9
Bab 2
Landasan Teori
2.1
Konsep Agama Menurut Masyarakat Jepang
Mengenai
Agama
dan
Tradisi
di
Jepang
dalam Buku
Panduan Jepang
(1996)
disebutkan bahwa pada umumnya orang Jepang adalah penganut agama Shinto, Budha,
atau agama-agama baru yang berafiliasi pada Shinto dan Budha serta sejumlah kecil
penganut Kristen. Kebanyakan orang Jepang akan memberikan jawaban saya tidak
beragama, agama tidak perlu bagi orang Jepang ataupun jawaban semacamnya
jika
mereka ditanyakan tentang agama apa yang mereka anut. Memang sulit untuk mengukur
keagamaan orang Jepang. Di rumah-rumah mereka biasanya bukan saja butsudan (altar
Budha) yang akan kita temukan, tapi di rumah tersebut bisa kita temukan pula kamidana
(altar Shinto).
Jika dilihat
dari angka sensus
penduduk
beragama
di
Jepang, biasanya
menunjukkan jumlah angka penduduk beragama yang mencapai satu setengah kali
jumlah penduduk Jepang yang sesungguhnya.
Orang Jepang tidak
mempercayai suatu agama tertentu, tetapi
hal itu tidak berarti
orang Jepang tidak melakukan ibadah agama. Pada tahun baru, kebanyakan orang
Jepang
berkunjung
ke
kuil
Budha atau
kuil
Shinto
untuk
berdoa
keselamatan
dan
kebahagiaan selama tahun baru ini (hatsumode). Saat itu kuil-kuil terkenal sangat ramai.
Selama
setahun dalam beberapa
kali,
terutama
hari
peringatan
meninggalnya kerabat
dekat,
mereka
akan
berziarah
ke
makam nenek
moyang
(hakamairi).
Saat
menikah,
banyak orang Jepang yang melakukan upacara pernikahan di gereja. Tetapi pada
umumnya orang Jepang tidak tahu ajaran agama dan tidak punya minat pada ajarannya.
|
10
Orang Jepang
sendiri
menganggap
semua
itu
kebiasaan,
bukan
kegiatan agama
(Ishizawa, 2005)
Memang jika kita bertanya pada orang Jepang, apakah mereka memiliki agama.
Sering dijumpai bahwa mereka agak sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Namun, jika
kita perhatikan sikap dan perilaku orang Jepang dalam fenomena kehidupan sehari-hari
seperti
dalam
upacara
pemujaan
leluhur
atau perayaan-perayaan
yang
berhubungan
dengan pemujaan terhadap alam dan perayaan
yang bertujuan
untuk
memanjatkan rasa
syukur, maka kita akan mendapatkan kesan bahwa orang Jepang mempercayai atau
meyakini adanya sesuatu (Yudhasari, 2003:
73). Kepercayaan atau keyakinan orang
Jepang tersebut diimplementasikan dalam sikap dan tingkah
laku dalam suatu kegiatan
yang disebut dengan matsuri (Yanagita, 1987: 42).
2.2
Konsep Shinto
Pengertian Shinto dalam Shinto Online Network Association (2006) adalah istilah
umum bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang Jepang untuk
memuja dewa surga
dan bumi. Shinto terdiri dari dua huruf kanji yaitu shin yang artinya dewa (bisa juga
dibaca kami) dan tou yang artinya jalan, jadi shinto memiliki arti jalan dewa (the way of
heaven).
Pengertian lainnya mengenai Shinto disebutkan pula oleh Tanaka (1990:294-295):
???????????????????????????????
???????????????????????????????
???????????????????????????????
?????????????????????
Umumnya,
yang dimaksud dengan Shinto adalah kata
yang digunakan
untuk
mewakili kepercayaan tradisional orang Jepang yang berlandaskan kepercayaan
|
11
terhadap dewa dan roh. Tidak hanya itu, secara luas ajaran Shinto juga menjadi
pedoman bagi orang Jepang dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Di dalam Japan Guide (2007) dijelaskan bahwa Shinto tidak mempunyai pendiri
ataupun alkitab. Dewa Shinto dikenal dengan sebutan kami. Kami yang disembah ada
sebanyak delapan juta. Manusia akan menjadi kami setelah mereka mati dan dipuja oleh
keluarga mereka sebagai keturunan kami. Dalam agama shinto tidak ada yang benar dan
salah, tidak memiliki tempat yang paling suci untuk para pemuja, tidak ada orang atau
dewa yang dianggap paling suci,
dan
bahkan tidak
mempunyai ketetapan doa.
