11
Bab 2
Landasan Teori
2.1. Konsep Amae
Mengenai amae, Doi
(1992:74) berkata bahwa ketika seseorang mendengar istilah
amae, maka ia pasti akan teringat akan perilaku seorang bayi dalam hubungannya
dengan ibunya. Doi (2007:81) juga menjelaskan bahwa:
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
????? ?????????? ?? ???????? ???????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
???????????????????????????????
?????????????????????????????????
Biasanya
seorang
bayi
baru
akan dikatakan anak
ini
melakukan
amae
ketika
berusia enam bulan ke atas dan telah memiliki kesadaran serta menginginkan
ibunya. jadi
amae adalah perilaku bayi yang ketika kesadarannya telah tumbuh
sampai
tingkat
tertentu,
mengerti
bahwa
ia dan ibunya
merupakan keberadaan
yang terpisah,
dan
setelah
itu
menunjukkan
bahwa
ia menginginkan
ibunya.
Dengan kata lain sampai
bayi
mulai amae,
kesadarannya
masih
merupakan
kelanjutan
dari
ketika ia
masih
dalam kandungan dan
bayi
serta
ibunya
belum
terpisah. Namun seiring dengan pertumbuhan kesadarannya, bayi mulai mengerti
bahwa ia dan ibunya
merupakan keberadaan yang terpisah, dan lebih lagi ia
merasakan bahwa keberadaan ibu yang terpisah darinya merupakan hal yang amat
penting
sehingga
ia
ingin mendekat
dengan
sang
ibu,
dan
hal
inilah
yang
dimaksud dengan amae.
Selanjutnya
Doi
(1992:78)
juga
berkata bahwa amae
merupakan
upaya
bayi
untuk
membina suatu perpaduan dengan ibunya. Dengan demikian, amae dapat ditafsirkan
sebagai suatu usaha untuk menentang kenyataan keberadaan yang terpisah, yang
sebenarnya
merupakan kenyataan
yang
tak dapat dihindari dalam kehidupan
manusia.
|
12
Jadi amae merupakan suatu usaha untuk memperoleh identitas melalui perpaduan
dengan
orang
lain. Karena
itu
amae juga
berfungsi
untuk
mengurangi
rasa
sepi
yang
disebabkan perpisahan.
Istilah amae bukanlah ungkapan satu-satunya yang dipakai dalam psikologi
mengenai
sifat
ketergantungan ini.
Terdapat
juga
kata amai
yang
dipakai
tidak
hanya
dalam
arti
manis
yang
dirasakan
lidah,
tetapi
juga
mengungkapkan
sifat
seseorang.
Jika seseorang berkata bahwa A bersikap amai terhadap B, itu berarti bahwa A
membiarkan B berlaku amaeru terhadap A, yakni
membiarkannya bersikap
mengandalkan diri dan
mengharapkan sesuatu dari tali perhubungan antara kedua orang
itu. Kata amai ini juga dapat dipakai untuk menggambarkan pandangan seeorang
terhadap suasana,
dalam arti
orang tersebut
memiliki
pandangan
yang
amat
optimistis
tanpa mempunyai suatu pengertian yang cukup tentang seluk-beluk realita yang dihadapi.
Menurut Doi (1992:74), akar kata amae yakni ama berasal dari kata uma-uma, yang
mengungkapkan hasrat seorang anak untuk menyusu atau makan. Ia juga mengatakan
bahwa
umashi
atau
enak
dapat
diartikan
sama
dengan amashi
atau
manis,
dengan
demikian
memperkuat spekulasi
mengenai adanya hubungan
antara ama dan uma dari
istilah uma-uma. Maka dapat disimpulkan bahwa ama dari amae, berhubungan dengan
dunia kanak-kanak.
Walau
begitu
tidak
berarti
bahwa
amae
merupakan
perilaku
yang
hanya
dimiliki
anak-anak. Doi
(1992:78) berkata bahwa
ketika
sudah
dewasa
sekalipun, dalam
membina hubungan baru antar sesama manusia, amae dalam berbagai bentuknya selalu
muncul, setidaknya pada taraf permukaan.
