4
BAB 2
DATA & ANALISA
2.1.
Data dan Literatur
Metode penelitian yang digunakan :
•
Wawancara
•
Buku refrensi
•
Survei lapangan disertai pemotretan
•
Literatur dari internet
2.1.1. Seni tari ( sejarah dan fungsinya )
Sesungguhnya seni tari dapat digolongkan ke dalam
seni teater. Seni
teater mengandung tiga unsur, yakni penonton, tempat, dan pemain. Karena itu,
teater meliputi seluruh seni pertunjukan yang terdiri dari pentas ( drama ), seni
tari, seni musik ( karawitan ), dan seni
gerak lainnya. Salah satu definisi tari
berbunyi “tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-
gerak ritmis yang indah ( Soedarsono, tanpa tahun : 17 )
Kapan sebenarnya seni tari itu muncul tidak seorangpun yang mengetahui
dengan
pasti.
Curt Sachs
dalam
bukunya
World
History
of
Dance
mengemukakan
bahwa
perkembangan
tari
sebagai
seni
yang
tinggi
telah
ada
|
5
pada zaman prasejarah ( Curt Sachs, 1963 : 209 ). Encyclopedia Americana
menyebutkan bahwa usia tari itu setua umur adanya manusia. Selanjutnya
diceritakan
bahwa
manusia
purba dengan
irama
dan
nalurinya
dalam keadaan
setengah sadar menciptakan gerakan-gerakan tari, yang sering menirukan gerak-
gerik binatang. Manusia purba itu menemukan bahwa dengan menari ia dapat
menyalurkan
kemewahan/kelebihannya, memperoleh kesenangan dan dapat
menyatakan perasannya tentang peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya. Ia
percaya bahwa melalui tari ia dapat berkomunikasi dengan dunia maya (niskala),
yang mengawasi dunia fana (skala), tempat tinggalnya. Karena itu tarian primitif
mempunyai
ikatan
yang
sangat
erat dengan
kesejahteraan
suatu
suku
(tribe).
Orang primitif menari untuk merayakan kelahiran, menyembuhkan penyakit,
bela sungkawa, dan berdoa demi berhasilnya demi suatu perbuatan berburu,
memohon
hujan
atau
kemenangan
dalam peperangan.
Kemudian
setelah
masyarakat pertanian serta pedesaan semakin
berkembang,
maka
tari
itupun
perlahan-lahan
memisahkan diri dari suasana keagamaan
dan
magi,
lalu
makin
dekat hubungannya dengan soal hiburan masyarakat (Encyclopedia Americana
VIII, 1976 : 465).
2.1.2. Perkembangan kesenian di Cirebon
Seperti juga halnya dengan cabang kebudayaan yang lain, kesenian
Cirebon pada mulanya merupakan perwujudan persembahan rakyat pada cara
kehidupan keagamaan. Sebelum kebudayaan
Hindu
masuk ke Pulau Jawa,
|
6
penduduknya
memuja segala
menifestasi
alam yang
mereka
lihat
disekitarnya:
tumbuh-tumbuhan, batu karang dan laut, juga sungai, gunung, angin dan topan
yang sekali-kali mengganggu kehidupan mereka.
Mereka percaya bahwa segala manifestasi alam ini mempunyai roh
sendiri, umpamanya roh nenek-moyang mereka, yang selalu hadir dan
mengamati mereka, yang menjadi penjaga kehidupan dan kesatuan suku. Dengan
demikian bagi orang-orang pra-Hindu semua kesenian bahkan dekorasi pada
benda-benda fungsional merupakan perwujudan kepercayaan agama.
Letak Cirebon pada persimpangan jalan dari berbagai jurusan, yang
sekarang
menjelma
menjadi satu
kota
pesisir pada perbatasan Jawa Barat, dan
merupakan contoh khas peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu-Jawa abad ke-15,
mungkin sekali sangat mempengaruhi sifat kesenian Cirebon, yang pada
umumnya
mempelihatkan bekas sebagai kebudayaan
yang tindih-menindih.
Salah satu bukti adanya bekas itu adalah lambang keraton Cirebon, singa putih,
peninggalan dari kerajaan Hindu-Sunda.
Kemudian, sebagai bagian dari alam kekuasaan kerajaan Demak dan
Gresik semasa agama Islam baru berkembang maka Cirebon telah menjadi pusat
kehidupan pengaruh spiritual, dimana ajaran dan filsafat Hindu dan Islam
bertemu
dan
mencari
suatu
sintesis,
yang
kemudian
disebarkan
jauh
ke
pedalaman maupun sepanjang pesisir pantai.
Kini Cirebon terkenal karena pola-polanya yang berani, berbentuk liong,
singa, gajah, megamendung, wadas, tumbuh-tumbuahan menjalar serta ayam
|
7
jantan yang berkokok. Kebanyakan motif ini adalah lambang yang dipuja, yang
menunjukan kekuatan jantan dan keberanian, malah kadang-kadang keagresifan,
petunjuk suatu bangsa yang ingin memperkenalkan kehadirannya setelah begitu
lama ditelantarkan oleh dunia luar. Mungkin begitu keadaannya, sebab Cirebon
keseniannya tidak begitu dikenal seperti pusat-pusat kesenian Jogjakarta dan Bali
yang lebih terkenal.
Agaknya wajar bila kecenderungan terhadap mistik dan asetik ini atau
sikap pendiam dan ngambek yang membedakan mereka dari orang Sunda yang
periang dan bergairah, muncul dalam suatu
masyarakat
yang
selama berabad-
abad dihadapkan kepada masuknya aneka ragam tradisi, kebudayaan dan agama.
Penyerapan begitu banyak fikiran merupakan suatu proses panjang dan
menjemukan, namun dalam sinkritisme kebudayaan Cirebon tidak terdapat suatu
sikap yang gelisah. Perwujudan kesenian mereka sengat licin dan tegas, sehingga
unsur-unsur yang berbeda akhirnya tidak hanya menghasilkan satu benda
kesenian, tetapi satu kesatuan yang mempunyai tempat sendiri. Keseluruhannya
jauh lebih agung daripada bagian-bagiannya.
2.1.3. Pertunjukan Rakyat Tradisional Cirebon
Sebagian besar dari
seni pertunjukan
rakyat tradisional di Cirebon
bersifat mistik keagamaan dan kadang-kadang bercampur dengan unsur magis.
