![]() 4
BAB2
Data dan Analisis
2.1. Sumber Data
2.1.1. Metodologi Pengumpulan Data dan Informasi
Buku
“Kedhaton Mangkunegaran” dikembangkan melalui penelitian untuk
mengumpulkan data dan informasi dengan menggunakan berbagai metode, yaitu:
(1) Data primer dikumpulkan melalui:
(a)
wawancara
mendalam dengan nara sumber ahli dan nara sumber kunci
(b) pengamatan dan penelusuran artefak dan situs peninggalan kerajaan
Mangkunegaran di Solo dan sekitarnya
(c) pengamatan
(2) Data sekunder dikumpulkan melalui:
(a) kajian literatur untuk mengumpulkan informasi dan grafis
(b) kajian dokumen untuk menyeleksi foto-foto yang relevan
(c) pengambilan gambar
Penelitian dan penyelesaian skripsi dan tugas akhir ini dilakukan secara bertahap
sejak bulan Februari hingga April 2009 dengan tahapan sebagai berikut:
(1)
Tahap
pre-proposal.
Penelitian dilakukan pada
bulan Februari
2009
di
Solo dan
sekitarnya, Yogyakarta, dan Semarang untuk menyusun proposal skripsi dan tugas
|
![]() 5
akhir. Pada tahap ini, berbagai informasi
yang berkaitan dengan rencana proposal.
Informasi yang
dikumpulkan adalah data dan informasi yang sangat umum
mengenai obyek yang akan digunakan untuk menyusun skripsi dan tugas akhir.
(2)
Tahap
pengembangan
media.
Tahap
ini
dilakukan
setelah
mendapat
persetujuan
dari jurusan mengenai obyek dari skripsi dan tugas akhir yang dilakukan pada bulan
Februari – April 2009. Data dan informasi
yang dikumpulkan pada tahap
ini
lebih
terarah dan fokus yaitu yang berkaitan dengan Mangkunegaran.
Wawancara
mendalam
dengan
nara
sumber ahli dan kunci seperti dengan
budayawan, dengan “Orang Dalam” istana, dan masyarakat umum dilakukan untuk
mempertajam skripsi dan tugas akhir.
Pengamatan
dan
kajian
dokumen
juga
dilakukan pada tahap ini, selain menelusuri situs peninggalan Mangkunegaran yang
tidak diketahui secara umum.
Data dan informasi yang diperoleh, diproses melalui bimbingan dosen
pembimbing, sehingga secara bertahap skripsi dan tugas akhir menjadi lebih fokus
dan lebih berkualitas.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan hasil kegiatan yang dilakukan secara rinci
dapat dilihat pada lampiran skripsi yaitu catatan harian ringkas
(3)
Tahap
visualisasi.
Tahap
ini
dilakukan
pada
bulan
April
–
Agustus
2009
yang
meliputi visualisasi dalam bentuk buku dan pameran.
2.1.2. Sumber Data dan Informasi
Sumber data dan informasi dibedakan menurut bentuknya, yaitu:
|
![]() 6
(1)
elektronik. Sumber data
elektronik dikumpulkan dengan
mengakses website,
google dan wikipedia berupa text dan foto.
(2)
Cetakan. Sumber data cetakan dikumpulkan dengan mengakses perpustakaan
Binus, Mangkunegaran, dan perpustakaan dan koleksi pribadi dalam bentuk buku,
skripsi, laporan penelitian maupun foto serta toko buku yang menjual buku sejenis
sebagai rujukan.
(3)
Verbal. Sumber data ini dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan.
Sumber data dan informasi utama akan diuraikan lebih lanjut pada sub bab
berikutnya.
2.1.3. Sumber Data dan Informasi Utama
(1)
Buku “Pandangan Dunia
KGPAA Hamengkoenagoro I dalam Babad Tutur”,
karya Zainuddin Fananie, 1994.
Semasa hidupnya, Mangkunegara I dikenal sebagai ahli strategi perang dan
pujangga. Ia juga dikenali sebagai
inovator. Salah satu karya
inovasi Mangkunegara I
adalah pembuatan catatan harian yang kemudian dikaji oleh Zainuddin Fananie dalam
buku ini.
Buku ini merupakan studi baru dalam kajian Surakarta mengenai Mangkunegara
I dilihat dari sejarah dan latar kehidupan Mangkunegara I. Pura Mangkunegaran,
landasan dan filosofi perjuangan Mangkunegara I dan kehidupan sosial ekonomi politik
pada masa penguasaan Mangkunegara I diuraikan secara rinci dalam buku ini.
|
7
(2) Buku “Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939”, karya Darsiti
Soeratman, 2000.
Buku ini menguraikan keraton sebagai entitas sosial yang berinteraksi dengan
entitas
sosial lain, baik
secara individu maupun kolektif. Sebagai suatu komunitas,
keraton mengadakan hubungan dengan komunitas lain di luar dunia keraton. Hubungan
sosial ke luar ini makin banyak dilakukan, sesudah Sunan yang berkuasa bersikap
menerima pendidikan Barat.
Pada masa pemerintahan Baku Buwana X (1893-1939) peradaban keraton
Surakarta dikenal sangat halus, rumit dan terinci. Perkembangan yang diistilahkan
Barokisasi
peradaban
ini
yang
menjadi
masalah
utama
yang
dikaji
dalam buku
ini.
Walaupun
kekuasaan
raja
dalam
konsep
politik telah
sangat
merosot,
namun
di
mata
rakyatnya
Sunan
adalah
seorang
yang
memiliki
kekuasaan
yang
amat
besar,
sakral,
magis
yang
dianggap
memiliki
beberapa
wahyu.
