BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Gambaran Umum Obyek Penelitian
2.1.1.   Kota Bontang
Obyek
penelitian adalah
Proyek
Perbaikan
Tanah
PT.
Pupuk
Kaltim,
Bontang.
Bontang
merupakan sebuah
kota
yang
terletak
di
Pulau
Kalimantan,
tepatnya  di  Provinsi  Kalimantan
Timur,  Indonesia.  Kota  ini  terletak  sekitar
120  kilometer
dari  Kota  Samarinda,
berbatasan
langsung
dengan
Kabupaten
Kutai Timur di utara dan barat, Kabupaten Kutai Kartanegara di selatan dan Selat
Makassar  di  timur.  Letak  geografisnya
0,137°  LU  dan  117,5°  BT.  Bontang
berada di Pantai Timur Kalimantan Timur, di daerah aliran Sungai Sangatta, Api-
Api, dan Santan yang ketiganya bertemu dalam suatu hulu (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Kota Bontang, Kalimantan Timur
  
10
2.1.2.   Proyek Perbaikan Tanah PT. Pupuk Kaltim
PT. Pupuk Kaltim terletak di pesisir pantai yang juga merupakan daerah
endapan
tanah
lumpur
yang terbentuk
dari ketiga
anak
sungai,
yang
kemudian
membentuk delta. Oleh karena
itu daerah ini
memiliki
jenis tanah berupa
pasir
laut dan soft organic clay.
Semakin
berkembangnya usaha
PT.
Pupuk
Kaltim
maka
dibutuhkan
perluasan lahan
dengan
cara
reklamasi pantai.
Kondisi
tanah
yang
lunak
menyebabkan perlu
dilakukan
perbaikan
tanah.
Dengan
mempertimbangkan
segala
aspek
yang
ada
maka
pihak
PT.
Pupuk
Kaltim
memutuskan untuk
melakukan perbaikan tanah dengan cara preloading dengan vertical drains.
Gambar 2.2 menunjukkan foto udara lokasi proyek perbaikan tanah PT.
Pupuk Kaltim.
Gambar 2.2 Lokasi Proyek Perbaikan Tanah PT. Pupuk Kaltim
(sumber : dokumentasi PT. Pupuk Kaltim)
  
11
2.2.
Landasan Teori
2.2.1.   Penurunan Tanah (Ground Settlement)
Sebagaimana pada
umumnya
suatu
meterial
yang
bila
dibebani
akan
mengalami
regangan, begitu
juga
dengan
tanah
yang
bila
dibebani
akan
termampatkan atau
mengalami
penurunan.
Selain
karena
adanya
beban
luar
(contoh
:
preloading)
penurunan dapat juga terjadi karena beberapa
hal berikut
(Stamatopoulos, 1985):
-
Konsolidasi karena berat sendiri tanah.
-
Berkurangnya
kadar  air  tanah,  baik  secara  alami  atau  karena  proses
industri.
-
Naik turunnya muka air tanah.
-
Bahan kimia.
-
Pembusukan  organik,  baik  secara  alami  maupun  karena  penambahan
bahan tambah.
-
Pemompaan air, minyak maupun gas alam.
-
Gempa bumi, ledakan, atau getaran.
-
Tekanan
karena
penggalian
didekatnya
atau
karena
adanya konstruksi
terowongan.
-
Pergerakan tektonik.
-
Erosi maupun longsor.
  
12
a.
Analogi Penurunan dalam Percobaan Pegas
P
(BEBAN)
KRAN
(PERMEABILITAS
TANAH)
PEGAS
(PARTIKEL
TANAH)
 
 
AIR MENGISI RUANG BEJANA
(AIR TANAH MENGISI PORI-PORI
TANAH)
Gambar 2.3
Analogi Kerangka Tanah dalam Percobaan Pegas
Kerangka
tanah (soil skeleton) dapat dianalogikan dengan
menggunakan
percobaan
pegas
seperti
yang
ditunjukkan melalui
Gambar
2.3,
dimana
pada
rangkaian percobaan tersebut kran
merupakan analogi dari
permeabilitas tanah,
pegas sebagai partikel tanah, dan ruang
didalam bejana
merupakan ruang pori-
pori tanah (void/soil pores), air yang mengisi ruang bejana adalah gambaran dari
air tanah yang mengisi pori – pori tanah.
Bila 
kemudian 
sistem 
tersebut 
diberi 
beban 
(P), 
maka 
pada 
saat
pemberian beban awal, beban dipikul sepenuhnya oleh air (Gambar 2.4), dimana
pada
saat
tersebut
tidak
ada
tegangan
air
pori
yang
terdisipasi, kondisi
ini
dianalogikan dengan kran
yang tertutup. Kondisi ini terjadi pada rentang waktu
yang
relatif
singkat.
Ada
deformasi ke
arah
vertikal
yang
diikuti
oleh
pengembangan ke arah lateral sehingga secara total tidak ada perubahan volume
(
?
V
=0). Penurunan yang terjadi pada kondisi ini dikenal dengan PENURUNAN
SEKETIKA.
  
13
pemberian beban
P
kran tertutup
P
Si
u
=
P
t
=
0
.
t
=
t
x
deformasi lateral
.
Gambar 2.4
Analogi Penurunan Seketika  dalam Percobaan Pegas
Seiring berjalannya waktu, maka air dalam pori-pori tanah yang tertekan
akibat  pembebanan  (dalam  geoteknik  air  yang  tertekan  ini  disebut  sebagai
tekanan
air
pori berlebih -
excess pore
water pressure),
sesuai
dengan prinsip
hukum Pascal, akan
berusaha mencari keseimbangan untuk
kembali ke tekanan
hidrostatik. Jadi, air dalam pori-pori tanah ini akan berusaha keluar dari pori-pori
tanah.
Kecepatan keluarnya
tegangan
air
pori
berlebih
ini
sangat
tergantung
kepada besarnya pori-pori tanah (permeabilitas tanah), proses ini disebut sebagai
terdisipasinya tegangan air pori berlebih.
Kondisi 
ini  dianalogikan  dengan 
membuka  kran  sehingga  air 
yang
tertekan dapat keluar dari dalam sistem bejana tersebut dan pada saat yang sama
terjadi
transfer beban
dari
air
ke
pegas,
artinya pegas
mulai
memikul beban.
Tergantung pada
besarnya bukaan kran
(besaran permeabilitas tanah), peristiwa
ini terus berlangsung sampai tegangan air pori berlebih didalam tanah seluruhnya
terdisipasi keluar (?u=0) dan air kembali ke tekanan
hidrostatik (Gambar 2.5).
Dan pada saat itu beban akan sepenuhnya tertransfer dari air ke pegas (butiran
tanah). Peristiwa
terdisipasinya tegangan air pori berlebih dari dalam
pori-pori
  
 8
14
tanah yang diikuti dengan turunnya permukaan tanah (akibat dari
ukuran pori-
pori
yang
mengecil,
yang
tadinya terisi air
sekarang
sebagian air
pori
keluar
sehingga tanah terkompresi) disebut peristiwa PENURUNAN KONSOLIDASI.
pemberian
beban
P
kran terbuka
pemberian
beban
P
kran terbuka
pemberian
beban
P
kran terbuka
  
 
Sc
t
=
0
;
u
=
P
t
=
t
u
tegangan air pori
mulai terdisipasi
t
=  
;
u
=
0
tegangan
air pori terdisipasi
seluruhnya
Gambar 2.5
Analogi Penurunan Konsolidasi dalam Percobaan Pegas
Setelah  tegangan  air  pori  berlebih  terdisipasi  seluruhnya,  penurunan
masih
akan
terjadi
karena
perubahan dari
struktur
partikel
tanah.
Kondisi
ini
dianalogikan dengan bertambah pendeknya pegas karena efek
rangkak (creep).
Penurunan ini dikenal dengan PENURUNAN SEKUNDER (Gambar 2.6).
pemberian beban
P
kran terbuka
pemberian beban
P
kran terbuka
    
Sc
       
   
     
Ss
u
=
0
;
P
=
pegas
pegas
memendek
Gambar 2.6
Analogi Penurunan Sekunder dalam Percobaan Pegas
  
15
b.
Jenis – Jenis Penurunan
Dari pembahasan sebelumnya dapat diketahui bahwa akibat pembebanan
akan
ada
tiga
jenis
Penurunan Tanah atau
Ground
Settlement,
yang
mungkin
terjadi, yaitu:
1.   Penurunan Seketika (Immediate Settlement Si)
Penurunan Seketika
terjadi
seketika
saat
beban
diletakkan
di
atas
tanah,
penambahan
beban
tersebut
menimbulkan tegangan
tekan
yang
menyebabkan tanah terkompresi ke arah vertikal dan penurunan yang terjadi
ini
akan
diikuti
oleh
pergerakan tanah
ke
arah
lateral
(lateral
expansion)
dengan volume yang sama dengan volume tanah yang mengalami penurunan
sedemikian sehingga
tanah
secara
keseluruhan
tidak
akan
mengalami
perubahan
volume.
Besar penurunan yang
terjadi juga tergantung dari
jenis
pondasi apakah pondasi bersifat elastis atau sangat kaku.
Pada
tanah
yang jenuh
sempurna, saat terjadi
Penurunan Seketika,
beban masih sepenuhnya dipikul oleh air pori, dalam kondisi ini tegangan air
pori
menjadi
bertambah dikenal
pula
dengan
istilah
Excess
Pore
Water
Pressure
(tegangan air
pori
berlebih). Apabila
tanah
yang
memiliki
permeabilitas rendah maka tegangan air pori berlebih hanya akan terdisipasi
keluar
dengan
waktu
yang
sangat
lama.
Kondisi
ini
dikenal
pula
dengan
nama Undrained Condition (Gouw, 2009).
Pada umumnya, Penurunan Seketika dominan terjadi pada tanah pasir
sedangkan pada
tanah
lempung jarang terjadi
sehingga
dalam perhitungan
sering diabaikan.
  