Ada anggapan bahwa seni pertunjukan rakyat ini merupakan dasar peninggalan
unsur-unsur pelampiasan seni pertunjukan
masa pra-Hindu dan
masa Hindu di
|
8
Jawa,
yang
pada
masa
Islam mengalami
asimilasi
dan
mulai
berkembang
di
pesisir utara pulau Jawa hingga kini. Pengaruh dari saat Islam mulai berpijak di
pesisir
utara
pulau
Jawa
kepada kebudayaan di daerah-daerah ini mencetuskan
suatu kebudayaan yang lazim
dinamakan kebudayaan pesisiran, membentang
dari Banten, Jakarta, Cirebon, Demak, Lasem, Pati, Kudus, Gresik, dan Tuban.
Pada
seni
pertunjukan
rakyat di Cirebon dapat dirasakan ciri-ciri
dan
suasana
yang khas Cirebon, meskipun unsur-unsur tarian, lakon dan seni pertunjukan
rakyat
lainnya diambil
dari
daerah-daerah lain
di
Indonesia,
maupun dari
luar
Indonesia,
seperti
Cina.
Namun
hasil
cetusan seni yang terdapat di Cirebon
tidaklah sebagai suatu jiplakan, melainkan dihayati sebagai ciptaan-ciptaan
khusus dari daerah tersebut. Pada pertunjukan tari topeng, misalnya, meskipun
peranan-peranan
lakon
mempunyai
persamaan dan
memnag
berasal
dari
Jawa
Tengah dan Jawa Timur, namun cara membawakannya, kelincahan tarian-tarian
serta suasana dinamis yang dapat diciptakan dengan pengaruh bunyi nada-nada
gamelan Cirebon yang sangat khas mengikuti gerak-gerik penari adalah khas
Cirebon.
Seni pertunjukan rakyat di Cirebon ini seperti telah diutarakan diatas
mempunyai sifat mistik keagamaan serta kadang-kadang unsur magis, yang
tadinya merupakan dasar pengadaan suatu pertunjukan tertentu,. Yakni
kepercayaan
adanya
daya
magis
di sekeliling
kita
yang
dapat
dihimpun,
dikonsentrasikan,
maupun diusir dengan pengadaan suatu seni pertunjukan
apabila pertunjukan tersebut mengandung kekuatan tertentu. Pertunjukan itu kini
|
9
menjelma
menjadi pertunjukan tari
topeng, tari barongan, pertunjukan lais dan
sintren serta pertunjukan-pertunjukan lainnya.
Seni pertunjukan ini ada yang dikatakan bersifat keagamaan, karena dulu
penyebar agama Islam menggunakan seni pertunjukan rakyat sebagai salah satu
cara untuk mempengaruhi masyarakat setempat agar dapat menerima ajaran
agama Islam. Di antara penyebar agama-agama Islam, yang umumnya disebut
Wali Sanga, terdapat Sunan Kalijaga, yang menurut tradisi merupakan pendekar
utama
penyesuaian ciptaan
kebudayaan zaman
Hindu sehingga
menjadi
bagian
integral kebudayaan masyarakat muslim baru.
Penampilan wayang golek, yang konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga
untuk mengimbangi wayang kulit yang bermotif Hindu. Perlu dicatat bahwa
wayang golek Cirebon dan Indramayu berlainan dengan wayang golek Sunda
yang
mengambil
lakon
wayang
purwa
seperti halnya wayang kulit di Jawa
Tengah. Karena wayang golek Sunda itu muncul setelah proses pe-Mataram-an.
Oleh
sebab
itu
meskipun
dalam percakapan
wayangnya
menggunakan
bahasa
Sunda, tetapi dalam uraiannya dituturkan dalam bahasa Jawa.
Sunan Kalijaga tampaknya mengerti betul sampai sejauh mana pengaruh
wayang
dalam jiwa
rakyat.
Oleh
karena
itu
beliau
senantiasa
menggunakan
wayang sebagai bahan dakwah.
Seni pertunjukan lain yang masih sering diadakan di desa-desa adalah
pertunjukan Lais dan Sintren. Pertunjukan Lais adalah serupa dengan
pertunjukan Sintren,
hanya
pada
Lais
dilakukan
oleh
anak
laki-laki dan
pada
|
10
Sintren dilakukan oleh anak perempuan. Pertunjukan Lais adalah sebagai berikut:
seorang anak laki-laki dengan tangan diikat dipunggung dimasukan kedalam
kurungan ayam dari bambu yang besar dengan sepersalinan pakaian di
sebelahnya. Kurungan ditutup dengan kain. Sementara itu beberapa orang
menyanyi dengan suling, kendang dan
gong. Setelah beberapa saat tutup
kurungan diangkat dan akan terlihat anak laki-laki
itu
sudah
memakai
pakaian
yang terletak di sebelahnya itu dengan tangan masih terikat di punggungnya.
Biasanya
pertunjukan
dilakukan
pada
malam hari
pada
bulan
purnama.
Pertunjukan Lais dan Sintren
ini
dapat
bervariasi
dari
tempat
ke tempat,
tergantung selera dan kebiasaan mesyarakat setempat tentang pertunjukan ini.
Di masa yang lampau dikenal pula pertunjukan Barongan, pertunjukan
Gendruwon, pertunjukan Baksa, pertunjukan Birahi, pertunjukan Genjringan dan
Tari Topeng.
Masih banyak seni pertunjukan rakyat di Cirebon yang tidak disebutkan
disini, namun dari yang telah dinyatakan ini dapat terlihat bahwa daerah Cirebon
memiliki seni pertunjukan rakyat yang cukup banyak dan menarik.
|
![]() 11
2.1.4. Pendahuluan Mengenai Tari Topeng Cirebon
Panji
Samba
Rumyang
Tumenggung
Klana
Di Jawa Barat ada beberapa tarian atau drama tari yang penari-penarinya
menggunakan topeng. Dapat disebutkan di antaranya adalah: Topeng Besar
(wayang wong), Topneg Kecil (Topeng Babakan), Topeng Banjet, dan Ubrug.
