BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1 Sumber Data
Data
dan
informasi
yang
mendukung
pengerjaan
proyek
Tugas
Akhir
ini
diperoleh dari sumber berikut :
-
Literature : pustaka dan internet
Untuk mendapatkan data yang lengkap digunakan buku yang melingkupi analisa
mitologi La Galigo, serta digunakan juga terjemahan naskah La Galigo. Selain itu
melalui internet didapatkan artikel – artikel kebudayaan bugis dan sebagai pelengkap
dan pendukung cerita La Galigo.
-
Wawancara
Wawancara  dilakukan  dengan  Ibu  Hasni  dari  Perpustakaan  Nasional  Republik
Indonesia untuk melengkapi data cerita La Galigo dan kebudayaan Bugis.
2.2 La Galigo
2.2.1 Asal Mula
Pada 
tahun 
1847 
dewan 
pengurus 
Nederlandsch 
Bijbelgennotschap  di
Amsterdam mengambil keputusan bahwa Alkitab perlu diterjemahkan kedalam bahasa
Bugis
dan
Makassar.
Alasan
keputusan
itu
adalah
bahwa
menurut
John
Leyden,
Al
Quran sudah diterjemahkan dalam bahasa Bugis, dan kalau hal itu memang benar maka
agama Kristen seharusnya membawa kitab sucinya ke bangsa itu. Setelah itu terpilihlah
3
  
4
seseorang  yang  dianggap  memiliki  keahlian  untuk  melakukan  tugas  itu,  yaitu  Dr.
Matthes (Benjamin Frederik Matthes lahir pada tanggal 16 Januari 1818 di Amsterdam.)
yang pada waktu itu berumur tiga puluh tahun.  Pada tanggal 20 Desember 1948 Matthes
tiba dipelabuhan Makassar dan menginjak
tanah Sulawesi dan dengan segera mulai
melaksanakan
tugasnya.
Bahasa
Makassar
dianggapnya
lebih
mudah, tetapi tidak
sepenting
bahasa
Bugis
karena jumlah penutur bahasa Bugis
jauh
lebih
besar. Sambil
meneliti bahasa Makassar pada waktu itu Matthes mulai mengumpulkan naskah-naskah
Bugis, antara lain naskah I La Galigo.
2.2.2 Materi
La
Galigo
adalah sebuah
karya
sastra Bugis
yang
berasal
dari
Sulawesi
Selatan.    Naskah  Sureq  Galigo  ini    terdiri  dari  lebih  kurang  6000  halaman,  setiap
halaman folio mengandung sekitar 50  baris yang jumlah suku katanya antara 10 dan 15.
Berarti seluruh cerita Galigo itu kurang lebih terdiri dari 300.000 baris panjangnya.
Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui pada beberapa perpustakaan di Eropa,
terutama di Perpustakaan Koninkelijk Instituut Taal Land en Volkenskundig Leidden di
Belanda.  Terdapat  juga  600  muka  surat  tentang  epik  ini  di  Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan dan Tenggara dan
jumlah
mukasurat
yang tersimpan di Eropa dan di
yayasan ini adalah 6000 tidak termasuk simpanan oleh pribadi-pribadi.
Kisah yang bersifat epis-mitologis itu menceritakan riwayat manusia pertama
dibumi dan keturunannya dengan menggunakan bahasa yang indah yang berbeda dari
bahasa bugis sehari-hari, khususnya dalam hal leksikal. Naskah tersebut berbentuk puisi
dan ditulis dalam bahasa
Bugis kuno bercampur Sanksekerta pada sekitar abad ke-14,
ditulis diatas daun lontar dan kertas, sekarang lebih dikenal dengan huruf Lontaraq.
  