Di
dalam keraton,
melemahnya
kekuasaan
politik
raja
secara
kultural
tidak
ikut
pudar. Hal
ini
dapat
dilihat
pada
penyelenggaraan
upacara
yang kian
megah, sehingga
fungsi
upacara
berubah
menjadi
lambang
untuk
menunjukkan
kebesaran.
Maka, Barokisasi
peradaban
yang
merupakan
kompensasi
terhadap
lenyapnya
kekuasaan politik
condong
untuk
disebut
sebagai
pelarian dari kenyataan.
Buku ini menggambarkan kekuasaan raja-raja Jawa, kehidupan di keraton,
struktur fisik keraton, upacara dan etika.
(3)
Buku
“Sri Mangkunegara
IV
sebagai
Penguasa
dan
Pujangga”,
karya W E
Soetomo Siswokartono, 2006
|
8
Dari dinasti Mangkunegara, Mangkunegara I dan IV adalah raja yang paling kuat
dan terkenal. Bila Mangkunegara I lebih dikenal sebagai ahli perang dan pujangga, maka
Mangkunegara IV dikenal sebagai pujangga yang pemikirannya yang dituangkan dalam
berbagai serat. Di antara serat-serat yang dihasilkan, Serat Wedhatama merupakan serat
yang terkenal dan menurut salah satu nara sumber serat itu menjadi dasar dari Pancasila.
Serat-serat yang ditulis oleh Mangkunegara IV banyak memuat ajaran moralitas
dan spiritualitas serta jatidiri
manusia. Karya-karyanya dapat
menjadi pegangan hidup
dan masih relevan hingga masa kini. Mangkunegara IV yang bisa disetarakan dengan
Raja
Ali
Haji
pencipta
karya
terkenal
Gurindam 12
bersama-sama
dengan
Ranggawarsita mengembangkan sastra Jawa pada abad 19.
Buku ini juga menggambarkan perjuangan Mangkunegara IV untuk mengangkat
kesejahteraan
rakyatnya
yang
tercermin
dalam langkah-langkah
pembaharuan
dan
penataan pemerintahan serta perekonomian.
(3) Buku “Melacak Jejak Bijak Masa Lampau: Perspektif KGPAA Mangkunegoro
I (Pangeran Sambernyowo)”, editor Tim UMS dan Tim Mangkunegaran, 1989
Buku
ini
dikembangkan
dari
simposium yang
diselenggarakan
oleh
Universitas
Muhamadiyah.
Melalui
simposium yang
diselenggarakan
untuk
mengkaji
Mangkunegara I, terungkaplah dimensi menarik yang pandangannya, falsafah hidupnya
terkristalisasi dalam sikap hidup dalam berbagai aspek
(5) Buku
“Pangeran Sambernyowo (KGPAA Mangkunegoro I)
ringkasan sejarah
perjuangan,” Yayasan Mangadeg, 1989
|
9
Mangkunegara
I
mendapat
anugerah
dari Pemerintah sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional dan mendapat bintang Mahaputra Adipurna. Perjuangannya
yang tak kenal takut itu memberi inspirasi pada banyak orang.
Buku
ini
menggambarkan
perjuangannya dan beberapa perjanjian, diantaranya
perjanjian Gianti, Salatiga sebagai konsekuensi perjuangannya.
(6)
Skripsi
“Fungsi
Bedhaya
Anglir
Mendhung
Sebagai
Legitimasi
Kekuasaan di
Mangkunegaran,” karya Budi Sulistyowati, 1989
Mangkunegara adalah kerajaan yang memperoleh kekuasaannya dengan
berjuang seperti Indonesia memperoleh kemerdekaan bukan karena hadiah melainkan
karena
perjuangan.
Sebagai
kerajaan yang
memberontak,
Mangkunegara
dibatasi
kewenangannya. Satu di antaranya, Mangkunegara tidak boleh memiliki tarian kerajaan
yang dikenal sebagai tari bedhaya ketawang
oleh
Belanda.
Namun,
Mangkunegara
diperbolehkan mempunyai karya tari lain. Karya tari yang dikenali sebagai tari sakral
yang adalah pusaka kerajaan adalah tari Bedhaya Anglir Mendung.
Tari ini semula berupa tari bedhaya, kemudian berubah menjadi tari serimpi yang
diuraikan secara detil dalam
skripsi
ini. Tari
yang juga
mengandalkan syair
ini dibuat
oleh Mangkunegara I yang menggambarkan pengalaman peperangan Mangkunegara I.
(7) buku “Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I-VIII”, karya Prof
Drs. Suwaji
Bastomi, 1995
Buku ini mengisahkan raja-raja Mangkunegara dan karya-karyanya.
|
10
(8) Buku “Bahasan dan Wawasan atas Serat WEDHATAMA karya Mangkunegoro
IV”, 2000
Wedhatama adalah petuah yang ditembangkan yang hingga kini masih dirawat
oleh para pendukung budayanya dengan berbagai cara. Diantaranya adalah
diselenggarakannya mancapatan pada setiap malam jumat.
(9) Buku “Ragam Hias Pendapa Istana Mangkunegaran,” karya S Ilmi Albiladiyah,
1999
Sesuai dengan judulnya, buku ini memuat ragam hias pendapa istana
Mangkunegaran.
(10) Buku “Puspita Warni” himpunan pencinta kain tenun dan batik, 1980
Selain tidak memiliki
tari
bedhaya, Mangkunegaran juga
tidak
memiliki
benda
seni yang berwujud batik. Batik dikembangkan di luar istana oleh para pedagang
Laweyan yang notabene pesaing keraton.