Namun berdasarkan cerita yang ditarikan, dan topeng yang digunakan, semua itu
dapat
digolongkan
menjadi
dua
golongan, yaitu
Topeng
Besar
yang
biasanya
melakonkan
cerita-cerita
Mahabarata,
dan Topeng Kecil yang biasanya
melakonkan cerita-cerita Panji. Kedua topeng tersebut berasal dari Cirebon, yang
dikenal sebagai tempat berkembangnya kesenian-kesenian klasik. Dari Cirebon
lambat laun berkembang ke daerah-daerah Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang,
Bandung, dll.
|
12
Drama tari topeng besar atau wayang wong mengambil, dan memaikan
kisah-kisah dari mahabarata dengan memasukan unsure-unsur Islam.
Jumlah
topeng
ada
22
buah,
namun
jumlah
yang digunakan
dalam
suatu
cerita
tergantung pada cerita yang dibawakan. Ada topeng yang dapat digunakan untuk
beberapa peranan yang berbeda tiap tokohnya. Topeng –topeng tersebut yaitu:
1. Rahwana (dapat juga dipakai untuk Indrajit, Gandamana, Kelana)
2. Hanoman
3. Yaksa
4. Bima
5. Arjuna
6. Subadra
7. Srikandi lungguh (melihat kebawah)
8. Srikandi dangah (menengadah)
9. Gatutkaca
10. Antareja
11. Abimanyu
12. Kresna Malang Dewa (Kresna sebagai anak)
13. Semar
14. Pentul
15. Dursasana
16. Sencaki (dapat dipakai untuk Bambang, Prabu Turalaya Patih)
17. Prabu Mandura
18. Cakil
|
13
19. Dewi Permoni
20. Togog
21. Aswatama
22. Bambang Segara
Cara
menggunakan
topeng adalah dengan
menggigit
secarik kulit
yang
ditempelkan pada bagian dagu topeng sebelah dalam, sehingga
pemakai/penarinya
tidak
bias
bersuara,
sebab penari hanya berekspresi dengan
gerakan atau tarian. Sedangkan ucapannya diucapkan oleh sang dalang.
Gamelan
yang
digunakan
untuk
mengiringi
tari
topeng
ini
adalah
gamelan dengan surupan (nada) slendro. Jumlah penari paling sedikit lima orang
dan jumlah/jenis
gamelan terdiri atas:
tiga kenong, dua saron, satu ketuk, satu
atau dua gong, kendang, rebab, keprak dari kayu yang digantungkan pada kotak
dan dipukul dengan menggunakan pemukul kayu oleh dalang.
Bila drama tari topeng besar banyak disukai, dan berkembang di kalangan
masyarakat lapisan atas, sedangkan drama tari topeng kecil benyak disukai dan
berkembang di kalangan masyarakat lapisan bawah atau rakyat kecil. Tari
Topeng
Kecil
terdiri
atas
enam
sampai delapan
topeng, tetapi
pada
umumnya
yang dimainkan hanya enam topeng, yaitu:
1. Panji, Pangeran dari Jongjola (di Jawa Tengah dan Jawa Timur
disebut Jenggala).
2. Pamindo
atau
Samba,
putera Prabu
Kresna, sama dengan
pangeran
Gunungsari di Jawa Tengah.
|
14
3. Rumyang atau Parumyangan
4. Pati atau Tumenggung Magangdi Raja, Patih dari Jongjola.
5. Klana, Raja dari Bewarna.
Kemudian
kadang-kadang
ditambah
dua
topeng
lain yaitu
Nyo,
Jinggananom, Pentul dan Aki-aki.
Tari Topeng Kecil ini paling sedikit ditarikan oleh dua orang. Bahkan
kadang-kadang
ditarikan
oleh
seorang penari saja, yang caranya dengan
mengganti
mengganti
tiap
topeng
setelah
menari
dengan
membawakan tokoh
yang
satu
kemudian
diganti
dengan
tokoh
yang
lain.
Topeng Panji biasanya
dipakai oleh seorang penari wanita, dan topeng-topeng lain dipakai oleh penari-
penari pria. Cara memakai topeng sama dengan topeng besar.
Gamelan pengiring adalah gamelan dengan surupan (nada) pelog. Alat-
alatnya terdiri atas
satu atau dua buah saron, beberapa buah ketuk, satu sampai
tiga buah gong, dan kemudian keprak. Selain itu kadang-kadang ditambah
dengan kleneng (semacam boning di Jawa Tengah) dan kemanak.
Pada
umumnya
Tari
Topeng
Kecil ini tidak ditarikan selengkapnya
melainkan hanya tiga atau empat topeng. Biasanya Panji, Samba, Pati dan
Kelana. Kadang-kadang hanya Kelana saja, karena tarian Kelana merupakan
Tarian yang paling digemari di Cirebon. Namun dalam hal demikian arti
magisnya saja yang ditonjolkan, karena banyak topeng Kelana yang tua
diperkirakan mengandung kekuatan magis,
yang dapat membuat penari seolah-
olah kemasukan roh sehingga tarian Kelana tersebut dapat ditarikannya dengan
|
15
penuh dinamik dan bakat, bila tanpa topeng tersebut mungkin tidak dapat
dilakukannya.
Topeng-topeng
Cirebon
mempunyai wajah-wajah
yang
ekspresif,
menarik,
menyeramkan
dan
hidup.
Berlainan dengan topeng-topeng di Jawa
Tengah, dimana tekanan diletakan pada keindahan hiasan dan ornamentik kepala
dan kehalusan pembuatan wajah, maka tekanan pada topeng Cirebon adalah pada
ekspresi muka yang terpancar dengan kuat. Wajah yang sabar dan halus seperti
Panji
dengan senyum
sedikit dikulum,
wajah Kelana
yang angkuh dan amarah
dan sangat hidup. Namun kini terlihat bahwa ekspresi wajah-wajah yang kuat ini
hanya terdapat pada topeng-topeng Cirebon yang lama, sedangkan topeng-topeng
baru yang kini dibuat kurang memiliki pancaran ekspresi wajah yang kuat
tersebut.
Masih dibuatnya topeng-topeng dewasa ini menunjukan bahwa seni
pertunjukan tarian topeng masih hidup di Cirebon. Bahan dasar untuk pembuatan
topeng
adalah
kayu-kayu
yang sifatnya
tidak terlalu keras, dan ringan, seperti
kayu
waru,
kuini,
kenari,
dan
mentaos. Bahan
warna atau
cat
yang digunakan
adalah
cat
kayu.