Shinto
adalah sekumpulan ritual dan metode yang bermaksud untuk membatasi hubungan
antara
manusia dan kami. Shinto adalah sebuah kepercayaan kuat bahwa
manusia pada
dasarnya baik, dan kejahatan dipercaya disebabkan oleh roh-roh jahat. Oleh karena itu,
tujuan
utama ritual-ritual dalam Shinto adalah
untuk
menjauhkan
roh-roh
jahat dengan
pembersihan dan berdoa kepada kami. Kuil-kuil Shinto adalah tempat untuk pemujaan
dan rumah dari kami itu sendiri. Banyak kuil yang merayakan festival (matsuri) secara
teratur
yang
bertujuan
untuk
menunjukkan kami
ke
dunia
luar.
Setiap
laki-laki
dan
perempuan dapat menjadi pendeta, dan mereka boleh menikah dan mempunyai anak.
Pendeta
dibantu
perempuan-perempuan
muda
(miko) sewaktu menjalankan ritual dan
kegiatan-kegiatan lain di kuil. Miko
menggunakan kimono berwarna putih dan
harus
yang belum menikah serta biasanya anak perempuan pendeta.
Kami
berasal
dari
kata kakurimi
(sosok/tokoh
yang
tersembunyi)
dengan
mengambil suku kata awal dan akhir, sehingga berbentuk menjadi kami.
Kami
secara
umum
menunjuk pada suatu
hal yang misterius dan
gaib
yang
mempunyai kekuatan
yang
melampaui
kekuatan
manusia di
dunia. Kami
mempunyai
dua
kepribadian yang
|
12
berlawanan yaitu pertama yang menyebabkan orang-orang merasa ketakutan, sedangkan
yang lainnya menyebabkan orang merasa tak berdaya tanpa kami. Kami dipercaya ada
pada beberapa hewan seperti ular, tanaman (biasanya pada pohon-pohon besar seperti
pohon
cedar)
atau
komponen
alam
seperti
sungai,
pegunungan,
atau
bebatuan.
Walaupun kami adalah kata
yang paling dikenal, jika penekanannya dirubah maka kata
kami dapat disebut juga dengan tama atau mono (Ishikawa,1986:77).
Menurut The Cambridge Encyclopedia of Japan (1993: 154) dalam ajaran Shinto
terdapat beberapa tipe kami, yaitu
1.
kami
yang
berada dalam
objek alam
seperti pohon
besar,
gunung, dan
sebagainya.
2.
Kami yang dipuja sesuai keahlian pemujanya,
misalnya kami bagi para
nelayan,
petani, tukang kayu, dan sebagainya yang dipercayai akan memberkati dan
melindungi mereka
3.
Ujigami adalah kami yang melindungi suatu desa atau keluarga tertentu
4.
Ikigami adalah kami yang berupa manusia
yang
masih hidup seperti miko atau
penemu agama dalam zaman modern ini
5.
Hitogami adalah
manusia
yang dipuja sebagai kami setelah kematiannya.
Seringkali
mereka
meninggal dengan
tidak
baik
atau secara
tidak
wajar
yang
lalu kemarahan roh tersebut mengakibatkan terjadi bencana maupun kekacauan.
6.
kami
yang
berasal dari
cerita
dalam
buku
pertama
Kojiki seperti
Dewa
Amaterasu, Izanagi dan Izanami, dan Susano O Mikoto.
|
13
Inti
ajaran
dalam agama
Shinto
adalah
untuk
memuja
kami,
yang
bisa
juga
diterjemahkan sebagai dewa atau roh alam (Littleton, 2002). Dalam agama Shinto tidak
terdapat alkitab
namun
mempunyai Kojiki dan Nihon shoki. Kojiki adalah catatan kuno
tentang Shinto dan Nihon shoki
merupakan cerita tentang sejarah Jepang. Dalam kojiki
diceritakan tentang Izanagi dan Izanami yang menciptakan pulau Jepang dan para dewa
Shinto. Dewa-dewa Shinto diciptakan pada saat Izanagi mensucikan dirinya di dataran
Ahagi di
Tachibana. Pada saat Izanagi
membersihkan mata kirinya maka lahirlah dewi
Amaterasu Omi Kami,
pada saat membersihkan mata kanannya maka lahirlah
Tsukiyomi No Mikoto dan pada saat membersihkan hidungnya maka lahirlah Susano O
Mikoto (Jorgenson, 2003).
