8
Bab 2
Landasan Teori
Pada bab ini penulis akan menjelaskan terlebih dahulu konsep pendidikan
Jepang pada zaman Meiji. Konsep pendidikan di Jepang pada zaman Meiji berbeda
dengan  konsep  pendidikan  di  negara-negara  barat.  Penulis  bermaksud  menjelaskan
konsep tersebut terlebih dahulu agar pembaca dapat
lebih
memahami analisis data yang
dilakukan  oleh  penulis  di  bab  selanjutnya.  Setelah  menjelaskan  konsep  pendidikan
Jepang pada
zaman Meiji, penulis akan menjelaskan konsep
modernisasi secara umum
dan
konsep
modernisasi
dalam pendidikan.
Disini penulis
akan
menuangkan
beberapa
pendapat dari para ahli kebudayaan mengenai konsep tersebut. Kemudian penulis akan
menjelaskan
konsep
Akulturasi
Budaya
dan konsep
Asimilasi
Budaya
karena
dalam
analisis data pada bab selanjutnya, kedua konsep ini akan digunakan untuk menjelaskan
peran
Fukuzawa
Yukichi
dalam menerapkan
idealisme
pendidikan
baratnya
kedalam
sistem pendidikan Jepang pada saat itu.
Penulis
memilih
keempat
konsep
tersebut
karena
menurut
penulis
keempat
data tersebut sangat
berkaitan
erat
satu sama
lain
untuk
menjelaskan peran
Fukuzawa
Yukichi dalam modernisasi pendidikan Jepang pada zaman Meiji.
Pembahasan dari keempat konsep tersebut akan dijabarkan secara detil di
bawah ini.
2.1
Konsep Pendidikan Jepang Pada Zaman Meiji
  
9
Pada tahun 1853, Jepang
yang tengah menikmati
masa damainya selama
260 tahun terisolasi dari dunia luar dikejutkan oleh kedatangan Angkatan Laut Amerika
ke Jepang. Jepang tiba-tiba menyadari bahwa mereka jauh tertinggal dari peradaban Barat
--khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi--
setelah mereka berperang
melawan
pasukan
Amerika,
Inggris,
dan
Perancis
hanya
dengan
menggunakan
senjata
dan perlengkapan yang usianya sudah 200 tahun. Setelah pecah peperangan menduduki
daerah
Jepang
oleh
pasukan
Amerika,
Inggris,
dan
Perancis
dan
juga
setelah
terjadi
Perang   Sipil,   terjadilah   Revolusi   Meiji   pada   tahun   1868,   dan   Jepang   memulai
modernisasi mereka dengan pemerintahan baru dibawah kepemimpinan seorang Kaisar.
Pemerintah  baru  saat  itu  tengah  berusaha  keras  mengejar  ketertinggalan
mereka dari negara-negara Barat. Mereka ingin mencapai apa yang negara-negara Eropa
capai
dalam 200
tahun
hanya
dalam waktu
30
tahun.
Tetapi
Jepang
percaya
akan
pentingnya nilai pendidikan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang untuk
kemakmuran
ekonomi di
masa
mendatang.
Pendekatan seperti ini memang tampaknya
akan
membutuhkan waktu
yang
lama, tetapi
mereka percaya bahwa pendekatan seperti
ini akan memberikan efek yang lebih baik untuk jangka panjang.
Pada tahun 1871, Kementerian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan
monbukagakushou
(
?????
) membentuk
dan
menrencanakan
sebuah
strategi
komprehensif
yang
ditujukan
untuk
sistem pendidikan
pada
tahun
1872.
Berdasarkan perencanaan ini, didirikanlah 25.000 sekolah dasar di seluruh negeri pada
tahun 1880.
Dua puluh tahun kemudian, di permulaan abad kedua puluh, sekitar 99%
anak
laki-laki dan perempuan telah belajar di pendidikan dasar
(wajib belajar 6 tahun)
(Okamoto, 1992:10).
  
