,
Coast
memang
berbakat
seni.
Ia
ternyata
melahirkan tulisan "Railroad of Death" pada 1946
yang kemudian mencapai best seller
dalam waktu singkat. Hal
itu mendorong semangatnya lagi untuk menulis buku "Return
to the River Kwai" pada 1969. Di sela itu, Coast sempat berkolaborasi dengan seniman
musik dan tari dari berbagai
latar budaya,
hingga
menggelar pertunjukan konser pasca-
perang. Setelah merasa aman, pada 1950 Coast meninggalkan Bangkok menuju Jakarta
karena
terdorong
untuk
mengabdi kepada perjuangan Indonesia. Dalam waktu
singkat,
ia
mendapat
kepercayaan dari
Bung
Karno
untuk
memegang
jabatan
sebagai
atase
penerangan Indonesia. Selama di Indonesia, Coast menikah dengan Supianti, putri
Bupati Pasuruan. Ketika menetap di Bali, ia tinggal di kawasan Kaliungu, Denpasar.
Cinta
Coast
pada
seni
budaya
Bali
mulai
tumbuh
saat
tersentuh tradisi
dan
kehidupan
masyarakat. Kesenian
ternyata
amat
memikat
hati
dan
obsesinya
untuk
mengorganisir sebuah
misi
kesenian
ke
Eropa.
Selama
petualangannya
mengamati
beberapa sekeha
gong di
Bali, Coast tertarik dengan penampilan sekaha
gong Peliatan.
Pada 1952, Coast
menilai bahwa
Gong Peliatan dengan permainan kendang AA Gde
|
9
Mandera
yang
ekspresif
cukup
layak
ditampilkan
di
panggung
internasional. Dalam
rencana lawatan ke Eropa itu, Coast ingin juga
membawa sebuah tarian yang
indah dan
romantik, di samping beberapa tarian yang sudah sering dilihatnya. Atas saran Mandera,
Coast lalu menghubungi penari terkenal sekaligus guru tari I Ketut Marya yang
kemudian akrab dipanggil I Mario. Mario yang kala itu sudah
menciptakan tari Kebyar
Duduk
yang
kemudian
menjadi
tari
Terompong, bersedia
bergabung
dengan
Gong
Peliatan. Coast
"merangsang" Mario
untuk berkreasi
lagi dengan
memperlihatkan buku
tari
klasik
ballet
yang
di
dalamnya
terdapat
foto-foto
duet
"Sleeping Beauty"
yaitu
tentang
kisah
percintaan
putri
Aurora
dengan
kekasihnya Pangeran
Charming.
Maka
terinspirasilah Mario menciptakan tari Oleg. Inilah yang diinginkan Coast.
Untuk
membawakan tari
Oleg --
tarian
baru itu,
I
Mario
memilih I Gusti
Ayu
Raka
Rasmi
yang
memiliki
basic
tari
yang
bagus. Dalam
menata
iringannya, Mario
mengajak I Wayan Sukra, ahli
tabuh asal Marga,
Tabanan. Di
samping
itu, dilibatkan
pula
tiga
pakar
tabuh Gong
Peliatan dalam
menggarap gending
Oleg
itu
yakni
Gusti
Kompyang, AA Gde Mandera, dan I Wayan Lebah.
Tari
Oleg
itu
semula
bernama
Legong
Prembon. Nampaknya
Coast
kurang
berkenan dengan
nama
Legong Prembon karena kata itu
sulit
diterjemahkan ke
dalam
bahasa Inggris. I Mario lantas
menggantinya menjadi tari Oleg Tamulilingan Mengisap
Sari
dan
atas
kesepakatan
bersama
akhirnya
disebut
Oleg
Tamulilingan atau
"The
Bumble Bee Dance". Tarian ini
menggambarkan dua ekor kumbang, jantan dan betina,
sedang
bersenang-senang di
taman
bunga
sambil
mengisap
madu.
Sebagai
kumbang
jantan
pasangan Raka
Rasmi,
dipilihlah I
Sampih
yang
jauh
lebih
tua,
berasal
dari
Bongkasa, Badung.
|
10
Kata
oleg
dalam
kamus
bahasa
Bali
berarti
"goyang". Dalam
tarian
yang
melambangkan kumbang betina itu, memang terdapat gerakan bergoyang lemah gemulai
seolah-olah pohon
tertiup
angin.
Gerakan
lemah
gemulai
tari
Oleg
ini
nampak
pada
bagian pengadeng -- saat penari memegang oncer yang bergantian dengan kedua tangan
ditekuk
silang di depan
dada,
sambil
bergoyang ke
kanan dan ke
kiri.
Maka dinilai,
pemeran
yang cocok
membawakannya adalah
yang berperawakan
langsing semampai
sebagai pemberi kesan ngoleg.
Begitulah,Tarian
ini
lantas awalnya
lebih
dikenal
di
mancanegara daripada di
Bali, karena begitu tercipta
lalu dipakai ajang promosi
Bali di luar. Sebelum berangkat
ke
Eropa,
misi
kesenian
pemerintah
RI
itu
terlebih
dahulu
pentas
di
Istana
Merdeka
untuk
pamitan
kepada
Presiden
Soekarno karena
akan
melawat
sekitar
10
bulan
mengunjungi Prancis, Jerman, Belgia, Italia, Inggris dan beberapa kota besar di Amerika
Serikat.
Mario
tidak
turut
dalam
rombongan
itu.
Namun
beberapa tahun
kemudian,
bersama
Gong
Pangkung
Tabanan,
ia
"menghipnotis"
masyarakat
Eropa,
Kanada dan
Amerika Serikat dengan berbagai improvisasi gerak tari indah dalam tari Kebyar Duduk
dan tari Terompong pada acara "Coast to Coast Tour" pada 1957 dan 1962.
b. Pendobrak kebekuan Tari Bali
Lalu,
siapa
I
Ketut Marya atau I Mario? Ia
lahir pada 1897, anak bungsu
lima
bersaudara
dari
keluarga
petani
miskin
asal
Banjarangkan, Klungkung.