Empat penegasan Shinto dalam Religious Tolerance (1995) adalah sebagai
berikut :
1. Tradisi dan keluarga.
Setiap keluarga selalu menjaga dan mempertahankan tradisi. Perayaan utama
keluarga berkaitan dengan kelahiran dan pernikahan.
2. Kecintaan akan alam
Alam itu suci, untuk berhubungan dengan alam maka harus mendekatkan diri
ke dewa. Objek-objek di alam disembah sebagai roh yang suci.
3. Kebersihan fisik
Setiap
pengikut Shinto
membasuh
diri
dan
tangan
mereka
serta berkumur
sesering mungkin.
4. Matsuri
Penyembahan dan penghormatan kepada kami dan roh nenek moyang.
|
14
Ono (1992:51-57) menjelaskan bahwa terdapat empat unsur penting dalam
upacara pemujaan Shinto, yaitu:
1)
Penyucian atau pembersihan (harai)
2)
Persembahan (shinsen)
3)
Doa ritual Shinto (norito)
4)
Pesta simbolik (naorai)
Unsur
pertama
berupa
penyucian
(harai) adalah ritual yang bertujuan untuk
membersihkan semua kotoran, kejahatan dan iblis yang dapat mengganggu kehidupan
yang sesuai dengan jalan kami
dan
kemanjuran
suatu
pemujaan
yang
disebut dengan
tsumi
(polution).
Penyucian
ini
dilakukan
oleh
para
pendeta.
Biasanya bila ritual ini
dilakukan oleh
pemuja, orang
awam ataupun pendeta
secara
individu
maka
dilakukan
secara simbolis dengan membersihkan mulut dan
membasuh
tangan dengan air bersih.
Ini
disebut
dengan temizu
yang
secara
harafiah
berarti
air
tangan.
Penyucian
formal
dilakukan oleh
seorang pendeta
yang
diawali
dengan
pembacaan
doa
penyucian
dan
mengayunkan tongkat penyucian dengan cara yang khas didepan individu, sekelompok
orang atau objek yang akan disucikan. Sebagai simbol dari penyucian adalah sebatang
bambu,
ranting
sakaki, atau batang padi yang dilekatkan dengan kertas putih yang
digantung ditempat-tempat tertentu.
Menurut
Picken
(1994:172)
terdapat
tiga
bentuk
cara
penyucian,
yaitu harai,
misogi
dan
imi.
Harai adalah
penyucian
yang
dilakukan
oleh
pendeta
dengan
menggunakan
harai-gushi
(semacam tongkat
yang
dilekati dengan
kertas putih)
yang
diarahkan dan dikibaskan kepada tempat atau orang yang akan disucikan. Misogi adalah
ritual penyucian yang sering disertai dengan penaburan garam atau air garam dan
|
15
penyucian yang dilakukan dengan berendam di sungai atau laut dan berdiri di air terjun.
Imi adalah penyucian berupa pantangan terhadap kata-kata tertentu dan tindakan tertentu,
misalnya kata kiru (potong) tidak boleh dipakai pada saat pernikahan selain itu kata deru
(keluar) juga dianggap tabu.
Persembahan (shinsen) sebagai unsur kedua dalam pemujaan Shinto merupakan
ritual yang tidak boleh diabaikan karena hal ini dipercaya dapat membuat kami terutama
nenek moyang merasa tidak senang dan ketidakberuntungan akan selalu menyertai orang
yang mengabaikan kewajiban ini. Persembahan biasanya menyesuaikan dengan tradisi
lama. Persembahan
yang paling sederhana adalah beras, garam, air, dan ranting sakaki.
Persembahan yang biasanya juga sering dijumpai adalah bunga-bunga petik. Empat jenis
persembahan yang umumnya dipersembahkan adalah:
1)
Uang
Persembahan
uang
dilakukan
dengan
melempar
koin
ke
dalam kotak
persembahan di depan dekat altar atau dengan berdana untuk kepentingan kuil.