10
Menurut  Okamoto  (1992:10)  ada  beberapa  konsep  pendidikan  penting
yang berlaku dalam pengembangan sumber daya manusia di zaman Meiji, yaitu:
2.1.1   
Konsep Pendidikan Egalitarian
Laki-laki dan perempuan diperlakukan secara sama dan adil dalam
kesempatan mendapatkan pendidikan dimana hal ini tidak lazim dalam masyarakat
Jepang pada saat itu. Semua pendidikan dasar pada saat itu menganut sistem yang
sama
tanpa perbedaan, dan ini memberikan
kontribusi
yang
cukup
besar
dalam
penghapusan
kelas-kelas Shinoukoushou
(
????
).
Shinoukoushou
adalah
golongan masyarakat yang dibentuk pada pemerintahan bakufu (keshogunan) pada
tahun 1603 untuk menguasai jumlah petani yang jumlahnya hampir delapan puluh
persen dari seluruh jumlah penduduk. Para petani dan pedagang pada pemerintahan
bakufu
dikuasai
oleh
kaum militer.
Pajak
yang
dipungut
dari
para
petani
dan
pedagang
merupakan
sumber
pendapat
utama bakufu.
Shi
pada kanji
(
?
)
bearti
samurai, nou pada kanji (
?
)
bearti petani, kou pada kanji (
?
)
berati pekerja dan
shou pada
kanji (?)
bearti pedagang, dengan kata lain shinoukoushou bearti
pembagian
masyarakat
kedalam golongan-golongan
tertentu.(golongan
samurai,
petani, pekerja, dan pedagang) (Surajaya, 2001:74).
2.1.2   
Prioritas Terhadap Pendidikan Dasar
Berbeda
dengan
negara-negara lain
yang
lebih
memprioritaskan
pendidikan menengah dan tinggi pada saat itu, Jepang justru lebih memprioritaskan
pengembangan terhadap pendidikan dasar. Jepang sadar bahwa perbaikan pada
standar pendidikan secara umum lebih penting untuk perkembangan ekonomi dan
  
11
teknologi
di
masa
mendatang dan
mereka percaya bahwa pendekatan seperti itu
akan
memberikan
imbas
yang
lebih
baik dalam
jangka
panjang
meskipun
pada
awalnya terlihat lamban.
2.1.3   
Pendekatan Praktis dan Pragmatik
Sistem dan materi yang dipakai dalam pendidikan pada zaman Meiji
didesain dan diatur dengan pendekatan secara praktis dan pragmatik.
2.1.4   
Konsep Kontribusi Terhadap Negara dan Masyarakat
Pendidikan dasar di Jepang sejak zaman Meiji telah memprioritaskan
pengembangan
terhadap
kepribadian
dan nilai-nilai masyarakat Jepang
dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan skill. (Okamoto, 1992:10-12)
Pendidikan  
itu  
sendiri  
menurut   Perkumpulan   Penelitian   Sistem
Pendidikan (
???????
) adalah sebagai berikut:
????????????????????????????
??????????????????????????
?
Artinya:
Pendidikan adalah suatu alat
pendukung
dalam
pembelajaran
terhadap diri sendiri untuk kehidupan orang lain, dan melalui alat
pendukung ini ada sebuah aktivitas memberikan “keuntungan
terbaik” kepada orang lain. (Kyouiku Seido Kenkyuukai, 1991:2)
  
12
2.1.5
Konsep Pendidikan Menurut Mori Arinori
Pada tahun 1885, pemerintahan Meiji
menghapus
sistem pemerintahan
feodal
“Dajokan”
dan
membentuk
sistem Kabinet
dalam
pemerintahan
Jepang
untuk   pertama   kalinya.   Hal   ini   dapat   berarti   bangkitnya   sebuah   sistem
pemerintahan
modern
pada
zaman
itu. Ketika
Mori
Arinori
diangkat
menjadi
Menteri Pendidikan paling pertama di
Jepang dibawah sistem
pemerintahan baru
tersebut
pada
tahun
1885,
ia
segera
mereformasi
sistem sekolah
di
Jepang
dan
mengumumkan Tatanan Universitas Kekaisaran diikuti oleh Tatanan Sekolah
Normal, Tatanan Sekolah Dasar, dan Tatanan Sekolah Menengah. Berdasarkan
tatanan-tatanan
ini,
struktur-struktur untuk berbagai sistem sekolah
menengah dan
profesional
selesai
dikerjakan antara tahun 1892 sampai dengan
1906.
(Aso
dan
Amano, 1972:19)
Dalam hal ini, reformasi pendidikan oleh Mori Arinori telah membawa
pendidikan Jepang dari tahap “persiapan
tinggal landas” menuju “tahap tinggal
landas”.
Konsep pendidikan Mori Arinori terdiri dari tiga buah pilar penting,
yaitu:
1) 
Pendidikan untuk memperkaya dan memperkuat negara
2) 
Pendidikan
untuk
pencerahan
yang
didesain
untuk
mengubah
pandangan tradisional
3) 
Pendidikan
untuk pembangunan tradisi
nasional Jepang seperti
yang ia ungkapkan dalam pernyataannya berikut ini:
“Di bawah
garis keturunan Kaisar
yang
tak terputuskan
dan berlanjut dalam keabadian seperti surga dan bumi, Jepang,
  