Pada
topeng-topeng lama,
bahkan
warnanya
menggunakan
bahan-bahan yang sangat sederhana, yaitu cat bubuk yang dicampur dengan lem
kak (ancur) dan dengan prada emas,
sehingga
permukaannya
tidak
terlalu
mengkilat, dan lebih artistik dibandingkan dengan menggunakan cat kayu seperti
yang digunakan pada topeng-topeng baru yang dibuat dewasa ini.
|
16
Topeng-topeng pada
umumnya tipis dan
ringan,
memiliki
lubang
pada
bagian
mata,
dan
hidung
dan
serta
ditempeli
secarik
kulit
pada
bagian
dagu
topeng
sebelah
dalam.
Pada
topeng-topeng lama bagian dalamnya sring diberi
warna pada bagian dahi, hidung dan dagu, seolah-olah ingin memberikan sumber
hidup kepada topeng tersebut yang berkaitan dengan kepercayaan tentang adanya
suatu isi pada topeng-topeng tersebut.
Warna pada topeng juga mempunyai arti yang dalam, yakni arti mistik
keagamaan, tidak diberikan begitu saja pada topeng. Tiap peran mempunyai
warna
tertentu dan
warna
ini
mengutarakan
satu sifat
tertentu. Warna-warna ini
digolongkan dalam lima
golongan, sebagaimana
hari pasaran Jawa: Pon, Wage,
Kliwon,
Legi
dan
Pahing
serta
kelima
arah
mata
angin:
utara,
selatan, barat,
timur dan
tengah. Demikian pula dalam falsefah Jawa diperkirakan
jiwa
terdiri
atas lima unsur, yakni: Mutmainah, Amarah, Supiyah dan Luwamah ditambah
dengan manusia sendiri menjadi lima unsur. Bahwa angka lima ini penting
terlihat pula pada Pancasila, kelima falsafah Negara Republik Indonesia. Warna
menurut sifat-sifatnya digolongkan sebagai berikut:
1. Putih: suci, sabar, baik, mudah menagkap suatu pengertian.
2. Merah: nafsu, tamak.
3. Kuning:
ingin
memamerkan
atau
menonjolkan
diri
atau
kekayaannya.
4. Hitam: tidak banyak bicara, bijaksana.
5. Banyak warna: pandai bicara dan dalam berbagai cara
|
17
Jika
dihubungkan
dalam penggolongan-penggolongan
lainnya
maka
pembagian warna dapat disamakan sebagai berikut:
1. Putih = Pon = Mutmainah = Utara
2. Merah = Wage = Amarah = Selatan
3. Kuning = Kliwon = Supiyah = Barat
4. Hitam = Legi = Luwanah = Timur
5. Banyak warna = Pahing = Manusia = Tengah
Simbolik pada topeng-topeng secara garis besar dibagi menjadi empat,
yaitu:
1. Panji: lambang kehalusan tabiat dan kesabaran; Mutmainah
2. Samba: lambang menerima kehendak Tuhan, tentram; Supiyah
3. Pati: lambang memauan, kekerasan hati; Luwamah
4. Kelana: lambang nafsu; Amarah
Tarian
Topeng Kecil
lebih
sering
diadakan, tidak seperti wayang wong
yang
hanya
sekali-kali
diadakan. Hal
ini
disebabkan
karena
ongkos
penyelenggaraan Tarian Topeng Besar jauh lebih mahal.
Melihat tradisi seni tari topeng, pengamatan kita tidak bisa lepas dengan
perlengkapan yang dipakai seperti tersebut di bawah ini :
1. Kedok / Topeng yang terbuat dari kayu dan cara memakainya dengan
menggigit bantalan karet pada bagian dalam nya.
|
18
2. Sobra sebagai penutup kepala yang dilengkapi dengan jamangan dan
dua buah sumping.
3. Baju yang berlengan.
4. Dasi yang di lengkapi dengan peniti ukon (mata uang jaman dulu)
5. Mongkron yang terbuat dari batik lokoan.
6. Ikat pinggang stagen yang dilengkapi badong.
7. Celana sebatas bawah lutut.
8. Sampur / selendang
9. Gelang tangan
10. Keris
11. Kaos kaki putih sampai lutut
12. Kain batik
13. Kadang - kadang dilengkapi dengan boro (epek)
Selain kelengkapan busana tersebut di atas kadang-kadang untuk Tari
Topeng
Tumenggung
menggunakan
tambahan
berupa tutup kapala kain dan
dilengkapi dengan peci dan kaca mata
Iringan gamelan biasanya berlaras slendro atau prawa yang terdiri dari :
1. Satu pangkon bonang
2. Satu pangkon saron
3. Satu pangkon titil
4. Satu pangkon kenong
5. Satu pangkon jengglong
|
19
6. Satu pangkon ketuk
7. Satu pangkon klenang
8. Dua buah kemanak
9. Tiga buah gong (kiwul, sabet dan telon)
10. Seperangkat kecrek
11. Seperangkat kendang yang terdiri dari : kempyang, gendung,
ketiping. Semuanya dimainkan dengan alat pemukul, kecuali untuk
Tari
Topeng Tumenngung
kendang
dimainkan
secara
biasa
yaitu
di
tepak/dipukul dengan tangan.
Lagu-lagu yang mengiringi adalah:
•
Kembangsungsang untuk Topeng Panji
•
Kembangkapas untuk Topeng Pemindo
•
Rumyang untuk Topeng Rumyang
•
Tumenggung untuk Topeng Tumenggung
•
Barlen untuk Topeng Jinggaanom
•
Gonjing untuk Topeng Kelana
2.1.5. Filosofi Tari Topeng Cirebon
Sudah lama Tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya
pesonanya yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tari
Panji,
yang
merupakan
tarian pertama dalam
rangkaian
Tari
Topeng
Cirebon,
|
20
adalah
sebuah misterium. Sampai sekarang belum
ada koreografer Indonesia
yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya. Tarian Panji
seolah-olah “tidak menari”.
Justru
karena
tariannya
tidak
spektakuler,
maka
ia
merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki
diam.
Bagi
mereka
yang kurang
peka dalam pengalaman
seni,
tarian
ini
akan
membosankan. Sebuah tarian tapi tidak banyak gerak? Bukankah hakikat tari itu
memang gerak (tubuh)?
Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Tari Topeng Cirebon. Bagaimana
penduduk
desa
mampu
menciptakan
tarian
semacam itu?
