19
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi Kualitas
Tinggi
dan
rendahnya kualitas
suatu
produk
yang
dihasilkan oleh
suatu
perusahaan
yang
berhubungan langsung
dengan
kepuasan
dan
kepercayaan
konsumen.
Kualitas
merupakan
hal
utama
yang
mempengaruhi pertimbangan
konsumen dalam membeli suatu produk. Singkatnya kualitas merupakan faktor
kunci dalam menentukan pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup
suatu perusahaan, khususnya pada era sekarang ini.
Definisi 
kualitas  sangatlah 
bervariasi, 
menurut 
para 
pakar 
dibidang
kualitas, kualitas didefinisikan sebagai berikut¹ :
?
Menurut Vincent Gasperz
Kualitas
adalah
sebagai
konsistensi
peningkatan dan
penurunan
variasi
karakteristik
produk,
agar
dapat
memenuhi
spesifikasi dan kebutuhan,
guna
meningkatkan kepuasan pelanggan internal maupun external.
?
Menurut Juran
Kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan dan manfaatnya
?
Menurut Deming
Kualitas
harus
bertujuan
memenuhi
kebutuhan pelanggan
sekarang
dan
di
masa mendatang
1
Pengendalian Kualitas Statistik, (Dorothea Wahyu A, 3)
  
20
?
Menurut Feigenbaum
Kualitas
merupakan
keseluruhan
karakteristik produk
dan
jasa
meliputi
marketing,
engineering,
manufacture,
dan
maintanance,
dalam
mana
produk
dan
jasa
tersebut
dalam
pemakaiannya akan
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
harapan pelanggan.
2.1.2 Definisi Data Statistik
Data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat kualitatif  maupun
kuantitatif
yang  dipergunakan
sebagai
petunjuk
untuk  bertindak.
Berdasarkan
data,
kita
mempelajari
fakta-fakta
yang
ada
dan
kemudian
mengambil
tindakan
yang
tepat
berdasarkan
pada
fakta
itu.
Dalam
konteks
pengendalian proses
statistikal dikenal dua jenis data, yaitu :
Data Atribut (Attributes Data), yaitu data kualitatif yang dapat dihitung untuk
pencatatan dan analisis. Contoh dari data atribut karakteristik kualitas adalah :
ketiadaan
label
pada
kemasan
produk,
kesalahan
proses
administrasi buku
tabungan
nasabah,
banyaknya
jenis
cacat
pada
produk,
banyaknya
produk
kayu
lapis
yang
cacat
karena
corelap,
dll.
Data
atribut
biasanya diperoleh
dalam
bentuk  
unit-unit  
nonkonformans  
atau  
ketidaksesuaian   dengan
spesifikasi atribut yang ditetapkan.
Data Variabel (Variables Data) merupakan data kuantitatif yang diukur untuk
keperluan analisis. Contoh
dari
data
variabel karakteristik kualitas
adalah
:
diameter
pipa,
ketebalan produk
kayu
lapis,
berat
semen
dalam kantong,
banyaknya kertas setiap rim, konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-
  
21
ukuran berat,
panjang,
lebar,
tinggi,
diameter,
volume
biasanya
merupakan
data variabel.
Dalam
pengendalian
proses
statistikal
untuk
meningkatkan kualitas,
pengumpulan data bertujuan untuk :
1.   Memantau dan mengendalikan proses
2.   Menganalisis hal-hal yang tidak sesuai (non-conformance).
3.   Inspeksi.
Dalam 
kegiatan 
pengumpulan 
data 
perlu 
diperhatikan 
beberapa 
hal
berikut:
1.   Definisikan tujuan pengumpulan data secara jelas.
2.   Identifikasi jenis data (variabel atau atribut) yang akan dikumpulkan.
3.   Gunakan 
akat 
ukur 
yang 
dapat 
diandalkan 
untuk 
menjamin  keandalan
pengukuran.
4.   Tentukan cara yang tepat untuk mencatat data. Data asli harus dicatat secara
jelas., misalnya : waktu pencatatan, asal data, nama pencatat data, dll.
5.   Buatlah  formulir  pencatatan  data  yang 
memudahkan  untuk  penggunaan
selanjutnya.
2.1.3 Jenis Peta Kendali
Peta  kontrol  data  variabel  adalah  data  yang  diukur  untuk  keperluan
analisis. Adapun peta kontrol yang digunakan untuk jenis data ini adalah sebagai
berikut:
  
22
1.  Peta kontrol X-Bar dan R( Statistical Process Control)
2
Kedua
peta
ini
digunakan untuk
memantau proses
yang
mempunyai
karakteristik dimensi
kontinu,
sehingga
peta
kontrol
X-Bar
dan
R
sering
disebut
sebagai
peta
kontrol
untuk
data
variabel. Peta
X-Bar
menjelaskan
apakah perubahan – perubahan telah terjadi dalam ukuran titik pusat (control
tendency) atau rata rata dari suatu proses. Peta R
menjelaskan perubahan –
perubahan telah
terjadi
dalam
ukuran
variasi,
dengan
demikian
berkaitan
dengan perubahan homogenitas produk yang dihasolkan melalui suatu proses.
2.   Peta kontrol X dan MR (Moving Range)
Pembuatan
peta
ini
diterapkan
proses
yang
menghasilkan output
relative
homogen, misalnya cairan kimia, kandungan mineral dalam air, makanan, dan
sebagainya. Demikian
pula
dengan
kasus
kasus
dimana
inspeksi
100%
digunakan untuk proses produksi yang sangat lama.
3.
Peta kendali P Statistical Process Control
Digunakan   untuk   mengendalikan   proporsi   dari   item-item   yang   tidak
memenuhi syarat spesifikasi yang ditetapkan yang berarti yang dikategorikan
cacat.untuk
itu
definisi
operasional secara
tepat
tentang apa
yang
dimaksud
ketidaksesuaianc/apa yang dimaksud ketidaksesuaian /cacat sangatlah penting
dan harus dipahami oleh setiap pengguna pete pengendali P.adapun
langkah-
langkah pembuatan peta kendali P ( Proporsi
unit yang cacat )adalah sebagai
berikut :
2
Statistical Process Control : Managemen Bisnis Total, (Gaspersz, 112)
  
23
1.   Menentukan ukuran contoh yang cukup besar dan mengumpulkannya.
2.   Menghitung nilai proporsi cacat
?
Unit
Cacat
?
Inspeksi
3.   Menghitung nilai simpangan baku
Rumus simpangan baku (Sp) :
{
p
-
bar
(1
-
p
-
bar
)}
S
p  
=
S
p  
=
ni
0,0282
(¹ - 0,0282)
ni
Rumus simpangan baku dalam persentase (Sp, %)
{
p
-
bar
(100 - p - bar }
)}
S
p  
=
ni
S
p  
=
0,0282
(100 - 0,028²)
ni
Dimana ni = jumlah unit yang diinspeksi = jumlah unit yang diproduksi
4.   Menghitung batas kontrol 3-sigma
p
=
CL  =
Scacat
SJumlahPr oduksi
UCL =
p
+
3
p
(1- p)
ni
LCL =
p
-
3
p
(1- p)
ni
  
24
2.1.3.1 Variasi
Variasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk atau proses itu
sendiri.
Variasi
sendiri
merupakan
indikator
dari  pada
inkonsistensi
proses,
yang
menyebabkan banyak
produk
(output)
yang
tidak
sama.
Variasi
dapat
diukur
dengan
metode
statistik
dan
di
seringkali disebut
standar
deviasi-s-
merupakan
tingkat
penyimpangan pada
proses
yang
diketahui
dalam
satu
populasi. Variasi jelas merupakan musuh utama dalam usaha-usaha untuk dapat
meningkatkan kinerja
proses
dan
kualitas
produk.
Menurut Gaspersz³,
variasi
adalah
ketidakseragaman dalam
sistem
produksi
atau
operasional
sehingga
menimbulkan perbedaan dalam kualitas dalam output pada output (barang/jasa)
yang dihasilkan.
Untuk 
lebih  jelasnya  kedua  jenis  variasi  tersebut  dijabarkan  sebagai
berikut
:
?
Penyebab Khusus Variasi (special  causes  variation)
Variasi penyebab khusus
merupakan kejadian-kejadian diluar sistem yang
mempengaruhi
variasi
dalam
sistem.
Penyebab
khusus
dapat
bersumber
dari
manusia, peralatan, material, lingkungan, metode kerja, dan
lain-lain.
Penyebab khusus
ini
mengambil pola
non
acak
(non
random
patterns)
sehingga
dapat
diidentifikasikan/ditemukan. Sebab
mereka
tidak
selalu
aktif dalam proses tetapi
memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses
sehingga
menimbulkan variasi.
Dalam
konteks
pengendalian proses
statistical menggunakan peta-peta kendali, jenis variasi ini sering ditandai
dengan titik-titik pengamatan yang
melewati atau keluar dati
batas-batas
pengendalian yang didefinisikan.
3
Statistical Process Control : Managemen Bisnis Total, (Gaspersz, 28-29)
  