Johnson (1993:162) memberikan contoh spektrum perilaku amae yang terdapat
dalam orang dewasa. Misalnya saja pada tingkat paling ringan, amae dapat terlihat pada
|
13
tinkah laku dan perasaan seorang
murid
yang
meminta
bantuan
khusus
dari
seorang
profesor. Jika perasaan
amae orang tersebut tidak dipenuhi namun ia masih
mempertahankan
keinginan
untuk
melakukan
amaeru
tersebut,
tahap selanjutnya
bisa
dilihat dari kemurungan orang tersebut selama beberapa
saat. Pada
tingkat
yang
lebih
lanjut lagi, orang tersebut bisa terlihat frustasi dan terus-menerus mengeluh mengenai
hubungannya
dengan
sang
profesor.
Pada
akhir
spektrum
ini
orang
tersebut
mungkin
akan
terlihat
tidak
berdaya
dan
bimbang
sampai bisa
berakibat
menjadi
depresi,
bolos
dari kelas, tidak bisa menyelesaikan tugas, dan menghindari kontak dengan semua orang.
Johnson
(1993:7)
berkata
bahwa amae
merupakan
kebutuhan
untuk
ditanggapi,
dirawat, dihargai, dan diperhatikan secara khusus. Selanjutnya Johnson (1993:84) juga
berkata bahwa amae berhubungan dengan pola afiliasi dan saling ketergantungan
yang
mengatur sifat alamiah dari suatu hubungan akrab.
Johnson
(1993:211) juga
menjelaskan
bahwa
amae
bisa
diidentifikasikan
sebagai
dorongan bawah sadar (primer), yang bergerak sendiri
maupun bersama dorongan
lain
untuk
mencari
afiliasi
dengan
obyek
eksternal
terutama
dalam pertemuan
yang
melibatkan rasa aman, pemanjaan, penghargaan, dan kasih sayang nonseksual.
Yamaguchi (2006:165)
berkata
bahwa amae
dapat
diartikan
sebagai
presumed
acceptance
of
ones
inappropriate
behaviour
or
request yang artinya asumsi
diterimanya
suatu
kelakuan
atau
permintaan
seseorang
yang
tidak
sepantasnya.
Misalnya saja, seorang anak berusia sepuluh tahun meminta
ibunya untuk memakaikan
baju padanya. Dalam hubungan amae, sang pelaku amaeru akan mengasumsikan bahwa
permintaan
yang
tidak
sepantasnya
ia
minta
itu
akan
dikabulkan
karena
sikap
positif
atau setidaknya non-negatif dari lawannya. Jadi walaupun tidak sepantasnya anak
berumur sepuluh tahun berperilaku seperti itu, dalam hubungan amae perilaku seperti itu
|
14
diperbolehkan. Karena amae berkaitan dengan permintaan
yang tidak pantas, bisa jadi
ada yang
menyangka bahwa pelaku amaeru tidaklah disukai. Sebenarnya tidak
demikian karena perilaku amae, setidaknya kadang-kadang, dianggap sebagai tanda
cinta. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Doi dalam Johnson (1993:157) bahwa
dalam kata amae terdapat aura permisif dan manis. Karena alasan itulah jika seseorang
memperlihatkan perlaku
amae, ia dianggap mengekspresikan cintanya terhadap orang
yang
bersangkutan.
Sebaliknya
jika seseorang tidak pernah
melakukan amae,
orang
tersebut dianggap dingin dan tidak pernah mengungkapkan cintanya terhadap siapapun.
Doi dalam Johnson (1993:84) berkata bahwa walaupun sifat ketergantungan yang ia
bahas dibangun dalam konteks budaya Jepang, ia dengan jelas mengatakan bahwa motif
ini
merupakan motif yang
universal,
walau dalam masyarakat barat sudah dimodifikasi
atau disamarkan. Ia juga berkata bahwa masyarakat barat tidak sensitif terhadap sikap
amae orang lain. Hal ini terlihat dalam cara psikiater Amerika menghadapi para pasien
mereka.
Seringkali wawancara
dilangsungkan dalam kamar-kamar
yang
memiliki
cermin satu arah. Doi pun mengambil kesimpulan bahwa psikiater Amerika kurang peka
terhadap
perasaan
putus
asa
dari
pasien mereka.