5
Sebelum menggunakan
kertas
dan
tinta,
tulisan
dibuat
dengan
“mengukirkan
benda
tajam” pada benda-benda dari tumbuhan, umumnya pada daun lontar. Namun demikian
kata
“lontar” diserap
dalam pengertian
“bahan
tertulis”, bukan
arti
harafiahnya
“daun
lontar”. Hal itu dapat dibuktikan bahwa kata tersebut sebenarnya
dapat
diterjemahkanmenjadi daun
tal
(melayu), daung
ta’,
atau
raung
ta’
(bugis) atau
leko’
tala’ (makassar). Lagipula bahan yang digunakan oleh orang bugis untuk menulis adalah
gebang (corypha) bukan daun lontar (palmyra) lalu belakangan digunakan kertas.
Untuk membuat manuskrip lontara bugis, bilah-bilah lontar yang hanya berisi sebaris
tulisan 
dijahit 
sambung 
menyambung 
dan 
dililitkan 
pada 
suatu 
kumparan  yang
dilengkapi
engkol penggulung. Untuk membacanya orang harus mulai dari satu ujung
gulungan yang dililitkan pada penggulung lain dengan menggunakan engkol, mirip cara
kerja
penggulung
film.
Tentu
saja
itu
hanya
berlaku
untuk
teks
yang
relatif
panjang
bukan yang terlalu panjang.
Dapat
diperkirakan
juga
bahwa
bilah-bilah
lontar
tetap
dipergunakan
dalam bentuk
bundel (seperti digunakan di Jawa dan Bali hingga abad ke 20) dan bahwa bahan selain
lontar
(seperti
bambu,
kulit kayu, dan
lapisan
dalam kulit
kayu
dan
sebagainya) atau
mungkin juga tulang telah digunakan untuk teks yang lebih pendek
(seperti
halnya
didaerah batak). Pertukaran melalui lembaran lempengan emas dalam naskah La galigo
boleh
jadi
berlandaskan
suatu
kenyataan
karena
lembaran emas dapat
dilebur
ulang,
maka  bahan 
inilah 
yang  bisa  digunakan  sebagai  sarana 
untuk  menyimpan  suatu
informasi dengan aman.
Hampir
semua
ahli
yang pernah
meneliti
huruf
lontaraq,
antara
lain Mills,
Noorduyn,
Fachruddin, sepakat bahwa huruf
lontaraq berasal dari Pallawa
yang
masuk menyebar
  
6
ke
Nusantara
bersamaan
dengan
penyebaran agama Hindu. Melalui huruf Kawi, ia
menyebar ke Sumatera, dan dari situ orang Bugis mengadopsinya kemudian me-
localgenius-kannya
menjadi
huruf
lontaraq.
Para ahli juga menyebut bahasa yang ada
pada
naskah
La Galigo
sebagai
bahasa Galigo.
Bahasa
tersebut
digubah
dengan
gaya
sastra yang tinggi, dengan cirinya adalah irama atau metrumnya, setiap segmen terdiri
atas empat atau lima suku kata, berbeda dengan puisi Bugis yang lain, umpamanya
dengan genre toloq ( syair kepahlawanan ) yang setiap segmennya terdiri atas delapan
suku  kata.  Hampir  semua  unsurnya  memenuhi  standar  untuk  disebut  sebagai  karya
sastra, tetapi sebagian ilmuwan tidak berani karena hampir sebagian besar orang Bugis
mensakralkannya.
Naskah sureq Galigo dalam masyarakat Bugis berfungsi sebagai bacaan
hiburan,  bacaan  pada  banyak  upacara  adat,  sekaligus  sebagai  buku
tuntunan  hidup.
Isinya bukan hanya hikayat kepahlawanan ( yang lebih dipercaya sebagai mitos daripada
sejarah ), tetapi juga aturan – aturan kemasyarakatan, tata moral, budi pekerti, tuntunan
pergaulan, berkeluarga, hukum, ekonomi, perdagangan, pengobatan, dan banyak lagi.
Naskah
ini
pada
umumnya tidak dibaca seorang diri didalam
hati,
tetapi
dinyanyikan
oleh seseorang untuk hadirin yang berkumpul.
Naskah ini tidak boleh dibaca sembarangan. Bahkan judul sureq ini sengaja
menggunakan nama Galigo, bukannya Sawérigading. Padahal Sawérigading adalah
pemeran utama. Namun, alasan tidak menggunakannya sebagai judul karena nama
tersebut tidak boleh disebut sembarangan.
Bila menyebut La Galigo berarti yang dimaksud adalah tulisan – tulisan yang
terdapat
didalam manuskrip.
Sebaliknya
bila
hanya
menyebut Galigo
itu
berarti
yang
dimaksud  adalah  tembang-tembang  dari  naskah  La Galigo yang  dinyanyikan  pada
  