16
2.   Penurunan Konsolidasi (Primary Consolidation Sc)
Penurunan
Konsolidasi merupakan
penurunan
yang
terjadi
karena
terdisipasinya tegangan air
pori
berlebih pada
Undrained Condition menuju
Drained Condition.
Menurut Weasley (1977),
bilamana suatu
lapisan
tanah
mengalami tambahan beban diatasnya, maka seiring berjalannya waktu maka
air pori akan
mengalir keluar dari pori-pori tanah
tersebut dan
volume
total
tanah
akan
menjadi
lebih
kecil
(Gambar
2.7).  Besarnya
penurunan
yang
terjadi
selama
masa
konsolidasi ini
dikenal
dengan
nama
Penurunan
Konsolidasi. Pada
umumnya konsolidasi berlangsung satu arah,
yaitu
arah
vertikal, karena lapisan
yang ditambahkan beban
tersebut tidak bergerak ke
arah  horizontal  sebab  ditahan  oleh  tanah  disekelilingnya.  Peristiwa 
ini
disebut juga Penurunan Satu Dimensi (One Dimentional Settlement).
Ruang Pori-Pori
Tanah
?s
Ruang Pori-Pori
Tanah
Air
Tanah
Tanah
Gambar 2.7 Perubahan Volume pada Penurunan Konsolidasi
Saat
konsolidasi
berlangsung maka
lapisan
tanah
tersebut
akan
mengalami
penurunan,
yang
mengakibatkan struktur
diatasnya
juga
ikut
mengalami
penurunan, ada
dua
hal
yang
perlu
ditinjau
lebih
lanjut
dari
penurunan tersebut, yaitu:
-
besar penurunan yang akan terjadi, dan
-
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai penurunan tertentu.
  
17
Tanah
pasir
sangat
mudah
melalukan
air
(permeabilitas tinggi)
sehingga
penurunan
berlangsung cepat
oleh
sebab
itu
pada
waktu
pembangunan di
atas
tanah
pasir
selesai
maka
penurunan
dapat
dianggap
selesai pula, kerena
itu penurunan yang terjadi pada tanah pasir
ini disebut
penurunan seketika
dan
dapat
dikatakan
pula
tidak
terjadi
penurunan
konsolidasi pada tanah pasir.
Sebaliknya
pada
tanah
lempung
yang
berpermeabilitas rendah,
tegangan
air pori
berlebih
memerlukan waktu
yang
lama
untuk
terdisipasi,
dengan demikian penurunan konsolidasi memakan waktu
yang sangat
lama.
Oleh
sebab
itu
Penurunan
Konsolidasi dapat dikatakan
hanya
terjadi
pada
lapisan tanah
lempung. Selain
masalah permeabilitas tanah, panjang lintasan
tempuh
air pori
untuk
’keluar’
juga
mempengaruhi kecepatan/waktu
yang
dibutuhkan lapisan tanah untuk mengalami Penurunan Konsolidasi.
Waktu
PASIR
Peningkatan
Tegangan Total, ?s
Tegangan
Air Pori, ?u
Peningkatan
Tegangan Efekrif, ?s'
t
=
0
LEMPUNG 
H
PASIR
?s
?u =
?s
?s'
=
0
PASIR
0
<
t
<
8
LEMPUNG
?u < ?s
?s' > 0
H
PASIR
?s
PASIR
t
=
8
LEMPUNG 
H
PASIR
?s
?u = 0
?s' =
?s
Gambar 2.8
Perubahan  Tegangan  saat  Konsolidasi  (Arah  Disipasi:
Atas-Bawah)
  
18
PASIR
LEMPUNG
KEDAP
Saat 
penambahan
beban 
terjadi 
maka, 
tegangan  tanah 
total
meningkat. Pada tanah jenuh air, tegangan total ini pertama dipikul oleh air
pori
sehingga
tegangan
air
pori
pada
elemen
tanah
meningkat. Bersamaan
dengan berjalannya waktu, tegangan air
pori
berlebih
terdisipasi dan terjadi
transfer
beban
dari
air
pori
ke
partikel tanah.
Tegangan yang
dipikul
oleh
partikel tanah
ini disebut tegangan tanah efektif
(Soil Effective Stress). Jadi,
selama
proses  konsolidasi
gaya
ditransfer
dari
air  pori
ke  partikel
tanah
seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8 dan Gambar 2.9. Akhir dari konsolidasi
adalah pada
saat
tegangan air pori
berlebih
sama
dengan
nol,
dan seluruh
beban telah dipikul oleh partikel tanah. Artinya semua beban sudah ditransfer
menjadi 
tegangan 
efektif. 
Kondisi   akhir 
ini 
disebut 
dengan 
Drained
Condition (Gouw, 2009).
Waktu
PASIR
Peningkatan
Tegangan Total, ?s
Tegangan
Air Pori, ?u
Peningkatan
Tegangan Efekrif, ?s
'
t = 0
LEMPUNG
H
KEDAP
?s
?
u
=
?s
?s
'
=
0
0 < t <
8
?u < ?s
?s' > 0
H
?s
PASIR
t = 
8
LEMPUNG
H
KEDAP
?s
?u = 0
?s' = ?s
Gambar 2.9 Perubahan Tegangan saat Konsolidasi (Arah Disipasi: Atas)
  
19
Teori Konsolidasi pertama
kali
dikemukakan oleh
Terzaghi
(1920-
1924) dengan asumsi:
-
konsolidasi 1 dimensi hanya terjadi pada arah vertikal,
-
lempung dalam keadaan jenuh air,
-
air tidak dapat ditekan (incompressible),
-
partikel tanah tidak dapat ditekan (incompressible),
-
berlaku Hukum Darcy,
-
deformasi tanah kecil,
-
permeabilitas tanah konstan, dan
-
kerangka  tanah 
pada 
tiap 
lapisan 
homogen  sehingga 
mengikuti
isotropic linier elastic constitutive law.
3.   Penurunan Sekunder (Secondary Settlement S
s
)
Penurunan   Sekunder   dikenal   pula   dengan   sebutan   Penurunan
Rangkak  (creep), terjadi  setelah  Penurunan  Konsolidasi.  Penurunan  ini
terjadi
akibat
penyesuaian butir-butir
tanah
pada
kerangka tanah
setelah
tegangan air pori berlebih terdisipasi sempurna (u =
0). Jadi,
selama proses
Penurunan Sekunder
ini
terjadi tidak ada perubahan tegangan efektif tanah.
Penurunan
Sekunder
pada
umumnya
berlangsung pada
waktu
yang
sangat
lama, karena itu agak sukar dievaluasi.
Total
Penurunan
merupakan
penjumlahan dari
ketiga
jenis
penurunan
tersebut di atas. Persamaan penurunan total ini diperlihatkan pada persamaan 2.1
dan digambarkan pada Gambar 2.10.
S total = S
i
+
S
c
+
S
............................................................................ (2.1)
  
   Penurunan, S
20
Ss, Penurunan Seketika
Waktu, t
Sc, Penurunan Konsolidasi
Ss, Penurunan Sekunder
Gambar 2.10
Tahapan Penurunan Tanah (Ground Settlement)
Tergantung dari jenis
tanah, pada
umumnya dari ketiga jenis penurunan
tanah  tersebut  hanya  salah  satu  jenis  yang  dominan
pada  suatu  jenis  tanah
tertentu, karena jenis penurunan yang lainnya ada kalanya terlalu kecil sehingga
dapat diabaikan (Das, 1988). Contohnya pada jenis tanah Lempung Non Organik
(Inorganic Clay), yang dominan terjadi adalah Penurunan Konsolidasi sedangkan
dua
jenis
penurunan
yang
lainnya
cenderung
sangat
kecil sehingga
sering
kali
dalam proses perhitungan keduanya diabaikan.
2.2.2.   Metode Uji Konsolidasi di Laboratorium
Untuk
memperoleh parameter-parameter tanah maka perlu dilakukan uji
laboratorium. Salah satu pengujian tanah
yang dilakukan di
laboratorium adalah
uji konsolidasi. Uji konsolidasi dilakukan
untuk memperoleh parameter properti
tanah
yang
berkaitan
dengan penurunan konsolidasi
yaitu
parameter
koefisien
konsolidasi (C
v
),
Indeks
Kompresi
(C
c
), Indeks
Rekompresi
(Cr), dan tegangan
prakonsolidasi ( s
p
' . Melalui uji konsolidasi juga dapat ditentukan kondisi tanah
). Melalui uji konsolidasi juga dapat ditentukan kondisi tanah
  
21
pada
lapisan
tanah
dasar,
apakah
Normally
Consolidated
atau
Over
Consolidated, yaitu dengan menentukan nilai tegangan prakonsolidasinya ( s
p
'
).
Uji konsolidasi menggunakan alat Oedometer, benda uji berupa sampel
tanah tak terganggu yang jenuh air dengan diameter benda uji 50-75 mm dan
tinggi benda uji 20-30 mm. Pada bagian atas dan bawah benda uji dipasang batu
pori sehingga air pori dapat keluar baik ke atas maupun bawah.
piezometer
tekanan
akses
arloji ukur
beban
batu pori
dibuat terendam
benda uji
batu pori
Gambar 2.11 Uji Konsolidasi Menggunakan Alat Oedometer
Melalui   uji   konsolidasi   maka   akan   diperoleh   parameter-parameter
properti tanah berdasarkan kurva yang dihasilkan yaitu sebagai berikut:
-
Penentuan Nilai Tegangan Prakonsolidasinya ( s
p
'
)
4
Void ratio, e
s
p
'
1
3
2
Log
'
Gambar 2.12 Kurva Hasil Uji Konsolidasi – Oedometer
v
  
22
Cara
penentuan
nilai
tegangan
prakonsolidasi
(
s
p
'
)
berdasarkan
Gambar 2.12 adalah sebagai berikut:
Gambar Garis 1 yang merupakan horizontal pada titik kelengkungan
maksimum kurva.
Gambar
Garis
2
yang
merupakan
tangen
titik
kelengkungan
maksimum kurva.
Gambar
Garis 3
merupakan
garis
bagi
sudut antara
garis
1
dan 2
(bisector line).
Gambar
Garis 4
yang
merupakan
garis
lurus pada kurva
e-log s
v
'
yang  memotong  garis  3  di  titik  pertemuan  tersebut  menunjukkan
tegangan prakonsolidasi, s
p
.
Garis
4
disebut
pula
dengan
sebutan
Virgin
Consolidation
Line (VCL)
atau Normal Consolidation Line yaitu
merupakan bagian
linier kurva e-
log s
v
'
yang telah melewati tekanan pra-konsolidasinya.
-
Penentuan Indeks Kompresi (Cc
)
dan Indeks Rekompresi (Cr)
Void ratio, e
C
1
Cc
1
Cr  
1
Log s
v
'
Gambar 2.13
Penentuan
Indeks
Kompresi
(Cc)
dan
Indeks
Rekompresi (Cr)
  