Penduduk desa
yang
tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya. Penduduk
desa
ini
adalah
juga
penerus
dari para
penari
Keraton
Cirebon
yang
dahulu
memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status “pegawai” oleh Gubernur
Jenderal
Daendels,
dan tidak
diperkenankan
memerintah
secara
otonom
lagi,
maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton tidak
dimungkinkan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat
diperlukan sesuai dengan “gaji” yang diterima Raja dari Pemerintah Hindia
Belanda.
Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus
mencari
sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di
Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti
umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami
transformasi-transformasi.
Proses
transformasi
itu
berakhir
dengan
keadaannya
|
21
yang sekarang,
yakni berkembangnya berbagai
“gaya”
Topeng Cirebon, seperti
Losari, Selangit, Gegesik, Majalengka dan Palimanan.
Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan
studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus
diperbandingkan satu sama
lain sehingga tercapai
pola
dan
strukturnya
yang
mendasarinya. Dengan metode demikian,
maka akan kita peroleh bentuk yang
mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar
filosofi tariannya.
Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan? Tentu saja
dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks
budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak
dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu
diperlukan penelusuran historis terhadapnya.
Siapakah Empu pencipta tarian ini? Kita tak akan mengetahuinya, karena
masyarakat Indonesia lama
tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya
tulis
dikenal
di
Keraton-keraton
Indonesia, tetapi tidak terdapat
kebiasaan
mencatat
pencipta-pencipta
kesenian,
kecuali
dalam beberapa
karya
sastranya
saja.
Kalau
pencipta
tidak
dikenal,
sekurang-kurangnya
di
zaman
mana
Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada
dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal.
Dalam Negarakertagama
dan
Pararaton dikisahkan raja
ini
menari
topeng
|
22
(kedok)
yang terbuat dari emas.
Hayam Wuruk
menarikan topeng emas (atapel,
anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana
Majapahit.
Jadi
Tari
topeng
Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istri-
istri raja,
adik-adik perempuan raja, ipar-ipar
perempuan
raja,
ibu
mertua
raja,
ibunda raja).
Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah populer
di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi. Mencari dasar
filosofi
tarian
ini
harus
dikembalikan
pada
sistem kepercayaan
Hindu-Budha-
Jawa
zaman
Majapahit.
Tetapi
mengapa sampai di Keraton Cirebon?
Setelah
jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-
sultan
Demak
yang
mungkin
mengagumi tarian
ini
atau
memang
dibutuhkan
dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan
bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja
Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan
bahwa
Topeng
Cirebon
erat
hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa
dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas
Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai
penonton.
Dari
Demak
tarian ini
terbawa
bersama
penyebaran
pengaruh
politik
Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan
Islamisasinya
di
seluruh
daerah
pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di
Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda
menyebutkan keberadaan tarian ini di Istana Banten. Banten dan Cirebon,
|
23
sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan
bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang
berada
di
pedalaman,
kemudian
digantikan
oleh
Mataram yang
juga
di
pedalaman.
Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir
Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk
dramatik
lakon
Panjinya.
Kalau
topeng tetap hidup dalam fungsi
ritualnya,
tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pedalaman. Rupanya
topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng sangat puitik dan
kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik. Topeng lebih dilihat
sebagai
simbol
yang mengacu pada realitas transenden. Inilah sebabnya sultan-
sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini.
Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan
sistem kepercayaan
Indonesia
purba
dan
Hindu-Budha-Majapahit.
Paham
kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah
emanasi. Paham emanasi
ini
diperkaya
dengan
kepercayaan
Hindu dan Budha.
Paham emanasi
tidak
membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah
bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.
Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam
diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan.
Semesta
itu suatu aneka, keberagaman.
Dan keanekan
itu terdiri dari pasangan
sifat-sifat
yang
saling
bertentangan
tetapi
saling
melengkapi.
Pemahaman
ini
|
24
umum di
seluruh Indonesia
purba,
bahkan di
Asia
Tenggara
dan
Pasifik. Dan
filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman
ini.
Boleh dikatakan, pandangan bahwa
segala sesuatu ini terdiri dari pasangan
kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal
manusia purba.
Sang Hyang
Tunggal
Indonesia purba
ini
mengandung semua sifat
ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka
dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir
dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan
sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada
secara
seimbang
dalam diriNya
sehingga Sifat
itu
tidak dikenal
manusia
alias
Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati
karena Dia
mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah
Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di
Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao.
Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang
Tunggal
ini
memecahkan
diriNya
dalam pasangan-pasangan
kembar
saling
bertentangan
itu,
seperti
terang
dan
gelap,
lelaki
dan
perempuan,
daratan
dan
laut.
Dalam tarian
ini digambarkan
lewat tari Panji, yakni tarian
yang pertama.
Tarian
Panji
ini
merupakan masterpiece rangkaian
lima
tarian topeng Cirebon.
Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi
Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang
aneka dalam pasangan-pasangan.
|
25
Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu
perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau
perempuan.
Kedoknya
sama
sekali
putih
bersih tanpa hiasan, itulah Kosong.
Gerak-gerak tariannya amat
minim, namun
iringan gamelannya
gemuruh. Itulah
wujud paradoks
antara
gerak
dan
diam. Tarian
Panji
sepenuhnya
sebuah
paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba
itu, bagaimana menghadirkan
Hyang
Tunggal
dalam transformasinya
menjadi
aneka,
dari
ketidakberbedaan
menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah
terjemahan dari proses pembedaan itu.
Empat
tarian
sisanya
adalah
perwujudan
emanasi
dari
Hyang
Tunggal
tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling
bertentangan,
yakni
“Pamindo-Rumyang”, dan
“Patih-Klana”.
Inilah
sebabnya
kedok “Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-Klana” berwarna
gelap (merah tua).
Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan-perempuanan,
sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan
pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak
“luar”. Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan
bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang
membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya.
Inilah
sebabnya
keempat
tarian
setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian
Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.
|
26
Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya
alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau
topeng Cirebon ini mengulangi
peristiwa primordial umat manusia, bagaimana
“penciptaan”
terjadi.
Tidak
mengherankan
kalau
di
zaman
dahulu
hanya
ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu
sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja adalah Dewa itu sendiri, yang
dikenal dengan paham dewa-Raja.
Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam
semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan
mutlak
tanpa pembedaan,
berubah
menjadi
keanekaan
relatif
yang sangat
berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu sendiri,
dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan dari emanasi diriNya
menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling bertentangan.
Topeng Cirebon adalah tarian
ritual yang amat sakral. Tarian ini sama
sekali
bukan
tontonan
hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama
disebutkan,
bahwa
raja
menarikan
Panji dalam ruang
terbatas
yang disaksikan
saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laku
puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para
dalang topeng di daerah Cirebon.
Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian itu bukan
persembahan
makanan
untuk
Sang
Hyang Tunggal.
Sajian
adalah
lambang-
lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian sering dijumpai
|
27
bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh
cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah lambang dunia manusia,
bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki,
dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang
lelaki,
buah
jambu
lambang
perempuan.
Air
kopi
lambang
Dunia
Bawah, air
putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah
lambang keanekaan yang ditunggalkan. (Prof. Drs. Jakob Sumardjo, Pikiran
Rakyat, Kamis, 29 Januari 2004)
2.1.6. Buku–Buku Pembanding
Berikut ini
adalah buku-buku
sejenis
yang perbandingan atau dijadikan
acuan atau refrensi penulis dalam menyusun buku “Tari Topeng Cirebon”:
1. Cerbon, oleh Paramita R. Abdurachman..
2. Topeng, oleh Endo Suanda
3. Album Seni Budaya Jawa Barat, oleh Subroto S.M., Drs. Parsuki
4. Indonesia Manusia dan Masyarakatnya, oleh Ian Charles Stewart
5. Bali Eye of Indonesia, oleh Leonard Lueras
6. Sejarah Cirebon, oleh P.S. Sulendraningrat
7. Sejarah Peradaban Manusia Zaman Cirebon, oleh Y. Achadiati S.
|
28
2.2.
Buku
2.2.1. Fungsi Buku
Sebelum menetapkan rencana
penerbitan,
kita
harus
memahami
fungsi
sebuah
buku
terlebih
dahulu.
Menurut Iyan Wb.
(Anatomi
Buku, 2007
:
75),
fungsi buku adalah sebagai berikut :
1. Sebagai sarana
untuk
menyampaikan gagasan penulis kepada
pembaca secara efektif.
2.
Materi yang dibahas dan disampaikan buku dapat memberi manfaat
kepada pembacanya.
3.
Isi buku yang ditampilkan berusaha menarik dan memikat pembaca
sehingga menghadirkan kesan tersendiri bagi pembacanya.
4. Setiap buku
yang terbit ditujukan
untuk
meraih
pembaca potensial
dan meraih sukses dalam pemasaran.
Menurut Zubaidi ( Berita Buku, 1997 : 12 ), secara garis besar buku yang
baik dan akan tetap dikenang pembaca minimal memnuhi tiga syarat berikut:
1. Memenuhi kebutuhab pasar dan konsumen.
2. Mempunyai
manfaat bagi konsumen, baik untuk sekedar
menambah
wawsan atau sekedar pelepas kepenatan pikiran.
3. Memiliki daya pikat (bargaining position), yaitu perwajahan kuar
yang elok dan perwajahan dalam yang baik, terutama deskripsi
substansi.
|
29
2.2.2. Anatomi Buku
Sebuah buku
yang
baik
tentu
juga
memiliki kelengkapan
dalam isinya.
Berikut ini merupakan teori dasar dari anatomi buku (Iyan Wb., Anatomi Buku,
2007).
Halaman
pendahulu
(premilinaries,
prelims,
front
title)
merupakan
bagian depan sebuah buku sesudah sampul. Halaman pendahulu buku teks dapat
dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut adalah :
1. Halaman prancis (france title, half title)
2. Halaman judul utama (full title, page title)
3. Halaman hak cipta (copyright notice)
4. Halaman persembahan (dedikasi)
5. Halaman ucapan terima kasih (acknowledgements)
6. Halaman sambutan
7. Halaman kata pengantar (foreword)
8. Halaman prakata (preface)
9. Halaman daftar isi (contents)
10. Halaman daftar tabal
11. Halaman daftar lambang
12. Halaman dafatar ilustrasi
13. Halaman pendahuluan (introduksi)
Bagian halaman-halaman pendahulu dapat dicantumkan semua di dalam
sebuah buku dan dapat juga
tidak. Oleh karena
itu, pertimbangan pencantuman
|
30
bagian–bagian
halaman pendahulu di dalam sebuah buku didasarkan kebutuhan
buku tersebut.
Selain diletakan di halaman pendahulu, beberapa buku menempatkan
halaman daftar table, halaman daftar singkatan dan akronim halaman, daftar
lambang, dan halaman daftar ilustrasi di halaman penyudah.
Halaman
teks
isi
(text matter)
atau
disebut
juga
halaman
isi
buku
merupakan inti dari sebuah buku. Oleh karena iu, halaman teks isi harus disusun
secara
terpadu
dengan halaman
lainnya
(halaman
pendahulu
dan
halaman
penyudah), baik dari segi isi, sistematika
penulisan
dan
penomoran,
maupun
penataletakannya.
Dengan
kepaduan
tersebut,
diharapkan
pembaca
akan
merasa
nyaman
dan tidak merasa jenuh ketika memahami semua kalimat yang tersaji dan
terkandung dalam buku.
Unsur-unsur yang lazim terdapat di halaman buku teks adalah :
1. Judul bab
2. Penomoran bab
3. Alinea teks
4. Penomoran teks
5. Perincian
6. Kutipan (sitiran)
7. Ilustrasi
8. Tabel
9. Judul lelar (page titlte, running title)
10. Inisial
|
31
11. Catatan samping
12. Catatan kaki (foot note)
13. Bagian buku
Tidak
semua
unsur
halaman
isi
tersebut
ada
di
dalam sebuah
buku.
Pencantumannya tergantung pada kebutuhan buku itu sendiri.
Peletakan permulaan bab juga dapat divariasikan penempatannya, yaitu di
halaman
kanan
dan
di
halaman kiri.
Harus
diingat
bahwa jka peletakan
permulaan setiap bab selalu di halaman
kanan, dapat menimbulkan halaman
kosong di akhir bab seandainya teks bab tersebut berakhir di halamn ganjil. Hal
itu berbeda dengan peletakan permulaan bab di halaman kanan dan di
halaman
kiri (berlanjut). Penempatan seperti itu tidak akan menimbulkan halaman kosong
di akhir sebuah bab.