7
upacara-upacara
ritual
dengan
ritme
yang
tetap
dan
datar.
Jadi, Maggaligo
berarti
menembangkan La Galigo sedangkan Paggaligo adalah sang penembangnya. Sementara
bila menyebutkan I La Galigo adalah nama tokoh yang terdapat pada naskah La Galigo.
Penyebaran La Galigo diturunkan
melalui dua tradisi
yakni
tradisi tulis dan
tradisi
lisan. Text-text
Galigo
yang
lisan
kemudian
ditulisankan dengan tujuan
menjaganya terhindar dari kepunahan. Tradisi lisan tersebut tersebar hampir pada semua
etnik
di
Nusantara.
Salah
satu
ciri tradisi
lisannya
adalah
bersifat
migratoris,
yaitu
berpindah dari satu tempat ke tempat lain, kemudian menyesuaikan diri dan beradaptasi
dengan budaya setempat, itulah kemudian yang menyebabkan munculnya berbagai versi
cerita La Galigo. Selain itu, penyampaiannya yang secara lisan juga dapat menyebabkan
terjadinya distorsi pada cerita tersebut.
Gambaran
tersebut
telah
memperlihatkan
bahwa
cerita La
Galigo
telah
menoreh   sejarah   yang   panjang   dan   meninggalkan   jejak-jejaknya   dalam   bentuk
peradaban manusia secara universal di setiap tempat persinggahannya.
2.2.3 Ringkasan Cerita
Versi
pokok
I
La Galigo dimulai dengan
cerita
penjaga
ayam
bersaudara
yang turun dari Boting Langiq kedunia dan menemukan bahwa dunia sangat sunyi,
mereka pun memberitahukannya kepada Tuan mereka Patotoqé sang penguasa langit.
Maka dari itu Patotoqé menerima
usulan tersebut dengan mengadakan rapat para dewa
terlebih
dahulu
untuk
memutuskan siapa
yang
akan diturunkan
kebumi
dan
menjadi
tunas  mereka.  Maka  hasil  rapat  diputuskanlah  bahwa  Batara  Guru,  putera  sulung
Patotoqé
yang akan diturunkan ke bumi. Pada hari turunnya Batara Guru ke bumi,
ia
melemparkan benda-benda yang dititipkan Patotoqé padanya sembari turun kebumi. Dan
  
8
itulah yang kemudian menjalin wilayah, membentuk gunung dan lembah, laut serta
berbagai aneka satwa. Tetapi hari-hari pertama Batara Guru di bumi tidaklah
menyenangkan,
ia
menderita
seorang
diri, kelaparan,
kedingin dan panas disinari
matahari. Maka suatu hari saat ia berjalan-jalan di sebuah telaga yang besar, ia bertemu
dengan penjaga telaga tersebut yang kemudian membawanya kepada Sinauq Toja sang
penguasa telaga. Setelah berbincang dengan Sinauq Toja, Batara Guru diberitahu bahwa
bila ia telah tenang berada dipermukaan, maka ia dapat bertemu dengan puteri Sinauq
Toja,
Nyiliq
Timoq
yang
kemudian
akan menjadi
istri
Batara
Guru.
Kemudian
kembalilah Batara Guru kepermukaan. Haripun berlalu, karena merasa sangat menderita
maka Batara Guru mengeluhkan penderitaannya kepada langit. Karena iba, Patotoqé dan
istrinya
menurunkan
pusaka
Batara
Guru kedunia,
semua
istana,
rumah
penduduk,
saudara-saudara
serta
inang
pengasuhnya. Hidup
Batara
Guru
pun
menjadi
bahagia.
Hingga
pada
suatu
hari
Batara
Guru
mendapat
mimpi
bahwa
ia
harus
pergi ke
tepi
telaga. Penasaran dengan mimpinya tersebut, Batara Guru berangkat beriringan dengan
pasukannya ke tepi
telaga.
Disana
ia bertemu dengan Wé Nyiliq Timoq yang muncul
dari dasar telaga. Awalnya Wé Nyiliq
Timoq tidak
mau
menikah dengan Batara Guru,
tapi dengan bantuan para bissu merekapun akhirnya menikah. Waktupun berlalu, semua
selir Batara Guru telah melahirkan anaknya. Akan tetapi Wé Nyiliq Timoq belum juga
hamil, maka diadakanlah upacara mohon keturunan hingga pada akhirnya Wé Nyiliq
Timoq
hamil.
Saat
kelahiran
Batara
Lattuq, putera Batara Guru, pun tidak berjalan
dengan  mudah,  berbagai  kurban  diberikan  agar  Batara  Lattuq  dapat  lahir  kedunia,
setelah melewati perjuangan yang berat, akhirnya lahirlah Batara Lattuq ke dunia.
  