23
Sampel   tanah   akan   terbentuk   kembali   bila   mengalami   gangguan
sehingga, kadang-kadang, kurva konsolidasi perlu dikoreksi. Berikut
ini
merupakan
langkah-langkah
koreksi,   yang   juga   ditunjukkan   pada
Gambar 2.14:
Gambar
garis
horizontal
dari
e
sampai
berpotongan
dengan
garis
tegak  lurus  yang  merupakan  perpanjangan  dari
P'
o
.  Perpotongan
tersebut ditunjukkan oleh titik c.
Gambar  garis  c-a  yang  merupakan  paralel  dari  kurva  unloading
sampai berpotongan pada
titik b yang
merupakan perpanjangan dari
tegangan 
prakonsolidasi,
s
p
'
(pada 
gambar 
ditunjukkan 
dengan
symbol Pc).
Gambar garis b-d yang dimulai dari titik d (pada 0,4 e
o
)
menuju titik
b. Garis b-d tersebut disebut juga Virgin Compression Curve.
void ratio
eo
c
a
b
Virgin Compression Curve
2
1
Kurva Comp®ession
hasil Laboratorium
C
c
0,4
eo
1
Kurva Recompression
hasil Laboratorium  
g
3
C®
f
1
d
Po
Pc
tekanan,
p
(skala log)
Gambar 2.14 Koreksi dari Kurva Konsolidasi
  
24
Sebagai
indikasi
awal
dapat digunakan
korelasi
empiris
yang
dikembangkan
melalui
percobaan-percobaan terhadap jenis-jenis
tanah
tertentu.
Sedangkan
untuk
mendapatkan
nilai
parameter properti konsolidasi yang lebih
akurat dapat dilakukan dengan cara menganalisa balik dari kasus yang telah ada.
Tabel 2.1
berikut
merupakan beberapa korelasi empiris yang dapat digunakan
untuk menentukan nilai indeks kompresi (Cc).
Tabel 2.1
Korelasi Empiris Penentuan Nilai Indeks KompresiCc
Persamaan
Keterangan
Referensi
Cc
=
0,009(LL
-
10)
Untuk Lempung Tak Terganggu
Terzaghi dan Peck (1967)
Cc
=
0,007(LL -
10)
Untuk Lempung Terbentuk
Kembali
2,38
Cc
=
0,141Gs
?
1
+
e
0
?
Gs 
?
?
?
Rendon – Herrero (1983)
Cc
=
0,2343
?
LL(%)
?
Gs
100  
?
?
?
Nagarj dan Murthy (1985)
Cc = 0,007(LL - 7)
Untuk Lempung Terbentuk
Kembali
Skempton
Cc =
0,0046(LL
-
9)
Lempung Brazillian
Cc = 0,01 ?
n
Lempung Chicago
?
n
=
kadar air alami
Cc = 0,0115 ?
n
Gambut, lanau organic, dan
lempung
Cc
=
1,15
(e
-
0.27
)
Lempung pada umumnya
Nishida
Cc = 0,30
(
e
-
0.27
)
Tanah kohesif non organik, lanau,
lempung berlanau, lempung
Hough
Cc =
0,75
(
e
-
0.5
)
Tanah berplastisitas rendah
Cc =
0,208 e
+
0.0083
Lempung Chicago
Cc =
0,156 e
+
0.0107
Lempung pada umumnya
(sumber : Gouw, 2009)
Sedangkan
untuk
penentuan
indeks  rekompresi  (Cr)
dapat  digunakan  dengan
mengambil seperlima sampai sepersepuluh dari indeks kompresi (Cc
).
˜
1
to
1
.................................................................................................(2.2)
r
C
c
5
10
  
25
Atau dengan menggunakan pendekatan Nagarj dan Murthy (1985) berikut ini,
?
=
0,0463
LL(%)
?
Gs .................................................................................(2.3)
r
?
?
100 
?
?
dimana:
LL = Batas cair (Liquid limit)
Gs = Spesific gravity
Selain
itu
beberapa
nilai
tipikal
indeks
kompresi
dan
indeks
rekompresi
dari
beberapa jenis tanah disajikan dalam Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2
Nilai dari Indeks Kompresi dan Indeks Rekompresi
Jenis Tanah
Liquid Limit
Plastic Limit
Cc
Cr
Lempung Boston Blue
41
20
0,35
0,07
Lempung Chicago
60
20
0,40
0,07
Lempung Ft. Gordon,
Georgia
51
26
0,12
Lempung New Orleans
80
25
0,30
0,05
Lempung Montana
80
28
0,21
0,05
(sumber : Gouw, 2009)
Selain
indeks kompresi, indeks rekompresi dan
tegangan prakonsolidasi
(
s
p
'
nilai 
Koefisien 
Konsolidasi 
(C
v
juga 
dapat 
diperoleh 
melalui 
uji
konsolidasi dengan menggunakan oedometer (persamaan 2.4).
C
v  
=
k
?
·
m
v
....................................................................................................(2.4)
dimana:
C
v
= koefisien konsolidasi
k
= koefisien permeabilitas tanah
  
26
?
= berat jenis air
m
v
= koefisien kompresibilitas volume
Selain
dengan menggunakan persamaan
2.4 nilai Koefisien Konsolidasi
dapat dicari dengan menggunakan metode grafis. Ada dua metode grafis yang
umum digunakan, yaitu:
-
Metode
logaritma
dari
waktu,
yang
dikenal
pula
dengan
nama
Metode
Cassagrande (Cassagrande dan Fadum, 1940) seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.15.
Buat grafik deformasi sampel terhadap log dari waktu.
Perpanjang
garis
lurus dari bagian konsolidasi primer dan sekunder
sehingga untuk berpotongan pada titik A. Titik A tersebut merupakan
letak dari d
100
,
yaitu deformasi
yang terjadi saat konsolidasi primer
telah berlangsung 100% (?u = 0).
Bila  di  plot  dalam 
skala 
normal  (bukan  skala  logaritma) 
maka
lengkung
awal
kurva
deformasi
dapat
didekati
dengan
persamaan
parabolik.
Pada
bagian
awal
kurva tersebut. Pilih
t1
dan
t2
secara sembarang
sedemikian 
sehingga 
t2  
4t1   (misalkan 
ambil 
t1  
menit,
t2 = 8 menit), dan beri
nama pada jarak deformasi
vertikal antara t1
dan t2, yaitu x.
Gambar
garis
horizontal
DE
sedemikian
rupa
hingga
garis
vertikal
BD
sama
dengan
x. Deformasi
yang
terbaca
oleh
garis
DE
disebut
pula d
0
yaitu deformasi yang terjadi saat konsolidasi 0%.
  
   Deformasi (bertambah)  2 2
27
0
d
50 
1
2
(
d
+
d
100
) hal ini sesuai dengan t
, hal ini sesuai dengan t
50
,
waktu saat konsolidasi
50%.
d
D
E
B
d50
d100
C
d
50 
1
2
(
d
+
d
100
)
F
A
t1
t2
t50
Waktu (skala log)
Gambar 2.15 Metode Logaritma dari Waktu
C
=
T
v(50)·
H
dr
t
50
=
0,197  · H
dr
t
50
...........................................................(2.5)
dimana:
t
50
=
waktu saat konsolidasi 50%
T
v(50)
=
faktor
waktu
saat
konsolidasi
50%,
tergantung
derajat
konsolidasi
H
dr
=
panjang maksimum lintasan drainase
  
     Deformasi (bertambah) 2
28
2
-
Metode akar dari waktu, yang dikenal pula dengan nama Metode Taylor
(Taylor, 1942), seperti yang ditunjukkan Gambar 2.16.
Buat grafik deformasi sampel terhadap akar kuadrat dari waktu.
Gambar garis AB melalui bagian awal dari kurva.
Gambar
garis
AC
yang
jaraknya
OC=1,15
OB.
Absis
dari titik
D,
yang
merupakan perpotongan dari
garis
AC dan kurva
konsolidasi
adalah merupakan akar kuadrat waktu untuk konsolidasi 90%,
t
90 
.
A
t
90
D
0
B
C
Waktu (akar kuadrat)
Gambar 2.16 Metode Akar Kuadrat dari Waktu
C
=
T
v(90)
·
H
dr
t
90
=
0,848
·
H
dr
t
90
...........................................................(2.6)
dimana:
t
90
=
waktu saat konsolidasi 90%
T
v(90)
=
faktor
waktu
saat
konsolidasi
90%,
tergantung
derajat
konsolidasi
H
dr
=
panjang maksimum lintasan drainase
  
 2
29
2.2.3.   Metoda Perhitungan Penurunan Konsolidasi
a.
Waktu Konsolidasi
Waktu
yang
diperlukan
tanah
untuk
terkonsolidasi disebut
waktu
konsolidasi.  Waktu 
konsolidasi 
merupakan 
parameter 
penting 
dalam
memprediksi
Penurunan
Konsolidasi.
Yang
mempengaruhi waktu
konsolidasi
adalah
panjang
lintasan
yang
dilalui
air
pori
untuk
terdisipasi, pada
tanah
umumnya
aliran disipasi
air pori
berlebih
terjadi
pada arah
vertikal.
Perkiraan
lamanya
waktu
konsolidasi di
lapangan dihitung
dengan
menggunakan
rumus
sebagai berikut:
t
=
Tv.H
Cv
...........................................................................................(2.7)
dimana :
T
v
=
faktor waktu, tergantung dari derajat konsolidasi
H
=
panjang maksimum lintasan drainase
C
v
=
koefisien konsolidasi
t
=
waktu konsolidasi
b.
Panjang Lintasan Drainase
Panjang lintasan drainase ada 2 kondisi:
-
Air pori terdisipasi ke satu arah
Hal ini disebabkan karena lapisan porous hanya terletak pada satu sisi.
-
Air pori terdisipasi ke dua arah
Hal  ini  disebabkan  karena  lapisan  porous  hanya  terletak  pada  dua  sisi,
sehingga air pori dapat mengalir ke atas maupun bawah.
  