25
?
Penyebab Umum Variasi (common  causes  variation)
Merupakan
faktor-faktor di dalam sistem atau
yang
melekat pada proses
yang
menyebabkan timbulnya
variasi
dalam sistem
serta
hasil-hasilnya.
Penyebab umum sering disebub juga penyebab acak (random causes) atau
penyebab sistem
(system
causes).
Karena
penyebab umum
ini
selalu
melekat
pada
sistem
amaka
untuk
menghilangkannya
kita  harus
menelusuri elemen-elemen dalam sistem itu dan
hanya pihak
managemen
yang
dapat
memperbaikinya, karena
pihak
managemenlah
yang
mengendalikan sistem
itu.
Dalam konteks pengendalian proses statistical
dengan menggunakan peta kendali. Jenis variasi ini sering ditandai dengan
titik
pengamatan
yang
berada
dalam
batas-batas
pengendalian yang
didefiniskan.
Setiap
variasi
yang terjadi
pasti
akan
menimbulkan cacat
(defect)
pada
produk. Adapun pengertian dari cacat ialah semua kejadian atau peristiwa yang
mengindikasikan di
mana
produk
atau
jasa
gagal
memenuhi
kebutuhan
pelanggan atau definisi
yang
lain cacat adalah suatu kondisi dari
suatu produk
atau
jasa
yang
tidak
dapat
memenuhi spesifikasi
yang
telah
ditetapkan
oleh
standar
yang
berlaku
atau
tidak
dapat
digunakan dengan
baik
oleh
pelanggan
(fitness for use) karena tidak memenuhi satu atau beberapa persyaratan kualitas
pelanggan (critical to quality).
2.1.3.2 Pengendalian Proses dan Kapabilitas Proses
Pengendalian proses dalam hal ini artinya apabila proses telah berada
di bawah pengendalian statistical maka perlu menentukan kapabilitas proses,
yang
ditentukan
dengan
menggunakan ukuran
indeks
kapabilitas
proses
(Capability Process)  dan  indeks  performansi  Kane  (Capability Process
Kane / Cpk) serta memiliki standar deviasi 6s.
  
26
Berdasarkan Dorothea
cara menghitung kapabilitas proses
untuk
data variable adalah :
1.
Kemampuan proses (Capability Process)
Menentukan Nilai Cp
Apabila proses berada dalam batas pengendali statistik dengan peta
pengendali
normal
dan  rata-rata
proses  terpusat
pada  target,
maka
kemampuan proses dapat dihitung dengan :
C
p
=
U
-
L
6s
Adapun criteria – criteria penilaian, sebagai berikut :
Jika nilai Cp > 1.33 maka proses masih baik (capable).
Jika nilai Cp < 1 maka proses tidak baik (not capable).
Jika 1<Cp<1.33 maka proses memerlukan kendali.
2.
Kemampuan proses kane (Capability Process Kane / Cpk)
Indeks performansi kane merefleksikan kedekatan nilai rata – rata dari
proses
dekarang terhadap salah satu batas spesifikasi atas (USL)
atau
batas spesifikasi bawah (LSL) rumus yang digunakan pada Cpk adalah
:
C
pk 
=
min{C
pu
,
C
pl}
4
Pengendalian Kualitas Statistik, (Dorothea Wahyu A,153-155)
  
27
CPL :
CPU :
(X
- LSL)
=LSL)
3S
(
USL
=
-
X
)
3S
Dimana :   CPL
: indeks kapabilitas bawah
CPU
:
indeks kapabilitas atas
Jika nilai Cpk > 1 maka process performance masih baik (capable).
Jika nilai Cpk < 1 maka process performance tidak baik (not capable).
2.1.4 Program Peningkatan & Perbaikan Kualitas Six Sigma
2.1.4.1 Sejarah Six Sigma
5
Six
Sigma yang merupakan metode atau teknik pengendalian dan
peningkatan  kualitas  dramatik  pertama  kali  diperkenalkan  oleh  Motorola.
Pada tahun 1988 Bob Galvin, selaku CEO Motorola
menerima penghargaan
Malcolm  Baldrige  National  Quality  Award  (MBNQA) 
untuk  penerapan
metode
Six Sigma
pada
perusahaan
tersebut.
Sejarahnya
adalah
pada
tahun
1980-an dan awal 1990-an, Motorola merupakan salah satu dari banyak
korporat AS dan Eropa dimana produk yang mereka luncurkan dimakan oleh
para pesaing Jepang. Konsep mutu berbasis TQC/QCC yang diperkenalkan di
Jepang telah membuat banyak perusahaan barat kehilangan daya saingnya,
seperti
juga kebanyakan
perusahaan
di
AS
saat
itu Motorola
tidak
memiliki
program “kualitas”.
Tetapi pada tahun 1987, keluar sebuah pendekatan baru
dari sector komunikasi Motorola-pada saat
itu dikepalai oleh George Fisher,
5
The Six Sigma Way (Pande, 5-9)
The Six Sigma Handbook (Pyzdek, 1-5)
  
28
yang kemudian
menjadi top executive di Kodak. Konsep perbaikan
inovatif
itu disebut “Six Sigma”.
Six
Sigma 
memberikan kepada
Motorola
sebuah cara
sederhana dan
konsisten
untuk
melacak
dan
membandingkan
kinerja
dalam persyaratan
pelanggan dan sebuah target bisnis ambisius dari kualitas yang sempurna
secara praktis.
Sebagaimana Six Sigma 
menyebar keseluruh perusahaan dengan
dukungan kuat dari chairman Motorola, Bob Galvin, Six Sigma memberikan
”otot” ekstra kepada Motorola untuk mencapai tujuan-tujuan
yang pada saat
itu sepertinya tidak mungkin, dimana target awal pada tahun 1980-an sebesar
10 kali peningkatan pada lima tahun, diperkecil menjadi 10 kali peningkatan
setiap 2 tahun atau 100 kali dalam 4 tahun.
Hanya 
kurang 
dari 
dua 
tahun 
setelah 
meluncurkan 
Six 
Sigma,
Motorola
mendapat
penghargaan
MBNQA, seperti
telah
dijelaskan
diatas.
Karyawan total perusahaan naik dari 71.000 pada tahun 1980, menjadi lebih
dari 130.000 saat ini. Namun demikian, dalam dekade antara permulaan Six
Sigma pada tahun 1987 dan 1997, prestasi-prestasi
yang dicapai
Motorola
adalah :
?
Pertumbuhan  lima  kali  lipat  dalam  penjualan,  dengan  laba  meningkat
hampir 20% per tahun.
?
Penghematan  kumulatif  berdasarkan  usaha-usaha  Six Sigma ditetapkan
pada $14 milliar, termasuk penurunan COPQ lebih dari pada 84%.
?
Pendapatan harga saham (share price) Motorola ditutup pada rate tahunan
sebesar 21,3%.
?
Peningkatan produktivitas rata-rata 12,3% per tahun.
?
Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99,7%.
Dewasa ini, Motorola terkenal di
seluruh dunia sebagai pemimpin
kualitas.   Untuk   pencapaian   kualitas   dan   tujuan   pemenuhan   kepuasan
  