Buku ini menguraikan motif baik yang merupakan koleksi Ratu Mangkunegara
VIII yang kaya ragam hias dan indah
(11) Laporan Kuliah Kerja Jawa Tengah, Fakultas Teknik Arsitektur, 1972
Laporan Kuliah Kerja ini menggambarkan desain arsitektur kerajaan.
(12) Buku “Konflik Berdarah di Tanah Jawa”, karya Raka Revolta, 2008.
Buku ini menggambarkan raja-raja pemberontak dan pemberontakan raja pada
masa pendudukan Belanda. Secara khusus, pada bagian
Raden Mas Said
yang dikenal
|
![]() 11
sebagai Mangkunegara I selain menguraikan pemberontakan juga
menguraikan
filosofi
raja pemberontak yang terutama bersumber pada masa peperangan.
(13) Buku “Partini”, karya
Buku
ini
menceritakan
tentang
kehidupan
dari
seorang
putri
Mangkunegaran
yang paling terkenal diantara putrid-putri Mangkunegaran lain yang memberi gambaran
tentang istana Mangkunegaran dan kehidupan di istana.
2.2.Data Umum
2.2.1.Kota Solo
Gambar 2.2.
Mangkunegaran dan Kasunanan yang menjadi fokus dari skripsi dan tugas akhir
ini terletak di Surakarta yang juga dikenal dengan nama Solo. Kota Solo terletak sekitar
65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang. Lokasi kota ini berada di
dataran
rendah
(hampir 100 m di atas permukaan
laut)
yang diapit Gunung Merapi di
barat dan Gunung Lawu di timur. Agak jauh di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di
sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang
merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Solo.
|
12
Tanah di Solo bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi
sebagai
akibat
aktivitas
vulkanik
kedua gunung
api
yang
telah
disebutkan
di
atas.
Komposisi ini, ditambah dengan ketersediaan
air yang cukup
melimpah,
menyebabkan
dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri,
seperti
tembakau
dan
tebu.
Namun
demikian,
sejak
20
tahun
terakhir
industri
manufaktur
dan
pariwisata
berkembang pesat
sehingga
banyak
terjadi
perubahan
peruntukan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan penduduk.
Kota
Surakarta
didirikan
pada tahun
1745,
ditandai
dengan
dimulai
pembangunan Keraton Mataram sebagai
ganti keraton di Kartasura yang
hancur akibat
pemberontakan orang-orang Tionghoa melawan kekuasaan Pakubuwono (PB) II yang
bertakhta di Kartasura pada tahun 1742. Pemberontakan ini bahkan mengakibatkan PB
II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur.
VOC menumpas pemberontak dan Kartasura direbut kembali. Ketika itu keraton
hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan
Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan
Belanda J.A.B. van Hohendorff untuk mencari lokasi ibu kota Kesultanan Mataram yang
baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada
1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Kelak namanya berubah menjadi
Surakarta. Pembangunan kraton baru ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati
dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan
melalui sungai. Secara resmi, keraton mulai ditempati
tanggal 17
Februari
1745
(atau
Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
|
13
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya PB III. Yogyakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi
(Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada
1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya
wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).
Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku
hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Jumlah penduduk kota Surakarta pada
tahun 2003 adalah 552.542 jiwa terdiri dari
270.721 laki-laki dan 281.821 wanita, tersebar di lima kecamatan yang meliputi 51
kelurahan.
Perbandingan
kelaminnya
96,06% yang
berarti
setiap
100
orang
wanita
terdapat 96 orang laki-laki. Angka ketergantungan penduduknya sebesar 66%. Jumlah
penduduk tahun 2003 jika dibandingkan
dengan jumlah penduduk hasil
sensus
tahun
2000 yang sebesar 488.834 jiwa, berarti dalam 3 tahun
mengalami kenaikan sebanyak
83.708 jiwa. Catatan dari tahun 1880 memberikan cacah penduduk 124.041 jiwa.
Jika wilayah penyangga Surakarta juga digabungkan secara keseluruhan (Soloraya -
Surakarta + Kartasura, Colomadu, Baki, Grogol, Palur), maka luasnya adalah 130 km².
Penduduknya berjumlah 850.000 jiwa.
Arsitektur, dan Peninggalan Sejarah.
Sebagai kota yang sudah berusia hampir 250 tahun, Surakarta memiliki banyak
kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua yang terpencar dan
|
14
berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di lokasi tertentu
sehingga
membentuk kawasan kota tua, dengan latar belakang sosialnya masing-masing.
Kraton Kasunanan Surakarta tentu saja adalah bangunan paling pokok dalam
konsep penataan ruang Solo. Perencanaan
kraton ini mirip dengan konsep yang
digunakan dalam pembangunan Kraton Kesultanan Yogyakarta.
Solo merupakan salah satu kota pertama di Indonesia yang dibangun dengan
konsep
tata
kota
modern.
Kraton
yang
dibangun berdekatan dengan Bengawan Solo
selalu
terancam banjir.
Karena
itu
dibangunlah tanggul
yang
hingga
kini
masih dapat
dilihat membentang dari selatan wilayah Jurug hingga kawasan Solo Baru.
Boulevard yang memanjang lurus dari arah barat laut menuju ke depan alun-alun
istana (sekarang Jalan Slamet Riyadi) dirancang untuk mengarahkan pandangan ke arah
Gunung Merbabu.