Ayahnya
meninggal ketika
Mario
berumur enam
tahun. Musim
kemarau
berkepanjangan yang
menyebabkan
penderitaan
para petani,
memaksa
keluarga
Mario
mengungsi
ke
arah
|
11
Barat hingga sampai di Desa Tunjuk, Tabanan. Ni
Mentok,
ibu Mario, bersama anak-
anaknya kemudian "dipungut" oleh saudagar Cina, Tan Khang Sam.
Sifat Mario yang
humoris dan pemberani ternyata
menarik simpati
majikannya.
Suatu
hari,
Mario
diajak
ke Puri Kaleran,
Tabanan, untuk
urusan
dagang. Penampilan
Mario
yang sopan
menarik simpati raja sehingga Mario sekeluarga dijadikan abdi Puri.
Dalam suasana Puri yang sering mementaskan tetabuhan dan tari-tarian, membuat Mario
selalu
duduk
dekat
gamelan
dan
kadang-kadang
menari
sendirian.
Raja
pun
melihat
bakat Mario
sehingga
ia dicarikan
guru
tari
ke
Mengwi. Maka,
pada
umur
sembilan
tahun, Mario telah menguasai beberapa tarian.
Penampilan
Mario
mulai
diperhitungkan oleh
penari
senior.
Guru
tarinya
meramalkan
bahwa
kelak
Mario
akan
menjadi penari
besar
karena
gerakan
tubuhnya
lentur, ekspresi wajah penuh kejiwaan seirama dengan iringan
gamelan. Sekeha Gong
Pangkung yang sering tampil di Puri Kaleran memiliki peran sangat penting bagi sosok
Mario. Tahun 1922, Mario telah mempelajari tabuh kakebyaran yang "lahir" di Buleleng
pada 1915. Mario pun dilatih oleh Wayan Sembah dan Wayan Gejir.
Salah satu tari ciptaan Mario adalah Kebyar Duduk. Ceritanya, suatu hari pada
1929, Mario
menonton
latihan gong kebyar di sebuah desa dekat Busungbiu, Buleleng.
Salah seorang pemain kendang sempat melihat Mario menari Gandrung dan memintanya
menari diiringi
gending
kebyar
yang sedang
dimainkan. Mario
secara
spontan
menari
sesuai irama gamelan. Sebagai penari Gandrung, Mario
ingin mencari pasangan menari,
namun tak berhasil karena berada di tengah kalangan yang dikitari gamelan dan
penabuh.
Dasar
seniman kreatif,
akhirnya
Mario
menjawat pemain
kendang. Sambil
|
12
bermain, pemain kendang pun
ternyata
merespons tarian Mario. Maka, secara
spontan
lahirlah tarian Kebyar Duduk.
Pada
kesempatan
lain,
Mario
yang
suka
bercanda
merampas panggul
pemain
terompong dan
secara
improvisasi
memainkan
panggul
itu
mengikuti
gending
yang
sedang
dimainkan.
Dari
situ,
maka
terciptalah
tari
Kebyar
Terompong. Tari
ini
selanjutnya
disempurnakan saat
Mario
menjadi
penari
tetap
Gong
Belaluan
untuk
menghibur wisatawan di
Bali Hotel, Denpasar. Sejak
itu, nama Mario
menjulang tinggi
karena
ia
berani
mendobrak
kebekuan
keberadaan
seni
tari
Bali
dengan
penampilan
baru. Boleh jadi,
fenomena itu sebagai ikon yang paling
fantastis bagi pembaruan gong
kebyar di Bali Selatan.
I
Mario memang telah pergi untuk selama-lamanya pada 1978. Namun namanya
telah melegenda.
Ia telah mendapat dua anugerah seni secara bersamaan pada 17
Agustus 1961, berupa Dharma Kusuma dan Wijaya Kusuma. Pemda Tabanan pada 1980
telah
memberikan penghargaan Dharma
Kusuma
Madya.
Untuk
mengenang
Mario
dengan karya seninya, namanya telah terpateri sebagai Gedung Mario, sebuah bangunan
serbaguna
di
jantung
Kota
Tabanan. Pun
tari
Oleg
Tamulilingan
sebagai
simbol
percintaan, dijadikan patung monumen penghias halaman gedung itu.
*
aaa kusuma arini, dosen ISI Denpasar
c. Tari Wajib di Bali
Kepekaan perasaan,
imajinasi
dan
ketajaman
pikiran
I
Ketut
Maria
dalam
berkesenian telah menghasilkan karya
yang
membuat namanya abadi dalam dunia seni
tari. Kalau
saja kini banyak seniman muda menghasilkan karya
seni (tari)
tentu tidak
|
13
lepas
dari
semangat
Maria.
Jika
kini
banyak
seniman
Bali
menjelajahi dunia
boleh
dikatakan tidak
lepas dari peran Maria yang terlebih dulu
memperkenalkan tari Bali di
dunia
internasional. Tahun
1958
dia
melanglang
buana
berkat
karya
seninya.
Paris,
Amsterdam, London,
beberapa
kota
di
AS
dan
Kanada
telah
menjadi
saksi
kepiawaiannya. Tahun 1962 kembali keliling Amerika bersama Sekeha Gong Pangkung.
Di
luar
negeri
Mario diberi
julukan The
Great
Mario
seperti
yang
dikutip
Soedarsono
(1953) dalam (naskah) bukunya, namun buku itu tidak dipublikasikan.
Berkat
prestasi
dan
kemashuran, PT
Pos
Indonesia (tahun
2000)
mengabadikan Maria
dan
seniman
lain
seperti
Chairil
Anwar, Ibu Sud,
Bing
Slamet, S.
