BAB 2
LANDASAN  TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Bisnis Ritel
Kata
ritel
berasal dari
bahasa
Perancis,
ritellier, yang berarti
memotong atau
memecah sesuatu. Usaha
ritel
atau
eceran
(retailing
)
dapat dipahami sebagai semua
kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa
secara
langsung kepada
konsumen
akhir untuk
penggunaan
pribadi dan
bukan
penggunaan bisnis. Ritel juga
merupakan
perangkat
dari
aktivitas-aktivitas
bisnis
yang
melakukan
penambahan
nilai
terhadap
produk-produk
dan
layanan penjualan
kepada
para
konsumen
untuk
penggunaan atau konsumsi
perseorangan
maupun keluarga.
Seringkali
orang-orang
beranggapan
bahwa
ritel hanya
berarti menjual
produk-produk
di
toko. Tetapi,
ritel
juga melibatkan layanan jasa, seperti jasa layanan antar (delivery
service)
ke rumah-
rumah dan tidak semua ritel dilakukan di dalam toko. (Utami2006,
p4)
Menurut
Berman
dan
Evans
(2007,
p4),
ritel
meliputi
kegiatan usaha
yang
terlibat
dalam penjualan
barang
dan jasa kepada
konsumen untuk keperluan
pribadi,
keluarga, atau rumah tangga. Para peritel berupaya memuaskan kebutuhan
konsumen 
dengan 
mencari 
kesesuaian 
antara 
barang-barang 
yang 
dimilikinya
dengan   harga,   tempat,  
dan   waktu   yang   diinginkan   pelanggan.   Ritel   juga
menyediakan
pasar
bagi para
produsen
untuk menjual
produk-produk mereka.
Dengan demikian ritel adalah kegiatan terakhir dalam jalur distribusi yang
menghubungkan produsen dengan konsumen. Jalur distribusi adalah sekumpulan
atau beberapa perusahaan yang memudahkan penjualan kepada konsumen sebagai
tujuan akhir.
5
  
6
2.1.2
Sejarah Bisnis Ritel di Indonesia
Usaha atau
bisnis
ritel
di
Indonesia
mengalami
perkembangan
yang
cukup
pesat,
dengan
berbagai
jenis
format
serta
jenisnya.
Sejarah
perkembangan
bisnis
ritel
di
Indonesia
dapat
dibagi
menjadi
menjadi
beberapa
tahap. Terdapat
kecenderungan
bahwa setiap
tahapannya
berjalan dengan
periode
yang singkat.
Tahapan
pada
evolusi perkembangan
industri
ritel
ini
dapat
digambarkan
sebagai
berikut:
1.   Era sebelum tahun 1960-an
Era perkembangan ritel tradisional yang terdiri atas perdagangan independen.
2.   Tahun 1960-an
Era
perkenalan
ritel
modern
dengan
format
departement
store
dengan
barang
dagangan
dalam
jumlah
besar
(
mass merchandise)
ditandai
dengan
dibukanya
gerai ritel pertama yaitu Sarinah di Jl. MH Thamrin Jakarta.
3.   Tahun 1970
hingga 1980-an
Era
perkembangan
ritel
modern
dengan
format
supermarket
dan
departement
store, ditandai
dengan
hadirnya
ritel
modern
seperti
Matahari,
Hero,
dan
Ramayana.
4.   Tahun 1990-an
Era
perkembangan
convenience store,
yang
ditandai
dengan
maraknya
pertumbuhan 
minimarket seperti
Indomaret  dan  pertumbuhan 
departement
store
kelas atas yaitu ditandai dengan masuknya SOGO, Metro, dan Seibu. Selain
itu
juga
terdapat
pertumbuhan
format
cash and carry (penjualan
tunai)
yaitu
dengan  berdirinya  Makro,  diikuti  oleh  ritel  lokal  lain  dengan  format  serupa
seperti GORO dan Alfa.
  
