4
Bab 2
Data dan Analisa
2.1. Sumber Data
-
Literatur berupa artikel
-
Wawancara dengan manager Huize Trivelli, yaitu Bapak Bambang Pangayoman
-
Wawancara dengan pengunjung Huize Trivelli, data yang diperuleh berupa
pengalaman, opini, dan pendapat
-
opini dan pengalaman publik dari tulisan blog
-
Informasi dari media elektronik
2.2. Data Huize Trivelli
2.2.1. Data Restoran
Nama Restoran
:Huize Trivelli
Jenis Hidangan
: masakan Indis
Alamat
: Jl. Tanah Abang 2 No. 108 Jakarta Pusat
Telepon
: 021-3865803
Fax
: 021-3865803
Website
E-Mail
Buka
: Senin- Jumat: 10.00 - 18.00 WIB
Sabtu: 11.00 - 21.00 WIB
Tutup
: Senin
|
5
2.2.2. Visi
-
Melestarikan budaya dan juga sejarah Jakarta
-
Penghormatan kepada leluhur dengan memelihara budaya dan sejarah yang
ada, tanpa membawa hal-hal yang berbau mistis
2.2.3. Misi
-
Melestarikan bangunan tua tempo dulu untuk dan mewakili bagian dari
Jakarta jaman kolonial
-
Mengajak masyarakat yang lebih muda agar lebih tertarik untuk mengetahui
dan mempelajari kembali sejarah masa Indis
-
Melayani pelanggan seperti melayani keluarga sendiri
2.2.4. Sejarah
a. Sekilas tentang sejarah arsitektur kolonial Belanda di Jakarta
Berdiri di sebelah barat muara Sungai Ciliwung, cikal bakal Kota Jakarta
telah didirikan sejak abad XII oleh masyarakat Hindu-Jawa. Kota Jakarta
merupakan bagian dari Kerajaan Padjajaran.
Namun pada tahun 1527, Jakarta yang dahulu bernama Sunda Kelapa
ditaklukkan oleh Fatahillah dan diganti namanya menjadi Jayakarta. Kala
itu, pengaruh kota-kota di Jawa masih terasa.
Prinsip pembangunan kota mengikuti kota-kota di Jawa dengan alun-alun
sebagai pusat kota dikelilingi oleh istana kepala pemerintah dan mesjid.
|
6
Luas kota saat itu diperkirakan 30 hektar. Pengaruh tata kota pantai juga
mempengaruhi Kota Jakarta.
Sejak kedatangan Fatahilah, atmosfer Banten berdiri. Seperti permukiman
orang-orang China dan asing bermunculan di muara sebelah timur Sunagi
Ciliwung. Permukiman ini juga didiami para pendatang Belanda, saat awal
kedatangan mereka ke tanah Jawa.
Nama Jayakarta pun diubah menjadi Batavia oleh VOC (Perusahaan
Dagang Hindia Belanda). Sejak saat itu, perencanaan kota bergaya Belanda
dimulai di Batavia. Tata kota Batavia disesuaikan dengan prinsip kota air
seperti Amsterdam dan kota-kota di Belanda, yaitu sebidang tanah datar
dengan rumah-rumah yang rapat yang terbagi dalam blok-blok. Jalan antar
blok dipisahkan oleh saluran air dan tempat pejalan kaki.
Pada paruh kedua abad XVII muara barat Sungai Ciliwung, tempat mukim
orang Jawa Jayakarta disatukan dengan Batavia. Ini menyebabkan Batavia
makin luas menjadi dua kali lipat sebelumnya.
Dalam waktu setengah abad, Batavia atau yang saat ini kita kenal dengan
nama Kota, mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Area Kota
mencapai 100 hektar luasnya dan berkembang menjadi kota besar, bukan
hanya sekadar kota tempat perdagangan.
|
7
Pada abad XVIII, garis pertahanan dan pos-pos penjagaan dibangun
mengelilingi Batavia. Tujuannya melindungi pemukiman penduduk,
perkebunan gula, perkebunan kelapa, perumahan orang-orang Belanda,
dan juga kantor VOC. Peran Kota menjadi makin penting setelah tahun
1870. Pemerintah kolonial membuka keran investasi asing dan swasta.
Banyak perusahaan perdagangan berdiri dan menetap di Kota.