Sudjojono dalam
bentuk prangko. Kemudian PT Pos Indonesia
memberikan uang sebesar dua juta rupiah
(setelah
amplop
dibuka)
kepada
sang
ahli waris.Karya
Maria
sekarang
hampir
tiada
tandingannya, khususnya Tari
Oleg
Tambulilingan. Kalau ada pementasan tari Bali
di
hotel-hotel,
Tari
Oleg
Tambulilingan sering
menjadi
salah
satu
sajian.
Tarian
ini
mengesankan suatu keindahan
yang
romantis, gerak-gerik
meliuk-liuk,
lemah
gemulai
seorang putri cantik. Sedangkan Tambulilingan penari laki dengan penampilan gerak tari
putra
bebancihan
menari
dengan
gagahnya
sesuai
dengan
gerak-gerak Tambulilingan
(kumbang)
di
taman
bunga.
Tari
ini
menggambarkan
sepasang kumbang
(jantan
dan
betina) sedang
mengisap
sari
bunga di
taman,
berterbangan ke
sana
ke
mari
sambil
berkejar-kejaran. Kumbang jantan dan betina memadu kasih dengan suasana romantis di
taman
bunga.
Penonton
yang
menyaksikan
akan
diajak
berimajinasi
dalam suasana
romantis, bahwa antara laki dan perempuan saling membutuhkan. Hampir di tiap
Sanggar
Tari
Bali, peserta
wajib
berlatih
tari
berpasangan
ini.
Kurikulum
Seni
untuk
SLTP
(Departemen Pendidikan
Nasional
dan
Kebudayaan,
1994)
menjadikan
Oleg
Tambulilingan sebagai tarian wajib berpasangan. Dalam
Kurikulum
Berbasis
|
14
Kompetensi (KBK),
siswa diwajibkan
menguasai
tari berpasangan berduet. Pilihan
untuk tarian berduet ini sering jatuh pada Oleg Tambulilingan.Keberhasilan tari
ini akan
ditentukan
kekompakan kedua
penari.
Nyoman
Carita
(44
tahun)
seniman
tari
dari
Singapadu, sekaligus dosen ISI Denpasar menyatakan tarian berpasangan ciptaan I Ketut
Maria
itu
menjadi pilihan peserta
maupun pelatih di Sanggar
Tari,
baik
yang
ada
di
Singapadu maupun di tempat lain. Tiap penari Bali khususnya wanita, tanpa
menguasai
Tari Oleg Tambulilingan tampaknya belum lengkap sebagai seorang penari.
Namun
sangat
disayangkan, di
era
globalisasi sekarang
ini nilai
nilai
kesakralan
yang
terkandung
dalam
tarian
ini
mulai disalahgunakan.
Untuk
mengikuti
anime masyarakat maupun mengikuti perkembangan zaman, maka ada beberapa gerakan
maupun
instrumen
musik
yang di
modifikasi serta
mengalami perubahan
yang drastis.
Hal
ini
merupakan masalah
yang
cukup
serius, sehingga diingatkan kan
kembali pada
seniman-seniman yang bersangkutan untuk tetap memandang nilai-nilai kesakralan
suatu tarian.
2.1.3 Keadaan Seni Pertunjukan Tari Bali
a. Bali dalam dua dunia
(Oleh I Gusti Raka Panji Tisna, MSPI, Friday/ 09 September 2005)
Bali
kini
adalah
Bali yang
hidup
dalam
dua
dunia.
Dua
dunia
yang
sangat
berbeda,
saling
tarik-menarik,
memperebutkan ruang-ruang
nyata
alam
Bali
maupun
ruang-ruang kejiwaan
manusia
Bali . Dunia
yang
satu
adalah
dunia
tradisional agraris
yang telah berakar paling
tidak sejak 4000 tahun
lalu, berjiwa Hindu, dengan beraneka
ragam ekspresi budayanya; dan dunia
yang lain adalah dunia
modern peradaban Barat
|
15
yang
datang
ke
Bali
sebagai
konsekuensi
dari
eksplorasi
dan
eksploitasi
(penjajahan)
Dunia
Barat
(Belanda) di
pengawal
abad
ke
17
yang
memperkenalkan Bali
kepada
perdagangan dunia, kapitalisme berikut konsumerismenya yang kian mengglobal.
Ekspresi yang paling nyata dari dunia tradisional agraris Bali adalah ratusan jenis
ritual
adat-agama yang
masih dilakoni orang
Bali
,
hampir
di setiap waktu, dan kerap
melibatkan seni
pertunjukan
baik
sakral
maupun
sekuler
(profan,
hiburan).
Sedang
kehadiran dunia
modern dapat dilihat dari
berubahnya desa-desa agraris
menjadi kota-
kota dan kawasan-kawasan wisata seperti
Denpasar, Sanur, Kuta, Nusa Dua, Ubud dan
terus merambah ke daerah-daerah lain; serta penduduk Bali
yang kian gandrung dengan
produk-produk modern
seperti
mobil,
sepeda
motor,
barang-barang
elektronik
dan
lainnya. Dunia tradisional agraris berusaha bertahan agar tidak tergerus sementara dunia
modern
berusaha
merebut
karena
memang
itulah
sifat
kapitalisme
dan
konsumerisme.
Orang
Bali
hidup,
bergulat di
antara
dua
dunia
ini
dan
berusaha
mengkompromikan
kedua dunia yang saling bertentangan ini.
Dunia
modern
(Barat)
masuk
ke
Bali
sejak awal
abad
ke
17
dengan
berkunjungnya penjelajah-penjelajah Eropa (baca Belanda) ke daerah Nusantara dengan
motif
komersial,
mencari
dan
memperdagangkan rempah-rempah.
Para
pelaut
dan
saudagar itu juga menginjakkan kaki di Bali , kemudian melakukan perdagangan dengan
raja-raja
di
Bali
.
Perburuan rempah-rempah yang
berlanjut
menjadi
penjajahan
Nusantara oleh
Belanda.