 Dua Arah   Satu Arah  Drainase Drainase Drainase Satu Arah
30
Tembus Air
2 Hd
Tembus Air
Kedap
Hdr
Tembus Air
Tembus Air
Hdr
Kedap
(a)
(b)
Gambar 2.17 Panjang Lintasan Drainase Satu Arah (a) dan Dua Arah (b)
c.
Normally Consolidated dan Over Consolidated
Dalam
perhitungan Penurunan
Konsolidasi dikenal
dua
istilah
yaitu
Normally
Consolidated
dan
Over
Consolidated,
kedua
istilah
ini
dipakai
untuk
menggambarkan sifat historis lapisan tanah (lempung endapan) tersebut. Lapisan
tanah  setelah  mengendap
maka  akan  mengalami  konsolidasi  dan  penurunan
akibat berat sendiri tanah maupun tekanan dari
lapisan-lapisan yang dikemudian
hari
mengendap diatasnya,
yang dikenal
juga dengan
istilah
Pre-consolidation
Pressure ( s
p
'
).
Seiring berjalannya waktu maka lapisan tanah tersebut dapat pula terkikis
oleh kejadian
geologi, seperti erosi, abrasi
maupun
mencairnya gletser.
Artinya
lapisan tanah bawah pada suatu saat dalam sejarah geologinya pernah mengalami
konsolidasi akibat
tekanan
yang
lebih
tinggi
daripada
tekanan
yang
berlaku
dimasa  sekarang  ( s
vo
'
). 
Lapisan  semacam 
ini  disebut  Over Consolidated
(
s
p
'
>
s
vo
' . Sedangkan lapisan yang belum pernah mengalami tekanan diatasnya
). Sedangkan lapisan yang belum pernah mengalami tekanan diatasnya
  
31
lebih tinggi dari pada tekanan yang berlaku dimasa sekarang disebut Normally
Consolidated ( s
p
'
˜
s
vo
'
) (Wesley, 1977).
d.
Regangan Vertikal ( e
v
)
Pada
saat
permukaan tanah
lunak
yang
luas
diberi
beban
maka
dalam
jangka 
waktu 
tertentu 
akan 
terkonsolidasi,  yang 
pada 
akhirnya 
akan
menyebabkan
terjadinya
penurunan
(
?H ),  seperti  ditunjukkan
pada  Gambar
2.18. Perbandingan antara besarnya penurunan yang terjadi dengan tinggi tanah
sebelum
mengalami penurunan (H
o
)
disebut dengan regangan
vertikal rata-rata
(
e
v
) seperti tertuang dalam Persamaan 2.8.
?s
?s
PASIR
 
?H
 
PASIR
LEMPUNG
JENUH AIR
waktu t =0
H
o
e
=
eo
LEMPUNG
JENUH AIR
waktu t =
8
e
=
eo - ?e
TANAH KERAS
TANAH KERAS
Gambar 2.18
Penurunan pada Tanah Terkonsolidasi
Regangan vertikal rata-rata juga merupakan perbandingan dari selisih
antara
angka
pori
asli
(e
o
) dan
angka
pori
setelah
mengalami
konsolidasi
(e)
dengan satu ditambah angka pori asli, Persamaan 2.9.
?
H
e
=
H
o
.............................................................................................(2.8)
  
32
lebih tinggi dari pada tekanan yang berlaku dimasa sekarang disebut Normally
o
v
v
1
+
e
1
+
e
o
Apabila 
Persamaan 
2.8  dibandingkan 
dengan 
Persamaan 
2.9 
maka
didapatkan Persamaan 2.10:
=
?H
=
H
o
?e
1
+
e
o
?
H
=
?e
1
+
e
o
H
.................................................................................(2.10)
?H = Sc
Persamaan 2.10 inilah yang disebut dengan Penurunan Konsolidasi (Sc),
dimana:
e
v
=
regangan vertikal
? = besar penurunan
H
o
=
tinggi awal tanah sebelum mengalami konsolidasi
e
=
angka pori sebelum konsolidasi
e
o
=
angka pori setelah konsolidasi
e.
Koefisien Kompresibilitas Volume (m
v
)
Setiap
terjadi
peningkatan
tekanan
maka  akan  timbul
regangan
volumetrik dalam
elemen
tanah
lempung,
hal
ini
disebut
Koefisien
Kompresibilitas Volume.
Regangan Volumetrik
(?e
)
adalah perbandingan antara perubahan volume
dengan volume awal.
  
33
?
?
?e =
?V
=
V
o
?e
1
+
e
o
............................................................................(2.11)
m  
?e
?V
=
V
o
?    
?e 
?
?
?
1
+
e
=
v
?s
m
·
?s
=
?s
?e
1
+
e
?s
...............................................................................(2.12)
o
Apabila disubtitusikan ke Persamaan 2.10 menjadi,
S
c
=
m
·
?s
·
H
...............................................................................(2.13)
dimana:
?V 
=
Besarnya perubahan volume
V
o
=
Volume awal
?s
=
Besarnya peningkatan tekanan
Besarnya  nilai 
m
v  
dapat  ditentukan  dari 
grafik  yang  dimuat  dalam
Gambar 2.19.
s'
Gambar 2.19 Grafik Penentuan Nilai m
v
(sumber : Diktat Kuliah Mekanika Tanah)
  
34
m
v
dapat ditentukan pula dari korelasinya dengan Cc:
m
?
Cc
?
×
1
=
?
2,3(1
+
e)
?
.......................................................................(2.14)
P
?
?
Di
Negara
Eropa
dan
pada
beberapa Perangkat
Lunak,
seperti
Plaxis,
tidak mengenal istilah m
v
namun menggunakan
1
,
hal ini bertolak dari Hukum
E
Hooke
yang berbunyi pertambahan panjang ( ?L ) sebanding dengan hasil kali
?
P
?
panjang  benda  mula-mula  (L)  dengan  Gaya  per  satuan  Luas 
?
?
,  dibagi
?
A
?
Modulus Elastisistasnya (E), ditunjukkan dalam Persamaan 2.14.
?L =
PL
AE
..........................................................................................(2.15)
apabila diturunkan maka akan menjadi,
?L
=
P
·
1
sedangkan,
L
E
?e =
?L
L
dan ?s =
P
A
sehingga,
?e
=
?s
·
1
E
?s
=
E
·
?
e
.......................................................................................(2.16)
Melalui pembahasan sebelumnya diketahui bahwa,
m   =
?e
v
?s
?s =
?e
m
v
?s
=   
1
m
v
·
?e ....................................................................................(2.17)
  
 s
35
dari Persamaan 2.15  dan 2.16 dapat diketahui bahwa,
E
=   
1
m
v
1
sehingga,
m
=
E
.............................................................(2.18)
f.
Konsolidasi Satu Dimensi
Dalam
bukunya
Gouw
(2008)
mengatakan,
pada
saat
beban diletakkan
pada
permukaan
tanah
yang
sangat
luas,
dibandingkan dengan
ketebalan dari
tanah yang berkonsolidasi, maka deformasi
hanya dapat terjadi dalam satu arah,
dan secara teoritis
tidak akan ada deformasi
lateral.
Inilah yang dikenal dengan
Konsolidasi Satu Dimensi (One Dimensional Consolidation), sebuah simplifikasi
untuk memecahkan permasalahan konsolidasi.
Untuk
Normally
Consolidated
Clay
perhitungan dihitung
dengan
menggunakan indeks kompresi (Cc), seperti yang tergambar pada Gambar 2.20
serta dapat dihitung dengan persamaan 2.19 berikut ini:
Cc
s
'
+
?s
'
S
c
=
H
·
1
+
e
o
·
log
   
vo 
'
vo
.........................................................(2.19)
dimana:
H
o
=
tebal tanah yang akan terkonsolidasi
Cc
=
compression index
e
o
=
void ratio
'
s
vo
=
tegangan overburden
?s
'
=
besarnya peningkatan tekanan/beban
  
36
kondisi
e
o
awal
?e
C
c
1
e
1
 
 
 
svo
'
s
'1
=
svo
'
+
?s
log sv'
Gambar
2.20
Perhitungan
Penurunan
Konsolidasi
pada
Normally
Consolidated Clay
Sedangkan
untuk
over
consolidated
clay
perhitungan
dihitung
dengan
menggunakan indeks kompresi (Cr) serta dibedakan menjadi dua, yaitu:
-
Kondisi s
vo
'+?s'  < s
p
'
S
c
=
H
o
· 
Cr
1
+
e
o
·
log
s
vo
'
+
?s'
s
vo
'
...........................................................(2.20)
kondisi
eo
awal
?e
C
r
    1
e¹
sp'
svo'
s'1
=
svo' + ?s
log sv'
Gambar 2.21
Perhitungan
Penurunan Konsolidasi
pada Over Consolidated
Clay untuk Kondisi s
vo
'
+
?s'  < s
p
'
  
37
c
-
Kondisi s
vo
'
+
?s'  > s
p
'
S
Cr · H
·
log
s
p
'
+
Cc · H
·
log
s
vo
'+?s'
.................................(2.21)
1
+
e
o
s
vo
'
1
+
e
o
s
p
'
kondisi
e
o
awal
?e
oc
C
r
  1
e
p
?
e
nc
e
1
sp'
svo
'
sp'
s'1 = s
vo
'
+
?s
log sv
'
Gambar 2.22
Perhitungan
Penurunan Konsolidasi
pada Over Consolidated
Clay untuk Kondisi s
vo
'
+
?s'  > s
p
'
g.
Metoda Asaoka
Pada
awal
proyek
perbaikan
tanah, penurunan
akhir
belum
diketahui
sehingga harus diestimasi. Untuk mengestimasi besarnya penurunan akhir yang
terjadi
salah
satunya
dengan
menggunakan Metode Asaoka. Metode Asaoka
merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk memprediksi waktu
dan besarnya penurunan primer yang akan datang berdasarkan data-data waktu
dan penurunan yang telah terjadi.
Metode Asaoka merupakan metode yang
banyak digunakan untuk memprediksi penurunan akhir yang akan terjadi karena
kesederhanaannya,  pada 
Metode 
Asaoka 
tidak  perlu 
dilakukan 
penentuan
properti tanah atau pun mengukur perilaku tekanan pori di lapangan.
  