Akan tetapi, perubahan Kota Batavia mulai terjadi awal abad XIX setelah
VOC dibubarkan. Ketika itu kondisi Batavia sudah sangat padat. Masalah
sanitasi dan daya dukung lingkungan yang kurang memedai membuat
pemerintah kolonial mencari daerah lain untuk mendirikan ibu kota baru.
Maka dipilihlah Weltevreden yang berjarak lima kilometer dari Kota dan
letaknya lebih tinggi sebagai pusat kota baru.
Tidak seperti Batavia yang berwajah urban dengan rumah-rumah yang
berimpitan, Weltevereden lebih luas, mencapai lebih dari 100 hektare.
Weltevreden didirikan untuk permukiman orang-orang Eropa. Struktur kota
ini didasarkan pada prinsip bangunan tropis, yaitu banyak taman yang
mengisi jarak antar rumah. Bangunan perumahan dan kantor-kantor
pemerintahan dibangun dengan gaya arsitektur Hindia-Belanda. Bangunan
tersebut memiliki banyak bukaan, beratap curam, berlantai teraso, dan
berdinding bata tebal. Semuanya berfungsi untuk menjaga agar suhu di
dalam ruangan tetap sejuk di siang hari dan hangat di malam hari.
|
8
Sampai memasuki abad XIX, Jakarta telah memiliki dua pusat kota dengan
fungsinya masing-masing. Bahkan seratus tahun kemudian dibangun area
perumahan di luar garis batas Guberbur Vanden Bosch. Area baru ini
adalah Menteng dan Gondangdia. Konsep pembangunannya masih sama,
yaitu perumahan dengan Taman-taman dan jalan raya yang luas, tempat
bermukimnya orang-orang Eropa.
b. Pengaruh arsitektur Indis
Sebutan Indis berasal dari istilah Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda
dalam bahasa Indonesia. Itulah nama suatu daerah jajahan Pemerintah
Belanda di Timur Jauh, dan karena itu sering disebut juga Nederlandsch
Oost Indie.
Menurut Pigeaud, orang Belanda pertama kali datang ke
Indonesia pada tahun 1619. Mereka semula berdagang tetapi kemudian
memonopoli lewat VOC dan akhirnya menjadi penguasa, sampai
datangnya Jepang pada tahun 1942. Kehadiran orang-orang Belanda
selama tiga abad di Indonesia tentu memberi pengaruh pada segala bidang.
Perubahan antara lain juga melanda seni bangunan atau arsitektur.
Dari segi politis, pengertian arsitektur Indis juga dimaksud untuk
membedakan dengan bangunan tradisional yang lebih dahulu telah eksis,
bahkan oleh Pemerintah Belanda bentuk bangunan Indis dikukuhkan
sebagai gaya yang harus ditaati, sebagai simbol kekuasaan, status sosial,
dan kebesaran penguasa saat itu.
|
9
Dalam membuat peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan
rumah kedinasan Pemerintah Belanda memakai istilah Indische Huizen
atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal ini mungkin dikarenakan bentuk
bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah bercampur
dengan rumah adat Indonesia. Sebelum kedatangan Belanda pun,
sebenarnya sudah banyak bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu datang ke
Indonesia antara lain dari Cina, India, Vietnam, Arab, dan Portugis, yang
memberi pengaruh pada budaya asli. Faktor-faktor lain yang ikut
berintegrasi dalam proses perancangan antara lain faktor lingkungan, iklim,
ketersediaan material, teknik pembuatan, kondisi sosial politik, ekonomi,
kesenian, dan agama.
Menurut Denys Lombard pada mulanya bangunan dari orang-orang
Belanda di Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial
yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya.
Sebutannya landhuiz, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-
Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan
genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat itu antara lain
Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.
Bentuk rumah bergaya Indis sepintas tampak seperti bangunan tradisional
dengan atap berbentuk Joglo Limasan. Memiliki banyak bukaan, berlantai
teraso, dan berdinding bata tebal. Bagian depan berupa selasar terbuka
sebagai tempat untuk penerimaan tamu. Kamar tidur terletak pada bagian
|
10
tengah, di sisi kiri dan kanan, sedang ruang yang terapit difungsikan untuk
ruang makan atau perjamuan makan malam. Bagian belakang terbuka
untuk minum teh pada sore hari sambil membaca buku dan mendengarkan
radio, merangkap sebagai ruang dansa.
Pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar, diadaptasi dari
gaya bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi. Lampu-lampu
gantung dari Italia dipasang pada serambi depan membuat bangunan
tampak megah terutama pada malam hari. Pintu terletak tepat di tengah
diapit dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara jendela
dan pintu dipasang cermin besar dengan patung porselen. Khusus untuk
gedung-gedung perkantoran, pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para
penguasa di daerah masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri
seperti payung kebesaran, tombak dan lain-lain.
Orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan priayi dan penduduk
pribumi yang telah mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat
papan atas, ikut mendorong penyebaran kebudayaan Indis lewat gaya hidup
yang serba mewah. Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai
budaya yang berlaku pada zaman itu yang ditampilkan lewat kualitas
bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlap cahaya, pemilihan perabot, dan
seni ukir kualitas tinggi sebagai penghias gedung. Budaya ini ditiru oleh
mereka yang berkecukupan terutama para pedagang dari etnis tertentu
dengan harapan agar memperoleh kesan pada status sosial yang sama
|
11
dengan para penguasa dan priayi. Kebudayaan Indis juga terjalin dalam
berbagai aspek, seperti pola tingkah laku, cara berpakaian, sopan santun
dalam pergaulan, cara menyantap makanan, cara berbahasa, gaya hidup,
dan juga pada penataan ruangan.
Arsitektur Indis tidak hanya berlaku pada rumah tinggal semata tetapi juga
mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-
gedung perkumpulan, pertokoan, dan lain-lain. Adapun pudarnya arsitektur
Indis mungkin disebabkan oleh konsekuensi historis yang menyangkut
berbagai aspek sosial budaya.
Arsitektur Indis mencapai puncaknya pada akhir abad ke- 19. Seiring
dengan datangnya perubahan zaman perkembangan kota yang modern dan
dihapusnya kolonialisme, maka berakhirlah pula kejayaan budaya feodal
termasuk perkembangan arsitektur Indis. Lambat laun gaya Indis
ditinggalkan dan berubah menjadi bangunan-bangunan baru (nieuwe
bouwen) yang bergaya art-deco sebagai gaya internasional.
b. Bangunan Kolonial di Jakarta pada masa kini
Di Jakarta, menurut data Dinas Kebudayaan dan Permuseuman (dahulu
bernama Dinas Museum dan Pemugaran), terdapat 216 bangunan
bersejarah dengan 132 titik yang dimiliki baik setara individu, swasta
maupun pemerintah . Di setiap titik terdapat 1-10 bangunan dan 30
diantaranya adalah milik pemerintah. Sedangkan di kawasan Kota Tua
|
12
yang seluas 139 hektar, bangunan bersejarah milik pemerintah berjumlah
sekitar 10-15 buah.
Melalui bangunan lama, beragam kekayaan budaya mampu ditunjukkan
melalui gaya bangunan yang khas. Salah satunya adalah bangunan bergaya
Indis, yang menjadi sarana nostalgia karena adanya nilai history yang
terkadung. Sayangnya, hal semacam itu tidak banyak yang tidak
menyadarinya. Yang sering terjadi adalah lebih mudah menggulirkan
wacana menggantikan keberadaan bangunan tersebut dengan bangunan
baru yang lebih megah dan modern. Alasan yang diutarakan seperti bentuk
bangunan lama tersebut sudah ketinggalan zaman dan juga sudah banyak
mengalami kerusakan.
Untungnya, saat ini mulai timbul kesadaran dari masyarakat, terutama
kaum muda, untuk kembali menengok sejarah kotanya. Begitu pula Pemda
Jakarta yang sedikit demi sedikit mulai mengembangkan bangunan-
bangunan bersejarah yang masih ada. Seperti misalnya sejumlah kalangan
muda yang peduli membentuk kelompok pelesiran yang memadukan jalan-
jalan ke kawasan kota lama sekaligus mengenalkan satu per satu sejarah
dan gedung atau kawasan tertentu.
b. Sejarah bangunan Huize Trivelli
Terletak di Jalan Trivelli, sebelumnya dikenal sebagai Trivelli weg - daerah
bergengsi di masa kolonial Belanda. Laan Trivelli adalah nama sebuah
|
13
jalan panjang di era kolonial dahulu. Jalan yang membentang dari jalan
Abdul Muis menyeberangi Kali Tjideng dan berakhir di Jalan Batanghari-
Tulang Bawang, kini dikenal dengan nama Tanah Abang 2.