7
5.   Tahun 2000-2010
Era  perkembangan  hype®market dan  perkenalan  e-retailing.
Era  ini  ditandai
dengan
hadirnya
Carrefour dengan
format
hypermarket
dan hadirnya
LippoShop
yang  memperkenalkan  strategi 
e-retailing
di  Indonesia, 
yang  berbasis  pada
penggunaan internet.
Konsep
tersebut merupakan
konsep
yang masih asing dan
sukar diterima
oleh
kebanyakan masyarakat
Indonesia
yang masih terbiasa
dengan 
melakukan 
perdagangan 
secara 
langsung. 
Selain 
format 
tersebut
terdapat pola pertumbuhan ritel dengan format waralaba. (Utami2006, pp19-20)
2.1.3
Strategi Ritel
Istilah
strategi
juga sering
digunakan
dalam bisnis
ritel, seperti
strategi
merchandise,
strategi
lokasi,
strategi
promosi,
ataupun
strategi
penetapan
merek
yang
dikeluarkan
oleh
pihak
ritel
itu
sendiri
(private label).
Strategi
tersebut
memengaruhi keputusan ritel
terutama
pengambilan
keputusan
yang strategis.
Menurut
Berman
dan Evans
(2007,
p12), strategi
ritel
adalah
keseluruhan
rencana
atau
kerangka kerja
yang
memandu actions
dari
peritel. Strategi ritel idealnya hanya
bertahan selama satu tahun.
Setiap
peritel,
tanpa
melihat
bentuk atau
jenis
ritel
tersebut,
harus
menggunakan enam langkah perencanaan strategi sebagai berikut:
1.   Menentukan jenis bisnis
yang
berkenaan
dengan
kategori
barang atau jasa dan
orientasi khusus perusahaan tersebut (seperti full se®vice).
2.   Menentukan tujuan
jangka
panjang
dan
pendek
untuk
sales
dan profit, pangsa
pasar, citra, dan sebagainya.
3.   Menentukan
target
pasar
berdasarkan
karakteristik
(seperti
jenis
kelamin
dan
level pendapatan) dan kebutuhan konsumen.
  
8
4.   Merancang 
rencana 
jangka 
panjang, 
keseluruhan 
yang 
memberikan 
arahan
umum untuk perusahaan.
5.  
Mengimplementasikan 
strategi 
integral 
yang 
menggabungkan 
faktor-faktor
seperti 
lokasi 
toko, 
product
assortment,
harga, 
iklan, 
dan 
etalase 
untuk
mencapai tujuan.
6.   Secara teratur
mengevaluasi
kinerja
dan memperbaiki
kelemahan atau
masalah-
masalah ketika diobservasi.
Menurut   Utami   (2006,   p56),   strategi   ritel   adalah  
pernyataan  
yang
menjelaskan beberapa hal
berikut ini:
1.   Pasar
sasaran
(
target market
),
yaitu
segmen-segmen
pasar
yang
direncanakan
untuk
dilayani
terkait
dengan
aktivitas
memfokuskan
sumber
daya
yang
harus
disiapkan oleh ritel.
2.   Format
yang
direncanakan
akan
digunakan
untuk
memenuhi
kebutuhan
target
pasar.
Format
ritel
adalah gabungan
ritel
yang
didasarkan
pada sifat
atau
ciri
barang
dan
jasa
yang
ditawarkan,
kebijakan
penentuan
harga,
pemasangan
iklan dan program promosi, desain toko dan lokasi khusus.
3.  
Dasar
perencanaan
ritel
adalah
untuk
memperoleh
keuntungan
bersaing
yang
dapat
dipertahankan
(sustainable
competitive
advantage
),
atau
keuntungan
dari
persaingan yang dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
Dengan
demikian,
tiap strategi
ritel akan meliputi (1) pemilihan segmen
target
pasar
dan
penentuan
format
ritel
dan (2) pengembangan
keunggulan
bersaing
yang
memungkinkan
ritel
untuk
mengurangi
tingkat
kompetensi
yang dihadapi.
Strategi
ritel
dapat
mengembangkan
keunggulan
bersaing yang
memungkinkan
ritel untuk
mengurangi tingkat kompetensi yang dihadapi.
  