Terdapat pula pengelompokan pemukiman untuk warga pendatang. Kawasan
Pasar
Gede
(Pasar
Gedhe
Hardjonagoro) dan
Pasar
Balong
merupakan
tempat
perkampungan orang Tionghoa, sementara kawasan pemukiman orang Arab
(kebanyakan dari Hadramaut) terletak di kawasan Pasar Kliwon.
Pedagang batik Jawa pada akhir abad ke-19
dan
awal
abad
ke-20
banyak
mendirikan usaha dan tempat tinggal di kawasan Laweyan (sekarang mencakup
Kampung Laweyan, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo, Sondakan, Batikan, dan Jongke). Di
kawasan
ini juga didirikan pertama kali organisasi bercorak Islam-nasional
yang
pertama
di
Indonesia
oleh
Haji
Samanhudi,
Syarikat
Dagang
Islam
pada tanggal
16
Oktober 1905. Bekas kejayaan para pedagang batik pribumi tempo doeloe ini bisa dilihat
|
15
dari sejumlah rumah mewah di Jalan Dr. Rajiman.
Di
kawasan
ini,
mereka
memang
menunjukkan kejayaannya dengan berlomba
membangun
rumah
besar
yang
mewah
dengan arsitektur cantik namun terlindungi oleh pagar-pagar yang tinggi dengan gerbang
("regol") yang besar.
Di
dalam kompleks
kraton
terdapat
perkampungan
Kauman
yang
dulunya
merupakan
kompleks
tempat
tinggal
para kaum ulama kerajaan dan kerabatnya.
Kompleks ini terletak di belakang (barat) Masjid Agung keraton. Beberapa nama
kampung di kawasan ini masih menunjukkan jejak tersebut, seperti Pengulon (dari kata
"penghulu"), Trayeman, Sememen, Kinongan, Modinan, serta Gontoran. Perkampungan
ini dipenuhi beragam arsitektur rumah gedung dengan ornamen hiasan dan model rumah
gaya campuran Eropa-Jawa-Tiongkok. Awalnya, Kampung Kauman yang berada di sisi
barat depan Keraton Kasunanan ini diperuntukkan bagi tempat tinggal (kaum) ulama
kerajaan dan kerabatnya.
Kawasan Solo utara, yang ditata oleh pihak Mangkunagaran, juga memiliki jejak
arsitektur
yang banyak
mendapat sentuhan
Eropa. Bagian
utara kota Solo dilewati oleh
Kali Pepe, yang seperti Bengawan Solo juga berkali-kali
menimbulkan bencana banjir.
Pembangunan
tanggul
kali
dan
pintu
air,
saluran
drainasi,
MCK
(mandi-cuci-kakus,
yang pertama
kali diterapkan), serta penempatan kantor kelurahan yang selalu berada
pada
perempatan
jalan, merupakan
beberapa jejak
yang
masih
dapat
dilihat
sekarang,
yang pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Mangkunagara IV.
|
16
Bahasa
Bahasa daerah yang digunakan di Surakarta adalah bahasa Jawa dialek Surakarta.
Dialek ini berbeda sedikit dengan dialek-dialek Jawa yang digunakan di kota-kota lain
seperti di Semarang maupun Surabaya. Perbedaannya berupa kosakata yang digunakan,
ngoko(kasar)-krama(halus)nya, dan intonasinya. Bahasa Jawa dari Surakarta digunakan
sebagai standar bahasa Jawa nasional (dan internasional, seperti di Suriname).
2.2.2.Keraton Mangkunegaran
Praja Mangkunagaran (atau Mangkunegaran) dibentuk berdasarkan Perjanjian
Salatiga yang ditandatangani pada tahun 1757 sebagai solusi atas perlawanan yang
dilakukan Raden Mas Said (atau Pangeran Sambernyawa, kelak menjadi Mangkunagara
I) terhadap Sunan Pakubuwana III. Raden Mas Said mendapat wilayah yang mencakup
sebagian dari bekas Mataram sisi sebelah timur, berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755).
Wilayah itu kini mencakup bagian utara Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari,
Surakarta), seluruh wilayah Kabupaten
Karanganyar, seluruh wilayah Kabupaten
Wonogiri,
dan
sebagian dari
wilayah
Kecamatan
Ngawen
dan
Semin
di
Kabupaten
Gunung Kidul.
Penguasa Mangkunegaran, berdasarkan perjanjian pembentukannya, berhak
menyandang gelar Pangeran (secara formal disebut Kangjeng Gusti Pangeran Adipati
Arya, mirip dengan Fürst di Jerman) tetapi tidak berhak
menyandang gelar Sunan atau
pun Sultan. Status yang berbeda ini tercermin dalam beberapa tradisi yang masih berlaku
hingga sekarang, seperti jumlah penari bedaya yang tujuh, bukan sembilan seperti pada
|
17
Kasunanan
Surakarta. Setelah
kemerdekaan
Indonesia, Mangkunegara
VIII
(penguasa
pada waktu itu) menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara tradisional penguasanya disebut
Mangkunagara (baca: 'Mangkunagoro').
Raden Mas Said merupakan Mangkunagara I. Saat ini yang memegang kekuasaan
adalah Mangkunagara IX. Penguasa Mangkunegaran berkedudukan di Pura
Mangkunegaran, yang terletak di Kota Surakarta.
Para
penguasa
Mangkunegaran
tidak
dimakamkan
di
Astana
Imogiri melainkan
di Astana Mangadeg dan Astana Girilayu, yang terletak di lereng Gunung Lawu.