2)
Makanan dan minuman
Persembahan makanan dapat berupa makanan yang belum dimasak maupun yang
telah dimasak. Adapula persembahan yang berupa makanan kesukaan dari Kami
yang dihormati sebagai orang yang bersejarah.
3)
Barang
Berbagai
macam benda
yang hebat termasuk ke dalam persembahan
ini, seperti
kertas dari jaman dulu, kain sutra atau katun, uang, perhiasan, senjata dan bahkan
alat pertanian. Di beberapa kuil terdapat pula persembahan hewan.
|
16
4)
Benda atau kegiatan simbolis
Persembahan benda simbolis biasanya berbentuk ranting tumbuhan sakral sakaki
yang dilekatkan dengan beberapa carik kertas putih yang disebut
tamagushi.
Berbagai
macam
hiburan, seperti
tarian,
drama,
gulat, dan
panahan
juga
dianggap
sebagai persembahan kepada
kami.
Musik
dan tarian
juga
bertujuan
untuk memberikan hiburan kepada kami
tetapi para pemuja juga dapat
menikmatinya. Berbagai hiburan itu disebut juga dengan kan-nigiwai yang sering
ditampilkan pula di berbagai perayaan matsuri.
Unsur ketiga adalah doa (norito). Doa-doa upacara yang dibacakan atau
dibawakan oleh pendeta di kuil adalah bahasa Jepang klasik. Doa upacara tersebut tidak
dimengerti oleh orang Jepang sekarang kecuali bagi yang khusus belajar mengenai hal
itu.
Pada
jaman dahulu,
banyak cerita sejarah
hebat
dan
catatan
penting
lainnya
yang
ditulis
dengan
indahnya
dan
dibuat
dengan
berirama
syair
untuk
memudahkan
diturunkan kepada generasi berikutnya.
Sesuai aturan doa akan dibuka dengan kata-kata pujian terhadap kami, membuat
beberapa
surat
keterangan untuk asal
mula
dan
sejarah
dimulainya
suatu
festival atau
acara, menunjukkan rasa terimakasih, melapor dan mengajukan permohonan kepada
kami,
menyebutkan
satu
persatu persembahan yang diberikan,
memberikan
nama
dan
status
pendeta,
dan
terakhir
menambahkan
kata-kata sebagai tanda hormat dan
kekaguman.
Unsur
yang
terakhir
adalah
pesta
simbolik
(naorai).
Di
setiap
akhir
upacara
Shinto terdapat pesta simbolik
yang disebut naorai
yang memiliki arti makan bersama
|
17
dengan
kami.
Kegiatan
ini
diisi
dengan
acara
minum
sake dimana
setiap teguk
sake
diminum dengan khidmat dan dilanjutkan dengan makan-makan penuh kegembiraan.
Menurut
Ross
(1983:75)
dalam
ajaran
Shinto terdapat
benda-benda
yang
dianggap suci seperti pedang, kaca dan mutiara. Tiga benda ini merupakan benda yang
sangat penting bagi umat Shinto. Ross menjelaskan arti dari ketiga benda itu sebagai
berikut:
The Mirror reflects from its bright surface every object as it really is, irrespective
of goodness or badness, beauty or the reverse. This is the very nature of the
Mirror, which faithfully symbolizes truthfulness, one of the cardinal virtues. The
Jewel signifies soft-hearted-ness and obedience, so that it becomes a symbol of
benevolence. The sword represents the virtue of strong decision, i.e. wisdom.
Without
the combined strength of these three
fundamental
virtues, peace in
the
realm cannot be expected.
Cermin
memantulkan/mencerminkan
dari permukaan terangnya setiap objek
seperti bentuk objek itu sendiri, tanpa tergantung kebaikan ataupun keburukan,
keindahan ataupun sebaliknya. Itu merupakan sifat
dasar
cermin,
yang dengan
jujur menggambarkan keadaan yang sebenarnya, salah satu dari pokok kebaikan.
Perhiasan mengartikan/menandakan kelembutan hati dan ketaatan/kepatuhan,
jadi perhiasan menjadi sebuah simbol/lambang perbuatan baik/kebajikan. Pedang
menggambarkan kebaikan/sifat
baik
keputusan yang kuat, yaitu kebijaksanaan.