29
pelanggan
sepenuhnya,
Motorola
berkonsentrasi
pada beberapa
inisiatif
operasional
kunci
dan
pada
daftar paling
atas
adalah”Kualitas
Six
Sigma”,
suatu pengukuran statistik variasi dari suatu hasil yang diharapkan.
Bahkan  lebih  dari  sekadar  sekumpulan  peraturan  untuk  hasil-hasil
yang ditargetkan, Motorola telah
menerpakan Six Sigma sebagai sebuah cara
untuk
mentransformasi
bisnis,
sebuah cara yang didorong komunikasi,
pelatihan, kepemimpinan, teamwork, pengukuran dan fokus pada pelanggan.
Sementara Motorola menggunakan Six Sigma untuk mempertahankan
posisinya
dalam pasar
global
untuk
tetap
dapat
bersaing,
maka
General
Electric adalah
jawaban
untuk
Pertanyaan
berikut:
Bagaimana
kami
lebih
memperkuat kemajuan perusahaan yang sudah dicapai?
Jack
Welch,
CEO
GE
meminta
setiap
karyawannya
untuk
menjadi
“gila kualitas”. Welch
meluncurkan
usaha perbaikan tersebut di akhir tahun
1995 dengan 200
proyek
dan
program pelatihan
intensif, bergerak
ke
3000
proyek dan pelatihan yang lebih banyak di tahun 1996. Contoh keberhasilan
penerapan Six Sigma di GE dapat dilihat di bawah ini:
1.   Tim Six Sigma di unit GE’s lighting telah memperbaiki masalah-masalah
dalam pembayarannya
kepada
salah
satu
pelanggan
top-nya
yakni
Wal
Mart, menghapus defect faktur dan perselisihan sebesar 98%.
2.   Bisnis 
jasa 
GE 
Capital 
mempersingkat 
proses 
tinjauan  kontrak  dan
mencapai penghematan tahunan sebesar $1 milliar.
3. 
Menggunakan alat dan metodologi
Six Sigma, sebuah tim dari Sistem
Kedokteran
GE    dan    Pusat    Penelitian    dan    Pengembangan    GE
mengembangkan pipa Performix 630 baru dengan atribut-atrinut yang
diinginkan pelanggan.
Angka-angka
luar
biasa dibalik
inisiatif Six
Sigma
dari
GE hanyalah
memberikan sebagian dari kisah sukses GE. Dari tahun awal atau tahun-tahun
dari
usaha
untuk
mencapai
titik
impas,
hasil
diakselerasi
sebesar
$750 juta
  
30
menjelang
akhir
tahun
1998, perkiraan
$1,5
milliar
pada akhir tahun
1999.
Para pemimpin di GE menyebut hasil-hasil tersebut sebagai bukti yang paling
dapat dilihat dari kontribusi finansial
yang telah dibuat oleh Six Sigma.
Six
Sigma telah menyebar bagai api ke seluruh
perusahaan
dan
ini
mengubah
segala sesuatu yang kita perbuat”, ujar Welch. (Byrne, 1998)
2.1.4.2 Definisi Six Sigma
6
Secara statistik, Six Sigma adalah suatu ketentuan yang mensyaratkan
suatu
proses
beroperasi
pada
batas
toleransi
perekayasaan terdekat
adalah
paling
sedikit
±6s
dari
rata-rata
proses.
Dalam persepsi
teknis
untuk
pengendalian  proses  maka  Six  Sigma  dapat  berarti  kepada  target  kinerja
operasi yang diukur secara statistik dengan hanya 3,4 cacat (defect) untuk
setiap satu juta kejadian atau “peluang”. Seringkali dinamakan 3,4 DPMO
(Defect Per Million Opportunities) atau 3,4 PPM (Parts Per Million). Cara lain
untuk
menentukan Six Sigma adalah sebagai usaha
“perubahan budaya” agar
posisi
perusahaan
di
pasar
ada
pada kepuasan pelanggan, profitabilitas dan
daya
saing
yang
lebih
besar.
Definisi
yang
terakhir ini
lebih
disukai
oleh
mereka yang memiliki latar belakang manajemen dan ekonomi. Dari sekian
banyak definisi -ukuran,
tujuan ataupun perubahan budaya - yang ada mana
yang paling sesuai untuk mendeskripsikan kata “Six Sigma” dengan tepat?
Sebenarnya tidak ada satupun dari definisi diatas
yang
kurang
tepat,
atau yang paling tepat sekalipun. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya
dari
bab
ini
bahwa Six
Sigma
bukanlah
suatu
program
teknis
keseluruhan dan juga tidak selalu menekankan pada statistik. Six Sigma lebih
6
The Six Sigma Way (Pande,xi)
  
31
kepada suatu pendekatan manajemen untuk
mencapai
tujuannya
berupa
kepuasan pelanggan, peningkatan produktivitas, penurunan tingkat produk
yang
cacat
dan
secara
umum peningkatan
kinerja
perusahaan
yang
dapat
dibuktikan dengan laba, penghematan tahunan, nilai harga saham, market
share, employee turnover dan lain-lain. Akan tetapi metode ini juga memiliki
basis yang cukup kuat pada statistik, terutama jika kita berbicara kepada
ukuran (atau
tujuan)
yang menjadi
indikator awal bagi tercapainya target
kualitas seperti yang diharapkan atau seperti yang dijanjikan
oleh metode
tersebut
yaitu
penurunan
tingkat
cacat hingga
mencapai
3,4
DPMO
dengan
batas toleransi persyaratan (UCL
dan
LCL)
mencapai ±6s
terhadap
rata-rata
proses.
Dengan
pemahaman
menyeluruh
tentang
konsep
Six Sigma sebagai
suatu
pendekatan manajemen
berbasis statistik
yang
menekankan
pada
tujuannya berupa peningkatan kinerja bisnis serta fokus pada hasil-hasil yang
ditargetkan
maka dalam bukunya,
The
Six
Sigma
Way,
(Peter
S
Pande82),
mendefinisikan Six Sigma secara luas:
Six Sigma adalah sebuah sistem berupa pendekatan
manajemen  yang
komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan dan
memaksimalkan sukses bisnis, juga Six Sigma secara unik dikendalikan oleh
pemahaman 
yang  kuat  terhadap  kebutuhan 
pelanggan,  pemakaian 
yang
disiplin terhadap fakta, data dan analisis statistik dan perhatian yang cermat
untuk mengelola, memperbaiki dan menanamkan kembali proses bisnis demi
tercapainya tingkat kualitas 6s
  
32
2.1.4.3 Konsep Six Sigma Secara Statistik
Sigma adalah
sebuah unit pengukuran
statistik
yang
mencerminkan
kapabilitas proses. Sigma adalah sebuah cara untuk menentukan atau bahkan
memprediksikan
kesalahan
atau
cacat
dalam
proses,
baik
dalam proses
manufaktur atau pengiriman sebuah pelayanan. Jika perusahaan kita sudah
mencapai level 6 sigma berarti dalam proses kita tersebut mempunyai peluang
untuk defect
atau  
melakukan kesalahan sebanyak 3,4 kali dari 1000000
kemungkinan (ooportunity). 
Dari hasil perhitungan yang dilakukan dengan
memperbandingkan nilai sigma, didapatkan perbandingan sebagai berikut
7
:
Tabel 2.1 Perbandingan Hasil 3.8 Sigma dengan 6 Sigma
Pencapaian Tujuan-Apa yang telah anda dapatkan
Sampel
3,8 Sigma
6
Sigma
Untuk setiap 300.000 surat
yang diantar
3000 salah kirim
1
salah kirim
Melakukan 500.000 kali
melakukan restar komputer
4.100 berbenturan
<
2 berbenturan
Untuk 500 tahun dari tutup
buku akhir tahun
60 bulan tidak seimbang
0,018 bulan tidak seimbang
Untuk setiap minggu
penyiaran TV (per channel)
1,68 jam gagal mengudara
1,8 detik gagal mengudara
Proses
Six Sigma Motorola
berdasarkan pada distribusi
normal
yang
mengizinkan  pergesaran  1.5  sigma  dari  nilai  target.  Konsep  Six Sigma
menurut Motorola ini berbeda dengan konsep
distribusi
normal
yang
tidak
memberikan kelonggaran akan pergeseran. Nilai pergeseran 1.5 sigma ini
diperoleh  dari  hasil  penelitian  Motorola  atas  proses  dan  sistem  industri,
dimana menurut hasil penelitian bahwa sebagus-bagusnya  
suatu proses
industri (khususnya mass production) tidak akan 100 persen berada pada suatu
titik nilai target tapi akan ada pergeseran sebesar rata-rata 1.5 sigma dari nilai
tersebut :
7
The Six Sigma Way (Pande, 13)
  
