5
Bab 2
Landasan Teori
Dalam bab
ini,
penulis
akan
memaparkan
teori-teori
yang
akan
digunakan
dalam
menganalisis korpus data di bab tiga.
2.1 Teori Semantik
Menurut Saeed (2003 : 3), semantics is the study of meaning communicated through
language,
yang
berarti
semantik
adalah ilmu
yang
mempelajari
makna
yang
dikomunikasikan
melalui
bahasa. Menurut
Keraf
(2007
:
27-28)
kata
makna
dalam
semantik
dibagi
menjadi
dua,
yaitu
makna
yang
bersifat denotatif
dan
makna
yang
bersifat konotatif. Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan
disebut kata denotatif, atau
maknanya disebut makna denotatif; sedangkan
makna kata
yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping
makna dasar yang umum dinamakan makna konotatif atau konotasi.
2.2 Pengertian Makna Denotatif
Keraf (2007 : 27-28) menjelaskan bahwa:
Makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilah seperti: makna denotasional,
makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna refensial, atau
makna proposisional. Disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau
ideasional,
karena
makna
itu
menunjuk
(denote)
kepada
suatu
referen,
konsep,
atau ide
tertentu
dari
suatu
referen.
Disebut
makna
kognitif
karena
makna
itu
bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan
respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat dicerap
pancaindria (kesadaran) dan rasio manusia. Dan makna ini juga disebut
makna
proporsional
karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-
pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam
nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata.
|
6
Makna denotasi sering dihubungkan dengan bahasa ilmiah. Jika seorang penulis ingin
menyampaikan suatu informasi, terutama dalam bidang ilmiah, maka
penulis tersebut
biasanya akan menggunakan kata-kata yang denotatif. Tujuan utama dari penggunaan
kata-kata denotatif tersebut adalah untuk
memberi arah yang jelas terhadap
fakta
yang
khusus.
Tujuan
lainnya
adalah
penulis
tersebut
tidak
menginginkan
interpretasi
tambahan dari tiap pembaca, dan tidak akan membiarkan interpretasi itu dengan memilih
kata-kata yang konotatif. Oleh karena itu, untuk menghindari interpretasi yang mungkin
akan
timbul, penulis berusaha
memilih kata dan konteks yang
relatif
bebas
interpretasi
(Keraf, 2007 : 28).
Setiap kata
memiliki
makna denotasi, karena
itu seorang penulis
harus memikirkan
secara
matang,
apakah
kata-kata
yang
dipilihnya
sudah
tepat, terlihat
dari
kesanggupannya untuk menuntun pembaca kepada gagasan yang ingin disampaikannya,
dimana gagasana tersebut tidak memungkinkan interpretasi lain selain dari sikap
pembicara
dan
gagasan-gagasan
yang
akan disampaikannya
itu.
Memilih
sebuah
denotasi yang tepat,
lebih
mudah dari
memilih konotasi yang tepat. Seandainya
terjadi
kesalahan dalam pemakaian kata atau kalimat denotasi, kemungkinan hal itu disebabkan
oleh kekeliruan atas kata-kata yang mirip bentuknya, kekeliruan tentang antonim, atau
kekeliruan karena tidak jelas dengan apa maksud dan referennya. (Keraf, 2007 : 28-29)
Makna denotatif dibedakan menjadi dua macam relasi, yaitu relasi antara sebuah kata
dengan barang individual yang diwakilinya, dan relasi antara sebuah kata dan ciri-ciri
atau perwatakan
tertentu dari barang
yang diwakilinya. Pengertian baju adalah ciri-ciri
yang membuat sesuatu disebut sebagai baju, bukan sebuah baju individual (Keraf, 2007 :
29).
|
7
2.3 Pengertian Makna Konotatif
Pengertian dari makna konotatif menurut Keraf (2007 : 29) :
Konotasi
atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif,
atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus
dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi
karena
pembicara
ingin
menimbulkan
perasaan
setuju
tidak
setuju,
senang
tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih
itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama.