Di
pengawal
tahun
1990-an
Bali
dengan
keunikan
kebudayaannya mulai
dikemas
oleh
Belanda
untuk
dijual
sebagai
produk
wisata.
Pariwisata budaya yang awalnya hanya dilakoni segelintir elite Barat (Eropa, Amerika)
untuk
tujuan
melihat
dan
menikmati pulau tropis
nan
indah
dengan budayanya
yang
|
16
kaya dan unik (eksotis) kini
menjadi pariwisata yang mendatangkan orang dari berbagai
belahan bumi dalam jumlah melebihi satu juta setiap tahunnya. Mereka dipercaya datang
ke Bali untuk tujuan yang sama, menikamati kebudayaan Bali , walau tidak sedikit juga
yang datang
sekedar untuk
melepas kejenuhan rutinitas kehidupan
mereka yang
intens
dan
untuk
kepentingan
usaha
meraup
keuntungan
dan
malah
menetap
di
Bali . Hasil
beberapa penelitian dan survey memang menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan
yang datang ke Bali termotivasi oleh keunikan budaya Bali (Lihat Ardika 2004: 23).
b. Dinamika Seni Pertunjukan Tari Bali
(Oleh I Gusti Raka Panji Tisna, MSPI, Friday/ 09 September 2005)
Seni Pertunjukan
Tradisional
adalah
elemen
budaya
yang paling
konkret
yang
bisa segera ditawarkan
kepada wisatawank
karena
sifat
universal
seni
tari
dan
musik
sebagai pengiringnya
lebih
mudah untuk dinikmati (diapresiasi) wisatawan tanpa perlu
keterlibatan
yang
mendalam; dan
mudah dipaket/dikemas untuk
didatangkan ke
hotel-
hotel, termasuk dipertontonkan ke luar negeri dalam wujud misi kesenian untuk promosi
pariwisata. Reputasi seni pertunjukan tradisional Bali sudah diakui secara luas baik oleh
para spesialis
maupun
wisatawan kebanyakan. Seni pertunjukan adalah salah
satu aset
terpenting bagi citra pariwisata budaya.
Secara umum seni pertunjukan Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga: wali (seni
pertunjukan sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; bebali pertunjukan yang
diperuntukkan
untuk
upacara
tetapi
juga
untuk
pengunjung;
dan balih-balihan yang
sifatnya
untuk
hiburan
belaka
di
tempat-tempat
umum.
Pengkatagorian
ini
ditegaskan
pada tahun 1971 oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA)
|
17
Bali sebagai respon dari semakin
merambahnya pertunjukan untuk pariwisata ke
seni-
seni yang sifatnya sakral. Pertemuan ini
merekomendasikan agar kesenian yang sifatnya
wali
dan
bebali tidak dikomersialkan. Bandem dan deBoer
dalam
bukunya Kaja and
Kelod:
Balinese
Dance
in
Transition secara
rinci
mengklasifikasi
berbagai
seni
pertunjukan
yang
ada
di
Bali
hingga
awal
tahun 1980-an.
Tergolong ke
dalam
wali
misalnya:
Berutuk, Sang Hyang Dedari,
Rejang dan
Baris Gede; bebali seperti:
Gambuh,
Topeng
Pajegan,
Wayang
Wong;
dan
balih-balihan diantaranya:
Legong,
Parwa, Arja, Prembon, dan Joged.
Penulisan secara seksama tentang Seni Pertunjukan Drama dan Tari Bali pertama
diipublikasikan pada tahun 1938. Ironisnya, dan tentu tidak terlalu mengejutkan, bahwa
buku
ini
ditulis
oleh
orang
asing bernama
Walter
Spies
dan
Beryl
de
Zoete.
Walter
Spies, peranakan Rusia-Jerman, adalah nama orang asing yang sangat dikenal di Bali. Ia
datang dan menetap di Bali mulai 1927 hingga jaman pendudukan Jepang di awal tahun
1940-an; seorang pemusik, pelukis, yang mempunyai minat yang sangat mendalam pada
seni pertunjukan di Bali. Peranannya dalam awal-awal perkembangan pariwisata budaya
Bali sudah tidak diragukan karena dia sangat dipercaya oleh orang asing yang datang ke
Bali pada waktu
itu untuk
memberi pengalaman budaya, khususnya seni pertunjukan di
Bali.
Pertunjukan seni
tradisional
menjadi
menu rutin
bagi
pengunjung
di
Jaman
itu.
Pementasan
dilakukan
dilakukan
di berbagai
jaba
pura
(bagian
luar pura) di berbagai
desa di daerah sekitar ubud dan juga pementasan ke Bali Hotel milik maskapai pelayaran
Belanda, KPM.
Bisa
dibayangkan
bahwa
pertunjukan
drama
dan
tari
sering
tidak
sepenuhnya
bisa difahami
oleh para wisatawan
terutama
karena faktor
bahasa;
disamping
pada
|
18
umumnya jadwal tour wisatawan yang padat. Karena
itu
intervensi dilakukan oleh agen
perjalanan
wisata agar
pertunjukan bisa dipersingkat ke
format
yang
lebih
bisa
dimengerti
dan
dinikmati
oleh
wisatawan.
Genre-genre
campuran
mulai
bermunculan
yang
mengkombinasikan genre satu dengan yang
lain, misalnya Cak sebagai perpaduan
cerita Ramayana dengan vokal dari Sang Hyang Dedari
yang dilakukan oleh Spies dan
seorang
penari
bernama
Limbak; atau
tari
Barong
dan
Kris
dengan
cuplikan dari
Mahabarata. Pertunjukan
yang
biasanya
berdurasi
satu
jam.
Disamping
itu
juga
bermunculan tari-tari
lepas
(tari
yang
berdiri
sendiri,
tidak
merupakan
bagian
dari
drama);
dan
paket
pementasan
yang
menggabungkan berbagai
tari
lepas
dari
genre
topeng, baris,
legong dan
lainnya. Seni pertunjukan Bali yang
sifatnya sakral biasanya
memiliki
nilai
eksotisme
dan magis
sehingga
dicari-cari
oleh
wisatawan.