Tanpa gabungan/kombinasi kekuatan tiga kebaikan/kebajikan dasar tersebut,
kedamaian tidak akan terwujud.
2.3
Konsep Matsuri
Matsuri adalah bagian dari budaya spiritual orang Jepang dan banyak mengambil
bentuk dari upacara yang berkenaan dengan kepercayaan yang diyakini. Matsuri disebut
juga
girei
atau
gyoji
yang
mengandung
arti
ritual
atau
upacara. Matsuri
itu
sendiri
mengandung dua
makna.
Makna
pertama
yaitu
untuk
mendoakan
arwah
para
leluhur
yang telah meninggal dunia dengan melakukan berbagai persembahan atau upacara, dan
makna kedua mengacu pada suatu perayaan oleh kelompok masyarakat yang bertujuan
|
18
untuk
memperingati
atau
merayakan
rasa
syukur
pada
dewa
atas dilimpahkannya
kemakmuran dan keselamatan. Matsuri juga merupakan upacara untuk memohon pada
dewa agar dilimpahkan keselamatan bagi penduduk setempat (Yanagita, 1987: 42).
Matsuri di Jepang awalnya dipusatkan pada ritual agraris seperti berdoa pada
musim semi untuk hasil panen yang berlimpah dan pada musim gugur merayakan hasil
panen, lalu setelah itu perayaan musim panas di kota menjadi bertambah untuk mengusir
roh
jahat dan penyakit. Semua perayaan
ini diperuntukan
untuk
mententramkan dewa
dan menjamin masyarakat untuk melanjutkan solidaritas dan kemakmuran, dan ini tidak
sampai pada
jaman
Edo perayaan ini
mulai
menjadi populer semacam
hiburan sehari-
hari dalam hidup (Tanaka, 1990:104).
Matsuri
menurut
The
Kodansha
Billingual
Encyclopedia
of
Japan (1998)
merupakan
festival
yang
berasal dari
bentuk perwujudan terhadap kepercayaan Shinto
yang
telah
dilakukan
sejak
lama
dan
dilaksanakan setiap tahunnya
pada tanggal yang
telah
ditentukan.
Matsuri
juga
berasal
dari
ritual
lama
Shinto
yang
memiliki
tujuan
untuk
menenangkan roh orang yang telah meninggal dan para kami, sebagai doa
memohon panen yang melimpah dan sebagainya. Ada pula beberapa matsuri yang
didalamnya memiliki percampuran dengan agama Budha, konfusianisme,dan negeri
Cina. Matsuri
merupakan tindakan secara simbolis agar manusia dapat berhubungan
dengan kami.
Tata
cara
pelaksanaan matsuri
sudah
ada
sejak
zaman
kuno
di
Jepang.
Pelaksanaannya
dahulu
dilakukan
secara
sederhana
dalam lingkup
keluarga atau
desa.
Matsuri yang dilakukan di dalam lingkup keluarga dipimpin oleh seorang kepala
keluarga. Matsuri ini biasanya dilakukan untuk menghormati para leluhur dan memohon
|
19
keselamatan pada dewa yang mereka
yakini, sedangkan matsuri dalam kelompok desa
dipimpin oleh seorang pemimpin kuil (toya) yang dihormati di desa itu dengan tujuan
untuk
memohon
keselamatan pada kami
yang diyakini. Matsuri
ini dapat pula berupa
upacara
memanjatkan rasa
syukur
atas
berhasilnya
panen pada tahun
itu
(Yudhasari,
2003: 72).
Penyelenggaraan upacara matsuri pada mulanya tidak dilakukan di jinja atau kuil
Shinto melainkan dilakukan di tempat yang diyakini sebagai tempat turunnya para dewa.
Tempat-tempat itu biasanya berupa pohon-pohon yang tinggi, batu karang, dan tempat
yang tinggi seperti gunung. Untuk menandai tempat-tempat itu, biasanya ditandai
dengan tali jerami yang dilingkarkan pada pohon atau batu yang digantungi kertas-kertas
suci
(shimenawa).