 Penurunan
38
Berikut   ini   merupakan   langkah-langkah   dalam   prediksi   penurunan
menggunakan Metode Asaoka:
Gambar   kurva   waktu   –   penurunan,   kemudian   bagi   bagian   yang
melengkung menjadi beberapa jarak dengan besaran tengang waktu yang
sama (
?
t), diperoleh waktu penurunan (t1
, 2, t3 .... t
t2, t3 .... t
n
,
t
n+1
).
Tarik garis
tegak
lurus dari titik-titik waktu hingga berpotongan dengan
kurva   beban   –   penurunan   yang   ada   sehingga   diperoleh   besarnya
penurunan (S
1
,
S2
,
S3
.... S
n
,
S
n+1
), lihat Gambar 2.20.
?
t
?
t
?
t
Waktu
t¹
t²
t3
tn
tn
+1
S¹
S²
S³
Sn
Sn+1
Gambar 2.23 Perolehan Besarnya Penurunan - Metode Asaoka
Kemudian nilai penurunan yang diperoleh dalam S
diplot terhadap S
n+1
dalam suatu grafik.
Tarik garis lurus yang melewati titik-titik penurunan (S
n
vs S
n+1
)
tersebut
sehingga
berpotongan
dengan
garis
45
o
perpotongan
tersebut
  
39
menunjukkan nilai penurunan akhir, lihat Gambar 2.21. (Catatan: Pada
saat
nilai
Sn
=
Sn+1,
tidak
lagi terjadi
penurunan,
artinya
penurunan
konsolidasi sudah berakhir.
Titik ini tercapai digaris yang bersudut 45
o
yaitu garis dimana Sn = Sn+1 ).
S
n+1
S
akhir
S
5
S4
S³
S²
45°
S¹
S²
S
3  
S
4
S
n
Gambar 2.24 Penentuan Nilai Penurunan Akhir - Metode Asaoka
2.2.4.   Metode
Perbaikan
Tanah
untuk
Mempercepat
Penurunan
Konsolidasi
a.
Preloading
Dalam Pekerjaan
Perbaikan
Tanah
Lunak
dikenal
Teknik Preloading.
Preloading  adalah beban sementara (surcharge) yang diletakkan pada suatu
lahan konstruksi, yang berfungsi untuk memperbaiki kondisi daya dukung tanah
dasar  di  mana  konstruksi  akan  didirikan.  Preloading yang  paling  sederhana
adalah dengan menggunakan tanah timbunan (embankment) seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.25.
  
                                                                                           Penurunan Beban
40
beban tambah
preloading
proses
konsolidasi
Gambar 2.25 Proses Preloading
Pada tanah lempung jenuh air ketika beban timbunan (surcharge)
diletakkan diatas tanah lunak, pada awalnya beban akan dipikul oleh air pori,
kemudian seiring berjalannya waktu maka tegangan air pori berlebih akan
terdisipasi keluar (mengalami konsolidasi). Perbandingan Waktu dan Penurunan
Tanpa Preloading dan dengan Preloading terlihat pada Gambar 2.26.
?
q
=
surcharge/preload
q
tq+?q
Waktu t
tq
Sq
Sq+?q
S
rencana
Gambar 2.26
Perbandingan
Waktu dan
Penurunan
Tanpa Preloading dan
dengan Preloading
  
41
Durasi  Preloading
dengan 
timbunan 
umumnya  berkisar 
antara 
tiga
sampai delapan bulan
mulai dari awal penempatan surcharge sampai surcharge
diangkat, meskipun ada kondisi tertentu dimana hanya dibutuhkan waktu enam
minggu  untuk  pekerjaan
preloading  atau  pun  dapat  pula  berjalan  sebaliknya
yaitu sampai tiga tahun.  Menurut Stapelfeldt (2006), beban tambahan sementara
dapat
diangkat
ketika
penurunan
diperkirakan melebihi
penurunan
akhir
yang
dapat
dicapai
tanpa
menggunakan preloading,
namun
ini
sebaiknya
tidak
dilakukan sebelum tegangan pori berlebih berada di bawah peningkatan tegangan
yang disebabkan oleh beban sementara.
Dalam preloading
menggunakan
timbunan,
agar
sesuai
dengan
besar
penurunan konsolidasi yang akan dicapai
maka beban timbunan direncanakan
dengan ketinggian tertentu. Tinggi timbunan pada umumnya adalah 3 – 8 meter
dengan penurunan yang terjadi umumnya
berkisar 0,3 –
2,0 meter
(Stamatopoulos, 1985).
Ada beberapa syarat menurut Stamatopoulos (1985), yang menentukan
apakah suatu lahan dapat dilakukan perbaikan tanah menggunakan teknik
preloading atau tidak, seperti:
tersedia
lahan
tambahan
yang cukup
luas
untuk
mengakomodir
sekitar
10 meter atau lebih diluar perimeter struktur rencana,
tersedia material timbunan,
adanya
alat angkut
material timbunan,
yang
tentu saja
material tersebut
dalam volume yang sangat besar, dan
  
42
adanya  penangannya 
yang  baik  dari  Owner maupun  Engineer yang
mengerjakannya.
Preloading dikatakan berhasil bila:
tidak ada retak maupun kelongsoran di bagian dasar selama preloading
maupun selama akhir pengoperasian struktur,
durasi preloading sesuai dengan jadwal rencana konstruksi,
tidak ada kerusakan pada struktur yang berdampingan,
tidak mengganggu lingkungan disekitarnya dengan debu, kebisingan, dan
lain sebagainya yang ditimbulkan dari pekerjaan perbaikan tanah dengan
metode preloading ini,
penurunan yang terjadi masih dalam rentang batas toleransi yang ada,
biaya yang dikeluarkan sesuai dengan yang direncanakan.
Hal 
lain 
yang 
perlu  diperhatikan 
dalam 
teknik 
preloading 
dengan
menggunakan timbunan yaitu daya dukung tanah dasar. Ada dua hal yang dapat
dilakukan untuk menghindari terjadinya kelongsoran, yaitu:
1.   pemberian timbunan secara bertahap, dan
2.   pemberian timbunan secara counter weight.
tahap
3
tahap
2
tahap
1
(
a
)
(
b
)
Gambar 2.27
Pemberian Preloading secara Bertahap (a) dan secara Counter
Weight (b)
  
43
Langkah
awal
dalam Pekerjaan
Perbaikan
Tanah
adalah
dengan
melakukan penyelidikan lokasi yang ada untuk mengetahui kondisi umum lokasi.
Data-data dari penyelidikan lokasi yang diperlukan adalah:
kondisi lapisan tanah,
komposisi dan properti dari setiap lapisan,
batas terdasar dari tanah yang kompresibel, dan
ketinggian muka air tanah
b.
Preloading dengan Vertical Drains
Tanah lempung memiliki permeabilitas yang sangat kecil, oleh karena itu
memerlukan waktu yang sangat lama
untuk terkonsolidasi sempurna bahkan
dengan preloading yang sangat besar sekalipun. Agar konsolidasi berjalan sesuai
jadwal
proyek
yang
ada
maka
salah
satu
cara
yang
lazim digunakan
untuk
mengatasinya adalah dengan menggunakan vertical drains yang dikombinasikan
dengan preloading, sehingga tegangan air pori berlebih yang terdisipasi keluar
dapat bergerak ke atas lebih cepat, dan waktu konsolidasi dapat berjalan lebih
singkat dibandingkan dengan
preloading
tanpa
vertical drain,
seperti
yang
ditunjukkan pada Gambar 2.28.
  
               Penurunan Beban
44
?
q
=
beban
tambah
(surcharge/preload)
=
beban
rencana
tq+?q
Waktu t
tq
S
q
S
q+
?
q
S
rencana
 
      
 
      
Vertical Drains
Gambar  2.28  Perbandingan  Waktu  dan 
Penurunan  Tanpa  Preloading,
dengan Preloading, dan dengan Vertical Drains
beban tambah
preloading
Gambar 2.29 Proses Preloading dengan Vertical Drains
Gambar 2.29 menunjukkan, Vertical Drains secara artifisial menciptakan
jalur drainase sehingga air pori yang keluar selama proses konsolidasi dapat
keluar lebih cepat ke arah horizontal untuk kemudian menuju atas (arah vertikal).
  
45
Hal
ini
sangat
efektif
karena
pada
tanah
lempung
permeabilitas
arah
horizontalnya lebih besar dibandingkan arah vertikal.
2.2.5.   Vertical Drains
Vertical
Drains
pada
awalnya
berupa
kolom-kolom pasir
vertikal
yang
mudah
mengalirkan
air
yang
dikenal
dengan
nama sand
drains.
Dalam
perkembangan lebih lanjut, ditemukan prefabricated vertical
drains
yang
merupakan  salah  satu  produk  geosintetik  yang  dikenal  juga  dengan  sebutan
wick drain”.
Sand
Drains
banyak digunakan di Jepang dan Asia dimana
tanah
pada
daerah
tersebut
umumnya
berupa
tanah lunak.
Menurut
Holtz
et
al.,
(1991),
diameter
Sand Drains
berkisar antara 0,15 –
0,60 meter dengan panjang
maksimum 30 – 35
m. Sand Drains pada dasarnya merupakan lubang hasil bor
pada tanah yang kemudian diisi pasir metode pelaksanaan pekerjaan sand drains
adalah sebagai berikut (Japanese Geotechnical Society, 1998):
1.   Digunakan 
alat 
vibrator 
dengan 
susunan 
sebagai 
berikut: 
vibrator,
corong/hupper, casing, dan sepatu (Gambar 2.30).
Gambar 2.30 Susunan Alat Pemasangan Sand Drains
(sumber : Japanese Geotechnical Society, 1998)
  
46
2.   Pada posisi di permukaan tanah, sepatu casing dalam kondisi tertutup.
3.   Kemudian
rangkaian
alat
tersebut
dimasukkan
ke dalam
tanah dengan
cara penggetaran oleh vibrator yang ada sampai kedalaman yang telah
direncanakan.
4.   Setelah sampai kedalaman rencana kemudian corong mulai diisi pasir.
5.   Kemudian  rangkaian  alat  tersebut  ditarik  ke 
atas, 
umumnya  sejauh
±
80 cm, pada saat ini sepatu otomatis terbuka. (Dalam kondisi demikian
umumnya
terjadi
kondisi
vakum pada rongga
udara pada
bagian
badan
casing
yang
belum terisi pasir,
hal ini
menyebabkan
pasir
tidak dapat
turun. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan memberi udara
kebadan casing tersebut dengan mengunakan kompresor.)
6.   Pasir akan turun ke lubang, casing diisi kembali dengan pasir.
7.
Langkah 5 dan 6 seterusnya dilaksanakan
sampai pasir rata dengan
permukaan   
tanah.   
Langkah-langkah    tersebut   
ditunjukkan    pada
Gambar 2.31.
Gambar 2.31 Metode Pelaksanaan Pekerjaan Sand Drains
(sumber : Japanese Geotechnical Society, 1998)
  