Ada
ketergiuran para penyedia jasa pariwisata pun kemudian menawarkan paket-paket tiruan
seni sakral
tersebut. Pertunjukan barong-rangda dengan unying (tari keris) adalah salah
satu contoh klasik profanisasi yang terjadi
Kiranya
idealisme untuk tidak mengkomersialkan tari wali dan bebali tidak bisa
dijalankan sepenuhnya. Sekarang pertunjukan-pertunjukan untuk pariwisata sudah mulai
mempertontonkan imitasi tari Sang Hyang Dedari; Sang Hyang Jaran, Calonarang, dan
sebagainya.
Dan
yang
terakhir
berkembang adalah
istilah
pertunjukan kemasan
baru
sebagai
gabungan
aspek
prosesi
ritual
dengan
pagelaran
berbagai jenis
pertunjukan
secara
simultan seperti wayang, tari cak
api,
joged bungbung, dan pertunjukan selama
makan malam berupa legong, beberapa tari lepas dan drama tari barong.
|
19
2.1.4 Kebudayaan Bali
a. Dampak Pariwisata Budaya Bali
Disamping
permasalahan komodifikasi
dan
penggerusan,
masalah
yang
sering
menjadi
pembicaraan
adalah
kurangnya
penghormatan atau
apresiasi para
pengusaha
pariwisata
terhadap
para
seniman
tradisional.
Disamping pembayaran
yang
diberi
tergolong
masih
rendah
seni pertunjukan
sering
diposisikan
sebagai
suatu pelengkap
acara, biasanya makan
malam di
hotel/restoran. Seniman diberi fasilitas sekedarnya dan
sering
tidak
diperkenalkan dengan
semestinya.
Bagaimana
apresiasi
mendalam
bisa
terjadi
ketika
perhatian
penonton
harus
terbagi antara
menyantap
makanan
dan
menonton
pertunjukan? Sudah
menjadi
rahasia
umum
bahwa
di
tempat-tempat
pertunjukan pariwisata guide atau supir yang mengantar wisatawan mendapat komisi 25-
50%
dari
harga tiket
masuk. Demikian pula
para
makelar kesenian
(perantara
antara
seniman dan pemesan)
mengambil
persentase yang
tinggi dari
harga
yang
ditawarkan
sehingga upah yang diterima oleh seniman sangat
minim. Hal
ini mungkin disebabkan
oleh
banyaknya
jumlah
seniman
/kelompok keseniann di
Bali
(supply
yang
tinggi),
ditambah
dengan
rendahnya
pengetahuan dan
kemampuan
manajerial
kebanyakan
seniman/kelompok seniman,
dan
karena
faktor
tradisi
budaya ngayah
(pertunjukan
sebagai sebuah persembahan dan kepuasan batin) yang masih kental di kalangan
penggiat
seni.
Posisi
tawar
para
seniman
di
hadapan
pengusaha pariwisata
menjadi
rendah, tercermin dengan adanya persaingan dalam menurunkan harga antara kelompok
satu dengan yang lain.
Memang ada
segelintir
hotel
dan
tempat
tontonan pariwisata
yang
berusaha
memposisikan
seni pertunjukan
tradisional
sebagai
suatu
yang
istimewa kepada
|
20
tamunya.
Seniman
yang
ditampilkan adalah
seniman
yang
berkualitas
atau
seniman-
seniman ternama; pementasan dilakukan tidak pada saat
makan; ada usaha-usaha untuk
memberi informasi yang baik (pendidikan) kepada tamu; dan
mereka bersedia memberi
harga yang disodorkan seniman. Seniman-seniman yang sudah yakin dengan kualitasnya
biasanya berani mematok harga; mereka mempunyai posisi tawar yang tinggi. Semua ini
bisa
terjadi tidak
lepas dari
adanya keberagaman
jenis
wisatawan
yang
datang.
Ada
wisatawan
yang puas
dengan
sekedar
melihat pertunjukan, ada juga
yang
mau
melihat
yang terbaik.
Ada
usaha-usaha
Pemda
Bali melalui
LISTIBIYA-nya
untuk
melindungi
seniman
dari
eksploitasi
dan
sebaliknya
memberi
dukungan
dan
bimbingan kepada
mereka
agar
menjaga
atau
malah
meningkatkan kualitas.
LISTIBIYA
mengeluarkan
semacam
lisensi
layak
pentas
untuk
umum/pariwisata
yang
bernama
Pramana Patram
Budaya kepada kelompok-kelompok kesenian. Pemerintah terus
menghimbau agar para
pelaku
usaha
pariwisata memberi penghargaan
yang
lebih
baik kepada
seniman,
baik
secara finansial maupun perlakuan. SK Gubernur No. 394 dan 395 tahun 1997 misalnya
membuat
patokan-patokan upah
bagi
berbagai
jenis
kelompok
kesenian
yang
ada.
Seberapa
jauh
implementasi
dari
upaya
ini memang
masih
perlu
ditelusuri.
Penulis
masih
mengamati
banyak
pementasan
yang
dilakukan
di
hotel-hotel/restoran yang
terkesan
seadanya, dan
membaca di
media
massa
tentang
keluhan
kurangnya
penghargaan
pariwisata kepada
para
seniman.