Memilih
makna
konotasi
jauh
lebih
sulit
dibandingkan dengan
memilih
makna
denotasi. Oleh karena itu, pilihan kata atau diksi berkaitan erat dengan pemilihan kata
yang bersifat konotatif. Bila sebuah kata
mengandung konotasi yang salah, misalnya
kurus-kering untuk menggantikan kata ramping dalam konteks yang saling melengkapi,
maka kesalahan semacam itu mudah diketahui dan diperbaiki. Sangat sulit adalah
perbedaan
makna
antara
kata-kata
yang bersinonim,
tetapi
mungkin
mempunyai
perbedaan arti yang besar dalam konteks tertentu (Keraf, 2007 : 29).
Sering sinonim dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Kenyataannya tidak
selalu
demikian.
Ada
sinonim-sinonim
yang
memang
hanya
mempunyai
makna
denotatif, tetapi ada juga sinonim yang mempunyai makna konotatif. Misalnya kata mati,
meninggal, wafat, gugur, mangkat, berpulang memiliki denotasi yang sama,
yaitu peristiwa di mana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya. Namun kata
meninggal, wafat, berpulang mempunyai konotasi tertentu, yaitu mengandung nilai
kesopanan
atau
dianggap
lebih
sopan,
sedangkan
mangkat
mempunyai
konotasi
lain
yaitu
mengandung
nilai
kebesaran,
dan gugur
mengandung
nilai
keagungan
dan
keluhuran. Sebaliknya kata persekot, uang muka, atau panjar hanya mengandung makna
denotatif (Keraf, 2007 : 30).
|
8
2.4 Teori Analisis Medan Makna
Pada awal analisis linguistik struktural, para linguis sangat dipengaruhi oleh psikologi
asosionistik
dalam pendekatan
terhadap
makna.
Para
linguis
dengan
intuisi
mereka
sendiri menyimpulkan hubungan di antara seperangkat kata. Dengan demikianlah pada
awalnya konsep asosiasi
makna
yang
dipelopori oleh
Ferdinand
de
Saussure (Parera,
1991: 137).
Dalam memberikan
gambaran
mengenai hubungan
asosiatif
makna,
Saussure
membedakan dengan kesamaan formal dan semantik, similaritas semantik, similar
sufiks-umum biasa, similar kebetulan (Parera, 1991: 138).
Bally, seorang murid Saussure, memasukkan konsep medan asosiatif dan
menganalisisnya secara mendetail dan terperinci. Ia melihat medan asosiatif sebagai satu
lingkaran yang mengelilingi satu tanda dan muncul ke dalam lingkungan leksikalnya. Ia
menggambarkan
kata
ox
yang
menyebabkan
seseorang berpikir tentang kata
seperti
cow,
lalu
makin
jauh
orang berpikir
tentang plow, dan akhirnya
strength,
dan
sebagainya.
Misalnya,
medan
asosiatif
ini
terjadi
dalam kata
kerbau
dalam bahasa
Indonesia.
Dengan
kata
kerbau
mungkin
seseorang
akan
berpikir
tentang
kekuatan
atau
kebodohan.
Jadi,
medan makna
adalah
satu
jaringan
asosiasi
yang
rumit
berdasarkan pada similaritas atau
kesamaan,
kontak
atau
hubungan,
dan
hubungan-
hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata (Parera, 1991:138).
Buah pikir Saussure dan muridnya, Bally, juga buah pikir dari W. von Humboldt,
Weisgerber, dan R. M. Meyer telah menjadi inspirasi utama bagi J. Trier dalam
pengembangan teori medan makna. Trier seperti yang dikemukakan oleh Parera (1991:
139), adalah sebagai berikut :
|
9
J.
Trier
melukiskan kosa kata sebuah bahasa
tersusun rapi dalam
medan-medan
dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang
jelas sehingga tidak ada tumpang tindih antarsesama makna. Ia mengatakan bahwa
medan
makna
itu
tersusun
sebagai satu
mosaik. Setiap
medan
makna
itu
akan
selalu tercocokkan antarsesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa
yang tidak mengenal tumpang tindih.
2.5 Teori Pengkajian Puisi
Menurut
Waluyo
(1995
:
1),
puisi
adalah bentuk
kesusastraan
yang
paling
tua.
Pernyataan ini diperkuat oleh Pradopo (2005 : 3) yang menjelaskan bahwa:
Puisi sebagai salah sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam
aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi
itu adalah struktur
yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana
kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji
jenis-jenis
atau ragam-ragamnya,
mengingat
bahwa ada beragam-ragam puisi.