47
Penggunaan
prefabricated
vertical
drains
akhir-akhir
ini lebih
sering
digunakan karena miliki banyak keuntungan dibandingkan dengan menggunakan
sand drains, diantaranya:
-
Gangguan pada tanah yang diakibatkan pada saat pemasangan lebih kecil.
-
Waktu yang dibutuhkan saat kontrol kualitas lebih cepat.
-
Kualitas
dari
prefabricated
vertical
drains
cenderung
seragam,
karena
dibuat di pabrik.
-
Kontaminasi
butiran
halus
tanah asli
yang
menyebabkan
terhambatnya
aliran air jauh lebih kecil.
-
Tahan
terhadap deformasi besar tanpa
terlalu banyak kehilangan
fungsi
drainase.
-
Pemasangan lebih cepat dan lebih ekonomis.
preloading
hamparan pasir
prevabricated
vertical
drain
Gambar 2.32 Preloading dengan Prefabricated Vertical Drains
Gambar
2.32
menunjukkan
sistem perbaikan tanah
lunak
menggunakan
preloading
dengan
prefabricated vertical
drains.
Lapisan
hamparan
pasir
diperlukan  untuk  mengalirkan  air  pori  berlebih  yang  keluar  melalui  vertical
drain dari dalam tanah di antara preloading dengan tanah dasar.
  
48
Ukuran prefabricated vertical drains yang umum digunakan adalah lebar
100  mm,  dengan  3  –  7  mm  ketebalannya.  Secara  garis  besar  prefabricated
vertical
drains
terdiri
dari
bagian
luar
sebagai
filter
dan
bagian
inti
sebagai
tempat air pori mengalir; dengan bahan dominan adalah polimer (Gambar 2.33).
Gambar 2.33 Bagian Prefabricated Vertical Drains
Gambar 2.34 Proses Instalasi Prefabricated Vertical Drains
)
  
49
Instalasi
prefabricated vertical
drains
menggunakan
alat
bantu
yaitu
mandrel,
yang
berfungsi
sebagai casing.
Gambar
2.35
menunjukkan
contoh
penampang
mandrel
dan
contoh
prefabricated vertical
drains.
Dimensi
dari
prefabricated vertical drains dan mandrel lebih kecil bila dibandingkan dengan
sand  drain, sehingga tingkat gangguan tanah yang disebabkan oleh ukuran
batang selama instalasi lebih rendah.
Gambar 
2.35 
Contoh 
Penampang  Mandrel 
dan  Contoh 
Prefabricated
Vertical Drains
Di
ujung
mandrel
terdapat anchor
plate (jangkar)
yang terbuat
dari
sepotong kecil logam (Gambar 2.36). Tujuan anchor plate tersebut adalah untuk
mencegah
tanah agar
tidak
masuk
ke
dalam mandrel
sehingga
tersumbat saat
penetrasi.
Gambar 2.36 Sistem dan Prosedur Penjangkaran Wick Drain
  
 2
50
2.2.6.   Teori dan Perencanaan Vertical Drains
a.
Waktu Konsolidasi pada Tanah dengan Vertical Drains
Tanpa
vertical
drains
waktu
konsolidasi tanah
lempung
lunak
dihitung
dengan Persamaan 2.7:
t
=
Tv.H
Cv
H
yang merupakan panjang drainase merupakan fungsi kuadrat, sehingga apabila
panjang drainase dapat diperpendek maka
konsolidasi makin cepat. Adanya
vertical drains waktu konsolidasi
menjadi
lebih pendek, karena vertical drains
memperpendek panjang drainase yang ditempuh air pori menuju lapisan porous,
yaitu air pori terutama
akan mengalir ke arah horizontal untuk
menuju vertical
drains selain ke arah vertikal. Oleh karena itu rumus waktu konsolidasi menjadi
seperti Persamaan 2.22 berikut:
·
D
2
t  
      h 
......................................................................................(2.22)
c
C
h
dimana :
tc
= waktu konsolidasi yang dipengaruhi oleh drainase arah radial
T
h
= faktor waktu untuk drainase arah radial (horizontal)
D
= diameter zona pengaruh satu drain
C
h
=
koefisien konsolidasi dengan drainase arah radial
b.
Derajat Konsolidasi pada Desain Vertical Drains
Derajat konsolidasi digunakan sebagai salah satu kriteria dalam
menilai
keefektifan pekerjaan perbaikan
tanah dengan
menggunakan
timbunan.
Hal
ini
  
51
juga
sering
digunakan
sebagai
spesifikasi desain.
Derajat konsolidasi biasanya
dihitung sebagai perbandingan penurunan yang terjadi saat ini dengan penurunan
akhir.
Apabila proses konsolidasi selesai maka dikatakan derajat konsolidasinya
telah mencapai 100% atau Uv = 100%. Pada saat itu secara teoritis penurunan
telah berhenti dan besarnya penurunan telah maksimum sebesar Sc.
Jika suatu saat pada waktu (t) diketahui besarnya penurunan konsolidasi
adalah St, maka derajat konsolidasinya adalah:
Uv =
S
×
100% ...............................................................................(2.23)
S
c
Jadi,  Uv  =  50% 
memiliki  artian  pada  saat 
itu  penurunan  baru  mencapai
St = 50% Sc , sedangkan waktu untuk mencapai St = 50% Sc disebut t
50
.
Dengan
adanya
Vertical
Drains,
maka tegangan
air
pori
berlebih akan
terdisipasi
dalam
dua
arah,
yaitu
arah
vertikal
dan
arah
horizontal,
sehingga
Derajat Konsolidasi, U, dapat dikalkulasi melalui persamaan berikut:
U
=
1
-
(1
-
U
h
)(1
-
U
v
)
...................................................................(2.24)
dimana :
U
v
= derajat konsolidasi berdasarkan drainase arah vertikal (dalam desimal)
U
h
= derajat konsolidasi berdasarkan drainase arah horizontal (dalam desimal)
Pada  pendesainan  penentuan  besarnya  derajat  konsolidasi  berdasarkan
drainase arah vertikal (U
v
)
dapat diperoleh dengan cara-cara berikut:
-
Cara Terzaghi (Gouw, 2008)
Untuk 0% = U
v
=
53% maka digunakan Persamaan 2.25,
  
 2
52
T
=
0,25 p (Uv/100)
.........................................................................(2.25)
sedangkan untuk 53% = U
v
=
100% digunakan Persamaan 2.26 berikut,
T
=
1,781
-
0,933
{log(100
-
U
v
)
}
......................................................(2.26)
Nilai U
v
yang didapat dalam persen (%).
-
Cara Sivaram dan Swami (Gouw, 2008)
T
?
4  
?
0,5
?
?
 
?
 
p
?
U
=
?
?
2,8
?
0,179
?
.....................................................................(2.27)
T
?1
+
?
4  
?
?
?
?
?
p
?
?
?
Nilai U
v
yang didapat dari Persamaan 2.27 adalah dalam desimal.
c.
Faktor Waktu
Dengan diperolehnya nilai derajat konsolidasi
arah
vertikal
maka
faktor
waktu (T
v
)
dapat ditentukan dengan cara-cara berikut ini:
-
Variasi derajat konsolidasi dengan faktor waktu dan z/H
dr,
dimana:
z = kedalaman
Hdr = jarak lintasan drainase
  
         Drainase Satu Arah Drainase Satu Arah Drainase Satu Arah Drainase Satu Arah
53
Gambar 2.37 Variasi Derajat Konsolidasi dengan Faktor Waktu dan
z/H
dr
(sumber : Diktat Kuliah Mekanika Tanah)
-
Hubungan derajat konsolidasi dengan
faktor waktu untuk variasi derajat
konsolidasi yang linear pada setiap kedalaman (Gambar 2.38).
Tembus Air
Kedap
U
o
H
dr
H
dr
Uo
Kedap
Tembus Air
Kasus 1
Tembus Air
U
o
Kedap
Hdr
Hdr
Kedap
Uo
Tembus Air
Kasus 2
Gambar 2.38 Derajat Konsolidasi yang Linear pada Tiap Kedalaman
  
 Dua Arah   Satu Arah  Drainase Drainase Drainase Satu Arah
54
Tembus Air
U
o
2
H
d
Tembus Air
Kedap
U
o
H
dr
Tembus Air
Tabel  2.3  Hubungan  Faktor  Waktu  dengan  Derajat  Konsolidasi
(Uo= linear)
Derajat Konsolidasi, U%
Faktor Waktu, T
v
Kasus 1
Kasus 2
0
0
0
10
0,003
0,047
20
0,009
0,100
30
0,024
0,158
40
0,048
0,221
50
0,092
0,294
60
0,160
0,383
70
0,271
0,500
80
0,440
0,665
90
0,720
0,940
100
8
8
(sumber : Gouw, 2009)
-
Hubungan   derajat   konsolidasi   dengan   faktor   waktu   untuk   derajat
konsolidasi yang konstan pada setiap kedalaman (Gambar 2.39).
Tembus Air
U
o
H
dr
Kedap
Gambar 2.39 Derajat
Konsolidasi
yang
Konstan
pada
Tiap
Kedalaman
  
55
h
Tabel  2.4  Hubungan  Faktor  Waktu  dengan  Derajat  Konsolidasi
(Uo= konstan)
Derajat Konsolidasi, U%
Faktor Waktu, T
v
0
0
10
0,008
20
0,031
30
0,071
40
0,126
50
0,197
60
0,287
70
0,403
80
0,567
90
0,848
100
8
(sumber : Gouw, 2009)
Sedangkan
nilai derajat konsolidasi berdasarkan drainase arah horizontal
(U
h
) diperoleh dengan mengasumsikan setiap area yang dipengaruhi oleh vertical
drain   
berbentuk    silinder,   
nilai   
T
h     
diperoleh   
dengan   
menggunakan
Persamaan
2.28,
sehingga
nilai
derajat konsolidasi
berdasarkan
drainase
arah
horizontal (U
h
)
dapat diperoleh dengan persamaan berikut:
=
1
F
+
F
+
F   ln
1
........................................................(2.28)
h
n
8
s
r
)
(1
-
)
dimana :
F
n
= faktor jarak drain
F
s
= faktor efek pemasangan drain (smear effect)
Fr
= faktor tahanan drain (drain resistance factor)
T
h
= faktor waktu akibat drainase arah horizontal
U
h
= derajat konsolidasi arah horizontal
  