Shimenawa
diyakini
memiliki
kekuatan
untuk mengusir
segala
pengaruh jahat. Oleh penduduk setempat, di tempat-tempat seperti itu diberikan sesaji.
Lama
kelamaan
tempat
itu
menjadi
tempat yang
sering
didatangi
oleh
masyarakat.
Akhirnya, di tempat itulah didirikan jinja atau kuil Shinto (Yudhasari, 2003: 75).
Ono (1992:68-69)
menjelaskan bahwa di dalam matsuri biasanya terdapat
upacara pemindahan kami dari kuil ke dalam sebuah mikoshi yang merupakan jinja kecil
untuk kami. Sebagai simbol kami, di dalam mikoshi ditempatkan selembar kertas
yang
bertuliskan
nama kami tersebut. Kemudian mikoshi
ini akan dibawa ke
sebuah
tempat
yang
akan menjadi
tempat
peristirahatan
sementara
untuk kami
(otabisho) sebelum
dikembalikan
ke
kuil.
Mulanya matsuri
terdiri dari dua bagian dasar: pemberian
persembahan, puji-pujian, tarian dan naorai. Kemudian bagian ketiga ditambahkan,
yaitu parade
tandu kuil kecil
(mikoshi) atau kendaraan hias (dashi) ataupun keduanya.
Parade itu kemudian menjadi terkenal. Jika tidak terdapat parade-parade itu dalam
|
20
sebuah
matsuri
maka
tampak
bukan
seperti matsuri
yang
sesungguhnya.
Di
masa
sekarang parade mikoshi dan dashi adalah bagian terbesar dan indah dalam suatu
matsuri. Dalam kegiatan matsuri, laki-laki muda secara kasar menggoncang-goncangkan
sebuah
mikoshi
yang
suci
pada
pundak
mereka
dan bersorak
selagi
maju
ke
jalan.
Tujuannya adalah untuk membawa dewa yang telah turun ke kuil agar masuk ke dalam
mikoshi
tersebut
dan
diharapkan
roh-roh
baik
dapat
masuk
dan
roh-roh
jahat
dapat
keluar. Alasan lain digoncangkannya mikoshi tersebut adalah karena orang-orang Jepang
dahulunya
percaya bahwa kekuatan dewa ditingkatkan dengan
menggoncang-
goncangkannya.
Pada
beberapa matsuri
lokal,
para
pembawa mikoshi
menabrakan-
nabrakan mikoshi. Mereka percaya bahwa semakin kuat tabrakan yang dihasilkan maka
semakin besar kegembiraan dewa. Dashi juga muncul di berbagai matsuri. Dashi seperti
juga mikoshi, merupakan kendaraan yang sakral. (Ishikawa 1986:99)
Ritual
terakhir
matsuri
dalam Shinto
adalah kami
okuri
yang
merupakan
pengiriman kembali dewa ke tempat di mana dewa-dewa berasal. Tempat ini tidak harus
selalu jinja, bisa dimana saja antara lain, gunung, batu atau laut. Tempat-tempat tersebut
jauh dari komunitas manusia (Herbert, 42:1982).
Pada
akhir
zaman
Meiji,
fungsi matsuri
yang
tadinya
hanya
terbatas
pada
pemujaan leluhur di lingkup keluarga, bergeser menjadi suatu
kegiatan kelompok
masyarakat desa yang berfungsi sebagai wadah tempat berkumpul untuk merayakan,
memperingati, atau mengucapkan rasa syukur. Hal ini merupakan salah satu bentuk
implikasi dari kegiatan matsuri yang berfungsi mengikat rasa solidaritas sosial di antara
kelompok masyarakat setempat (Yanagita, 1987 : 44).
|
21
2.4
Konsep Tenjin Matsuri
Dalam Osaka-Info (2006) dijelaskan bahwa Tenjin Matsuri yang diadakan setiap
tahun pada tanggal 24 dan 25 Juli, termasuk salah
satu
dari
tiga
festival
terbesar
di
Jepang. Tenjin Matsuri telah diadakan oleh kuil Osaka
Temmangu selama 1000 tahun
dan
telah banyak mempengaruhi sejarah dan budaya
tradisional Osaka. Temma adalah
area yang berlokasi tidak jauh dari stasiun Osaka. Temma termasuk kota yang ramai di
Osaka, dengan
tempat-tempat perbelanjaan, kantor-kantor kecil, ruko-ruko, apartemen,
dan rumah-rumah tua. Kuil Osaka Temmangu berada di di daerah
ini dan orang-orang
menyebutnya dengan nama Temma no Tenjin-san (kuil Tenjin di Temma).