Menurut Pradopo (2005 : 13),
puisi sebagai karya seni
itu puitis. Kata puitis sudah
mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. Waluyo (1995 : 2) menyatakan
bahwa dalam proses penulisan puisi, seorang penyair akan memilih kata dan
memadatkan bahasa. Penyair akan memilih kata-kata yang memiliki keindahan dan arti
yang paling tepat untuk mewakili maksud
dari sang penulis syair. Sedangkan
memadatkan bahasa berarti kata-kata yang diungkapkan haruslah memiliki banyak
pengertian. Biasanya puisi diciptakan saat suasana perasaan penyair yang sedang peka,
dimana suasana tersebut menuntut seorang penyair untuk membuat puisi tersebut secara
spontan dan memiliki arti yang padat (Waluyo, 1995 : 2).
Wellek dan Warren dalam Pradopo (2005 : 14) menyatakan bahwa :
Puisi (sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk
memahaminya
perlu
dianalisis
sehingga dapat
diketahui
bagian-bagian
serta
jalinannya secara
nyata. Analisis
yang bersifat
dichotomis,
yaitu
pembagian
dua
bentuk dan isi belumlah dapat memberi gambaran yang nyata dan tidak
memuaskan.
|
10
Wellek dalam Pradopo (2005 : 14) menambahkan, puisi merupakan sebab yang
memungkinkan timbulnya pengalaman. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Altenbernd
dalam Pradopo (2005
: 5),
puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat
penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum).
Selain itu, menurut Pradopo (2005 : 14), karya sastra bukan hanya merupakan satu
sistem norma saja, melainkan juga terdiri dari beberapa lapis norma. Masing-masing dari
norma
tersebut
akan
menimbulkan
lapis
norma
di
bawahnya. Wellek
dalam Pradopo
(2005 : 14-15) mengemukakan analisis Roman Ingarden (seorang filsuf Polandia), yaitu
menganalisis norma-norma dalam puisi sebagai berikut :
Lapis arti (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan
kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi
alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian satuan-
satuan
arti
ini
menimbulkan
lapis ketiga, yaitu
berupa
latar,
pelaku,
objek-objek
yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan. (Pradopo,
2005 : 15)
Pradopo (2005 : 117) menambahkan analisis puisi tidak cukup hanya dengan
menganalisis unsur-unsur sajak yang sengaja dipisah-pisah saja. Analisis puisi juga
dapat dijelaskan secara keseluruhan dari sajak tersebut, karena sebuah sajak merupakan
kesatuan yang utuh dan norma-norma yang terdapat dalam sajak itu saling berhubungan
erat satu sama
lainnya. Melalui
analisis secara
menyeluruh dan
memiliki kaitan
yang
erat,
makna
sajak
dapat
dimengerti
seutuh sajak
tersebut.
Untuk
mendapatkan
makna
utuh
dari
sebuah
sajak,
diperlukan analisis
secara
struktural
(susunan
unsur-unsur
bersistem), semiotik (simbol-simbol) dan intertekstual (hubungan antar teks dengan
sajak-sajak yang terbit sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan antar teks
dengannya).
|
11
2.6 Konsep Haiku????
Menurut Reichhold (2002 : 24) haiku Jepang terbagi menjadi tiga bagian yang
tersusun atas lima on, tujuh on, dan lima on lagi pada baris terakhir. Susunan 5-7-5 on
ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh para leluhur orang Jepang, yang tidak
pernah lelah untuk meneliti hitungan pada on atau satuan suara dalam
haiku yang
mereka buat, hingga menemukan hitungan yang tepat, yaitu 5-7-5 on atau 17 silabus.
Tanka
atau haiku
bukan
hanya
dibacakan
seperti
sedang
mendeklamasikan
puisi,
melainkan juga dinyanyikan seperti nyanyian yang dibawakan oleh penganut Budha
kuno.
Dalam
puisi
Jepang,
selalu
terdapat
kata
yang
berfungsi
sebagai
pemberhenti,
yang disebut dengan kireji,
yang
terletak diantara bait kedua dan ketiga. Contoh kireji
yang sering digunakan oleh para penulis haiku adalah ya dan kana (Reichhold, 2002
:
29).