Pada masa kolonial sekitar tahun 1939-1940, kawasan Laan Trivelli pada
awalnya dibangun untuk area pemukiman milik bangsa Eropa Belanda di
Batavia. Kemudian pada masa pendudukan Jepang di Batavia sejak Maret
1942, kawasan pemukiman ini digunakan untuk kamp tahanan wanita,
anak-anak, serta orang tua yang merupakan warga Eropa-Belanda, yang
lebih dikenal dunia dengan istilah Kamp Tjideng.
Bangunan Huize Trivelli dibangun sekitar tahun 1939. Awalnya baik
rumah maupun lahan rumah ini merupakan milik seorang Belanda Merv
J.C.H de Jongh Geboren Van Slooten. Rumah dibangun bergaya Eropa
yang sudah disesuaikan dengan daerah tropis pada masa itu. Biasanya
rumah-rumah tersebut bertaman cukup luas berjajar apik di kedua sisi jalan
yang diteduhi pepohonan Selanjutnya kepemilikan beralih pada Drs. O. De
Bruin bersama Drs. J. M Castelein yang bekerja pada Kementrian PPK
(Ministerie van Onderwijis).
Pada tahun 1954 barulah keluarga Haroen AlRasyid SoeOed, seorang
berdarah Betawi yang merupakan keturunan dari salah seorang Wedana
(pejabat tinggi pemerintah Belanda) masa Kolonial Belanda, yang
kemudian menempati rumah ini.
|
14
Pendiri rumah makan Huize Trivelli ini adalah Jalaludin Soeoed dan
istrinya Wahyuni Baliningtiyas, generasi kedua yang mewarisi rumah serta
barang-barang antik dari orangtua laki-laki, dan masih menempati rumah
ini sampai kini.
Pada November 2006, restoran Huize Trivelli resmi dibuka. Kini Huize
Trivelli adalah satu-satunya rumah tua yang tersisa di Laan Trivelli.
Kelestarian struktur arsitektur bangunannya sendiri masih terpelihara,
meskipun sudah dilakukan beberapa perubahan untuk keperluan pendingin
ruangan, pintu masuk utama, dan juga perombakan pintu kamar tidur untuk
dijadikan ruang makan. Kini rumah ini setiap sudut ruangannya adalah
ruang saji untuk para pelanggannya.
c. Tradisi Kulinari Warisan Keluarga
Haroen AlRasyid SoeOed seorang betawi keturunan yang adalah wedana
yang bekerja untuk pemerintahan kolonial Belanda, banyak menjamu
tamu-tamu kaum priyayi yang memang sebagian besar adalah keturunan
Eropa. Karena itulah Nyonya SoeOed -seorang putri keturunan Jawa- pun
dituntut untuk terampil dalam membuat hidangan Eropa-Belanda.
Pada mulanya sekitar tahun 60-an keluarga SoeOed merintis usaha kecil
pembuatan aneka kue kering. Dimulai dengan menawarkan dari pintu ke
pintu, aneka kering buatan keluarga SoeOed diterima di Sarinah
|
15
Department Store, yaitu pusat perbelanjaan prestigious pertama di
Indonesia saat itu.
Akulturasi budaya dan tradisi tersebut telah melebur dalam tradisi kulinari
keluarga SoeOed. Adaptasi masakan dari berbagai latar belakang budaya
menghasilkan beragam resep masakan dan juga cara penyajian yang tidak
hanya kaya rasa tetapi juga unik. Oleh karenanya resep-resep masakan
tersebut menjadi warisan yang sangat berharga.
e. Rumah di Laan Trivelli
Huize (hu.is) yang berarti rumah dalam bahasa Belanda, dan Trivelli
berasal dari nama jalan, yaitu Laan Trivelli. Berlokasi di Jl. Tanah Abang 2
no. 108, yang dahulu adalah rumah di Laan Trivelli 108 blok 3. Rumah
makan ini dihadirkan untuk membawa kita ke kembali kota Batavia pada
masa Kolonial Belanda tahun 1939-1940.
Huize Trivelli memiliki kondisi sosial dan budaya yang sangat beragam,
memiliki tradisi serta budaya yang unik, yaitu akulturasi dari bebagai
budaya dan tradisi, seperti Arab, Cina, Eropa, serta beragam budaya
tradisional Indonesia. Karena itu penataan ruangan ditonjolkan budaya-
budaya yang hinggap pada rumah ini.