Dengan
kata
lain,
mereka
lambat
menemukan hasrat amae yang terselubung dalam diri pasien mereka.
Hal
ini dipertegas oleh
pendapat
Johnson
(1993:158)
yang
mengatakan
bahwa
terjemahan amae ke dalam Bahasa Inggris memiliki konotasi negatif, seperti merajuk,
dan dimanjakan. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa barat memiliki pandangan
negatif mengenai sifat amae ini dan berpikir bahwa tidak sepantasnya sifat
ini dimiliki
oleh orang dewasa, berbeda dengan bangsa Jepang
yang memiliki
sikap toleransi
lebih
besar terhadap perilaku amae. Selain itu Johnson (1993:231) juga mengemukakan beda
pandangan antara psikiater Jepang dan barat. Jika di barat orang yang bermasalah dalam
|
15
hubungan dengan orang
lain diusahakan untuk
memperoleh kembali kebebasannya dari
hubungan tersebut, di Jepang orang tersebut akan diusahakan untuk dapat menjalin
kembali hubungan tersebut.
Mengenai kekhasan
konsep
amae dalam
bahasa
Jepang
selanjutnya
Doi
(2007:23)
menuliskan:
...
????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
...Istilah amae yang merupakan suatu istilah yang khas dalam Bahasa Jepang, pada
dasarnya
merupakan
fenomena
psikologis
umum yang
dialami semua
manusia.
Amae adalah sesuatu yang sangat erat hubungannya dengan psikologi Jepang serta
tatanan
masyarakat
Jepang
yang
mengizinkan
sikap amae.
Bisa dibilang amae
adalah
konsep
utama
untuk
memahami struktur jiwa dan tatanan masyarakat
bangsa Jepang.
Dalam masyarakat Jepang,
menurut Doi (1992:56), amae sebagai tradisi
merupakan
ideologi
masyarakat
Jepang.
Ideologi
bukan berarti kajian
mengenai
paham paham,
melainkan
suatu
pandangan atau
konsep
utama, yang merupakan landasan aktual atau
potensial
bagi
suatu sistem masyarakat
yang
lengkap.
Hal
ini
terlihat
misalnya
pada
tekanan
akan
hubungan
vertikal
dalam masyarakat
Jepang
sebagai
ciri
khas
Bangsa
Jepang. Doi juga berpendapat bahwa kedenderungan untuk amae-lah yang menyebakan
terjadinya penekanan pada hubungan vertikal dalam masyarakat. Ia juga merasa yakin
bahwa apa yang secara tradisional
disebut
dengan
jiwa
Jepang
atau
hati
nurani
Yamato, maupun berbagai ideologi yang lebih khusus seperti pemujaan terhadap kaisar
dan junjungan tinggi terhadap sistem kekaisaran, dapat diuraikan dalam ungkapan amae.
|
16
Doi (1992:57) bercerita tentang salah seorang pasiennya, yang setelah dirawat
beberapa waktu memperoleh kesadaran baru bahwa ia ingin mengandalkan diri pada
orang
lain.
Ia berkata ia
ingin agar seseorang bersedia
meng-hoshitsu dia , dalam arti
memberikan wewenang terhadap pasien tersebut, namun sebenarnya memikul seluruh
tanggung jawab dari pasien itu. Istilah hoshitsu ini
unik karena dulunya kata
ini hanya
berlaku
bagi kaisar, dalam hubungannya dengan
konstitusi
Meiji. Diceritakan
bahwa
kaisar
berada
pada
kedudukan
di
mana dia
mengharapkan
bahwa
orang-orang
di
sekelilingnya
yang
menangani
segala
persoalan
yang
merupakan tanggung jawabnya,
baik
besar
maupun
kecil,
atau
bahkan
urusan
negara.