Barangkali pementasan
yang
rutin
bisa
jadi
membuat
sang
penari
mengalami
kejenuhan, disamping ada
anggapan
bahwa
wisatawan toh tidak bisa membedakan antara pertunjukan yang berkualitas dengan yang
tidak.
|
21
Dampak positif pariwisata bisa dihubungkan dengan peningkatan kuantitas jenis
kesenian
dan
jumlah
seniman, dan
umumnya
peningkatan penghasilan. Para
seniman
berharap untuk dapat kesempatan pentas di hotel karena
lebih sering atau rutin
ketimbang
pertunjukan
untuk adat/upacara. Perlu
diketahui
bahwa
seni pertunjukan
tidak
pernah
lepas
dari
ritual-ritual
yang
dipercaya
harus
dilanjutkan. Ritual-ritual
melibatkan
beberapa
bentuk
pertunjukan seperti
Sang
Hyang,
wayang
lemah, topeng
pajegan, pendet, berbagai jenis tari
baris sakral; dan
masih dalam konteks ritual tetapi
juga
untuk
hiburan
seperti wayang
kulit
pada
malam
hari,
calon arang,
atau
gambuh.
Meningkatnya daya beli
masyarakat secara umum
memungkinkan desa adat atau banjar
untuk
membeli
perangkat
gamelan
yang
biasanya
juga
merangsang terbentuknya
kelompok drama/tari.
Seorang seniman
muda
ternama di
Bali
(I
Nyoman
Budiarta
dari
Batuan-
Gianyar)
yang penulis
sempat
wawancarai
memiliki
pandangan
yang berbeda
dengan
apa yang dikhawatirkan oleh para sarjana bahwa pariwisata menggerus kualitas kesenian
tradisional. Ia berpendapat bahwa pariwisata memberi lebih banyak dampak positif dari
negatif.
Pertunjukan
yang
rutin
memberi kesempatan
lebih
banyak
untuk
berlatih
sehingga
menjadikan kesenian
lebih
kreatif
dan
bervariasi.
Dia
tidak
mempermasalahkan
misalnya pertunjukan
yang
dilakukan
saat
dinner
karena
percaya
bahwa
wisatawan
otomatis
akan
lebih
memperhatikan pementasan
dari
makanan bila
pertunjukannya
berkualitas.
Letak
permasalahan
utama
ada
pada
si
senimanapakah
dia
memang
seniman
yang
berkualitas
sehingga berani
mematok
harga
atau
seniman
rata-rata
yang
mau dihargai rendah.
Ia
menyarankan
memang perlu adanya
fasilitator
yang
mempertemukan pengusaha pariwisata dengan seniman untuk
berdialog: bahwa
|
22
mereka
saling
membutuhkan. Pemerintah
juga
bisa
memfasilitasi
dengan
membuat
batasan-batasan atau
rambu-rambu.
Perihal
tudingan
bahwa
telah
terjadi
profanisasi
pertunjukan sakral dia menyarankan agar definisi sakral itu dipertegas. Menurutnya yang
membuat sebuah
kesenian
sakral
adalah
ketika
dilakukan
untuk ritual
lengkap dengan
sarana
upacara,
banten.
Dia
tidak
mempersalahkan kalau
ada
kesenian
ritual
yang
dikemas
menjadi
tontonan
pariwisata
sejauh
tidak
melibatkan banten.
Dia
malah
berpendapat bahwa seni-seni
ritual
atau klasik perlu dibuatkan tiruan agar
tidak
punah
dan kalau perlu dikembangkan.
Seorang
tokoh kesenian Bali generasi tua (I
Gusti Agung Ngurah Supartha dari
Tabanan)
melihat
memang terjadi penurunan kualitas atau nilai-nilai. Ini
tidak
terlepas
dari
perkembangan
jaman
yang
semakin
modern dimana
banyak
hal
yang
menyita
perhatian
baik
si
seniman
maupun
masyarakat (penonton), ditambah
lagi
dengan
berkembangnya sindrom
cepat
jadi,
instan,
tercermin
pada
keinginan
murid-murid
(termasuk
orang
tuanya)
agar
cepat
bisa
menari
dan
dipentaskan.Tantangan untuk
seniman-seniman sekarang tidak seberat yang dulu. Jarang ada guru-guru yang mengajar
sekeras dan seintensif dulu. Perubahan pada dinamika penonton juga berpengaruh pada
penurunan kualitas. Di
era sebelum tahun 1970-an seniman tertantang
untuk
mencapai
potensi terbaiknya
karena ada penonton-penonton
yang datang untuk menguji.
Kedekatan jarak antara penonton dan penari karena panggung
yang kecil
menciptakan
kondisi untuk komunikasi saling apresiasi, komunikasi rasa mecingak. Sistem panggung
sekarang
yang
memisahkan penari
dengan
penonton
(terlebih
lagi
penayangan
tari
melalui TV) meniadakan proses mecingak tersebut.
|
![]() 23
2.2 Data Penyelenggara
2.2.1 Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar
Institut Seni
Indonesia
(ISI)
Denpasar
adalah
sebuah
lembaga
pendidikan
kesenian
di
bawah
pembinaan Direkturat
Jenderal
Pendidikan Tinggi,
Departemen
Pendidikan
Nasional Republik
Indonesia. ISI
Denpasar
merupakan penggabungan dari
dua
lembaga pendidikan
tinggi seni
yang
ada
di
Denpasar yaitu Sekolah
Tinggi
Seni
Indonesia (STSI)
Denpasar
dan
Program
Studi
Seni
Rupa
dan
Desain
(PSSRD)
Universitas
Udayana.
ISI
Denpasar
didirikan
berdasarkan Surat
Keputusan
Presiden
Republik
Indonesia
NO:
33
Tahun
2003,
tertanggal
26
Mei
2003.
Peresmian ISI
Denpasar dilakukan oleh Mentri Pendidikan Nasional R.I. Prof. Drs. Abdul Malik Fadjar
tanggal 28 Juli 2003.
Tujuan
Pendidikan
yang
ingin
dicapai
adalah
untuk
menghasilkan tenaga
akademis dan profesional dalam bidang seni serta
mampu menangani
masalah-masalah
seni
yang
sifatnya
umum secara
mandiri
dan
secara
rinci
sehingga
para
lulusan
ISI
Denpasar mampu:
(a) Memahami dasar-dasar ilmiah dan pengetahuan seni untuk menunjang
keahlian dibidang studi masing-masing.
|
24
(b) Menguasai pengetahuan dan ketrampilan serta mampu menghayati nilai-nilai
dasar seni untuk mencapai profesionalisme dalam bidang studinya.