13
dengan kekuatan superiornya belum pernah dipermalukan oleh
negara asing manapun, dan terlebih lagi, semangat orang Jepang
mempertahankan negaranya dan karakter setia dan loyal orang
Jepang yang diwariskan dari generasi sebelumnya dan telah
dipupuk sejak dulu masih tidak terhapuskan.”
Idealisme Mori
mengenai
pendidikan
mewakili
penyatuan dari ketiga
pilar
yang telah disebutkan diatas. Mori
mewujudkan idealisme sistem pendidikan
baru tersebut dengan berdasarkan sebuah pembedaan yang jelas antara “pencarian
ilmu”
dengan
pendidikan”.
Menurut Mori,
“pencarian
ilmu”
berbeda
dengan
“pendidikan”.
Ia
juga
berpendapat
bahwa
“Universitas adalah
tempat
untuk
pencarian ilmu, sedangkan sekolah menengah dan sekolah dasar adalah tempat
untuk melaksanakan pendidikan”. Tujuan
“pencarian ilmu”
menurut
Mori
Arinori
adalah untuk “menyelami kebenaran akan berbagai hal” atau untuk “memperkaya
pengetahuan
bagi
mereka
yang
akan
turun
dalam pekerjaan”.
Sebaliknya,
“pendidikan” menurut Mori Arinori adalah untuk “melatih orang-orang agar setiap
individu
dapat
benar-benar
mengerti
akan kewajibannya
sebagai
orang
Jepang,
selain itu juga untuk mempelajari etika agar mereka benar-benar layak menikmati
kesejahteraan” (Aso and Amano, 1972:19-22).
2.2
Konsep Modernisasi
Dalam bukunya Peranan Jepang Dalam Pasca “Abad Amerika, Bey
(1990:35) berpendapat bahwa modernisasi dalam makna keseluruhannya menunjuk
kepada proses perubahan yang mencakup sedikitnya tiga dimensi. Dimensi pertama
menunjuk
kepada
perubahan
atau
penyesuaian dari nilai-nilai pokok suatu
masyarakat  dalam  menanggapi  tuntutan  zaman.  Dimensi  kedua  berupa
transformasi
maupun
penerapan
nilai-nilai
baru
itu
ke
dalam
kehidupan
politik,
  
14
ekonomi maupun kebudayaan masyarakat bersangkutan, sedangkan dimensi ketiga
menunjuk kepada aspek-aspek teknologi. Dimensi pertama
merupakan
nilai-nilai
hidup yang menjadi landasan bagi ketahanan maupun kelestarian masyarakat yang
sedang mengalami perubahan.
Dimensi pertama bertindak sebagai tangan yang tidak kelihatan atau
invisible
hand
yang
mengarahkan dan
menyinari
dua
dimensi
lainnya.
Menurut
Bey (1990:35-36), suatu masyarakat yang menuju ke arah modernisasi harus
menyelesaikan penyesuaian nilai pada dimensi pertama terlebih dahulu. Jika tidak
maka akan terjadi sebuah kontradiksi kebudayaan.
Menurut Soekanto (1990:383), Modernisasi adalah proses perubahan
masyarakat dan kebudayaan dari masyarakat dan kebudayaan tradisional ke
masyarakat dan kebudayaan modern dalam seluruh aspeknya.
Menurut  Soekanto(1990:384),  proses  modernisasi  mencakup  proses
yang sangat luas yang kadang-kadang tak dapat diterapkan batas-batasnya secara
mutlak.
Dalam masyarakat
Jepang
zaman
Meiji
salah
satu contoh modernisasi
dalam bidang
pendidikan
adalah
penerapan
sistem pendidikan
barat
dalam
menggantikan sistem pendidikan Terakoya yang diwarisi dari zaman pemerintahan
Tokugawa.
Menurut
Soekanto
(1990:384),
pada dasarnya pengertian modernisasi
mencakup suatu
transformasi
total
dari kehidupan bersama
yang
tradisional
atau
pra-modern (dalam arti teknologi dan organisasi) ke arah pola-pola ekonomis dan
politis yang modern. Modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial-
budaya, yang biasanya merupakan perubahan yang terarah (directed change) yang
didasarkan   pada   suatu   perencanaan   sosial   (social  planning).   Maksud   dari
  