56
d.
Diameter Zona Pengaruh Drain
Pada   umumnya   sampai   saat   ini   diketahui   ada   dua   macam   pola
pemasangan vertical drains yang efektif digunakan yaitu pola persegi dan pola
segitiga. Besar diameter zona pengaruh drain berdasarkan pola pemasangan
vertical drains tersebut.
Gambar 2.40 Zona Pengaruh Drain Berdasarkan Pola Pemasangan Persegi
dan Segitiga
Gambar 2.40 menunjukkan zona pengaruh
drain berdasarkan pola
pemasangan persegi dan segitiga. Jarak antar drain disebut S, sedangkan R
menunjukkan jari-jari dari
zona pengaruh drain, sehingga
untuk mengatur
zona
pengaruh drain dapat dilakukan dengan memperpendek maupun memperpanjang
jarak
antar drain.
Zona
pengaruh drain
ke
arah radial
diasumsikan
berbentuk
silinder (penampang berbentuk lingkaran). Berikut adalah persamaan dari
perhitungan diameter zona pengaruh drain berdasarkan pola pemasangan drain:
  
     2
57
Pola Persegi
-
)
(
S
 
Gambar 2.41 Pola Pemasangan Persegi
Bila diasumsikan,
jarak antar drain : s
luas antar drain yang saling berdekatan : A
persegi
= s²
luas lingkaran : A
lingkaran
=
1
p
D
2
4
jika  dilakukan 
pendekatan  A
persegi  
A
lingkaran
,  maka 
diameter 
zona
pengaruh drain yang didapat adalah:
A
persegi 
=
A
lingkaran
S² =
1
p
D
2
4
D
4S
p
D
=
S
4
p
D
=
1,13 S
.........................................................................................(2.29)
  
58
1
·
S
-
Pola Segitiga
30°  
D
2
S
S
a
S
Gambar 2.42 Pola Pemasangan Segitiga
Bila diasumsikan,
jarak antar drain : S
lihat segitiga yang diarsir: a =
1
S tan 30
· tan 30
o   
=
0,289 S
2
maka, luas segitiga yang diarsir:
A
segitiga  
=
1
·
a
·
t
2
A
segitiga
=
1
·
a
2
1
?
1  
?
?
?
?
2  
?
1
A
segitiga  
=
·
0,289 S
·
S
2
2
A
segitiga
=
0,1445 S²
sedangkan, luas segienam:
A
segienam 
=
12
×
A
segitiga
A
segienam
=
0,867S
2
luas lingkaran: A
lingkaran
=
1
p
D
2
4
jika  dilakukan 
pendekatan
A
segienam 
=
A
lingkaran
maka 
diameter 
zona
pengaruh drain yang didapat adalah:
  
59
2
A
segienam 
=
A
lingkaran
0,867S²
1
p
D
2
4
D
=
0,867S 
×
4
p
D
=    
1,1 S²
D
=
1,05
S
.........................................................................................(2.30)
Pola 
persegi 
lebih 
mudah 
dari 
segi   presisi 
instalasi 
dan 
kontrol
lapangannya. Namun
demikian,
pola
segitiga
pada
umumnya
lebih
banyak
digunakan
karena     menghasilkan     konsolidasi     yang    
lebih     seragam.
(Holtz et al., 1991).
e.         Derajat Konsolidasi yang Terjadi di Lapangan
Settlement Plate
Inklinometer
Beban
Garis Kelongsoran
Piezometer
Gambar 2.43 Posisi Instrumen Monitoring di Lapangan
Besarnya derajat konsolidasi yang telah terjadi di lapangan ditinjau melalui
hasil
pengamatan
instrumen-instrumen yang
ada
di
lapangan
seperti
yang
ditunjukkan pada Gambar 2.43. Perhitungan besarnya derajat konsolidasi adalah
sebagai berikut:
  
 Penurunan
60
-
Dari Bacaan Settlement Plate
Dari 
bacaan  Settlement
Plate 
maka 
dapat 
dituangkan  dalam 
grafik
Penurunan – Waktu seperti ditunjukkan pada Gambar 2.44 berikut.
Waktu
St
Settlement Plate
Gambar 2.44 Grafik Penurunan – Waktu dari Bacaan Settlement Plate
Sedangkan
untuk
mendapatkan nilai
derajat
konsolidasi
dari
bacaan
settlement 
plate 
(U
v-sp
maka 
dilakukan 
perhitungan  dengan
membandingkan besar
penurunan
di
lapangan
pada
waktu
t
terhadap
penurunan
konsolidasi
total.
Salah satu
cara
yang
dapat
digunakan untuk
memprediksi penurunan
konsolidasi
akhir
(Sc)
dengan
menggunakan
Metode Asaoka seperti ditunjukkan pada Gambar 2.45.
  
61
S
S
n+1
Sc untuk P = x
45°
S©
Sn
Gambar 2.45    Mencari   Penurunan   Akhir   dengan   Menggunakan
Metode Asaoka pada Beban P = x
Setelah
Penurunan Akhir
(Sc)
didapat
maka
di-plot
dalam
grafik
Penurunan–Waktu seperti pada Gambar 2.46, sehingga dapat dihitung nilai
derajat
konsolidasi
dari
bacaan settlement
plate
(U
v-sp
),
menggunakan
Persamaan 2.31.
U
S
t
................................................................................................... (2.31)
v-sp
c
dimana :
S
t
=
penurunan konsolidasi dari bacaan settlement plate pada waktu t
Sc  
=
penurunan konsolidasi pada waktu tak terhingga
Waktu
St
Sc
Settlement Plate
estimasi Metode Asaoka
Gambar 2.46 Grafik  Penurunan  –  Waktu  Sampai  pada  Penurunan
Akhir
  
62
-
Dari Bacaan Piezometer
Piezometer merupakan sebuah
instrumen
yang berfungsi untuk
mengukur
tegangan air pori pada tanah. Piezometer diletakkan pada kedalaman yang
berbeda di dalam lapisan tanah yang mengalami penurunan.
Dari tegangan
air
pori
yang didapat
melalui alat Piezometer maka dapat
ditentukan
besarnya
nilai
Derajat
Konsolidasi, yaitu
dengan
cara
membandingkan kelebihan tegangan air pori
yang keluar pada saat t =
t1
(?u
e
)
dengan
kelebihan
tegangan
air
pori pada
saat beban
pertama
kali
bekerja, t = 0 (U
e
).
Ue
Ue
?
ue
t
t0
H
t
t0
?ue
Aliran Dua Arah
Aliran Satu Arah
Gambar 2.47 Ilustrasi  Teori  Distribusi  Tegangan  Air  Pori  Berlebih
Terhadap Kedalaman
Sehingga  Derajat  Konsolidasi  dapat  dihitung  dengan  Persamaan  2.32
berikut:
U  
=
1
-
?u
e
v
U
............................................................................................... (2.32)
e
  
63
Atau
bila
mengacu pada
Gambar
2.47  maka
dengan
kata
lain,
Derajat
Konsolidasi 
dapat 
dihitung 
dengan 
membagi 
luasan 
daerah, 
seperti
Persamaan 2.33 berikut:
U
v  
=
Luas
Luas
=
...................................................................... (2.33)
Luas
Luas
f.
Pendesainan Vertical Drains Menggunakan Nomogram
Gambar 2.48 dan Gambar 2.49 berikut
ini
merupakan
nomogram
yang
dapat digunakan dalam pendesainan vertical drains.
Gambar 2.48
Pola
Segitiga,
dw
=
50mm,
Efek
Smear
dan
Tahanan
Alir
Diabaikan
(sumber : Gouw, 2008)
  
64
"'"""
Q
1"'-
'i"-..
"
"
"
'
"
"
"'
·
:
'""
'
"""
,
"
,
'
,'\
.
','\
"
"'
"
""
'\.
'\.
'\  3S  
-:e
0
u
1"1.1
ch 
cm
1
/sl
go
so 10 60 so ..o
•o·
e    a
10
6      8  10
9
sr\:
['._"
""
l'\
"0-N"'-
1"'--
"''
'
"''
9
!\_
"
'
'\
·"'".!""-
I'- 
"''
"'"
I' ,
,,
"'
'\
"'
'\
"r---
"'
"'
r-...."  
"
I'.
""'
"
'\
"'
'"
"
"
'"'
"
:"-
"
"''
"-
"
['\.
"
"
'\
"
"
I'.
1 .. 
\..  
I'. I'.
r-....
r-....
"
"
"
I
.
'
"
"
"
f"\
[\
'\.
I'\
r-...."r-...."r
---'
"
,"
I'\
'\. 
'
"
"
"
"
'
"
"
"'"
"''
"'"
I
'\
I'
"'
1'-
['\..'\
'\.""'
I'\
'"r---
["-." 
[\..."
,\,
02 
r\
"
'\
"
"
""'
1
\
"'
"
""
""
"
i'-
I
.s
'\.  
'\
l'-..
"
"
1'-.
"
"
I'.
I'.
"
"
[\.
"'
'\
[\
""'
'
['\  
[\
''\."' 
0:
1"'-
'"'
"
a•
'
r\.
[\
""
"
'r
\
,'\  
[\
['\
["\_'\
"-"
l"-
""'
"" 
'\
"
""
''\_
"
o.s
...
'-
r\.
"'\ 
"'"
'\.
'\ •o
I
ae
r\
I
'[\
"'
['\.,_"
","-
1"--  
""
'""
so
""'""
"
"
"
"'
I
Ql
I"Jj
Q9
f'\:
1:....
1"'-
'
'
'\
60 
"
I"-
''\. '.'\
36
1'\-
'
"
,"'-
,
"
'\ 
•a
l2
"
·
·"
'\.
"
"""
"'
"
"'
\
g
gs
90 
u ""
''\.,
.'\ 
.
1.5
\1
5
G
"'" 
'
'
."".."
"'-'
'
0.
0
I
,'\ 
1'\. 
-!?
·
"
['\
'\
'\40
"'
'\.
'\ 
30    
0
5
'
0
25
''
"20
i
'
'
"
IS   
M
"..;::
'
'
•o
0
"'
-
;130
20
QS     Q6  Ql 
0.8
Q9   
I
1.2
I>  
I)   ²
2.5
3
ORAINOISfANCE    ""J    11      
lt. c
Ia ... 0.000¹
,.,.l
s
'
8  
9  
10
based on
a
Mebra _Drain with a Qw of 10-s
m'l.
-
Soil
k
(m/s)
kciQw (m-2)
  