Perkecualian adalah lokasi makam dari Mangkunegara VI, yang dimakamkan di tempat
tersendiri.
Warna resmi
Mangkunagaran adalah hijau dan kuning emas serta dijuluki
"pareanom" ('padi muda'), yang dapat dilihat pada lambang, bendera, pataka, serta sindur
yang dikenakan abdi dalem atau kerabat istana.
Pura Mangkunegaran
Pura (Puro) Mangkunegaran adalah istana
tempat
kediaman
Sri
Paduka
Mangkunagara di Surakarta dan dibangun setelah tahun 1757 dengan mengikuti model
keraton yang lebih kecil.
Secara
arsitektur
bangunan
ini
memiliki
ciri
yang sama dengan
keraton,
yaitu
pada pamedan, pendopo, pringgitan, dalem, dan kaputran, yang seluruhnya dikelilingi
oleh tembok yang kokoh.
|
18
Seperti bangunan utama di keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta, Puro
Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan selama puncak masa pemerintahan
kolonial Belanda di Jawa Tengah. Perubahan ini tampak pada ciri dekorasi Eropa yang
popular saat itu.
Mangkunegara yang didirikan oleh R.M Said terletak di tengah-tengah kota Solo
dengan
luas
kurang
lebih
2800
hektar
atau 49% dari luas Kasunanan. Praja
Mangkunegaran ini terbagi atas:
(1)
Pamedan yaitu halaman luas sebelum memasuki istana. Dulu, pamedan berfungsi
sebagai tempat latihan militer
(2)
Reksa Wahana, letaknya di sebelah kanan halaman untuk menempatkan kuda
dan kereta
(3)
Pendopo Ageng, merupakan ruangan terbuka yang berbentuk joglo yang terletak
di tengah. Pendopo Ageng ini berfungsi sebagai tempat jamuan dan upacara
resmi serta tempat pertunjukan kesenian dan tempat menyimpan gamelan
(4)
Paretan, adalah jalan yang terletak antara pendopo dengan pringgitan yang
berfungsi sebagai jalan untuk kereta-kereta tamu
(5)
Pringgitan, merupakan bagian muka dari dalem agung untuk menerima tamu
resmi dan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit
(6)
Dalem Ageng, tempat untuk menyelenggarakan upacara adat resmi. Kini Dalem
Ageng juga berfungsi sebagai museum
(7)
Dimpil dan Sentong, tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka dan tempak
untuk meditasi
|
19
(8)
Bale Warni, terletak di sebelah kiri atau sebelah barat Dalem Ageng merupakan
tempat tinggal permaisuri dan putra-putrinya serta tempat untuk menerima tamu
perempuan. Dalam perkembangannya tamu laki-laki dapat duduk di Bale Warni
(9)
Bale Peni, yang terletak di sebelah timur Dalem Ageng, merupakan tempat
tinggal Mangkunegara dan tempat menerima tamu laki-laki
(10)
Pracimusana, tempat untuk menerima tamu sehari-hari
(11)
Purwasana (Kaputren) terletak di dalam seputar Bale Warni hingga Bale Peni
tempat para perempuan
(12)
Panti Putra, tempat para keraba lelaki
(13)
Prangwedanan, tempat tinggal putra mahkota terletak antara perkantoran
Mandrapura dengan Panti Putra.
(14)
Mandrapura, terletak di sebelah timur dan sebelah barat pendopo untuk
perkantoran
(15)
Reksa Pustaka, terletak di sebelah timur pendopo sebagai tempat perpustakaan
Mangkunegaran
Masjid Mangkoenegaran
Pendirian Masjid Mangkunagaran diprakarsai oleh Mangkunegara I sebagai
Lambang
Panotogomo. Masjid
ini
dinilai
cukup unik karena kaligrafinya yang dapat
dijumpai di beberapa tempat seperti pada pintu gerbang, pada markis/kuncungan, soko
dan Maligin.
Masjid yang dulunya terletak di Kauman Pasar Legi
ini bernama Al-Wustho,
diberi
nama
demikian
pada
tahun
1949
oleh
Penghulu
Pura
Mangkunagaran
Raden
|
20
Tumenggung K.H. Imam
Rosidi. Pemindahan mesjid dilakukan oleh Mangkunegara II
ke
Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Pura
Mangkunagaran.
Pengelolaan
masjid
dilakukan
oleh
para
abdi
dalem Pura
Mangkunagaran,
sehingga status masjid merupakan Masjid Pura Mangkunagaran.
Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunagaran terjadi pada saat
Mangkunegara
VII, pada saat itu Mangkunagara VII meminta seorang arsitek dari
Prancis untuk ikut serta mendesain bentuk masjid ini.
Luas kompleks masjid sekitar 4.200 meter persegi dengan batas pagar tembok
keliling sebagian besar di muka berbentuk lengkung.
Masjid Mangkunagaran terdiri dari:
(1) Serambi:
merupakan
ruangan
depan
masjid
dengan
saka
sebanyak
18
yang
melambangkan umur Raden Mas Said (Mangkunagara I) ketika keluar dari Keraton
Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunegaran. Di serambi
Adipati Mangkunagaran.
Di serambi terdapat bedug
yang bernama
Kanjeng Kyai
Danaswara.
(2) Maligin:
dibangun atas prakarsa Mangkunegara V digunakan
untuk
melaksanakan
khitanan bagi putra kerabat Mangkunagaran. Sejak pemerintahan Mangkunagara
VII
Maligin
diperkenankan untuk
digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat
khitanan masyarakat umum.