Kaisar
amat
bergantung
pada
orang-orang yang ada di sekelilingnya, tetapi dalam status atau kedudukan, orang-orang
di sekeliling kaisarlah yang merupakan pembantunya. Kaisar tidak ubahnya seorang bayi
yang berada dalam pangkuan sang
ibu,
namun kedudukannya adalah
yang tertinggi di
dalam negeri, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Jepang memberikan tempat
yang
terhormat
bagi
sikap
kekanak-kanakan yang amat
menggantungkan diri. Tidak
hanya kaisar, tetapi semua orang di Jepang yang menduduki posisi-posisi tinggi, seakan-
akan ditopang oleh orang-orang di sekeliling mereka. Dengan kata lain, seseorang yang
menghayati sikap menggantungkan diri yang kekanak-kanakan memiliki syarat-syarat
yang dibutuhkan untuk berdiri dalam puncak masyarakat Jepang
2.1.1 Konsep Sumanai
Mengenai istilah sumanai, Doi (2007:24) berkata bahwa:
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????...?????????????????
???????????????????????????????
?
|
17
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
???????????????????????????????...
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
???????????????????????????
Selanjutnya
akan
dijelaskan
istilah sumanai secara
lebih
terperinci.
Istilah
ini
dipakai baik untuk
menyatakan terima kasih
dan permintaan
maaf
yang saling
bertolak belakang
Saya menafsirkan
kata ini sebagai bentuk negatif dari kata
kerja sumu yang berarti mengakhiri... artinya ada sesuatu yang harusnya dilakukan
tapi tidak dilakukan sehingga hal tersebut belum selesai. Lalu dalam kata ini juga
terasa kuat permintaan maaf karena sudah
membuat orang
lain kesusahan karena
dirinya dan juga perasaan berterima kasih atas kebaikan tersebut. Dengan kata lain,
kata sumanai
dipakai
untuk
menunjukkan
bahwa
kebaikan
tersebut
telah
membebani orang
yang
melakukan kebaikan
itu, bukan seperti
Benedict katakan
berasal dari kewajiban untuk membalas kebaikan tersebut
pertanyaannya adalah
mengapa orang Jepang merasa tidak cukup hanya berterima kasih atas kebaikan
orang lain, tapi juga merasa harus
meminta
maaf. Hal
itu karena jika
tidak
minta
maaf,
ia takut dianggap tidak sopan dan pada akibatnya bisa kehilangan niat baik
dari
orang tersebut
sedangkan
ia
berpikir
ingin
ber-amae
terhadap
orang
itu
selama-lamanya.
Doi (1992:54) juga mengungkapkan bahwa di Jepang orang tidak mengucapkan kata
maaf atau sumanai dalam hubungannya dengan sesuatu yang telah selesai, melainkan
sebagai sesuatu yang berkelanjutan. Orang Jepang juga condong untuk menegaskan
kekurangmampuan pada pihaknya
untuk
melaksakan sesuatu di masa
mendatang,
dengan
demikian
berarti
seseorang
mengucapkan
maaf
sebelum melakukan
sesuatu.
Permohonan
maaf
orang
Jepang
kerap
kali mengandung
nada
memaafkan
diri,
suatu
sikap yang lahir dari kenyataan bahwa perasaan bersalah orang Jepang sejak awal telah
bercampur baur dengan rasa malu. Pada umumnya, permohonan maaf dengan
|
18
mengucapkan
sumanai
dimaksudkan
untuk
mencegah
agar
jangan
sampai kehilangan
niat baik pihak yang dimaksud.
Johnson (1993:167) berkata bahwa sumanai berarti meminta maaf, merasa menyesal,
sadar diri, atau merasa bersalah dan merupakan ungkapan umum dalam Bahasa Jepang,
terkadang digunakan
untuk
menyatakan penyesalan karena tidak dapat memenuhi suatu
harapan. Bagi orang Jepang permintaan maaf merupakan sesuatu yang rumit, dan sering
kali disertai dengan melebih-lebihkan kesalahan sendiri.
Fungsi dari menyalahkan diri sendiri secara berlebihan
itu adalah
untuk
menangkis
atau meminimalisasi tuduhan orang lain atas kesalahan yang telah ia perbuat. Dengan
mengambil tanggung jawab secara berlebih-lebihan, ia dapat menghindarkan
hukuman
dan tuduhan dari orang lain dan sekaligus melindungi orang lain yang seharusnya benar-
benar bertanggung jawab.