33
Gambar 2.1 Pergeseran Tingkat Sigma dalam konsep Six Sigma Motorola
Seperti
yang
terlihat
dalam gambar
bahwa
rata-rata
proses
dapat
menyimpang sebesar ±1,5s dalam asumsi normalitas. Apabila rata-rata proses
menyimpang sejauh 1,5s ke arah kanan (USL), maka level sigma dari proses
akan sebesar 4,5s dan arah yang berlawanan akan menghasilkan 7,5s. Secara
umum apabila proyek Six Sigma dijalankan dengan baik dan konsisten dalam
jangka panjang maka pergeseran 1,5s
adalah
satu ketentuan yang dapat
dimaklumi. Jadi dalam implementasi jangka panjang
yang dimaksud dengan
Six Sigma”  itu  adalah  6s  dengan  asumsi  pergeseran  1,5s  pada  rata-rata
proses  dari  target  yang  telah  ditetapkan.  Adapun  DPMO  yang  dihasilkan
untuk tingkat pengelolaan Six Sigma ini adalah sebesar 3,4 PPM dan 99,99966
%
dari data akan berada dalam batas toleransi 6s atau Yield sebesar 99,99966
%. Perbandingan antara proses dengan konsep pure Six Sigma, dimana rata-
rata proses adalah tetap, dengan konsep Six Sigma Motorola, dimana rata-rata
proses
diasumsikan
menyimpang
1,5s
dalam jangka panjang
adalah
seperti
dibawah ini:
  
34
Tabel 2.2 Level Sigma dan Tingkat DPMO
8
Sigma Quality
Level
Mean, fixed
Mean, with 1,5
shift
Defect Rate (ppm)
Defect Rate (ppm)
3
2.700
66.811
4
63,40
6.210
5
0,57
233
6
0,002
3,4
Untuk lebih jelasnya tentang tabel
konversi
level
sigma
dan
juga
DPMO-nya dapat dilihat dibagian lampiran. Menurut penelitian di Amerika
Serikat, apabila perusahaan serius dalam penerapan program Six Sigma maka
hasil-hasil berikut dapat diperoleh:
1.   Terjadi
peningkatan
1-sigma
dari
3-sigma
menjadi
4-sigma
pada
tahun
pertama.
2.   Pada  tahun  kedua,  peningkatan  akan  terjadi  dari  4-sigma  menjadi  4,7
sigma.
3.   Pada tahun ketiga, peningkatan akan terjadi dari 4,7 menjadi 5-sigma.
4.   Pada tahun keempat, peningkatan terjadi dari 5-sigma menjadi 5,1-sigma.
5.   Pada  tahun-tahun  selanjutnya,  peningkatan  rata-rata  adalah  0,1-sigma
sampai maksimum 0,15-sigma setiap tahun.
Sebelumnya  dikatakan  bahwa  dibutuhkan  waktu  rata-rata  8  tahun
untuk beralih dari tingkat operasional 4-sigma ke 6-sigma, yang berarti harus
terjadi peningkatan sebesar 6210/3,4 = 1826,471 kali peningkatan selama 8
8
Pengendalian Kualitas Statistik, (Dorothea Wahyu A, 192)
  
35
tahun atau secara rata-rata sekitar 228,3 kali “peningkatan” setiap tahunnya.
Suatu
peningkatan
yang
dramatik
untuk mencapai level perusahaan kelas
dunia. Peningkatan dari 3-sigma sampai 4,7-sigma
memberikan
hasil
yang
mengikuti kurva eksponensial (mengikuti deret ukur), sedangkan peningkatan
dari 4,7-sigma sampai 6-sigma mengikuti gerak kurva linear (mengikuti deret
hitung).
2.1.4.4 Enam Tema Penting Six Sigma
Untuk dapat menerapkan metode Six Sigma secara optimal hal yang
perlu diperhatikan adalah
mengetahui
enam tema kunci dari (Pande)
metode
Six
Sigma
itu
sendiri.
Enam tema
ini
sering
juga
ditafsirkan
sebagai
“persyaratan
utama” dalam
mengembangkan
metode
Six
Sigma,
enam tema
kunci tersebut ialah
9
:
1.   Fokus sungguh-sungguh kepada pelanggan (Customer Focus).
2.   Manajemen yang digerakkan oleh data dan fakta (Management by Fact).
3.   Fokus pada Proses, Manajemen dan Perbaikan (Continous Improvement).
4.   Manajemen Proaktif (Proactive Management).
5.   Kolaborasi tanpa Batas (dari Jack Welch).
6.   Dorongan untuk Sempurna, tetapi Toleransi terhadap Kegagalan.
Adapun keuntungan-keuntungan yang dapat diraih perusahaan dari
penerapan metode Six Sigma ini adalah
10
:
9
The Six Sigma Way (Pande, 17-19)
10
The Six Sigma Way (Pande, xi)
  
36
1.   Pengurangan biaya produksi akibat inefisiensi produksi.
2.   Peningkatan Produktivitas.
3.   Pertumbuhan pangsa pasar (Market Share).
4. Retensi/Loyalitas
Pelanggan
(Customer
Loyalty),
akibat
kepuasan
pelanggan.
5.   Pengurangan Waktu Siklus (Reduce Cycle Time).
6.   Pengurangan tingkat produk yang cacat (Reduce Defect Rate).
7.   Pengembangan Produk dan Jasa (Product and Service Development).
8.   Meningkatnya   pengetahuan   dan   kesadaran   karyawan   akan   budaya
kualitas.
9.   Memberikan sebuah konteks yang baru terhadap alat-alat yang familiar.
10. Memperkenalkan
sebuah
model
yang
baru
merupakan
dasar
pemikiran
yang
positif untuk
memberikan
peluang
yang
segar
bagi
banyak
orang
untuk mempelajari dan mempraktikan alat-alat tersebut.
11. Menciptakan sebuah pendekatan yang konsisten.
12. Memprioritaskan pelanggan dan pengukuran.
13. Membuat
awal
yang
baik.
DMAIC
dapat
membantu
perusahaan
untuk
meletakkan
Six Sigma sebagai
suatu
pendekatan
yang
sungguh-sungguh
berbeda dan lebih baik.
  
37
2.1.5 Model Perbaikan DMAIC
Ada
beberapa
model
struktur
dalam peningkatan
kualitas
Six
Sigma
11
.
Salah satu yang paling banyak dipakai adalah metode DMAIC.
DMAIC  merupakan  proses  untuk  peningkatan  terus  menerus  menuju
target
Six Sigma.
DMAIC
dilakukan
secara
sistematik, berdasarkan
ilmu
pengetahuan dan fakta.
2.1.5.1 Define
Define merupakan langkah operasional pertama dalam program
peningkatan
kualitas Six Sigma. Langkah-langkah
yang terdapat dalam fase
Define antara lain, menentukan atau mendefinisikan tujuan dari proyek Six
Sigma
,membuat
gambaran
secara
keseluruhan dari perusahaan baik
SIPOC
Diagram dan Peta Proses Operasi.
2.1.5.1.1 SIPOC Diagram
12
SIPOC adalah singkatan dari Supplier, Inputs, Process, Output dan
Customer. SIPOC adalah sebuah peta proses yang di dalamnya
teridentifikasi siapa pemasoknya, apa inputnya, bagaimana prosesnya, apa
hasilnya dan siapa saja pemakainya. Langkah-langkah pada pembuatan
SIPOC:
?
Menamakan proses.
?
Membuat batasan titik awal dan akhir proses
11
The Six Sigma Way (Pande, 150)
12
The Six Sigma Way
(Pande,179)
  