(3) Ruang sholat utama. Merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 penyangga
pembantu yang berhias huruf kaligrafi Alquran.
|
21
Pawasteren, merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat sholat
khusus wanita.
Menara, dibangun tahun 1926 pada masa
Mangkunagara VII. Digunakan untuk
menyuarakan adzan, pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-
sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda.
2.2.3.Kraton Jogja
Kraton Jogja
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta dikenal secara
umum oleh masyarakat sebagai bangunan istana salah satu kerajaan nusantara. Keraton
Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika
pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kesultanan Yogyakarta
(bersama-sama Kadipaten Paku Alaman) sebagai sebuah daerah berotonomi khusus
setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa
bulan pasca
Perjanjian
Giyanti di tahun
1755. Lokasi
keraton
ini
konon adalah bekas
sebuah pesanggarahan[2] yang bernama
Garjitawati. Pesanggrahan
ini digunakan untuk
istirahat
iring-iringan
jenazah
raja-raja
Mataram (Kartasura
dan
Surakarta)
yang
akan
dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata
air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati
Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar
Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
|
22
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu
Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan),
dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki
berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap
dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai
filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.
2.2.4.Teori Buku
Buku adalah kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada
salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Setiap sisi dari sebuah lembaran
kertas pada buku disebut sebuah halaman. Seiring dengan perkembangan dalam bidang
dunia informatika, kini dikenal pula
istilah e-book atau buku-e (buku elektronik), yang
mengandalkan komputer dan Internet (jika aksesnya online).
Ada berbagai sumber yang menguak sejarah tentang buku. Buku pertama
disebutkan
lahir
di
Mesir
pada
tahun 2400-an SM
setelah
orang
Mesir
menciptakan
kertas papirus. Kertas papirus yang berisi tulisan ini digulung dan gulungan tersebut
merupakan bentuk buku yang pertama. Ada pula yang mengatakan buku sudah ada sejak
zaman Sang Budha di Kamboja karena pada saat itu Sang Budha menuliskan wahyunya
di atas daun dan kemudian membacanya berulang-ulang. Berabad-abad kemudian di
Cina, para cendekiawan menuliskan ilmu-ilmunya di atas lidi yang diikatkan menjadi
satu.
Hal
tersebut
mempengaruhi
sistem penulisan
di
Cina di
mana
huruf-huruf
Cina
dituliskan secara vertikal yaitu dari atas ke bawah.
|
![]() 23
Buku yang terbuat dari kertas baru ada setelah Cina berhasil menciptakan kertas
pada
tahun
200-an
SM.
Kertas
membawa banyak
perubahan
pada
dunia.
Pedagang
muslim
membawa teknologi penciptaan kertas dari Cina ke
Eropa pada awal abad 11
Masehi. Disinilah industri kertas bertambah maju. Apalagi dengan diciptakannya mesin
cetak oleh Gutenberg perkambangan dan penyebaran buku mengalami
revolusi. Kertas
yang
ringan
dan
dapat
bertahan
lama
dikumpulkan
menjadi
satu dan
terciptalah
buku.Pecinta buku biasanya dijuluki sebagai seorang bibliofil atau kutu buku.
2.3. Data Khusus
2.3.1.Konsep Buku
Kategori
Buku yang pada intinya menggambarkan secara garis besar kehidupan
Mangkunegara ini merupakan buku sejarah
budaya yang disajikan
secara
populer
yang
memberi
inspirasi
dan
memenuhi rasa
keingin-
tahunan pembaca yang bukan penggemar sejarah.
Judul
Pura Mangkunegara
Sub Judul
Nilai dan pandangan hidup
Penulis/Editor
Adriani S Soemantri
Desainer
Adhika Yehezkiel Samuel Sumampouw
Kontributor
Data: Murtijono, Nugroho
Hari Sasongko, KPHAR Sosronegoro,
Tutuko, Christine
Foto: Adhika YS Sumampouw, dokumentasi Mangkunegara
|
![]() 24
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Bagian Pendopo Pura Mangkunegaran - Solo
Gambar 2.5
Emblem Kerajaan Mangkunegara
Gambar 2.6
Kereta Kerajaan Mangkunegara
|
![]() 25
Ilustrasi: Adhika YS Sumampouw
Penerbit
Red and White Publisher
Tahun
Agustus, 2009
Tempat
Jakarta
Harga
Rp 275.000
Distribusi
Didistribusikan
ke
seluruh Indonesia
melalui toko buku
seperti:
Gramedia, TGA,
Aksara, Kinokuniya, Periplus,
galeri dan penjualan
langsung
USP/Manfaat
buku
Merupakan buku Pictograph pertama yang membahas secara lengkap
mengenai Mangkunegara I & Mangkunegara IV serta kontribusi apa
yang telah mereka ciptakan,dan bertahan hingga saat ini, Selain
Buku yang penyajiannya secara khas melalui penggabungan
komposisi modern dan
local
content
dengan
alur
penyampaian
deskriptif naratif atau dengan gaya bertutur diharapkan dapat memikat
pembaca sehingga pembaca memperoleh pengetahuan dan
mempraktikkan nilai-nilai yang terkandung dalam buku.
2.3.2. Spesifikasi Buku
Ukuran
30 x 35 cm
Jumlah hal
150 halaman, dengan perbandingan antara text dan foto, 60 foto, 20%
teks, dan 20 % illustrasi.