(c) Mampu menerapkan dasar-dasar ilmiah dalam bidang seni dan
mengungkapkannya dalam bidang karya seni dan karya tulis.
(d) Mampu melaksanakan penelitian seni.
Visi
ISI
Denpasar adalah
sebagai
pusat
unggulan dalam
bidang
penciptaan,
pengkajian dan informasi kesenian yang bersumber dari pada nilai budaya luhur. Secara
substansial pengejawantahan visi
tersebut
mengacu
kepada
terciptanya
keunggulan
dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki untuk dapat
menghasilkan
kelulusan
yang
bermoral,
cakap,
kreatif,
berwawasan ke
depan
serta
memiliki
kemampuan
mandiri.
Dengan
demikian
lulusannya diharapkan
mampu
memenuhi
kebutuhan pasar kerja yang ada baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global. Untuk
merealisasi visi tersebut di atas diperlukan perencanaan dan penataan serta optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki.
Dengan
memperhatikan
visi
yang
telah ditetapkan dalam proses
mengantarkan
ISI Denpasar dari keberadaan saat ini pada visinya,misi itu dirumuskan sebagai berikut :
(a)
Menyelenggarakan pendidikan dan penelitian yang mendukung pembangunan
nasional
(b) Menyelengarakan pengabdian kepada masyarakat yang selaras dengan tujuan ISI
Denpasar.
|
![]() 25
(c)
Membina kehidupan akademik yang sehat, serta mengembangkan temuan ilmu
pengetahuan, teknologi dan karya cipta seni, dengan mengoptimalkan
pendayagunaan sumber daya yang tersedia.
Untuk dapat dilaksanakan visi dan misi dijabarkan kedalam suatu tujuan pengembangan
yang sekaligus merupakan pernyataan sasaran antara
yang ingin dicapai dalam tahapan
perencanaan strategis. Tujuan
pengembangan
menjadi
landasan
kokoh
dalam
upaya
pencapaian visi dan misi.Tujuan itu adalah :
a. Peningkatan
kualitas
dan
kuantitas
sumberdaya
yang
dimiliki
untuk
menyelenggarakan pendidikan,
penelitian,
dan
pengabdian
kepada
masyarakat
untuk meningkatkan daya saing bangsa.
b. Penciptaan
suasana
akademik
yang
kondusif
bagi
pembinaan pelestarian
dan pengembangan seni
budaya
nusantara
dengan
prinsip
otonomi
yang
lebih
luas untuk penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi.
c.
Peningkatan partisipasi
seluruh
komponen
masyarakat
akademik
untuk
memupuk
rasa memiliki,
menyamakan
visi
dilandasi
kesehatan
organisasi dan
manajemen intern
2.2.2. Gramedia Pustaka Utama
Penerbit Gramedia mulai menerbitkan buku sejak tahun 1974. Buku pertama yang
diterbitkan
adalah
novel
Karmila,
karya
Marga
T.
Sedangkan
untuk
buku
non-fiksi
|
26
pertama adalah
Hanya
Satu Bumi,
yang
ditulis
oleh
Barbara
Ward
dan
RenÑ
Dubois
(diterbitkan bekerjasama dengan Yayasan Obor). Yang kemudian disusul oleh buku seri
anak-anak pertama Cerita dari Lima Benua, dan kemudian seri-seri yang lain.
Dengan
misi
Ikut
mencerdaskan dan
memajukan
kehidupan
bangsa
serta
masyarakat Indonesia ,
Gramedia Pustaka Utama berusaha keras
untuk
menjadi agen
pembaruan
bagi
bangsa
ini
dengan
memilih
dan
memproduksi buku-buku
yang
berkualitas,
yang
memperluas wawasan,
memberikan pencerahan,
dan
merangsang
kreativitas berpikir.
Melalui pengalaman jatuh-bangun dan melihat kebutuhan pasar, Gramedia Pustaka
Utama
akhirnya
mengkonsentrasikan diri
untuk
menggarap
dua
bidang
utama,
yakni
fiksi dan non-fiksi. Bidang fiksi dibagi menjadi fiksi anak-anak dan pra-remaja, remaja,
dewasa.
Bidang
non-fiksi
dibagi
menjadi
humaniora,
pengembangan
diri,
bahasa dan
sastra
Indonesia,
bahasa
Inggris/ELT, kamus
dan
referensi,
sains
dan
teknologi,
kesehatan, kewanitaan (masakan, busana), dsb.
Karena
misi
dan
visi
itu
pula,
Gramedia
berusaha
memilih penulis-penulis
yang
berkualitas. Di
deretan
fiksi
kita
mengenal
nama-nama
yang
memiliki
reputasi
internasional seperti:
John
Grisham (penulis
legal
thriller),
Sidney
Sheldon, Agatha
Christie, Danielle Steel, Sir Arthur Conan Doyle, dll.; dan lima penulis wanita paling top
di
Indonesia: Marga
T.,
Mira W,
Maria
A.
Sardjono,
V.