15
modernisasi ini adalah mengadakan perubahan yang terarah untuk kemajuan serta
perbaikan nasib manusia.
Menurut Soekanto (1990:383), modernisasi secara historis dapat
dikatakan sebagai proses perubahan yang mengarah pada pembentukan tipe-tipe
sistem sosial,
ekonomi,
dan
politik
yang
telah
berkembang
di
Eropa
Barat
dan
Amerika Utara pada abad 17-19. Sistem baru ini menyebar ke negara-negara Eropa
lainnya dan juga ke negara-negara Amerika Selatan, Asia dan Afrika pada abad ke
19 dan 20, termasuk Jepang.
Modernisasi dapat diwujudkan melalui beberapa kriteria atau syarat
seperti yang diungkapkan oleh Soekanto (1990:387) berikut ini.
1.
Menerapkan
cara
berpikir
ilmiah
(scientific thinking)
yang
melembaga dikalangan kelas penguasa dan masyarakat, melalui
sistem pendidikan dan pengajaran yang terencana baik.
2.   Memiliki sistem administrasi negara yang baik dan benar-benar
mewujudkan birokrasi.
3. 
Mempunyai
sistem pengumpulan
data
yang
baik,
teratur,
dan
akurat, serta terpusat dalam suatu lembaga atau badan tertentu.
4.   Menciptakan iklim yang baik dan mendukung (favourable) dari
masyarakat terhadap modernisasi melalui penggunaan media
komunikasi massa yang efektif.
5.  Meningkatnya organisasi
yang tinggi
dalam artian
displin
dan
pengurangan
kemerdekaan
karena pelaksanaan
disiplin
yang
tinggi  memiliki  konsekuensi  berkurangnya  kemerdekaan  atau
  
16
kebebasan.
6. Melakukan 
sentralisasi 
wewenang 
dalam 
melaksanakan
perencanaan sosial
(social
planning)
karena
bila
hal
ini
tidak
dilakukan
maka   perencanaan   yang   telah   disusun   mudah
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang ingin mengubah
perencanaan tersebut demi kepentingan golongan tertentu.
Modernisasi pada hakikatnya menggunakan unsur-unsur teknologi
dan pengetahuan ilmiah yang bersumber dari barat, namun
modernisasi tak bisa disamakan dengan westernisasi, karena
keduanya
memiliki
makna
yang
berbeda. Westernisasi menurut
Koentjaraningrat (1990:261) lebih didasarkan pada peniruan gaya
hidup orang barat secara berlebihan, mulai dari pola tingkah laku,
pergaulan, kebiasaan hingga gaya hidup dan mode.
2.3 
Konsep Perubahan Kebudayaan
Menurut  Soekanto  (1990:338),  perubahan 
kebudayaan 
adalah
perubahan
yang
terjadi
akibat
adanya
ketidaksesuaian di
antara
unsur-unsur
kebudayaan
yang
saling
berbeda
sehingga terjadi keadaan yang
tidak
serasi
fungsinya bagi kehidupan.
Menurut Soekanto (1990:352-360), faktor-faktor perubahan kebudayaan
tersebut ada yang bersifat internal, yaitu berasal dari dalam masyarakat itu sendiri,
dan ada yang bersifat eksternal, yaitu berasal dari luar masyarakat.
  