38
?
Membuat daftar output dan pelanggan.
?
Membuat daftar input dan pemasok.
?
Identifikasi, beri
nama dan
urutkan
langkah-langkah yang ada dalam
proses.
2.1.5.1.2 Peta Proses Operasi
Peta
proses operasi¹³
adalah
peta
kerja
yang
mencoba
menggambarkan
urutan
kerja
dengan
jalan
membagi
pekerjaan tersebut
elemen-elemen operasi secara detail. Disini tahapan proses operasi
kerja
harus diuraikan secara logis dan sistematik. Dengan demikian keseluruhan
operasi kerja dapat digambarkan dari awal samapi produk akhir, sehingga
analisa perbaikan dari masing-masing operasi kerja secara individual
maupun urutan secara keseluruhan akan
dapat
dilakukan.
Peta
proses
operasi   ini   akan   memberikan   daftar   elemen-elemen   operasi   suatu
pekerjaan  secara  berurutan.  Untuk  pembuatan  peta  operasi 
ini  maka
ASME (American Society of Mechanical Engineers) yang dipakai adalah
symbol  operasi,  inspeksi,  gabungan  operasi  dan  inspeksi,  dan
penyimpanan. Dengan adanya informasi-informasi yang bisa dicatat
melalui peta operasi ini, banyak manfaat yang bisa diperoleh, yaitu :
?
Data kebutuhan jenis proses atau mesin yang diperlukan.
?
Data kebutuhan bahan baku dengan
memperhitungkan efisiensi pada
setiap elemen operasi kerja atau pemeriksaan.
13
Ergonomi : Studi Gerak dan Waktu (Sritomo, 131-133)
  
39
?
Pola tata letak fasilitas kerja dan aliran pemindahan material.
?
Alternatif-alternatif perbaikan prosedur dan tata cara kerja yang sering
dipakai.
banyaknya peluang dari suatu produk
untuk dapat/tidak dapat memenuhi
persyaratan pelanggan dan spesifikasi standar.
2.1.5.2 Measure
Measure
merupakan
langkah
operasional
kedua
dalam rangka
peningkatan
kualitas
dalam metode
DMAIC.
Pada
tahap
ini
dilakukan
pengukuran dan mengenali dan menginventarisasi karakteristik kualitas kunci
kualitas (CTQ).
Tahap pengukuran ini sangat penting peranannya dalam meningkatkan
kualitas,
karena
dapat
diketahui
keadaan
perusahaan dari
data
yang
ada
sehingga menjadi patokan atau dasar untuk melakukan analisa dan perbaikan.
2.1.5.2.1 Critical To Quality  ( CTQ )
Critical
to Quality¹
4
adalah
persyaratan
–persyaratan
yang
dikehendaki oleh pelanggan. CTQ yang merupakan kualitas yang
ditetapkan harus berhubungan langsung dengan kebutuhan sepesifik
pelanggan, yang diturunkan secara langsung dari persyaratan-persyaratan
output. Kebutuhan spesifikasi pelanggan harus dapat diterjemahkan secara
tepat
kedalam karakteristik
kualitas
yang
ditetapkan
oleh
manajemen
organisasi.  Karakteristik  kualitas  kunci  adalah  kelompok  dari  ukuran-
14
The Six Sigma Way (Pande, 28)
  
40
15
Statistical Process Control (Gaspersz, 108)
ukuran persyaratan kualitas utama
yang sangat vital perananya bagi
pelanggan.
Karena sangat vital
maka
informasi
CTQ
ini
seringkali
dikumpulkan dengan menggunakan metode VOC atau Voice of Customer,
yang merupakan cara pengumpulan data suara pelanggan secara langsung.
Sistem pengumpulan
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk
dengan metode survey atau wawancara langsung. Bentuk dari CTQ ini
biasanya dinyatakan dalam format CTQ Tree yang merupakan penjabaran
dari beberapa karakteristik kualitas kunci bagi pelanggan yang akan
dibahas dan dipecahkan kasusnya.
2.1.5.2.2 Pengukuran Kinerja Proses
1. Membuat 
Control 
Chart
15
atau 
peta 
kontrol 
pertama 
kali
diperkenalkan
oleh Dr. Walter Shewhart pada tahun 1924. Dengan
maksud untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan
variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus dari variasi yang
disebabkan oleh penyebab umum.
Pada dasarnya peta-peta
kontrol
dipergunakan untuk :
a.
Menentukan
apakah
suatu
proses
berada
dalam pengendalian
statistical?
Dengan demikian
peta-peta
control
digunakan
untuk
mencapai suatu keadaan terkendali secara statistical.
b.   Memantau proses terus menerus sepanjang waktu agar proses tetap
stabil
secara
statistical dan hanya mengandung variasi
penyebab
umum.
  
41
16
Statistical Process Control (Gaspersz, 147)
c.
Menentukan kemampuan proses. Setelah proses berada dalam
pengendalian
statistikal,
batas-batas
dari
variasi
proses dapat
ditentukan.
Tabel 2.3  Jenis Data dan Peta Kendalinya
Jenis Data
Jenis Peta kendali
Data Atribut
Merupakan
data
kualitatif  
yang dapat
dihitung untuk pencatatan dan analisis.
Data atribut
biasanya diperoleh
dalam
bentuk unit-unit nonconforms atau
ketidaksesuaian  dengan  spesifikasi
atribut yang ditetapkan.
?
Peta p
?
Peta np
?
Peta u
?
Peta c
Data Variabel
Merupakan data kuantitatif
yang
diukur
untuk keperluan analisis. Ukuran-ukuran
berat, panjang, lebar, tinggi, diameter,
volume,  biasanya  merupakan  data
variable
?
Peta X-bar dan R
?
Peta X-bar dan MR
?
Peta X-bar dan S
?
Peta kendali p
16
Peta
kendali
p
adalah
alat
statistik untuk mengevaluasi
proporsi
kerusakan atau proporsi ketidaksesuaian, yang dihasilkan oleh
sebuah proses. Dengan demikian peta kendali digunakan untuk
mengendalikan proporsi ketidaksesuaian dari
item-item yang tidak
memenuhi  syarat  spesifikasi  kualitas  atau  proporsi  dari  produk
cacat yang dihasilkan dalam suatu proses. Berikut adalah langkah-
langkah pembuatan peta kendali p :
  
42
1.   Hitung  untuk setiap subgroup nilai proporsi unit cacat
2.   Hitung  rata-rata  dari p
3.   Hitung  batas  kendali  untuk  peta  kendali  p,  dengan  rumus
dibawah ini
 
Scacat
p
=
SJumlah Pr oduksi
CL = p
 
p(1 - p)
UCL = p + 3
 
LCL = p - 3
ni
p(1 - p)
ni
Plot data proporsi unit cacat dan amati apakah data itu berada dalam
pengendalian statistical atau tidak.
Penggunaan Software Minitab 13 
1.   Masukkan data proses dalam tabel
Gambar 2. 2 Tampilan Pengisian Data
2.   Clic Stat > Control Chart > P
  
43
3.   Masukkan produksi dalam variable
4.   Masukkan besar ukuran sampel dalam subgroup in
Gambar 2. 3 Tampilan Pengolahan Data
5.   Klik OK
Gambar 2. 4 Tampilan Hasil Peta kendali p
  
44
?
Peta kendali X-bar dan R
17
Digunakan untuk memantau
proses yang mempunyai
karakteristik
berdimensi kontinu. Peta kontrol X-bar
menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi
adalam ukuran
titik
pusat
atau
rata-rata
dari
suatu
proses.
Sedangkan peta kontrol R, yaitu peta yang menjelaskan tentang
apakah   perubahan-perubahan   telah   terjadi   dalam   ukuran
variasi, dengan demikian berkaitan dengan dengan perubahan
homogenitas produk yang dihasilkan melalui suatu proses.
Berikut adalah rumus untuk batas kendali X-bar dan R.
Batas kendali X-bar
UCL = X + (A2*
R
)
CL   =
X
LCL =
X
-
(A2*
R
)
Batas kendali R
UCL = D
4
*
R
CL =
R
LCL  = D3*
R
Keterangan : A2 = konstanta dari tabel
D
4
= konstanta dari tabel
D3 = konstanta dari tabel
17
Statistical Process Control (Gaspersz, 112)
  
45
Penggunaan Software Minitab 13
1.   Masukkan data sampel produksi dan berat dalam tabel
2.   Klik Stat > Control Chart > X-bar dan R
3.   Pada bagian subgroup masukkan n1-n5
Gambar 2. 5 Tampilan Pengisian Data
Gambar 2. 6 Tampilan Pengolahan Data
  