2.1.2 Konsep Tsumi
Doi (1992:46) mengatakan bahwa rasa berdosa, baik yang dialami bangsa barat
maupun
bangsa
Jepang
awalnya
bermula
dari
pengkhianatan
orang
yang
melakukan
dosa tersebut terhadap kelompoknya. Namun karena setelah berabad-abad peranan
kelompok
menghilang
dan
digantikan
oleh Tuhan,
bangsa
barat
kini
tidak
begitu
menyadari adanya unsur pengkhianatan terhadap kelompok dalam perasaan berdosa.
Menurut
Doi (2007:50), bangsa
Jepang
mengalami perasaan berdosa
terutama
dalam hubungannya dengan kelompok:
?????????????????????????????????
??????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
|
19
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
???????
Berlawanan dengan orang barat, jika orang Jepang
mengkhianati kepercayaan
kelompoknya maka mereka akan mengalami perasaan berdosa yang paling kuat.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa rasa berdosa merupakan suatu fungsi dari
hubungan
antar
manusia. Misalnya
jika
dengan
kerabat
yang
paling
dekat
biasanya
orang Jepang tidak begitu
merasakan
perasaan
berdosa
karena
kedua
belah
pihak
begitu
dekat sehingga
terdapat
sifat amae
yang
mengasumsikan
bahwa
berkhianat
seperti apapun
akan
dimaafkan.
Tapi
seperti
pepatah
on
terhadap
orang
tua
baru
disadari
setelah
mereka
meninggal,
rasa
berdosa
pun
baru akan disadari setelah orang tua meninggal.
Pada umumnya orang Jepang suka bertindak dalam kelompok. Bagi seorang Jepang
sangat sukar untuk melangkahi kelompok dan bertindak secara perorangan. Hal ini
dikarenakan orang Jepang biarpun secara samar-samar, akan merasa berkhianat jika ia
bertindak sendirian tanpa memberi perhatian pada keinginan kelompok di mana ia
menjadi anggota. (Doi, 1992:52)
Lebih
lanjut lagi
Doi (1992:47)
menjelaskan
bahwa
orang Jepang
merasa
berdosa
terutama ketika dalam suatu hubungan telah terjalin giri
dan pengkhianatan
mengakibatkan putusnya hubungan itu. Dalam keadaan seperti demikian, istilah sumanai
berperan sebagai pengakuan rasa bersalah. Selain
itu
mengenai
hubungan antara
sumanai dengan tsumi Doi (2007:50) selanjutnya menjelaskan bahwa:
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
???????
Lalu perasaan akan dosa dimulai ketika seseorang melakukan hal yang seharusnya
tidak boleh
ia
lakukan.
Tapi jika
setelah
melakukan
hal
yang dilarang
itu
tidak
disertai
perasaan sumanai,
berarti
ia
tidak
menjadi
sadar
akan
dosa
dalam
kalbu. Karena alasan
tersebutlah
maka perasaan sesal
sumanai
terkait
langsung
|
20
dengan
tindakan permintaan
maaf.
Dengan
demikian,
jelas
sekali
perasaan
berdosa
orang Jepang
dimulai
dengan
pengkhianatan dan diakhiri
permintaan
maaf.
2.1. 3 Konsep Kuyami
Kuyami berarti penyesalan, dalam makna menyesalkan bahwa
sesuatu telah terjadi
di luar kemampuan seseorang untuk menghindarinya atau karena telah terlambat berbuat
sesuatu. Contohnya terdapat dalam kalimat seperti kalau saja saya mengetahuinya
sebelumnya... kuyami
merupakan ungkapan sesal karena membiarkan sesuatu yang
menjadi
sebab penyesalan
itu
tetap ada.
Dengan kata
lain, suatu
rasa
sesal
saja tidak
memadai; ini harus dibarengi dengan perasaan kalau saja saya tidak... yang tetap
mengganggu pikiran seseorang. Selain itu kuyami juga dapat ditafsirkan sebagai suatu
penyesalan telah membiarkan dirinya terperosok ke dalam suatu situasi di mana terpaksa
merasakan sesal (Doi, 1992:133). Selanjutnya Doi juga
menjelaskan
mengenai kuyami
ini berdasarkan pengalamannya sendiri. Sewaktu ia mengalami kehilangan seseorang
yang dekat dengannya, timbullah suatu perasaan menyesal yang dalam sekali. Ia
berharap bahwa ia sempat berbuat ini dan itu bersama orang yang telah tiada. Walaupun
ia
insaf
bahwa
rasa sesal
seperti apapun
tidak
akan dapat
mengubah
hal
yang
telah
terjadi, untuk waktu yang lama
ia tidak dapat mengatasi rasa bersalahnya
tersebut.