Di
dalam buku
teks
terdapat
halaman
yang
fungsinya
tidaklah
lebih
penting dibandingkan halaman pendahulu dan halaman teks isi. Halaman tersebut
adalah halaman penyudah (postliminary, refrence pages).
Halaman penyudah
merupakan bagian akhir dari sebuah
buku
sebelum
sampul
belakang.
Keberadaan
halaman
penyudah
di
dalam buku
tidak
dapat
dipisahkan
dengan
dua
halaman sebelumnya
terutama
teks isi
karena
halaman
penyudah merupakan kelanjutan dari kelanjutan halaman teks isi.
Seperti halaman pendahulu dan halaman teks isi, halaman penyudah
dibagi menjadi beberapa bagian. Pengadaan bagian halaman penyudah di dalam
|
32
sebuah
buku
bergantung pada
kebutuhan buku
tersebut.
Bagian
halaman
penyudah yang lazim terdapat dalam buku teks adalah :
1. Halaman daftar pustaka (bibliografi)
2. Daftar Istilah (glosarium)
3. Halaman catatan akhir
4. Halaman lampiran (apendiks)
5. Halaman indeks (penjurus)
6. Halaman pertanggungjawaban ilustrasi
Peletakan setiap permulaan bagian halaman penyudah tersebut dapat
dimulai di halaman kanan (recto) maupun halaman kiri (verso). Penempatan
tersebut bergantung pada peletakan setiap permulaan bab di halaman teks isi.
Secara garis besar, sebuah buku dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian
luar dan bagian dalam. Bagian
luar adalah sampul dan atau jaket buku,
sedangkan bagian dalam adalah isi buku.
Sampul dan jaket merupakan pelindung isi buku dan merupakan bagian
buku paling luar Apabila diibaratkan pelindung tubuh manusia, sampul adalah
pakaian yang dikenakan sedangkan jaket adalah pelindung pakaian dan tubuh.
Sampul dan
jaket
mempunyai
fungsi
lain
yang
tidak
kalah
pentingnya
bagi sebuah buku, yaitu berusaha memikat perhatian pembaca. Oleh karena itu,
sampul dan jaket harus didesain semenarik dan seindah mungkin sehingga
mempunyai
daya
saing
dengan
buku
sejenis dan akan tampak
menonjol jika
dipajang di rak toko buku.
|
33
Ketika dilakukan pendesainan sampul dan jaket, kedua fungsi buku
tersebut; pelindung dan pemikat;
harus
dipadukan
dan
disatukan
dalam bentuk
visualisasi hasil akhir, agar desain tersebut tampak maksimal. Harus selalu
diingat bahwa sampul dan jaket merupakan perwujudan isi sebuah buku.
Ilustrasi
yang
terdapat di
bagian
depan
sampul atau
jaket
adalah
salah
satu
sarana untuk
memikat
perhatian
pembaca
selain
sebagai
penyeimbang
komposisi.
Selain pengolahan dan pendesainan ilustrasi, unsur lain yang
harus turut
dipertimbangkan ketika
melakukan pendesainan bagian depan sampul atau
jaket
adalah
pemilihan
dan
penentuan
jenis
dan
ukuran
huruf yang
tepat,
serta
penggunaan komposisi warna senada dan serasi. Jika semua unsur tersebut
disatukan dan dipadukan dalam setu visualisasi yang indah dan menarik, niscaya
dapat menambah jati diri buku tersebut.
Unsur-unsur
yang
terdapat di bagian belakang sampul atau jaket tentu
berbeda
dengan
unsur
yang
terdapat
di
bagian
depan
meskipun
terdapat pula
unsur
yang
sama.
Unsur
yang
terdapat
di
bagian belakang adalah judul buku,
sinopsis
isi
buku
(wara),
biografi
penulis,
serta International
Standard
Book
Number (ISBN).
Bagian
punggung
merupakan
merupakan
satu yang terletak di antara
bagian belakang sampul atau jaket. Bagian punggung berfungsi sebagai pemandu
jika buku tersebut diposisikan bediri dan disandingkan bersama buku lain di rak
|
34
buku. Dengan begitu, pembaca dapat lebih mudah menemukan buku yang
dicarinya.
Bagian punggung memuat nama penulis, judul buku, dan logo penerbit.
Penempatan unsur tersebut lazim ditulis dari atas ke bawah.
Jaket
buku
mempunyai
kesamaan
dengan sampul buku:
baik
fungsinya,
unsur
maupun
tingginya.
Sementara
itu, lebar
jaket
lebih
besar
dibandingkan
sampul.
2.2.3. Struktur Buku
Berikut
ini
merupakan
rancangan
struktur
isi
dari
buku
“Tari
Topeng
Cirebon.”
Halaman Judul
Halaman Hak Cipta ( Copyright Notice )
Daftar isi
Pendahuluan
Kata Pengantar
BAB 1
Latar Belakang Sejarah
Sejarah Perkembangan Kesenian di Cirebon
Asal Mula Penyebaran Tari Topeng Cirebon
|
![]() 35
BAB 2
Panca Wanda
BAB 3
Kedok Tambahan
BAB 4
Pokok-pokok Tari Topeng Cirebon
BAB 5
Perlengkapan Pementasan Tari Topeng
BAB 6
Pembuatan Topeng
BAB 7
Sanggar Tari Topeng di Cirebon
Daftar Istilah
Biografi penulis
Ucapan terima kasih
Daftar Pustaka
2.3.
Data Penyelenggara
Penerbit
Gramedia
mulai
menerbitkan
buku
sejak
tahun
1974.
Buku
pertama
yang diterbitkan adalah novel Karmila, karya Marga T. Sedangkan untuk buku non-fiksi
pertama adalah Hanya satu Bumi, yang ditulis oleh Barbara Warden dan Rene Dubois
(diterbitkan bekerjasama dengan Yayasan Obor). Yang kemudian disusul oleh buku seri
anak-anak pertama Cerita Dari Lima Benua, dan kemudian seri yang lain.
Dengan misi “Ikut mencerdaskan dan memajukan kehidupan Bangsa serta
masyarakat Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama berusaha keras menjadi agen
|
36
pembaruan bagi bangsa ini dengan memilih dan memproduksi buku-buku yang
berkualitas, yang memperluas wawasan, memberikan pencerahan, dan merangsang
kreativitas berpikir.