46
Gambar 2. 7 Tampilan Hasil Peta kendali X-bar dan R
2.  Pengukuran kapabilitas proses saat ini untuk mengetahui  seberapa baik
proses dapat memproduksi produk yang bebas dari cacat.
?
Kapabilitas Proses Berdasarkan Data Variabel
18
Kapabilitas
adalah
kemampuan
dari
proses
dalam menghasilkan
produk 
yang 
memenuhi 
spesifikasi. 
Jika  proses 
memiliki
kapabilitas yang baik,proses itu akan menghasilkan
produk yang
berada dalam batas-batas spesifikasi ( di antara batas bawah dan
batas
atas spesifikasi).
Sebaliknya,
apabila proses
memiliki
kapabilitas yang jelek, proses itu akan menghasikan banyak produk
yang berada di luar batas-batas spesifikasi, sehingga menimbulkan
kerugian karena banyak produk akan ditolak. Apabila ditemukan
banyak
produk
yang
ditolak
atau
terdapat
banyak
scrap,
hal
itu
akan mengindikasikan bahwa proses produksi memiliki kapabilitas
yang rendah atau jelek. Rumus untuk kapabilitas proses adalah :
Cp = (USL – LSL)/6 (
R
/ d2)
Dimana : Cp = indeks kapabilitas proses
18
Statistical Process Control (Gaspersz, 79-81)
  
47
USL = batas spesifikasi atas
LSL = batas spesifikasi bawah
R   
= rata-rata range
d
2     
= konstanta (tabel)
Jika indeks kapabilitas proses lebih besar atau sama dengan
satu (Cp =
1), hal ini menunjukkan bahwa proses memiliki
kapabilitas
yang baik,
yang berarti
bahwa proses mampu
menghasilkan
produk
yang
berada
dalam batas-batas
spesifikasi.
Sebaliknya, jika nilai indeks kapabilitas proses lebih kecil daripada
satu
(Cp
< 1),
hal
ini
menunjukkan
bahwa proses memiliki
kapabilitas
yang
jelek, yang
berati
bahwa
proses
tidak
mampu
menghasilkan produk yang sesuai dengan batas-batas spesifikasi.
?
Cp > 1.33 , maka proses dianggap sangat mampu (capable)
?
1
=
Cp
=
1.33,
maka  kapabilitas
proses
baik,
namun
perlu
pengendalian ketat apabila Cp mendekati 1
?
Cp 
1, 
maka 
kapabilitas 
proses 
rendah, 
sehingga 
perlu
ditingkatkan performasinya melalui perbaikan proses itu.
Biasanya indeks kapabilitas proses (Cp) digunakan bersamaan
dengan indeks performasi. Indeks Performasi Kane (Cpk),
merefleksikan kedekatan nilai rata-rata dari proses sekarang
terhadap
salah
satu
batas
spesifikasi
atas (USL)
atau batas
spesifikasi bawah (LSL). Cpk diduga berdasarkan formula sebagai
berikut :
  
48
Cpk = min {Cpl ; Cpu}
Dimana :
Cpl
(X - LSL)
=
3 R/d )
(R/d )
2
Cpu =
(USL - X)
3
(R/d
)
2
?
Kapabilitas Proses Berdasarkan Data atribut
19
Untuk
mengdapatkan
nilai
kapabilitas proses untuk data atribut
adalah dengan rumus sebagai berikut :
Cp = 1-
p
Dimana : Cp = indeks kapabilitas proses
= rata-rata proporsi cacat
Sebagai contoh kapabilitas proses dari perusahaan adalah 1-0.202
=  0.798  atau  sekitar  80  %,  hal  ini  serupa  dengan  kemampuan
proses menghasilkan prosuk cacat sekitar 20 %. Dengan demikian
apabila
pihak
managemen
ingin
meningkatkan kapabilitas proses
menghasilkan prosuk yang sesuai (tidak cacat) berdasarkan kondisi
proses yang stabil sekarang, maka variasi penyebab umum yang
melekat pada proses itu harus dikurangi.
2.1.5.2.3 Pengukuran Kinerja Produk
2.1.5.2.3.1 Konsep Pengukuran Berbasis Kecacatan
20
Pada konsep ini ada dua ukuran yang digunakan, yaitu:
1.   Ukuran Defective dan Yield, variabel pengukurannya ialah:
19
Statistical Process Control (Gaspersz, 156)
20
The Six Sigma Way ( Pande, 235-239)
  
49
Proportion  Defect,
merupakan  persentase 
jumlah 
unit/item 
yang
memiliki  satu  atau  lebih  cacat  dibanding  dengan  total  unit 
yang
diproduksi. Rumusnya ialah
DPU =
Jumlah Defective
Jumlah unit yang diproduksi
X
100 %
Final Yield, atau ditulis Y
final
dihitung sebagai 1 dikurangi Proportion
Defective. Informasi
ini
memberitahu
apakah
pecahan
dari
unit total
yang diproduksi atau dikirim adalah bebas cacat (defect free). Hasil ini
biasanya dikalikan dengan 100 %. Ukuran Yield
mengindikasikan ke-
efektifan dari
sebuah
proses
untuk
menghasilkan probabilitas produk
yang bebas cacat (defect free).
Ukuran  ini  seringkali
dinyatakan
dalam
format  Rolled Throughput
Yield atau RTY, mengindikasikan yield atau “hasil baik pada tiap-tiap
proses yang ada. Rumus RTY adalah:
RTY = 1- (Jumlah cacat / Input awal) * 100 %.
2.  Ukuran-ukuran Defect
Sering 
disebut  Defect
per 
Unit 
atau 
DPU. 
Ukuran 
ini
merefleksikan jumlah
rata-rata
dari
defect,
semua
jenis,
terhadap
total
unit
yang
dihasilkan. Jika
DPU
sebesar
1
misalnya,
ini
mengindikasikan bahwa
setiap
unit
akan
memiliki
satu
defect,
sekalipun beberapa
item mungkin
memiliki lebih dari satu defect
dan
yang
lainnya
tidak
ada
defect.
DPU
0,25
menunjukan suatu
probabilitas bahwa satu dari empat unit akan memiliki satu defect.
Rumusnya adalah:
DPU =
Jumlah Defect yang terjadi
Jumlah total unit
  
50
Tiga
ukuran pertama diatas akan membantu
mengetahui seberapa
baik
atau
buruk
proses
dikerjakan dan
bagaimana defect
didistribusikan dalam proses berjalan. Ukuran-ukuran tersebut juga
dapat menjadi indicator dari performansi produk yang dihasilkan.
2.1.5.2.3.2 Konsep Pengukuran Berbasis Peluang
21
Pada konsep
ini ada tiga variabel
yang dapat digunakan untuk
menghitung
dan
mengekspresikan ukuran-ukuran
berbasis
peluang
defect, yaitu:
1.   Defect per Opportunity, atau DPO
Variabel ini
menunjukan proporsi defect atas jumlah total peluang
dalam sebuah kelompok yang diperiksa. Sebagai contoh jika DPO
sebesar
0,05 berarti
peluang
untuk
memiliki defect dalam
sebuah
kategori (CTQ) adalah 5%. Rumusnya adalah:
DPO =
Jumlah unit Defective
Total unit x Peluang
2.   Defect per Million Opportunities atau DPMO
Kebanyakan 
ukuran-ukuran 
peluang   defect  diterjemahkan 
ke
dalam format DPMO, yang mengindikasikan berapa banyak defect
akan
muncul
jika
ada
satu
juta
peluang. Dalam lingkungan
pemanufakturan secara
khusus,
DPMO
sering
disebut
“PPM”,
singkatan
dari   “parts 
per  
million”. 
Rumus  
umum  
untuk
menghitung DPMO ialah:
DPMO = DPO x 1.000.000.
21
The Six Sigma Way (Pande, 243-246)
  