Ia
mengalami timbulnya suatu rasa bersalah baru terhadap yang telah meninggal, dan ia
menyesalkan rasa bersalah tersebut.
Dalam hal kehilangan orang yang dikasihi, sebab dari penderitaan mental amat jelas,
namun ada juga kasus-kasus lainnya di mana penderitaan tersebut timbul tanpa diketahui
dari mana asalnya. Kasus yang paling biasa adalah keadaan mental yang lazimnya
disebut sebagai melankolia atau kemurungan. Pada kasus ini, sebab utama dari keadaan
demikian tidak dapat segera dijelaskan. Walau begitu orang yang bersangkutan tampak
|
21
tenggelam dalam suatu suasana
muram durja dan rasa kehilangan akal, dan diganggu
oleh
berbagai
perasaan sesal
masa
lalu.
Selain
itu
dalam kemurungan
tersebut
terjadi
ciri-ciri menyalahkan diri sendiri yang merupakan kuyami.
Doi (1992:136)
juga berkata bahwa kuyami tidak semata-mata patologis, melainkan
bisa juga ditemukan pada individu normal. Begitupun kuyami
dapat berubah menjadi
depresi kalau sudah meliputi seluruh jiwa. Perkembangan kuyami pada seseorang, pada
awalnya
terjadi
karena
timbulnya
rintangan
terhadap amae.
Orang
tersebut
berusaha
mengatur suasana agar dia lega atau, namun perasaan kesal karena amae yang terintangi
itu tidak akan hilang atau, dan sebagai akibatnya dia akan merasa frustasi. Kalau
perasaan demikian tidak membantu, timbullah kuyami, yakni sesal campur putus asa.
Goss
(2005:39) berkata
bahwa
di
Jepang
penyesalan
merupakan
hal
yang
penting
bagi dependensi dalam hubungan antar
manusia. Di Jepang ketika seorang tamu pergi,
tuan
rumah bukan
berkata,
terima kasih
sudah
datang,
melainkan
maaf
saya
tidak
bisa
berbuat
lebih
banyak
lagi
untuk
anda.
Dengan
kata
lain,
tuan
rumah
tersebut
berkata bahwa dirinya tidak cukup baik dalam menjalani
hubungan dengan orang
yang
bertamu
itu. Penyesalan
merupakan
bagian
dari
setiap
hubungan dependensi,
karena
rasa berhutang budi tidak pernah selesai tercukupi. Begitu pula dengan perpisahan
kepada orang
yang telah meninggal, akan
terasa penyesalan karena tidak bisa berbuat
lebih banyak lagi bagi orang yang telah meninggal itu. Orang yang masih hidup
kemudian akan merasakan kesedihan, bukan hanya karena ditinggal pergi, namun juga
karena selamanya akan berhutang budi pada yang telah meninggal itu.
|
22
2.2 Teori Fiksi
Nurgiyantoro (2002:2)
mengatakan
bahwa
fiksi
merupakan
cerita
rekaan
karena
berupa karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Jadi karya fiksi
merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan,
sesuatu yang tidak ada dan tidak sungguh
sungguh
sehingga
ia
tidak
perlu
dicari
kebenarannya dalam dunia
nyata.
Tokoh, penokohan, dan tempat
yang disebut sebut
dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif.
Altenbernd dan Lens dalam Nurgiyantoro (2005:2)
mengartikan fiksi sebagai karya
yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan
mengandung kebenaran
yang
mendramatisasikan
hubungan
hubungan
antar manusia.
Karya
fiksi
merupakan
hasil
dari
pengalaman
dan
pengamatan
sang
pengarang
terhadap
kehidupan
secara
selektif
dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan
penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.