65
Coarse 
sand
Medium coarse sand
Fine sand
Silty sand
Sandy silt
Peat
Clay
10-2   10-J
10-J  
10-·
1o-•  
1o-s
10-s  
10_,
lo-• 
1o-
10-' 
10-·
lo-• 
10-
11
1000.100
100.10
10.1
1
.
10-¹
10-¹
10-·
10-2
.10-·
1o-•  .1o-
Gambar
2.49
Pola
Segitiga,
dw
=
50mm,
Tahanan
Alir
Diperhitungkan
(surnber: Gouw,
2008)
  
65
2.2.7.   Rentang Rasio
Antara Koefisien
Konsolidasi Arah
Horizontal
(C
h
)
dengan Koefisien Konsolidasi Arah Vertikal (C
v
)
Tabel
2.5
di
bawah
ini
menunjukkan rentang
rasio
antara
koefisien
konsolidasi arah horizontal (C
h
)
dengan koefisien konsolidasi arah
vertikal (C
v
),
yang umumnya digunakan pada tanah lempung bermacam karakteristik.
Tabel 2.5
Rasio C
h
/C
v
pada Tanah Lempung Bermacam Karakteristik
Karakteristik dari Lapisan Tanah Lempung Lunak
C
h
/C
v
Relatif homogen
(relatif tidak ada lapisan tanah beda permeabilitas)
1 – 1,5
Tanah lempung sedimen
(ada lensa pasir dan tidak ada lapisan pasir menerus)
2 – 4
Tanah  lempung  varved atau  tanah  lempung  dengan
kecenderungan lapisan pasir menerus
3 – 15
(sumber: Gouw, 2008)
2.2.8.   Analisa
Balik
Parameter
Desain Preloading dengan
Vertical Drains
Nilai Koefisien Konsolidasi Arah Horizontal (C
h
)
Sn+¹
S5
S
4
S³
a
S²
b
S
akhir
45°
S
1
S
2
S³ 
S4
S
n
Gambar 2.50 Kemiringan Grafik Asaoka
  
    2
66
2.2.7.   Rentang Rasio
Antara Koefisien
Konsolidasi Arah
Horizontal
(C
h
)
n
n
n+1
t
nilai koefisien konsolidasi arah horizontal berdasarkan kemiringan grafik asaoka
yang ada (Gambar 2.50). Persamaan tersebut adalah sebagai berikut:
p
C
+
8C
h
=
-
ln ß
........................................................................(2.34)
8H
2
D
F
d
dimana:
ß
=
kemiringan garis S  vs S
pada grafik asaoka ( ß
a
,
dalam desimal)
b
dt
=
interval waktu pada grafik asaoka
2.2.9.   Analisa Desain Preloading dengan Vertical Drains Menggunakan Perangkat
Lunak Plaxis
Gambar 2.51 Pemodelan Vertical Drains dalam Plaxis
Dalam  Plaxis, 
vertical 
drain 
dimodelkan  dengan 
mengubah 
input
parameter
permeabilitas,
baik
permeabilitas
horizontal
(k
h
)
maupun
  
 2
67
permeabilitas
vertikal  (k
v
),  dari  parameter
permeabilitas
tanah  terkonsolidasi
tanpa 
vertical 
drain 
menjadi 
parameter  permeabilitas  tanah  terkonsolidasi
dengan  vertical drain yaitu
k
v
'
dan k
h
'
(Gambar  2.51).  dalam  plaxis  nilai
k
dan k
h
'
sama dengan k
x
,
sedangkan k
dan k
v
'
sama dengan k
y
.
Dalam bukunya, Gouw
(2008)
menjelaskan
mengenai ekuivalensi nilai
permeabilitas  tanah 
menggunakan  vertikal drain,  yaitu 
melalui  persamaan-
persamaan berikut ini (CUR 1991):
n
=  
D
d
w
..............................................................................................(2.35)
n
2
?
3
1
?
1
?
?
µ
=
-
1
·
?
ln(n) -
+
?
4
·
?
1
-
n
2    
?
4
·
n
?
?
.........................................(2.36)
?
?
32
H
2
k
v
'
=
k
+
·
·
k
h
..................................................................(2.37)
p
µ D
· D
k
h
'
=
k
.............................................................................................(2.38)
dimana:
k
v
,
k
h
=
nilai permeabilitas tanah tanpa vertical drain
k
v
'  k
, k
h
'
=
nilai permeabilitas tanah dengan vertical drain
2.2.10. Faktor  Jarak  Drain (F
n
),  Faktor  Efek  Smear (F
s
),  dan  Faktor  Tahanan
Alir (Fr
)
Zona
pengaruh
drain
dalam
perhitungannya diasumsikan
berbentuk
lingkaran sempurna, namun pada kenyataannya tidak seperti itu. Sehingga dalam
perhitungan perlu dimasukkan Faktor Jarak Drain (F
n
).
  
   d
68
4
?
=
ln
?
D
?
3
?
-
..........................................................................................(2.39)
n
?
?
w
?
?
2
(a + b)
Gambar 2.52 Penyetaraan Diameter Well
d
=
................................................................................................(2.40)
p
dimana :
D
=
permeabilitas arah horizontal pada daerah yang tak terganggu
d
w
=
penyetaraan diameter well
a
=
lebar vertical drain
b
=
tebal vertical drain
Sering
diasumsikan
bahwa
proses
pemasangan vertical
drain
tidak
mengubah
parameter
tanah
di
sekitarnya,
namun
kenyataannya saat
proses
penetrasi, mandrel akan bergesekan dengan tanah disekelilingnya sehingga tanah
tersebut akan mengalami gangguan atau dikenal
juga dengan
istilah remoulded.
Daerah 
yang 
mengalami 
remoulded   ini
akan 
berkurang  permeabilitasnya
sehingga  pada  akhirnya  akan  menghambat  laju  konsolidasi,  hal  ini  dikenal
dengan
istilah
Efek
Smear.
Efek
smear
diyakini
meningkat seiring
dengan
semakin
besarnya
diameter
drain
serta
tergantung pada
faktor
lainnya
seperti
metode  
instalasi,  
ukuran  
mandrel,   dan  
ukuran  
plat  
jangkar.  
Perilaku
  
   s
69
permeabilitas dan kompresibilitas dalam zona
smear,
berbeda dengan perilaku
tanah tidak terganggu, sehingga perlu diperhitungkan Faktor efek smear-nya (F
s
).
?
k
?
?
?
=
?
     h  
-
1
?
ln
?
     s 
?
...................................................................................(2.41)
s
?
k
?
?
d
?
dimana :
F
s
=
Faktor efek smear
k
h
=
permeabilitas arah horizontal pada daerah yang tak terganggu
k
s
=
permeabilitas arah horizontal pada daerah yang terganggu
d
s
=
diameter daerah yang terganggu (normalnya 2,5 kali diameter mandrel)
Gambar 2.53 Smear dan Tahanan Alir pada Pemasangan Vertical Drains
Faktor
Tahanan
Alir
diperhitungkan sebagai
faktor
batas
kemampuan
drain untuk bekerja secara efektif, yaitu kemampuan drain
untuk melalukan air
sebelum
tertekuk/terhimpit tanah
di
sekitar drain
akibat adanya
tegangan
aktif
lateral tanah.   Jika kapasitas
drain telah tercapai
saat proses konsolidasi
maka
secara keseluruhan proses konsolidasi menjadi terhambat.
  
 w
70
p
L²
k
h
................................................................................................(2.42)
r
6
q
dimana :
Fr
=
Faktor tahanan alir
L
=
panjang efektif dari vertical drains
q
w
=
discharge capasity / kemampuan melalukan air (gradien hidraulik = 1)
Untuk 
mendapatkan 
nilai 
q
w  
digunakan  Gambar  2.54. 
Berdasarkan
gambar
tersebut
nilai
q
w
diperoleh dari
hubungannya dengan
tegangan
lateral
tanah pada
saat
akhir
masa
konstruksi
(seluruh
tegangan
air
pori
dalam
tanah
telah terdisipasi keluar).
Gambar 2.54 Nilai-Nilai Tahanan Alir pada Beberapa Tipe Vertical Drains
(sumber: Indraratna et al. , 2007)
  
71
h
Tegangan
lateral
tanah
dapat
dicari
dengan
Persamaan
2.43
dan
2.45
berikut ini:
pada tahap awal
k
=
(1
-
sin
f
)
.........................................................................................(2.43)
s'
ho
=
k
o
(s
vo 
-
?
w
.h
w
)
............................................................................(2.44)
pada tahap akhir
s'
=
s'
ho
+
(
k
o
.?
f
.h
f
)
..............................................................................(2.45)
dimana:
k
o
=
koefisien tegangan lateral saat diam
f
=
sudut geser dalam tanah
s
vo
=
tegangan vertikal pada tahap awal
?
w
=
berat volume air
h
w
=
tinggi muka air tanah sampai ujung drain
?
f
=
berat volume tanah
h
f
=
tinggi timbunan
Apabila
nilai  tiap  faktor  telah  diketahui
maka  dapat  dihitung
derajat
konsolidasi arah horisontalnya, dari Persamaan 2.28 diketahui:
=
1
F
+
F
+
F   ln
1
h
n
8
s
r
)
(1 -
)
apabila disubtitusikan dengan Persamaan 2.22,
  
  h
72
?
?
2
?
?
·
D
2
=
  
c
C
h
maka menjadi,
D
2
t
=
8C
h
(F + F
+
F
)
ln
1
n
s
r
(1 - U
)
?
?
?
U
?
1
?
?
?
?
1
?
?
?
?
?
?
?
?
..................................................................(2.46)
=
?
-
?
? 8C  t ?
=
.t ?
?
?
?
?
h   
?     
?
?
?
?
 
?      D
D
?     
?
?
?
?
n    
s
r  
?
?
?
(
+ F
+
F
)
?
?
?
?
?
?
?
e
?
?
?
?
?
?
?
sehingga dapat dihitung derajat konsolidasi (U) yang terpengaruh efek smear dan
efek tahanan alir.