Selain kireji, ada pula hal penting yang selalu ada dalam puisi Jepang. Hal penting itu
adalah unsur kigo yang pasti selalu ada dalam haiku. Fungsi dari unsur kigo adalah untuk
memberi
informasi kepada
pembaca haiku
mengenai kapan
puisi
tersebut
dibuat atau
untuk menunjukkan kapan terjadinya suatu masalah yang terdapat dalam puisi
tersebut
(Reichhold, 2002 : 24-25).
Pernyataan yang sama ditulis oleh Katoku (2008 : 8) dalam bukunya sebagai berikut :
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????
Terjemahannya :
Jika
ditinjau
dari
bentuknya, haiku
tersusun
atas
5-7-5
on
atau
17
silabus.
Di
dalamnya pasti mengandung hanya sebuah unsur kigo.
|
12
Berikut ini adalah sebuah puisi yang terdapat dalam buku Classic Haiku : A
Masters Sellection, yang dijadikan sebagai contoh penggunaan kigo :
suna hama ni
ashiato nagaki
haru ni kana
(Miura, 1997 :22)
Kata haru
yang terdapat dalam puisi karya Shiki, salah satu master penulis haiku,
menunjukkan bahwa puisi tersebut ditulis pada musim semi.
Beilenson
(2008
:
1)
dalam bukunya
yang berjudul
Japanese
Haiku
menyatakan
bahwa
The hokku or more properly haiku is a tiny verse-form in which Japanese poets
have been working for hundreds of years. Originally it was the first part of the
tanka, a five-line poem, often written by two peolple as a literary game.
Terjemahannya :
Hokku atau lebih sering disebut sebagai haiku adalah sebuah bagian kecil dari
puisi
Jepang
yang
telah
dikerjakan selama
ratusan
tahun.
Awalnya,
haiku
merupakan bagian pertama dari tanka, puisi lima baris,
yang
sering ditulis oleh
dua orang sebagai permainan literatur.
Beilenson (2008 : 2) menambahkan, haiku sangatlah sulit untuk diterjemahkan secara
harafiah dan membuatnya tetap berupa tujuh belas silabus, karena dalam puisi Jepang
terdapat banyak kiasan dan kutipan yang hanya digunakan oleh orang Jepang, dimana
setiap kiasan dan kutipan tersebut masing-masing memiliki makna lebih dari satu.
|
13
2.7 Konsep Zen???
Suzuki (2005 : 11) menjelaskan,
??????????????????????????????????
??????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
???
Terjemahannya :
Banyak pembaca yang tidak terlalu mengerti apa itu Zen, oleh karena itu saya akan
menjelaskan sedikit mengenainya, yang mungkin
diperlukan.
Akan
tetapi,
ini
bukanlah hal yang mudah. Bagi orang-orang yang belum pernah mendengar
ataupun
membaca
tentang Zen,
karena Zen
sangat
sulit
dimengerti
jika
hanya
dengan menggunakan logika saja.
Oleh
karena
itu,
seringkali Zen
dijelaskan
melalui
cerita-cerita.
Karena
biasanya
melalui
cerita-cerita
tersebut
makna Zen
akan terlihat.
Berikut
ini
terdapat
beberapa
konsep Zen yang dijelaskan melalui cerita.
Watts (2000 : ix) dalam What is Zen? mengatakan bahwa Zen:
Zen is a method of rediscovering the experience of being alive. It originated in
India and China, and has come to the West by way of Japan, and although it is a
form of Mahayana Buddhism, it is not a religion in the usual sense of the word.
Terjemahannya :
Zen adalah metode penyadaran kembali akan pengalaman akan hidup. Konsep ini
berasal
dari India dan China,
kemudian tiba di Barat
melalui
Jepang. Meskipun
merupakan salah satu bentuk dari Buddha Mahayana, Zen bukanlah agama.