Kertas Cover
Hard Cover
|
![]() 26
Kertas isi
Nettuno 140 gr,
Binding
Kattern
Cetak
Offset 4 warna
Spesifikasi
khusus
Cetak Plat kuningan Logo Mangkunegara
untuk kesan mewah
2.3.3. Struktur Isi
(a) Sinopsis
Pada intinya, buku ini menceritakan raja-raja Jawa yang mempunyai nilai dan
falsafah
hidup
tertentu
yang
masih
relevan
dalam kehidupan
modern
sehingga
perlu
dirawat dan direproduksi.
(b) Daftar Isi buku
I. Pura Mangkunegaran
1.1. Pengantar
1.2. Berdirinya Pura Mangkunegaran
1.3. Raja-raja Jawa dan Kekuasaan Raja
1.4. Jenjang dan gelar
1.5. Pengaruh dan kekuasaan
II. Raja-raja Mangkunegara
2.1. Mangkunegara I
2.2. Mangkunegara II
|
![]() 27
2.3. Mangkunegara III
2.4. Mangkunegara IV
2.5. Mangkunegara V
2.6. Mangkunegara VI
2.7. Mangkunegara VII
III.Mangkunegara I
3.1. Busana dan asesoris
3.2. Makanan
3.3. Permainan
3.4. Tari, wayang, tembang
3.5. Senjata
IV. Mangkunegara IV
2.3.4. Khalayak Sasaran
Target pembaca dari buku “Kedhaton Mangkunegaran” ini
mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
Demografi
Umur
25-45 tahun
Jenis kelamin
Laki dan perempuan
|
![]() 28
Pendidikan
Mahasiswa perguruan tinggi S 1, dan S 2.
Tingkat sosial
Golongan B+ - A
Psikografi
Personality
1. Sanguine – Melancholic
aktif,
fleksibel,
cerdas,
berpikiran positif, dan terbuka, yang
berkeinginan merawat dan mereproduksi budaya Jawa
2.Ambivert
Tipe
karakter
yang memiliki
keseimbangan
psikologi
antara
introvert
dan
extrovert. tipe
ambivert
seperti
karakter
extrovert,
suka bersosialisasi dan berkumpul
dengan banyak orang dan
membicarakan
banyak hal,
disisi
lain
mereka
juga
suka
menyendiri dan menjauh dari lingkungan, seperti tipe introvert.
Tipe ini umumnya dapat bergaul akrab dengan lebih dari satu
lingkup
saja.
Karena
memiliki
banyak
lingkup akrab,
golongan
ambivert sering menjadi renggang perlahan dengan lingkup
akrabnya yang memiliki kadar introvert. Sifatnya yang perasa
kadang membuatnya jadi moody. Namun sifat easy going
membuatnya jadi pribadi yang menyenangkan.
3. Behavior
Fokus kepada sekelompok orang yang memiliki hobby traveling,
yang
memiliki
jiwa petualang,
tertarik
akan
kehidupan
arsitektural jaman dahulu berserta dengan sejarahnya,
mempunyai keinginan untuk merawat dan mereproduksi budaya
Jawa. Pergaulan luas dengan fokus pada budaya lokal
|
![]() 29
4. Life Style
Orang –orang
yang
memiliki lifestyle modern
atau
posmodern
yang
menghargai
warisan budaya atau
menyukai
budaya klasik
yang
gemar
hang
out
di
coffee
Shop
pada sore
hari
sesudah
kerja,
sering pergi
ke Gym di
malam
hari
untuk
fitness,
Jalan-
jalan
ke
Mall,
pada
malam minggu
pergi
party,
Shoping
jika
ZARA sedang Sale, senang makan di Sushi Tei, jika harus
nonton harus pergi ke XXI, keharusan untuk datang ke toko buku
Kinokuniya tiap bulan untuk mengetahui buku-buku terbaru yang
menarik untuk dibaca pada waktu istirahat makan siang, dan
sebelum tidur.
2.3.5. Data Penerbit
Red, and White Publiher
Didirikan dalam semangat untuk berperan serta dalam membina kembali rasa
percaya diri manusia Indonesia untuk bersyukur dan berbangga sebagai bangsa yang
hidup dalam wilayah dan negara Indonesia. Membangun kembali rasa percaya diri dan
kebanggaaan ini mutlak diperlukan, karena akhir-akhir ini tampak adanya
kecenderungan bahwa bangsa dan negara Indonesia mulai mendapat citra yang kurang
menggembirakan dari dunia internasional. Hal ini terutama disebabkan oleh berbagai
perbuatan perorangan atau kelompok dalam beberapa aspek kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, Jadi bukanlah merupakan perbuatan, sikap dan sifat Indonesiawi secara
keseluruhan.DD Sejarah panjang berdirinya negara kesatuan yang diawali dari
|
30
berdirinya kerajaan pertama di Kutai, berlanjut melalui kejayaan Majapahit, hingga
penjajahan Belanda dan Jepang, merupakan proses yang unik dan membanggakan.
Keragaman budaya Indonesia, misalnya: situs manusia Sangiran, candi Borobudur dan
Prambanan sudah dimasukkan ke dalam World Heritage List. Pada tahun 2003, Wayang
Kulit Indonesia ditetapkan oleh UNESCO sebagai Karya Agung Warisan Manusia.