51
Ukuran 
ini 
seringkali 
dipakai 
untuk 
menentukan  peluang
terjadinya
cacat
pada
produk
yang
diproduksi dalam
satu
juta
peluang.
3.   Sigma Level
Ukuran
Sigma
atau
level
sigma
adalah
variabel paling
penting
dalam
metode
Six
Sigma,
karena
variabel ini
mengindikasikan
variabilitas proses
dan
sampai
pada
level
berapa
sigma
proses
dikelola.
Ukuran
ini juga
mengindikasikan apakah
proses saat
ini
sudah “efisien” dan “berkualitas” atau belum.
Untuk
mendapatkan skor
sigma
hal
yang
dilakukan
adalah
kita
harus
mengetahui DPMO terlebih dahulu dari
hasil
tersebut dapat
kita konversikan menjadi skor sigma melalui tabel konversi sigma
yang ada pada lampiran.
4.   Menghitung COPQ
Konsekuensi
dari
suatu
produk
jadi
yang
mempunyai kualitas
rendah 
adalah  perusahaan 
harus 
rela 
kehilangan  keuntungan.
Untuk
mereduksi
kehilangan
keuntungan ini,
maka
perusahaan
dapat
menjalankan
proyek
Six
Sigma.
Semakin
tingginya
tingkat
sigma
yang
dicapai, maka
tingkat
defect
dan
tingkat COPQnya
dapat menjadi rendah.
2.1.5.3 Analyze
Tahap Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam program
peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu melakukan beberapa
hal
berikut
ini
:
(1)
Mengidentifikasi jenis-jenis
cacat
yang
terjadi
dan
membuat
prioritas
cacat
mana
yang
memiliki
kontribusi dominan
terhadap
menurunnya kualitas produk secara keseluruhan. Pada tahap ini alat yang kita
gunakan  adalah  diagram  pareto.  (2)    Menginventarisasi
dan  menganalisa
  
52
berbagai
akar
penyebab
masalah
dari
cacat-cacat yang
dominan
tersebut,
ditinjau dari
segi
man,
machine,
environment,
method
dan
material
menggunakan
fishbone.(3) Mencari penyebab
yang
paling
dominan
diantara
seluruh daftar akar penyebab masalah diatas.
2.1.5.3.1 Diagram Pareto
Diagram pareto²2
adalah grafik batang
yang
menunjukan
masalah
berdasarkan 
urutan  banyaknya  kejadian.Masalah  yang  paling  banyak
terjadi
ditunjukan oleh
grafik
batang
pertama
yang
tertinggi
serta
ditempatkan pada
sisi
paling
kiri
,dan
seterusnya
sampai
masalah
yang
paling sedikit terjadi ditunjukan oleh grafik batang terakhir yang terendah
serta
ditempatkan pada
sisi
paling
kanan
.
Pareto
diagram
membantu
manajemen
secara
cepat
mengidentifikasikan area
paling
kritis
yang
membutuhkan perhatian
khusus
dan
cepat.
Dasarnya
Pareto
dapat
digunakan sebagai alat interpretasi untuk :
Menentukan 
frekuensi   relatif   dan   urutan   pentingnya   penyebab-
penyebab dari masalah yang ada.
Memfokuskan  perhatian 
pada 
isu-isu  kritis 
dan  penting 
melalui
pembuatan
rangking
terhadap
penyebab-penyebab dari
masalah
itu
dalam bentuk yang signifikan.
22
Statistical Process Control (Gaspersz, 53)
  
53
Penggunaan Sofware Minitab 13
1) 
Masukkan data ke dalam tabel
Gambar 2. 8 Tampilan Pengisian Data.
2)  Klik Stat > Quality Tools > Pareto Chart
3) 
Masukkan data yang telah dimasukkan ke dalam dialog box, untuk jenis
cacat kedalam kolom labels in dan angka cacat kedalam frequencies in.
Gambar 2. 9 Tampilan Pengolahan Data
  
54
1.   Klik OK
Gambar2.10 TampilanPengolahanData
2.1.5.3.2 Diagram Sebab Akibat
23
Diagram sebab
akibat
adalah
suatu
diagram
yang
menunjukkan
hubungan antara sebab dan akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses
statistikal, diagram sebab-akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktor-
faktor
penyebab
(
sebab
)
dan
karakteristik kualitas
(
akibat
)
yang
disebabkan
oleh
faktor-faktor penyebab
itu.
Diagram
sebab-akibat
ini
sering disebut
juga
sebagai Diagram
tulang
ikan
(
fishbone
diagram
)
karena
bentuknya seperti
kerangka ikan,
atau
diagram Ishikawa
(
Ishikawa’s diagram ) karena pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Kaoru
Ishikawa dari Universitas Tokyo pada tahun 1953. Pada dasarnya diagram
sebab akibat dapat dipergunakan untuk kebuthan-kebutuhan berikut :
23
Statistical Process Control (Gaspersz, 61)
  
55
Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari suatu masalah.
Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah.
Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut.
TULANG
BESAR
Tulang Berukuran
Sedang
Tulang kecil
Tulang Berukuran
Sedang
Tulang kecil
TULANG
BESAR
Tulang kecil
Tulang kecil
TULANG BELAKANG
Tulang kecil
Tulang Berukuran
Sedang
Tulang kecil
Tulang Berukuran
Sedang
Tulang Berukuran
Sedang
KARAKTERISTIK
KUALITAS
TULANG
BESAR
TULANG
BESAR
Gambar 2.11. Skema Diagram Tulang Ikan
2.1.5.4 Improve
Fase
atau
tahap
yang
keempat
dalam Metodologi Six
Sigma
adalah
tahap  Improve.  Pada  tahap  ini  usaha-usaha  peningkatan  kinerja  kualitas
produk dan juga proses dimulai dengan cara membuat FMEA (Failure Mode
and
Effect
Analysis)
dan
memberikan usulan
perbaikan
untuk
mengurangi
cacat dalam proses.
  
56
2.1.5.4.1 Metode FMEA (Failure Mode Effect Analysis )
FMEA
atau
Analisis
mode
kegagalan dan
efek
adalah
suatu
prosedur
terstruktur
untuk
mengidentifikasi dan
mencegah
sebanyak
mungkin
mode kegagalan. Suatu
metode kegagalan adalah apa
saja yang
termasuk
dalam
kecacatan/kegagalan
dalam
desain,
kondisi
diluar
batas
spesifikasi yang ditetapkan, atau perubahan-perubahan dalam produk yang
menyebabkan 
terganggunya  fungsi 
dari 
produk 
itu. 
Dengan
menghilangkan mode
kegagalan,
maka
FMEA
akan
meningkatkan
keandalan dari
produk
sehingga
meningkatkan kepuasan pelanggan yang
menggunakan produk tersebut. Langkah-langkah dalam membuat FMEA:
1.   Mengidentifikasi proses atau produk/jasa.
2.   Mendafatarkan
masalah-masalah
potensial
yang dapat
muncul,
efek
dari masalah-masalah potensial
tersebut
dan
penyebabnya. Hindarilah
masalah-masalah sepele.
3.   Menilai  masalah  untuk  keparahan  (severity),  probabilitas  kejadian
(occurrence) dan detektabilitas (detection).
4.   Menghitung “Risk Priority Number”, atau RPN yang rumusnya adalah
dengan
mengalikan   ketiga   variabel   dalam   poin   3   diatas   dan
menentukan rencana solusi-solusi prioritas yang harus dilakukan.
Untuk  keterangan lebih lanjut tentang rating occurance, severity
and detectability dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
  
57
Tabel 2.4 Definisi FMEA untuk rating Occurance
Occurance (O)
Keterangan
Rating
Adalah tidak mungkin bahwa penyebab ini
yang mengakibatkan mode kegagalan
1
Kemungkinan kecil terjadinya kegagalan
2,3
Kemungkinan terjadinya kegagalan
4,5,6
Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi
7,8
Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan
akan terjadi
9,10
Tabel 2.5 Definisi FMEA untuk rating Detectability
Detectability (D)
Keterangan
Rating
Metode pencegahan atau deteksi sangat efektif. Tidak ada
kesempatan bahwa penyebab mungkin masih muncul atau
terjadi
1
Kemungkinan bahwa penyebab itu adalah rendah
2,3
Kemungkinan penyebab terjadi bersifat moderat. Metode
pencegahan atau deteksi masih memungkinkan kadang-kadang
penyebab itu terjadi
4,5,6
Kemungkinan bahwa penyebab itu terjadi masih tinggi.
Metode pencegahan atau deteksi kurang efektif, karena
penyebab masih berulang kembali
7,8
Kemungkinan bahwa penyebab itu terjadi sangat tinggi.
Metode pencegahan deteksi tidak efektif. Penyebab akan selalu
terjadi kembali
9,10
  