Kemudian, Watts (2000 : ix) juga menyatakan bahwa Sasaran dari Zen adalah untuk
membawa transformasi atas penyadaran dan membangunkan kita dari dunia mimpi yang
ada dalam pikiran kita, supaya kita merasakan pengalaman hidup pada saat ini. Suzuki
(2005
:
18),
memperkuat
pernyataan
Watts,
bahwa seorang individu, tidak akan
ada
artinya jika ia tidak memiliki pengalaman hidup dalam dirinya sendiri.
|
14
Menurut Watts (2000 : ix), biasanya dalam konsep Zen proses ini dilakukan melalui
meditasi. Meditasi yang dilakukan mengharuskan seseorang
untuk dapat
memfokuskan
diri. Biasanya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Selanjutnya Watts (2000 : 21)
mengatakan bahwa Zen sangatlah sederhana asalkan seseorang telah mengerti apa itu
Zen. Zen sering dikatakan sebagai agama yang bukan agama karena penganut Zen hanya
dapat berpegang pada pengertian diri seseorang mengenai apa itu Zen. Untuk melakukan
zazen,
biasanya
dibutuhkan
ketenangan
dan
penyatuan dengan
alam.
Karena
Zen juga
memiliki
tujuan
untuk
menyadarkan
kembali
bahwa
manusia
sangat
bergantung pada
alam dan lingkungan sekitarnya.
2.8 Konsep Wabi-Sabi
??????
dalam Ajaran Zen
Teiji
(1993:7)
dalam
buku
berjudul
Wabi
Sabi
Suki
:
The
Essence
of
Japanese
Beauty menjelaskan bahwa
Wabi may describe beauty in nature untouched by human hands, or it may emerge
from human attempts to draw out the distinctive beauty of materials.
To discover wabi, one must have an eye for the beautiful, yet it is not an aesthetic
understood only by the Japanese of old, but a quality that can be recognized by
anyone, anywhere who is discriminating and sensitive beauty.
Terjemahannya :
Wabi bisa dideskripsikan sebagai keindahan dalam alam yang tidak tersentuh oleh
tangan
manusia,
atau
dapat
terbentuk dari
usaha
manusia
yang
melukiskan
keindahan dari suatu material.
Untuk menemukan wabi, seseorang harus memiliki penglihatan atas keindahan.
Bukan sesuatu yang
hanya dimengerti oleh bangsa Jepang
zaman dulu saja, tapi
juga sesuatu yang dapat disadari oleh siapa saja dimana saja yang mengerti dan
peka akan keindahan.
Kemudian sabi menurut Teiji (1993 : 7) jika sebuah hal atau benda berusia semakin
tua, nilai atau keberadaannya tidak akan hilang dimakan waktu. Sebuah jam tangan baru
|
15
tentu saja terlihat bagus dan keren. Namun, seiring dengan waktu, jam tangan itu bukan
lagi
jam tangan
baru
melainkan
sebuah
jam
tangan
tua,
kusam
dan
kemungkinan
memiliki banyak kecacatan. Jika dilihat dari sudut pandang konsep sabi, jam tangan tua
itu justru terlihat semakin indah, karena jam tangan tersebut memiliki sejarah tersendiri
seiring dengan perjalanan hidup sang pemiliknya.
Koren (1994 : 15) dalam bukunya Wabi-Sabi for Artists, Designers, Poets and
Philosophers,
menyatakan
bahwa
banyak orang
Jepang
yang
tidak
bisa
menjelaskan
apa
itu
wabi-sabi,
padahal
mereka
mengerti
rasa
wabi-sabi.
Hal
ini
terjadi
karena
orang Jepang tidak pernah diajari
mengenai wabi-sabi secara
harafiah. Tidak ada
guru
ataupun buku yang menjelaskan wabi-sabi secara mendetail. Wabi-sabi sering dianggap
sebagai
bagian
dari
Buddha
Zen. Wabi-sabi
memiliki
keistimewaan
yang
paling
menyolok dan berkarakteristik dan dianggap sebagai keindahan ketradisionilan
Jepang.
(1994 : 21)
Berikut
ini
adalah
tujuh
karakteristik Zen
beserta
pengertiannya,
dimana
ketujuh
karakteristik tersebut mempunyai kedudukan
yang
sama
ataupun
saling
berkesinambungan dan secara tidak langsung memiliki pengaruh yang kental terhadap
konsep wabi-sabi menurut Hisamatsu (1997 : 29-37):
1. Fukinsei
??????
asimetris
Berarti
ketidakteraturan
atau
asimetri.