Gamelan juga berkembang di berbagai negara Eropa dan Amerika. Bahkan, pada tanggal
25 Nopember 2005 yang lalu UNESCO juga telah memproklamirkan Keris Indonesia
sebagai: A Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity.DD Oleh
karena itu kita perlu mengubah persepsi tentang Indonesia menjadi lebih objektif, dan
dimulai dari diri sendiri untuk bangga menjadi bangsa Indonesia.DDAtas dasar
pemikiran itulah Red, and White Publiher didirikan, untuk mempromosikan hal-hal yang
merupakan kebanggaan Indonesia melalui penerbitan buku, atau kegiatan-kegiatan
lainnya. Sebagai langkah awal, bersama ini kami terbitkan buku: KERIS JAWA,
ANTARA MISTIK DAN NALAR. Penerbitan buku ini bermaksud agar dapat memupuk
rasa bangga terhadap karya bangsa sendiri. Semoga upaya ini mendapat sambutan semua
pihak, sehingga kita bersama-sama dapat mengangkat harkat dan martabat Indonesia di
mata dunia.
2.3.6. Data Pembanding
Data pembanding yang mendekati dengan pembuatan tugas akhir ini adalah buku
“Kraton Jogja –
Sejarah dan warisan budaya” yang menggambarkan bagaimana
kehidupan kraton jogjga dilihat dari segi budaya, kuliner, dan perekonomianya.
2.3.7 Analisis
|
31
Strength (kekuatan):
1.
Dilihat dari data-data yang sudah tersedia saat ini dapat diketahui potensi
kekuatan yang dimiliki oleh buku ini diantara lain adalah menceritakan
tentang kehidupan di Pura Mangkunegaran yang sifatnya selain
informatif dan edukatif, dari buku tersebut juga
menceritakan tentang
pandangan-pandangan hidup dari seorang Mangkunegaran yang juga
disajikan dengan layout, dan illustrasi yang membantu penyampaian
dari informasi, dan cerita tersebut.
2.
Penyajiannya
yang
dipadukan dengan
kehidupan
modern
saat
ini tetapi
tidak melupakan
unsur Local contentagar
masih tetap
melekat dengan
tradisi dan budaya setempat.
3.
Sebagai prasarana untuk
mempertahankan kebudayaan Indonesia melalui
pengetahuan
dan
sejarahnya,
yang berikutnya adalah menghidupkan
kembali
eksistensi
Bangsa
Indonesia melalui kebudayaan yang telah
dimiliki.
Weakness (kelemahan):
1. Pengumpulan data yang kurang karena ketersediaan data
yang bisa dibilang
pas-pasan sehingga pencapain sebenarnya dari pembuatan buku ini masih apa
adanya.
Opportunity (Kesempatan):
1.
Semakin
banyak orang
mempunyai
minat
membaca, stimulasi
dengan cara
penyampaian yang berbeda.
|
32
2. Menyadari
bahwa
Kebudayaan
kita
tidak
lahir
satu
malam
tetapi
melalui
turun
temurun dan pengakuan
itu terlahir dari perjuangan
yang tidak biasa,
lebih melalui perjuangan yang hebat,
jadi hendaknya kita menghargai hasil
kebudayaan
yang telah
kita miliki, dipertahankan, terlebih dikembangkan
oleh penerus-penerusnya.
3.
Untuk Keluarga adanya kebanggaan tersendiri untuk mengetahui siapa
pendahulu
kita, dan terlebih mencontoh kegigihan mereka untuk
mengerjakan dan menyelesaikan segala suatunya.
Threat (Ancaman):
1. Minat baca yang kurang sehingga banyak orang yang pada akhirnya berujung
tidak baik karena adanya anggapan bahwa bisnis buku adalah bisnis
yang
mati.
2. Kurangnya
minat
dari
percetakan
untuk
mempublikasikan,
dan
menghidupkan lagi buku yang bertemakan kerajaan, karena menurut mereka
jauh lebih menguntungkan memproduksi banyak Novel dan buku cerita
lainnya dibandingkan dengan ensiklopedia.
3.
Banyaknya lapisan masyarakat yang lebih tertarik akan tokoh-tokoh buatan
yang berasal dari negri luar, yang menjadikan tokoh-tokoh luar ini sebagai
trend setter sehingga mempunyai potensi untuk menggeser tokoh pahlawan
Indonesia yang sebenarnya tidak kalah menarik. Tokoh-tokoh asing itu bisa
dicontohkan seperti Samurai, Olympus, Valhalla dan lainnya yang sangat
lekat di kehidupan sehari-hari masyarakat pada umumnya .
|
![]() 33
4.
Kurangnya minat dari masyarakat untuk mengetahui kebudayaan
lokal
dan
lebih cenderung cuek, sehingga banyak dari kebudayaan tersebut yang
berujung
“hilang”
dari Bangsa
Indonesia
ini.
Karena
dianggap
sudah
usah
dan ketinggalan jaman.
2.4. Analisis SWOT
2.4.1. Analisis
Data dan
informasi
yang
terkumpul
menunjukkan bahwa
Mangkunegaran
sebagai
dinasti
yang tua
mempunyai
peninggalan
yang
sangat banyak
dalam berbagai
bentuk. Peninggalan tersebut pada intinya adalah nilai dan
filosofi
yang berlaku secara
universal
yang
berwujud
macam-macam, seperti kesenian, kesusasteraan, seni ukir.
Peninggalan tersebut yang sesungguhnya mendapat pengaruh dari luar terutama Belanda
sangat berguna bagi kita, karena peninggalan itu disesuaikan dengan konteks lokal yang
dapat menjadi jatidiri kita sebagai bangsa. Karena itu, peninggalan-peninggalan tersebut
perlu dirawat dan direproduksi.
Peninggalan tersebut dapat membentuk karakter bangsa dengan merancang masa
depan dengan
mempelajari
masa
lalu.
Dengan demikian, kita
hidup
dan
merancang
hidup ke masa depan, bukan fokus pada masa lalu.
|