Lebih lanjut lagi Nurgiyantoro (2002:3) mengatakan bahwa:
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya
dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, dan interaksinya
dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang
terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi
dianggap sebagai hasil kerja lamunan
belaka, melainkan penghayatan dan
perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan,
perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Fiksi
merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari
segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi merupakan model model kehidupan
sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan sebagai
karya seni yang berunsur estetik dominan.
Nurgiyantoro juga
menyatakan
bahwa
pertama
tama, suatu karya
fiksi
haruslah
merupakan sebuah cerita yang menarik dan juga bertujuan memberikan hikmah kepada
pembacanya. Jika suatu cerita menarik, tentu orang akan tertarik untuk mengikuti cerita
tersebut sehingga melalui sarana cerita
itu pembaca secara
langsung dan tak
langsung
|
23
dapat
belajar,
merasakan,
dan
menghayati berbagai
permasalahan
yang
sengaja
dilontarkan pengarang. Pembaca
lalu
akan
ikut
merenungkan
masalah
hidup dan
kehidupan, sehingga pembaca tersebut akan bisa menjadi lebih arif.
2.3 Teori Penokohan
Nurgiyantoro (2002:3) menjelaskan istilah tokoh merujuk pada pelaku cerita dalam
sebuah kisah fiksi, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter, merujuk pada sifat dan
sikap
para
tokoh
seperti
yang
ditafsirkan oleh pembaca
dan
lebih mengarah
kepada
kualitas pribadi seorang tokoh.
Penokohan
memiliki
pengertian
yang
lebih
luas
dibandingkan tokoh
dan
perwatakan
sebab
ia
mencakup
masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana
perwatakan,
dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sanggup memberikan
gambaran
yang
jelas
kepada
pembaca.
Nurgiyantoro (2002:160)
berkata
bahwa
penokohan adalah pelukisan, gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
dalam sebuah tokoh.
Walaupun tokoh cerita hanya
merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah
merupakan
tokoh
yang
hidup
secara
wajar,
sewajar
sebagaimana
kehidupan
manusia
yang terdiri dari darah dan daging, yang
mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan
tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia haruslah bersikap dan
bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya. Tokoh
cerita mempunyai posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanah,
moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca Kita harus
menyadari bahwa hubungan antara tokoh fiksi dengan realitas kehidupan manusia tidak
hanya berupa hubungan kesamaan saja, melainkan juga pada hubungan perbedaan.
|
24
Tokoh
manusia
nyata memang
memiliki
kebebasan,
namun
tokoh
fiksi
tidak
pernah
berada
dalam
keadaan
benar
benar
bebas. Tokoh karya
fiksi
hanyalah
bagian
yang
terlihat dari keseluruhan bentuk artistik yang menjadi tujuan penulisan fiksi itu sendiri
(Nurgiyantoro, 2002:200).
2.4 Teknik Montase
Menurut Minderop (2005:150),
teknik
montase adalah sebuah
istilah
yang
berasal
dari
dunia
perfilman,
yang
berarti
memilah-milah,
memotong-motong,
serta
menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga menjadi satu keutuhan.
Menurut Humphrey dalam Minderop (2005:151), teknik montase adalah suatu teknik di
dalam
bidang
perfilman
yang
mengacu pada
kelompok
unsur
yang digunakan
untuk
memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan imaji yang
mendadak atau imaji yang tumpang tindih satu dan lainnya.
Minderop
(2005:153)
juga
berkata
bahwa
teknik
ini sering digunakan untuk
menciptakan suasana melalui serangkaian impresi dan observasi yang diatur secara cepat.
teknik
ini
digunakan
dalam penyajian
ekacakap
dalaman
karena
pikiran-pikiran
yang
susul-menyusul
di
dalamnya
terkadang
tidak
selalu
berada
dalam urutan
yang
logis.
Teknik ini dapat juga menyajikan kesibukan latar (misalnya hiruk-pikuk kota besar) atau
suatu kekalutan (misalnya kekalutan pikiran) atau aneka tugas seorang tokoh (secara
simultan dan dinamis).
Melalui
teknik
ini
dapat
direkam
sikap
kaotis
yang
menguasai
kehidupan kota besar yang dirasakan oleh penghuninya.
|