Melalui pengalaman jatuh-bangun dan melihat kebutuhan pasar, Gramedia
Pustaka
Utama akhirnya
mengkonsentrasikan diri untuk menggarap dua bidang utama,
yakni fiksi dan non-fiksi. Bidang fiksi dibagi menjadi fiksi anak-anak dan pra-remaja,
remaja, dewasa. Bidang non-fiksi dibagi menjadi humaniora, pengembangan diri, bahasa
dan sastra Indonesia, bahasa Inggris/ELT, kamus dan refrensi, sains dan teknologi,
kesehatan, kewanitaan ( masakan, busana ), dsb.
Karena visi dan misi
itu pula,
gramedia berusaha
memilih penulis-penulis
yang
berkualitas. Di
deretan
fiksi
kita mengenal
nama-nama
yang
memiliki
reputasi
internasional
seperti:
Sidney Sheldon,
Agatha Christie,
Sir
Arthur Conan Doyle, John
Grisham, Danielle Steel, dll ; dan lima penulis wanita paling top di Indonesia: Marga T.,
Mira W., Maria A. Sardjono, V. Lestari and S. Mara Gd. Di deretan non-fiksi untuk
penulis
local ada
hermawan Kartajaya, Kwik Kian Gie, Rhenald Kasali, Husein Umar,
Vincent Gaspers, Andreas Herefa, Anand Krishna, Hembing W., Nila Chandra, Marry
Winata, Rudy Choirudin, dll.; dan untuk penulis asing ada: Jack Canfield & Mark Victor
Hansen ( Seri Chicken Soup for the Soul ), John Gray, Daniel Goleman, John P. Kotter,
Joe Girrard, Andrew Weil, dll.
|
37
2.4.
Karakteristik Produk
•
Informatif dan edukatif
melalui
isi buku yang dipaparkan, baik
untuk
masyarakat awam maupun orang yang mendalami seni tari topeng itu sendiri.
•
Menghibur
melalui
visual
fotografi dan
ilustrasi
yang ada, serta tata letak
/
layout yang dinamis dan warna-warna yang menarik.
•
Menambah minat dan ketertarikan pembaca akan Tari Topeng Cirebon
•
Menambah kecintaan masyarakat terhadap budaya Indonesia
2.5.
Target Market
Target
market
yang
ingin
dituju
adalah kalangan
dewasa dengan
status sosial
menengah
ke
atas
baik
pria
maupun
wanita, yang ingin mempelajari atau sekedar
mengetahui tentang seni dan kebudayaan Indonesia, terutama seni pertunjukan rakyat di
Cirebon.
1. Geografi
•
Domisili
: Kota-kota besar di Indonesia
•
Wilayah
: Perkotaan
•
Kepadatan
: Tengah hingga pinggiran kota
2. Demografi
•
Jenis kelamin
: Unisex ( pria dan wanita )
•
Usia target
: Produktif
•
Kependudukan
: Dewasa ( 25 – 40 tahun)
•
Agama
:
Universal ( mencakup semua agama )
•
Kebangsaan
: Indonesia
|
38
•
Kelas ekonomi
: Menengah ke atas
3. Psikografi
•
Tingkat sosial
: Menengah ke atas ( kelas A dan B )
•
Gaya Hidup : Modern dan
mempunyai
minat dan
ketertarikan
akan hal-hal yang berhubungan dengan seni dan kebudayaan
Indonesia, terutama seni tari dan petunjukan rakyat tradisional. Suka
berwisata (traveling)
•
Kepribadian : terpelajar, berpikiran
terbuka,
menyukai seni,
berjiwa bebas, mementingkan prestige ( gengsi, martabat ).
•
Perilaku
:
o
Menghargai hal-hal yang berbau seni. Sedang mendalami
pendidikan ataupun berprofesi dalam bidang seni.
o
Memiliki minat atau ketertarikan dengan suatu keindahan
tradisional dalam kehidupan yang relatif modern.
o
Memperhatikan kualitas, dalam hal ini merupakan kualitas
sebuah buku itu sendiri, informasi yang dipaparkan, bahan
kertas, dsb.
o
Hobi membaca dan berwisata / traveling.
|
39
2.6.
Analisa SWOT
Strength :
-
Isi
buku
mengenai
salah
satu
pertunjukan
rakyat
tradisional
Cirebon
yang
memberikan daya tarik tersendiri bagi penontonnya mulai dari ritual sebelum
pementasan, filosofi, perlengkapan, dan tentu saja topeng-topeng dan tarian-
tariannya dengan pesonanya yang tinggi.
-
Buku publikasi
ini menghibur
melelui kumpulan foto-foto,
gambar
ilustrasi,
sembari mempelajari secara garis besar mengenai Tari Topeng Cirebon.
-
Sebagai salah satu pecatatan budaya.
Weakness :
-
Topik
yang
dibahas
terlalu
spesifik
dan
segmented
sehingga
target
market
menjadi semakin sempit.
-
Pertunjukan-pertunjukan rakyat tradisional kurang mendapatkan apresiasi
yang sepantasnya di zaman modern seperti sekarang ini.
Opportunities :
-
Buku-buku mengenai seni dan kebudayaan di Indonesia sebagian besar hanya
berisikan
tulisan
dan
gambar
foto
yang
seadanya,
sehingga
pembaca
terkadang cepat bosan bila
hanya
membaca tulisan yang banyak,
maka dari
|
40
itu penggunaan foto yang terkonsep dan ilustrasi menjadi nilai tambah buku
ini.
-
Buku-buku
mengenai seni
tari
di
Indonesia
yang
ada
saat
ini
relatif
sulit
ditemukan.
-
Kesadaran
masyarakat
akan
pentingnya
melestarikan
warisan
seni
dan
kebudayaan tradisional Indonesia.
-
Ketertarikan masyarakan akan buku yang edukatif dan menghibur.
-
Buku lain sejenis yang kebanyakan hanya berupa textbook.
Threats :
-
Persaingan yang semakin ketat, dikarenakan semakin beragamnya tema buku
yang diterbitkan sekarang ini di pasaran.
-
Ketidakpedulian
masyarakat
kini akan
pentingnya
kesenian
tradisional,
membuat
mereka
lebih memilih buku
yang
bertema
modern
ataupun buku-
buku fiksi dibandingkan non-fiksi.
|