Lestari, dan S. Mara Gd. Di
deretan non-fiksi untuk penulis lokal ada Hermawan Kartajaya, Kwik Kian Gie, Rhenald
Kasali, Husein Umar, Vincent Gaspers, Andreas Harefa, Anand Krishna, Hembing W.,
Nila Chandra, Marry Winata, Rudy Choirudin, dll.; dan untuk penulis asing (terjemahan)
ada: Jack Canfield & Mark Victor Hansen (Seri Chicken Soup for the Soul), John Gray,
Daniel Goleman, John P. Kotter, Joe Girard, Andrew Weil, dll.
|
27
PT Gramedia Pustaka Utama
Alamat : Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270
Telepon: (021) 53677834 (hunting) ext. 3251, 3252, 3258
2.3 Data Isi Buku
Berikut ini merupakan data mengenai rencana penyusunan dan pembuatan desain
buku referensi
Love In Motion yang bertemakan tentang sebuah tari agung yaitu Tari
Oleg Tambulilingan yang baru
Penulis
:
Prof. DR I Wayan Dibia, S.S.T, MA
Desainer
:
Kezia Mariana Winarta
Fotografi
:
Kezia Mariana Winarta
Penerbit
:
PT. Gramedia Pustaka Utama
Spesifikasi
:
*
ukuran : 25 x 21.5cm
*
warna
:
full color
*
cover
:
hard cover
Tebal
:
104 halaman
Harga
:
Rp 300.000,-
Judul Buku
:
Love In Motion
>> Cover luar
>> Cover Dalam
>> DIBUKA ? kata pengantar
>> SELAYANG PANDANG MATA ? daftar isi
>> ISI
Bab I ---- PENDAHULUAN
|
28
I.1 Latar Belakang dan masalah
Garis besar mengenai tari Bali
Isi
:
beberapa foto dan teks sebagai penjelasan singkat
I.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan buku referensi ini
Bab II ---- PENGERTIAN
II.1 Definisi Tari Oleg Tambulilingan
Pengertian tari Oleg Tambulilingan itu sendiri, serta asal usul dan sejarah
Tari Oleg Tambulilingan
Isi
:
beberapa foto awal mula pembentukan Tari Oleg Tambulilingan
II.2 Pencipta tari Oleg Tambulilingan
Menyuratkan seklumat kisah pencipta tari agung Oleg Tambulilingan
Isi
:
beberapa foto kisah hidup dan penjelasan singkat
Bab III ---- TARI OLEG TAMBULILINGAN
III.1 Tata rias Tari Oleg Tambulilingan
Kisah bertopengkan kecantikan oleh beberapa polesan serta tahap-tahap
pencapaiannya
Isi
:
teks singkat dari foto yang berkaitan
III.2 Tata busana Tari Oleg Tambulilingan
Detail tata busana Tari Oleg Tambulilingan dan tahap-tahap
penggunaannya
Isi
:
foto cara pemakaian perlengkapan busana dan penjelasan singkat
III.3 Gerakan dasar Tari Oleg Tambulilingan
Tahap-tahap gerakan lemah gemulai yang penuh dengan arti yang sakral
|
![]() 29
Isi
:
foto - foto yang beruntun dan teks singkat
III.4 Gambuh pengiring Tari Oleg Tambulilingan
Musik pengantar kisah cinta Oleg Tambulilingan dengan
perlengkapannya
Isi
:
foto - foto musik gambuh dan permainannya
>> DITUTUP ? daftar pustaka, nara sumber
CUPLIKAN REC. TARI OLEG TAMBULILINGAN
2.4 Data Pesaing
Bali Isle of Light adalah sebuah buku yang menjadi kompetitor dari buku yang
akan dibuat.
Hanya
saja
buku
ini
menampilkan
dan
mengulas
tentang seluruh
kebudayaan yang ada di Bali. Secara fakta yang ada, buku ini belum bisa memberikan
informasi yang detail bagi para pembacanya, karena tidak ada penjelasan detail dan data
yang up to date
Namun fotografi yang ditampilkan sudah cukup menarik tetapi
disayangkan lay out nya kurang menarik karena terlihat monoton dan kurang ilustratif.
>> Cover buku Bali Isle of Light
|
![]() 30
>>> Lay Out Buku Bali Isle of Light
2.5 Target Sasaran
Target dari publikasi buku ini ada dua target sasaran yaitu, di usia produktif aktif,
yaitu
usia
20-37tahun.
Target
utama
adalah
pelajar,
mahasiswa, pengamat seni
yang
mencintai
kebudayaan
Indonesia
khususnya
Bali.
Karena
pada
usia
produktif
seperti
yang sudah disebutkan dapat
lebih kritis dalam menghadapi dan menerima sesuatu yang
baru.
2.6 Analisa SWOT
STRENGTH ( KEKUATAN ) :
1.
Memberikan informasi dan gebrakan baru terhadap hasil karya seni pertunjukan
Bali
2.
Mengembalikan nilai kebudayaan Tari Bali khususnya Tari Oleg
Tambulilingan
3.
Mempopulerkan setiap gerakan yang mengandung arti dari Tari Oleg
Tambulilingan
4.
Bisa menjadi dasar pendidikan dalam bidang Seni Tari
5.
Belum pernah dipublikasikannya sebuah buku yang mengangkat salah satu
keindahan dan kemesraan tarian Bali yaitu Tari Oleg tambulilingan
|
31
WEAKNESS ( KELEMAHAN ) :
1.
Tidak dapat mencakup semua jenis seni pertunjukan Tari yang ada sekarang ini
2. Ruang lingkup permasalahan yang diangkat
masi sangat spesifik
OPPORTUNITIES ( PELUANG ) :
1.
Indonesia sangat buruk dan kurang perhatian dalam hal pendokumentasian suatu
kebudayaan
2.
Adanya
penyalahgunaan
nilai
kebudayaan
di
beberapa
organisasi
pertunjukan
tari Bali
3.
Para wisatawan asing sangat tertarik dengan kehidupan dan kesenian yang ada di
Bali sehingga dapat meningkatkan pendapatan Negara
4.
Beberapa
penari
Bali
lambat
laun
meninggalkan seni budaya
pertunjukan
Bali
dan
lebih
memilih untuk
mengikuti perkembangan zaman. Dengan adanya buku
ini bisa mengingatkan kembali indahnya kebudayaan sendiri
THREAT ( ANCAMAN ) :
1.
Banyaknya kompetitor
seperti
buku
fiksi,
majalah,
dan
lainnya
yang
lebih
komersial
2.
Minat baca masyarakat Indonesia yang rendah
3.
Target audiance yang terbatas
|