Hisamatsu
mencontohkan fukinsei
dalam
nenerapa hal seperti geometris, hal jumlah, seni ikebana dan kaligrafi, dan kedalaman
atau
ketinggian
dari
suatu
permukaan.
Dalam geometris,
fukinsei
adalah
ketidaksempurnaan atau ketidakseimbangan apabila dicontohkan sebagai lingkaran
penyok atau
miring.
Dalam
hal
jumlah, fukinsei dapat diartikan sebagai jumlah
ganjil.
|
16
Jumlah
yang
genap
dapat
dibagi
menjadi
dua
bagian
yang
sama banyak,
yang
dapat
dianalogikan sebagai simetris.
Sebagai
latar
belakang
kebudayaan Zen,
asimetri
fukinsei
mempunyai
makna
membuang nafsu duniawi atau kehidupan bukan saja berorientasi pada kesempurnaan
tetapi juga pada ketidaksempurnaan, karena sesuatu kesempurnaan yang sempurna
adalah sesuatu yang tidak sempurna. Untuk mewujudkan makna tersebut ke dalam karya
seni, seniman harus kreatif dalam melakukan pengubahan, perusakan dan penyimpangan
bentuk. Pengubahan dan penyeimbangan bentuk tersebut mempunyai bermacam-macam
tujuan seperti demi komposisi, keindahan, ekspresi dan sebagainya.
2. Kanso
?????
kesederhanaan
Karakteristik yang kedua memiliki arti kesederhanaan, tiadanya kekacauan atau
tiadanya
kecampuradukkan.
Kesederhanaan
dalam warna
berarti
warna
yang
tidak
mencolok dan menghindari keragaman warna atau monokromatik. Warna yang paling
sederhana dalam lukisan adalah
tinta China hitam, yang sekarang ini pencahayaannnya
dan bayangan didapatkan dari satu warna tinta tersebut.
Kesederhanaan
yang
paling
tinggi
adalah
sesuatu
yang dapat
mewakili
atau
mencerminkan sifat dari
suatu benda secara utuh yang diekspresikan
melalui garis,
warna, bentuk dan unsur-unsur lainnya.
3. Kokou
?????
kekeringan yang agung
Kokou punya
arti
menjadi
kering
dan
agung,
yang
secara
singkat
pengertiannya
menjadi
berpengalaman
dalam hidup
selama
bertahun-tahun.
Kasarnya
dapat
dianalogikan sebagai hilangnya indera pada kulit dan daging dan menjadi kering.
|
17
Analogi ini menunjukkan telah dicapainya sesuatu yang terdalam, hilangnya sensualitas
dari kulit luar dan menyisakan sesuatu yang paling esensial.
Seringkali terdapat kalimat menjadi kering digunakan untuk mengungkapkan
karakteristik
yang
penting
dalam keindahan
pada
Zen,
yaitu
keistimewaan
sebuah
keindahan Oriental. Konsep keindahan menurut Zen,
bagaimanapun
juga,
menjadi
kering berarti puncak dari sebuah seni, penembusan sebuah intisari oleh seorang ahli
dimana hal tersebut melewati batas seorang awam dan ketidakdewasaan.
4. Shizen
?????
kealamian
Karakteristik
ini memiliki arti alami,
natural, wajar atau bukan buatan. Karekteristik
fukinsei juga harus mempunyai shizen. Meskipun asimetris, tapi juga harus terlihat wajar.
Natural
juga
berarti
tanpa
berpikir atau tanpa
kepentingan.
Dengan
kata
lain
adalah
menjadi diri yang sesungguhnya, tanpa adanya kepentingan atas tujuan terhadap sesuatu
hal, tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
Alami dan natural bukanlah artifisial, dalam makna bukan dibuat-buat. Dalam hal ini
adalah ekspresi
yang tidak
dibuat-buat,
apa
adanya,
tanpa
berpikir,
atau
tanpa
kepentingan. Bukan artifisial adalah menjadi diri kita yang sesungguhnya.
5. Yuugen
?????
kedalaman esensi
Karakteristik
ini
mempunyai
arti
kedalaman esensi atau makna yang mendalam.