58
Tabel 2.6  Definisi FMEA untuk rating Severity
Severity (S)
Keterangan
Rating
Neglible severity (pengaruh buruk yang dapat diabaikan). Kita
tidak perlu memikirkan bahwa akibat ini akan berdampak pada
kinerja produk. Pengguna akhir mungkin tidak akan
memperhatikan kecacatan atau kegagalan ini.
1
Mild Severity (pengaruh buruk yang ringan/sedikit). Akibat yang
ditimbulkan hanya bersifat ringan. Pengguna akhir tidak akan
merasakan perubahan kinerja. Perbaikan dapat dikerjakan pada
saat pemeliharaan reguler (reguler maintanace)
2,3
Moderate Severity (pengaruh buruk yang moderat). Pengguna
akhir akan merasakan penurunan kinerja atau penampilan, namun
masih berada dalam batas toleransi. Perbaikan yang dilakukan
tidak akan mahal, jika terjadi downtime hanya dalam waktu
singkat
4,5,6
High Severity (pengaruh buruk yang tinggi). Pengguna akhir akan
merasakan akibat buruk yang tidak dapat diterima, berada diluar
batas toleransi.
7,8
Potensial Safety Problem (masalah keselamatan / keamanan
potensial). Akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya yang
dapat
terjadi tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih dahulu.
9,10
  
59
2.1.5.5 Control
Fase
sesudah Improve
adalah
fase
Control.
Fase
ini
merupakan
fase
terakhir
dalam
pemecahan
masalah
menggunakan metodologi
Six
Sigma.
Dalam
fase
ini
seluruh
usaha-usaha peningkatan yang
ada
di
kendalikan
(simulasi) atau dicapai secara teknis dan seluruh usaha tersebut kemudian di
dokumentasikan dan
di
sebarluaskan
atau
di
sosialisasikan
ke
segenap
karyawan perusahaan. Hal yang akan dilakukan dalam fase ini mencakup:
1.   Dokumentasi dan Sosialisasi
usaha-usaha peningkatan
yang telah dibuat
kepada seluruh karyawan dalam berbagai lapisan manajemen yang ada di
perusahaan.
2. 
Penutupan proyek
Six
Sigma
sebagai
suatu
metode
untuk
memecahkan
masalah yang di hadapi perusahaan.
2.1.6 Keuntungan Potensial DMAIC
24
Disisi
lain,
terdapat
alasan organisasional dan alasan
yang
masuk
akal
mengapa  perusahaan  dapat 
mempertimbangkan 
untuk 
mengadopsi  sebuah
model
perbaikan
baru
sebagai
bagian
dari
usaha
Six
Sigma,
jika
perusahaan
tidak
memiliki
proses
pemecahan masalah.
Maka
DMAIC
menawarkan
keuntungan ketimbang lainnya. Keuntungan dari DMAIC yaitu :
1.
Membuat
awal
yang
baik.
DMAIC
dapat
membantu
perusahaan untuk
meletakkan Six
Sigma
sebagai
suatu
pendekatan yang
sungguh-sungguh
berbeda dan lebih baik.
2.   Memberikan sebuah
konteks
yang
baru
terhadap
alat-alat
yang
familiar.
Memperkenalkan sebuah model yang baru merupakan dasar pemikiran yang
24
The Six Sigma Way (Pande, 161)
  
60
positif
untuk
memberikan peluang
yang
segar
bagi
banyak
orang
untuk
mempelajari dan mempraktikan alat-alat tersebut.
3.   Menciptakan sebuah pendekatan yang konsisten.
4.   Memprioritaskan pelanggan dan pengukuran.
5.   Menawarkan jalur ”Perbaikan Proses” dan juga ”Perancangan Ulang
Proses” untuk perbaikan. DMAIC dapat membantu perusahaan dalam
memperbaiki dan merancang ulang sebuah permasalahan.
2.2
Kerangka Pemikiran
25
Ada
beberapa
model
perbaikan  
yang
diterapkan pada
proses
selama
bertahun-tahun, sejak gerakan kualitas dimulai. Sebagian besar dari
model tersebut
di
dasarkan
pada
langkah-langkah
yang
diperkenalkan
oleh W.Edwards
Deming-
Plan-Do-Check-Act, atau
PDCA.
Untuk
kerangka
pemikiran
dalam
penelitian
ini
peneliti
menggunakan metodologi
perbaikan
dalam
Six
Sigma
yaitu  
DMAIC-
Define-Measure-Analyze-Improve-Control.
Fase-fase tersebut ialah:
1.   Fase Define
Define
merupakan langkah
operasional pertama
dalam
program
peningkatan
kualitas
Six
Sigma.
Langkah-langkah
yang terdapat dalam
fase Define antara
lain,
menentukan atau
mendefinisikan tujuan
dari
proyek Six Sigma
,membuat
gambaran
secara
keseluruhan
dari perusahaan baik
SIPOC
Diagram
dan
Peta
Proses Operasi.
25
Pedoman Implementasi Program Six Sigma
  
61
2.   Fase Measure
Measure  merupakan langkah operasional kedua dalam rangka peningkatan
kualitas  dalam  metode  DMAIC.  Pada  tahap  ini  dilakukan  pengukuran
dan
mengenali dan menginventarisasi karakteristik kualitas kunci kualitas (CTQ).
Tahap pengukuran ini sangat penting peranannya dalam meningkatkan kualitas,
karena dapat diketahui keadaan perusahaan dari data yang ada sehingga menjadi
patokan atau dasar
untuk melakukan analisa dan perbaikan. dalam Six Sigma
ada dua basis pengukuran yaitu konsep pengukuran kinerja produk dan konsep
pengukuran kinerja proses.
3.   Fase Analyze
Tahap
Analyze
merupakan langkah
operasional ketiga
dalam
program
peningkatan kualitas Six
Sigma.
Pada tahap
ini kita perlu
melakukan beberapa
hal berikut ini : (1) Mengidentifikasi jenis-jenis cacat yang terjadi dan membuat
prioritas
cacat
mana
yang
memiliki
kontribusi
dominan
terhadap
menurunnya
kualitas
produk  secara  keseluruhan.
Pada  tahap  ini  alat  yang  kita  gunakan
adalah diagram pareto. (2)   Menginventarisasi dan
menganalisa berbagai akar
penyebab
masalah
dari
cacat-cacat
yang
dominan
tersebut,
ditinjau
dari
segi
man,
machine,
environment,
method
dan
material
menggunakan fishbone.(3)
Mencari penyebab yang paling dominan diantara seluruh daftar akar penyebab
masalah diatas.
4.   Fase Improve
Fase
atau
tahap
yang
keempat
dalam
Metodologi Six
Sigma
adalah
tahap
Improve.
Pada tahap
ini
usaha-usaha peningkatan
kinerja
kualitas
produk
dan
juga
proses dimulai
dengan
cara
membuat FMEA
(Failure
Mode
and
Effect
  
62
Analysis)
dan
memberikan
usulan
perbaikan
untuk
mengurangi cacat
dalam
proses.
5.   Fase Control
Fase
sesudah
Improve
adalah
fase
Control.
Fase
ini
merupakan fase terakhir
dalam pemecahan masalah menggunakan metodologi Six Sigma. Dalam fase ini
seluruh usaha-usaha peningkatan yang ada di kendalikan (simulasi) atau dicapai
secara
teknis dan seluruh
usaha
tersebut
kemudian
di
dokumentasikan
dan
di
sebarluaskan atau di sosialisasikan ke segenap karyawan perusahaan. Hal yang
akan dilakukan dalam fase ini mencakup:
?
Dokumentasi
dan
Sosialisasi
usaha-usaha peningkatan
yang
telah
dibuat
kepada
seluruh
karyawan
dalam
berbagai
lapisan
manajemen
yang
ada
di
perusahaan.
?
Penutupan proyek
Six
Sigma
sebagai
suatu
metode
untuk
memecahkan
masalah yang di hadapi perusahaan.