Festival Tenjin Matsuri di Osaka dirayakan untuk mengusir roh iblis pada musim
panas dan sebagai
upacara doa bagi arwah Sugawara Michizane (845-903 AD). Tenjin
Matsuri dimulai
tanggal 1 Juni tahun 951.
Tenjin pada dasarnya
memiliki arti Dewa
surgawi (heavenly god) tetapi kemudian kata ini secara khusus mengarah pada roh
seorang sarjana
hebat yang bernama Sugawara Michizane. Dulunya berbentuk
sebuah
upacara
yang
diadakan
di
akhir
musim panas
(pada
tanggal
30
Juni
sesuai
dengan
kalender lunar) yang disebut dengan nagoshi no harai. Sebuah hoko (halberd) dialirkan
di sungai Okawa yang berada di depan kuil Temmangu dan dimana hoko itu berhenti, di
situlah dijadikannya tempat sebuah otabisho, sebuah
lokasi yang dipakai untuk
tempat
munculnya Dewa Tenjin dan tempat orang menunjukkan tanda syukurnya atas hidup
damai dan bahagia yang diberikan.
Tahun
949, kaisar Murakami memerintahkan untuk mengabadikan Sugawara
Michizane (845-903) di kuil Temmangu. Orang-orang biasa
mengenal Michizane
sebagai Tenjin-san. Selama bertugas di
istana, Sugawara Michizane
menunjukkan
|
22
kemampuan
yang
hebat
dalam literatur.
Tapi sayangnya
dia
terlibat
dalam perebutan
kekuasaan dalam istana dan menjadi korban tipu daya politik yang kemudian diasingkan
ke Dazaifu (Kyushu), lalu setelah dua tahun ia wafat di sana.
Tepat setelah kematiannya, banyak terjadi bencana di Kyoto. Badai-badai hebat,
penyakit
menular,
salah
satu
bagian
dalam
istana kekaisaran
disambar
oleh
halilintar
dan
juga
orang-orang
yang
menfitnahnya
mati satu
per
satu.
Masyarakat
dikejutkan
dengan bencana ini dan diyakini bahwa semua ini disebabkan oleh tindakan Michizane
yang marah dan mati dalam keputus-asaan.
Walaupun
orang-orang
takut
kepadanya,
beberapa orang berpikir bahwa jika
mereka
memujanya,
maka
dia
akan
melindungi
mereka.
Saat
kaisar
Murakami
mendengar kabar itu, dia memerintahkan untuk mendirikan Temmangu dan begitulah
ceritanya
bagaimana Dewa
Tenjin
diabadikan.
Holtom (1991:179)
mengatakan
bahwa
Dewa
Tenjin
menjadi
salah
satu kami
dalam
Shinto
yang
dikenal
sebagai
dewa
pendidikan dan kaligrafi.
Sepanjang sejarah, festival ini diadakan pada tanggal-tanggal yang berbeda,
tetapi sekarang yoimiya (pembukaan festival) dirayakan pada tanggal 24 Juli dan
honmiya (puncak festival) dirayakan pada tanggal 25 Juli yang merupakan hari ulang
tahun Sugawara Michizane. Moyo-oshidaiko dan danjiri-bayashi memulai perayaan
pada
pukul
4
pagi
di
tanggal
24
Juli.
Lalu
diikuti
dengan yoimiyasai (upacara
pembukaan) dan pada tanggal 25 juli diisi oleh prosesi darat (riku-togyo) dan prosesi
perahu (funa-togyo). Semua itu dirayakan selama lebih dari 1000 tahun.
|
23
Berikut rincian lebih jelasnya mengenai urutan kegiatan ataupun ritual yang
terdapat dalam festival Tenjin Matsuri di Osaka.
1. Yoimiya (pembukaan festival) yang terbagi dalam yoimiyasai dan hokonagashi-
shinji.
2. honmiya (puncak
festival)
yang terbagi pula ke dalam natsu taisai, riku-togyo,
funa-togyo, dan kangyo-sai.
|