9
2.2.4 Suku Bugis
Suku bugis berasal dari Sulawesi Selatan. Suku Bugis terdiri dari 14 suku
rumpun Bugis, antara lain Suku Bentong, Bugis, Campalagian, Duri, Enrekang, Kono
Pagunungan, Konjo Pesisir, Luwu,
Maiwa, Suku
Makassar, Mamuju, Mandar, Pannei
dan Ulumanda. Suku Bugis tersebar di propinsi-propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Irian Jaya Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan Riau
kepulauan, bahkan Malaysia dan Brunei Darussalam.  Suku Bugis tergolong dalam suku
Deutero Melayu atau Melayu muda. Masuk ke
Nusantara setelah gelombang migrasi
pertama dari daratan Asia, tepatnya dari Propinsi Yunan, Cina. Beberapa Kerajaan Bugis
klasik 
yang  besar  antara 
lain  Luwu,  Bone,  Wajo,  Soppeng,  Suppa  dan  Sawitto,
Sidenreng dan Rappang.
Nama
Bugis berasal dari kata to
ugi. Yang berasal dari
La Sattumpugi, raja
pertama Kerajaan Cina di Jazirah Sulawesi Selatan, tepatnya di Kecamatan Pammana,
Kabupaten Wajo. Rakyat
La Sattumpugi
pada waktu itu
menyebut
mereka sebagai
to
ugi, yang berarti pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cu
Dai yang merupakan istri Sawerigading. Bahasa suku bugis disebut Bahasa Ugi, yang
memiliki
tulisan
huruf Bugis,
yang diucapkan dengan bahasa
Bugis sendiri.
Huruf ini
sudah ada sejak abad ke-12.
Mata  pencaharian  masyarakat  Bugis  kebanyakan  adalah  petani  dan  nelayan  karena
mereka tersebar didaratan rendah yang subur dan pesisir.
  
10
2.5 Target Pasar
La Galigo karena merupakan mitologi yang berisikan konsep dongeng suci tentang dewa
suatu kebudayaan maka akan ditargetkan kepada masyarakat yang telah dianggap cukup
dewasa
untuk
menerima
sebuah mitologi
dan memiliki
minat
yang
besar
terhadap
kebudayaan daerah.
2.6 Pembanding
Dongeng Klasik Indonesia Sangkuriang oleh Sanggar Tumpal
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 1994
Keunggulan  :
-
Visual yang menarik
-
Menggunakan cat air sehingga berkesan tradisional
-
Alur cerita yang baik
-
Memiliki layout yang baik
-
Hardcover yang melindungi isi buku dan menambah image buku
2.7 Mandatoris
KPG atau Kepustakaan Popular Gramedia merupakan penerbit yang berlokasi di jakarta.
Banyak
menerbitkan
buku-buku
bacaan
yang
bersifat
historis,seni, budaya
dan
sosial
  
11
serta
pengetahuan.
Jenis
buku
yang
diterbitkan
baik
dalam bentuk
novel
maupun
memiliki ilustrasi. Harga-harga bukunya pada umumnya berkisar antara Rp30.000,-
sampai Rp60.000,- bahkan
beberapa
ada
yang dijual
mencapai
ratusan ribu.
Beberapa
contoh
terbitan
KPG
adalah
Bali
Today
II:
Love
and
Social
Life,
Putri
Loeha
dan
Payung Saktinya, Samurai (1550-1600), Nusantara: Sejarah Indonesia, Reinventing
Comics
(Mencipta
Ulang
Komik),
Kartun Kimia,
Tubuh-Tubuh
Provokatif,
Kartun
Sejarah Bumi: Zaman Tongkat & Batu dan masi banyak lagi.
2.8 Analisa SWOT
Strength
-
Epik Mitologi yang diakui terpanjang didunia.
-
Berasal dari daerah Indonesia sendiri.
-
Diterima dengan antusias oleh masyarakat luar sehingga dapat menarik masyarakat
dalam negeri sendiri untuk ikut melirik cerita ini.
-
Cerita yang memiliki banyak pelajaran hidup.
-
Tema cerita yang menarik tentang penciptaan bumi.
-
Diakui memenuhi semua kriteria sebuah sastra (dapat menjual kualitas cerita).
Weakness
-
Tidak diketahui banyak orang sehingga belum tentu mereka akan membeli.
-
Buku cerita La Galigo sulit untuk ditemukan.
-
Sulit untuk mengingat cerita karena tidak ada gambaran visual.
-
Cerita yang terlalu panjang.
-
Bentuk
naskah asli
tidak
mudah
untuk dibaca akibat ditulis dalam bentuk bahasa
sastra dan banyaknya nama karakter yang muncul.
  
12
Oportunity
-
Belum pernah ada buku ilustrasi La Galigo.
-
Dapat mempopulerkan cerita dari kebudayaan Indonesia sendiri .
-
Memberi gambaran
visual bagi
La Galigo sehingga dapat lebih
mudah ditangkap
dan menjadi langkah awal untuk mempopulerkan La Galigo.
-
Mendapat dukungan karena merupakan budaya dalam negeri.
Threat
-
Cerita yang walaupun
mitos
tetapi memiliki tema yang sama dengan religi yaitu
penciptaan dunia, sehingga tidak dapat sembarangan dikonsumsi.
-
Cerita ilustrasi lainnya lebih diminati dibanding cerita budaya daerah.