Dalam ekspresi, makna yuugen lebih kepada esensi atau maksud daripada
pengungkapan
langsung secara keseluruhan. Yuugen juga dapat diungkapkan sebagai
sesuatu yang tidak berdasar atau tidak berakhir, yang dapat digambarkan dengan sumber
yang dalam atau gaung tak berakhir. Hanya dari sesuatu yang sederhana, dapat digali
sesuatu yang tak terbatas. Yuugen adalah kesederhanaan yang memungkinkan kita untuk
|
18
membayangkan kedalaman isinya, seakan merasakan gema yang tak terbatas,
merasakan sesuatu yang tak mungkin didapat dari karya yang jelas dan mendetail.
Yuugen juga punya makna kegelapan atau kesuraman. Kegelapan di sini bukanlah
kegelapan yang berkonotasi menakutkan, mencekam, ataupun kesuraman yang
bermakna sengasara atau
menyedihkan. Kegelapan di sini adalah kesuraman yang
menenangkan.
6. Datsuzoku
?????
bebas dari ikatan
Berarti bebas dari kebiasaan, aturan, rumusan dsb. Bagi Zen, aneka ragam peraturan
atau kebiasaaan tersebut akan menjadi penghalang atas aktivitas dan kreativitas.
Kebebasan dalam Zen bukan berarti
menjadi bebas secara
akal sehat dan kemauan
menurut peraturan-peraturan tapi merupakan perasaan untuk tidak berada di bawah
peraturan.
Prinsip datsuzoku juga digunakan sebagai dasar untuk memperoleh ide-ide kreatif ke
dalam karya
seni
seperti,
seni
lukis,
arsitektur
bagunan
atau
ruangan
rumah,
seni
merangkai bunga dan lain-lain.
7. Seijaku
?????
ketenangan
Adalah keheningan atau ketenangan. Tenang dapat diartikan sebagai tidak terganggu.
Dalam konsep Zen, ketenangan
itu diekspresikan dalam keadaan yang diam tapi punya
bentuk bergerak.
Oleh karena itu, bernyanyi, membuat suara, dan sebagainya, pada saat bersamaan
juga membawa ketenangan, merupakan salah satu keistimewaan dari budaya
pengungkapan Zen.
|
![]() 19
Dalam bukunya, Suzuki (2005 : 29, 32) menjelaskan bahwa :
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
??????????
?
????????????????????
?
???????????????????????????????
?? ??????????????????????????
Terjemahannya :
Wabi berarti kemiskinan atau secara negatif memiliki arti sebagai pada saat itu
tidak berada di lingkungan sosial. Menjadi miskin berarti tidak bergantung pada
kekayaan, kekuasaan dan reputasi, juga perasaan yang membuat seseorang merasa
dirinya jauh lebih hebat daripada orang lain - inilah arti dari wabi.
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
??????
????? ????
?????? ???
???
????
Terjemahannya :
Unsur kesenian
yang mendasar pada kata sabi yang secara
literatur memiliki arti
kelenggangan atau kesepian, dijelaskan dengan puitis oleh seorang guru cha-
no-yu.
Ketika kulihat
Warna bunga berwarna kemerahan
Aku berhenti di tepi pantai
Suatu sore di musim gugur
Suzuki
(2005
:
30)
juga
menyatakan
bahwa,
jika
dipraktekkan
dalam kehidupan
sehari-hari, wabi berarti seseorang
merasakan kepuasan dalam hidupnya
hanya dengan
tinggal di sebuah gubuk kecil dengan ruangan berukuran dua tatami (karpet ala Jepang)
dan memakan sayur-mayur yang dipetik dari kebun pribadi. Karena wabi adalah bagian
|
20
dari Zen, maka wabi bertujuan untuk menyadarkan manusia bahwa alam dan sekitarnya
juga penting dalam kehidupan
ini. Sampai saat ini, alam dan
sekitarnyalah
yang telah
membantu
kelangsungan
hidup
manusia.
Tanpa
alam dan
lingkungan
disekitarnya,
manusia akan punah.
Keindahan yang tidak sempurna adalah keindahan yang antik dan primitif, yang
disebut juga dengan sabi. Jika sebuah benda kesenian memiliki nilai sejarah yang sangat
tinggi,
maka
di
dalamnya
pastilah
terdapat
unsur sabi.
Sabi memiliki
unsur
ketidaksempurnaan yang kampungan dan kolot (Suzuki, 2005 : 32).
|