Pendirian restoran ini, dari penyajian menu dan tata cara menyantap
hidangan diadaptasi dari tata cara orang Eropa di Batavia pada masa
|
16
Kolonial Belanda. Di masa lalu, masyarakat tinggi, termasuk pejabat tinggi
pemerintah Belanda dan pemilik perkebunan, mereka menikmati sajian ala
Belanda yang sudah disesuaikan dengan cita rasa nusantara, yang biasanya
disebut dengan istilah masakan Indische.
Wahyuni Baliningtiyaspun masih mengolah sendiri sajian menu-menunya,
dibantu dengan beberapa juru masak. Masakan dimasak dan disajikan saat
itu juga, sehingga tidak perlu menggunakan bahan pengawet.
Seperti itulah yang ingin disajikan oleh Huize Trivelli, sentuhan tata krama
Eropa, romantika masa kolonial, dan informasi sejarah kuliner, ataupun
secuplik dari sejarah Jakarta. Rumah yang dihidupkan tidak hanya untuk
pemuas rasa lapar, tapi juga membawa segenggam cerita zaman Indische
dari sebuah rumah yang bertempat di jalan Trivelli.
2.2.5. Target Audience
a. Primary
1. Demografis
usia : umur 60 ke atas
Jenis kelamin
: pria-wanita
Daur hidup keluarga
: orang dewasa, berkeluarga
Kelas sosial : masyarakat ekonomi menengah atas
Pekerjaan
: pensiun
|
17
2. Psikologis:
-
mengenal daerah Kota, mengalami kenangan kota Batavia
-
dekat dengan keluarga
-
santun dan bersahaja
-
tata krama Eropa
3. Geografis
tinggal dan menetap di Batavia dan sekitarnya (kawasan Kota - Jakarta)
b. secondary
1. Demografis
usia
: umur 30-40 tahun
Jenis kelamin
: pria-wanita
Daur hidup keluarga
: orang dewasa, berkeluarga
Kelas sosial
: masyarakat ekonomi menengah atas
Pekerjaan
: pekerja kantoran, wiraswastawan
2. Psikologis:
-
dekat dengan keluarga
-
mapan
-
kritis
-
memiliki rasa ingin tahu yang besar
-
mengikuti perkembangan teknologi
-
berpandangan ke depan
3. Geografis
tinggal dan menetap di Ibukota Jakarta
|
18
2.2.6. Positioning
rumah makan yang menyajikan romantika zaman Indis
2.2.7. SWOT
a. Strengh:
-
Memiliki kenangan masa Indis yang melekat bersama Huize Trivelli
-
Salah satu arsitektur pemukiman Belanda yang masih terpelihara dari
jantung Batavia pada masa kejayaannya
-
Restoran yang juga masih berfungsi sebagai rumah tinggal, sehingga
suasana hommy makin terasa
-
Pemilik rumah yang mengolah dan menyajikan sendiri masakan
-
Resep kuliner asli warisan turun temurun yang disertai dengan riset
-
Sarana nostalgia seperti bertamu ke rumah orang lain
b. Weakness:
-
Bangunan sudah mengalami sedikit perubahan
-
Image pada identitas visualnya tidak memiliki karakter Huize Trivelli
-
Tidak memiliki sistem pada identitas visualnya
c. Opportunity:
-
Satu-satunya bangunan pemukiman indische yang masih bertahan di laan
trivelli sampai sekarang
-
Kepedulian dan ketertarikan masyarakat untuk melestarikan bangunan tua
dan sejarah makin meningkat
d. Treath:
|
![]() 19
-
Banyak restoran yang juga menawarkan nilai historis dan budaya Jakarta
2.2.8. Penghargaan
Mendapat penghargaan dari The Dutch Royal Institute of Civil Engineers
(Kivi Niria) untuk pelestarian bangunan indische
gambar 2.1 penghargaan
2.2.9. Identitas Visual lama
a. Logo
gambar 2.2 logo lama
logo menggunakan singkatan dari Huize Trivelli. Huize dalam bahasa
Belanda berarti rumah, Trivelli adalah nama asli jalan Tanah Abang 2 pada
masa Indische. Singkatan HT juga dikaitkan dengan filosofi hati (baca:H
|
![]() 20
hadan T te), untuk melambangkan pelayanan dengan hati. Pemilihan
warna disesuaikan dengan warna coklat mengesankan klasik dan alami.
gambar 2.3 kartu nama
Gambar 2.4 brosur
|
21
b. Item
-
logo
-
buku menu
-
stasionari
-
kelengkapan meja makan
-
nota pemesanan
-
struk pembayaran
-
seragam karyawan
-
website
-
brosur
|