17
Faktor-faktor   internal   perubahan   kebudayaan   antara   lain   sebagai
berikut.
1)  Adanya ketidakpuasan terhadap sistem nilai yang berlaku.
2)  Adanya individu yang menyimpang dari sistem nilai yang berlaku.
3)  Adanya penemuan baru yang diterima dalam masyarakat.
4)  Adanya perubahan jumlah dan kondisi penduduk.
Faktor-faktor eksternal perubahan
kebudayaan, antara lain sebagai
berikut.
1)  Adanya bencana alam, seperti gunung meletus, gempa bumi, dan sebagainya.
2)  Timbulnya peperangan.
3)  Kontak dengan masyarakat lain.
Proses perubahan budaya menyangkut penyebaran unsur-unsur baru yang berupa
ide-ide,
gagasan-gagasan,
keyakinan
maupun
hasil-hasil kebudayaan
kebendaa
(artefak). Proses ini disebut difusi. Proses selanjutnya adalah bertemu dan
diterimanya
unsur-unsur
tersebut
oleh
masyarakat,
proses
ini
meliputi
akulturasi
dan asimilasi. (Koentjaraningrat, 1990:228)
2.3.1   
Konsep Difusi Budaya
Difusi
kebudayaan adalah proses
penyebaran unsur-unsur kebudayaan
(ide-ide, keyakinan, hasil-hasil kebudayaan, dan sebagainya) dari individu satu
kepada individu lain, dari suatu golongan ke golongan lain dalam suatu masyarakat
atau dari masyarakat ke masyarakat lain. (Koentjaraningrat, 1990:244)
Tipe-tipe difusi:
  
18
1.   Difusi intra-masyarakat (intra society diffusion), yaitu difusi unsur kebudayaan
antar individu/golongan dalam suatu masyarakat
2.   Difusi antarmasyarakat (intersociety diffusion),
yaitu difusi
unsur kebudayaan
dari satu masyarakat ke masyarakat lain. (Soekanto, 1990:245)
Difusi dapat terjadi melalui:
1.
Symbiotic, yaitu pertemuan antara
individu-individu  dari 
satu
masyarakat dan individu-individu
dari masyarakat lainnya tanpa
mengubah
kebudayaan
masing-masing.
Ada
tiga
macam proses
symbiotic, yaitu:
a.   Mutualistik, yaitu simbiose yang saling menguntungkan
b.   Komensalistik, satu
pihak
untung
dan
pihak
lain
tidak
untung juga tidak rugi
c.   Parasitistik,  satu  pihak 
mendapatkan  keuntungan  dan
pihak lain menderita kerugian
2.   Penetration pasifique, yaitu masuknya kebudayaan asing dengan
cara damai tanpa kekerasan dan paksaan.
3.   Penetration violente, yaitu masuknya kebudayaan asing dengan
cara
paksaan.
Cara
paksaan
tersebut
dapat
berupa
penjajahan
atau
peperangan.     Negara     yang     menang     memaksakan
kebudayaannya 
pada 
negara 
yang 
kalah. 
(Koentjaraningrat,
  
19
1990:245-246)
2.3.2
Konsep Akulturasi Budaya
Pengertian akulturasi menurut Encyclopaedia Britannica I (1979:59)
adalah sebagai berikut:
“Acculturation, the processes of change in artifacts, customs, and
beliefs that result from the contact of societies with different cultural
traditions. The term is also used to refer to the result of such changes.”
Artinya adalah sebagai berikut:
“Akulturasi adalah sebuah proses perubahan dalam benda-benda
peninggalan, kebudayaan, dan kepercayaan yang terjadi sebagai hasil
dari sebuah kontak dengan masyarakat yang berbeda tradisi atau
kebudayaan. Istilah akulturasi dapat juga digunakan untuk merujuk
pada hasil dari perubahan-perubahan tersebut.”
Menurut Koentjaraningrat (1990:248), akulturasi budaya adalah proses
sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian
rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah
kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri.
Misalnya kebudayaan Hindu memasuki kebudayaan Bali, menjadi
kebudayaan Hindu-Bali. Unsur-unsur kebudayaan Bali tidak akan hilang atau tetap
bertahan walaupun sudah dimasuki kebudayaan Hindu. Proses akulturasi sudah ada
sejak sejarah kebudayaan umat manusia. Akan tetapi, proses akulturasi yang
mempunyai sifat khusus baru timbul ketika kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa
Barat mulai menyebar ke semua daerah lain dan mempengaruhi masyarakat suku-
  
20
suku  bangsa  di  Afrika,  Asia,  Oseania,  Amerika  Utara,  dan  Amerika 
Latin.
(Koentjaraningrat, 1990:249)
Penelitian akulturasi dalam lapangan antropologi dimulai setengah abad
yang lalu. Banyak sarjana antropologi tertarik kepada suku-suku bangsa di luar
Eropa yang mempunyai kebudayaan asli atau belum terkena pengaruh kebudayaan
Euro-Amerika.
Hasil penelitian
membuktikan bahwa hampir tidak ada lagi suku
bangsa yang “asli” seperti itu. (Koentjaraningrat, 1990:249)
Difusi  dan  akulturasi  memiliki  persamaan  dan  perbedaan.
Persamaannya, difusi dan akulturasi memerlukan adanya suatu kontak. Tanpa
kontak tidak mungkin kedua proses tersebut dapat berlangsung. Perbedaannya,
difusi berlangsung dalam keadaan yang didalamnya kontak tidak perlu ada secara
langsung dan berkelanjutan. Misalnya, difusi dari penggunaan tembakau yang
tersebar ke seluruh dunia. Sedangkan akulturasi memerlukan hubungan yang dekat,
langsung, serta bekesinambungan. (Koentjaraningrat, 1990:247-248)
2.3.3
Konsep Asimilasi Budaya
Pengertian asimilasi menurut Encyclopaedia Britannica (1979:594)
adalah sebagai berikut:
Assimilation,
the
process whereby individuals or
groups
of
differing
ethnic heritage are absorbed into the dominant culture of a society.
Usually  they  are  immigrants  or  hitherto  isolated  minorities  who,
through contact and participation in the larger culture, gradually give
up most of their former culture traits to such a degree that socially they
become
indistinguishable
from other
members
of
the
society.
Assimilation
does
not denote racial or
othe
biological
fusion,
though
such fusion may be related. (Encyclopaedia Britannica I, 594:1979)
  
21
Artinya adalah sebagai berikut:
“Asimilasi adalah sebuah proses dimana
individu-individu
atau
kelompok-kelompok dari etnis yang memiliki kebudayaan yang berbeda
terserap   dalam   sebuah   kebudayaan   asli   dari   sebuah   masyarakat.
Individu-individu  atau  kelompok-kelompok  tersebut  biasanya  terdiri
dari
para
imigran
atau
masyarakat yang
terisolasi
pada
suatu
masa.
Melalui berbagai kontak dan partisipasi dalam masyarakat dengan
kebudayaan  asli  tersebut,  mereka  melepaskan  sebagian  besar
kebudayaan asal
mereka
sehingga
secara
sosial
mereka
menjadi
sulit
untuk dibedakan dengan anggota-anggota dari masyarakat asli tersebut.
Asimilasi   tidak   merujuk   pada   penggabungan   ras   atau   biologis,
meskipun dalam beberapa kasus hal tersebut mungkin berhubungan.”
Menurut
Koentjaraningrat (1990:255),
asimilasi
adalah
proses
sosial
yang   timbul   bila   ada   golongan-golongan   manusia   dengan   latar   belakang
kebudayaan berbeda-beda, saling bergaul secara
intensif untuk waktu yang lama
sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah
sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya
menjadi kebudayaan campuran.
Faktor-faktor yang mempermudah asimilasi antara lain:
1) 
Toleransi antar kebudayaan yang berbeda
2) 
Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi
3) 
Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya
4) 
Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
5) 
Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan
6) 
Perkawinan campuran
7) 
Adanya musuh bersama dari luar
Faktor-faktor yang menghambat asimilasi antara lain:
1) 
Terisolir dari kehidupan kelompok
  
22
2) 
Kurangnya pengetahuan akan kebudayaan lain
3) 
Perasaan takut terhadap kebudayaan lain
4) 
Pandangan
yang
menganggap bahwa kebudayaan
sendiri
lebih
tinggi dari kebudayaan lain
5) 
Perbedaan warna kulit dan ciri fisik
6) 
In-group feeling yang kuat
7) 
Golongan minoritas mendapat gangguan dari mayoritas
8) 
Perbedaan kepentingan
Soekanto (1990:365)