9
2.1.4  
Private Label
Brand do not necessarily have to be manufacturer
brands.
They can also be
store brands
”. (Kumar dan Steenkamp, 2007)
Menurut
Fabian
Berge’s-Sennou
(2006,
p315),
private label
adalah
merek
yang
dimiliki
oleh
distributor
atau
pedagang
dari
produk
atau
jasa.
Private label
merupakan produk
khusus untuk peritel (
retail chain
)
dan tidak dapat dibeli
di peritel
yang
lain.
(Sachon2009,
p1)
Private
label adalah
barang-barang
dagangan
yang
menggunakan
nama
merek
distributor atau
peritel
atau
nama merek
yang diciptakan
eksklusif untuk distributor atau peritel.
Private label
diproduksi oleh peritel atau pihak
ketiga (produsen) yang telah terikat kontrak dengan peritel yang bersangkutan.
(Kertajaya2006,
p249)
Private label
adalah
merek
milik
retailer
yang
ditempel pada
produk
yang
dipesan
dari
supplier tertentu
dan
dijual
dengan
harga
lebih
murah.
Merek
tersebut
bisa
persis
sama
dengan
merek
toko
pengecer,
bisa
juga
lain. Tapi
tidak ada promosi apa pun yang menunjang.
Awalnya
private
label
dilempar
ke pasaran dengan
image
:
harga
yang murah
dan
kualitas
yang
rendah
tetapi
pada
dekade
pertama
abad
ke-21,
image
ini
telah
berubah
total.
Kini
beberapa
peritel
menjual
produk
private label yang
berkualitas
sama atau lebih unggul dibandingkan merek mapan dan merek premium. Ini
menyebabkan
dinamika
kompetitif
yang
baru
dan
lebih
kompleks
di
industri ritel.
(Sachon2009, p1)
Penamaan merek pada produk private label
dapat dikategorikan menjadi:
1.  
Store brands
Menggunakan nama peritel pada kemasan produk p®ivate label.
2.  
Store Sub-brands
Menggunakan merek yang berisikan dua
nama, nama peritel dan nama produk.
3.  
Umbrella brands
  
10
Produk
private label yang
diberi
merek
independen,
tidak
ada
kaitan
dengan
nama
peritel.
Umbrella brand
digunakan
untuk
produk
dengan
kategori
yang
berbeda.
4.  
Individual brands
Nama merek yang digunakan hanya untuk satu kategori produk.
5.  
Exclusive brands
Nama merek
yang
digunakan
untuk satu
kategori
yang sama.
Namun produk
ini
mempromosikan
value added.
2.1.5
Manajemen Berkelanjutan
Manajemen berkelanjutan
digunakan
oleh setiap
perusahaan
untuk
mendapatkan keunggulan kompetitif/bersaing,
atau
yang
biasa
disebut
dengan
manajemen berorientasi keunggulan
kompetitif
yang
berkelanjutan
(Sustainable
Competitife Advantage
).
Keunggulan
kompetitif
yang
berkelanjutan
adalah
suatu
konsep 
kunci  dalam 
strategi 
praktek  dan  riset,  setidaknya 
karena 
hasil  yang
diinginkan
keunggulan
kompetitif
yang
berkelanjutan
adalah
kinerja
ekonomi
yang
superior
dan
konstan
(Marc
Baaij, Mark Greeven,
dan
Jan
Van
Dalen,
2004).
Untuk
mencapai
kinerja
ekonomi
pada
tingkat
yang melebihi
persaingan
dan
mempertahankan
kinerja
unggul
ini
lebih
lama
jangka
waktu yang
sangat jarang
dicapai
dalam praktek
seperti itu adalah sangat sulit dicapai.
Keunggulan
kompetitif
yang
berkelanjutan
memprediksi
bahwa
faktor-faktor
yang mempertahankan
keunggulan kompetitif yang akan menghasilkan kinerja yang unggul dan konstan.
Menurut Jon-Arild Johannessena dan Bjorn Olsenb (2003), literatur tentang
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan didominasi oleh dua perspektif: industri-
organisasi ekonomi; dan pandangan berbasis sumber daya perusahaan. Menurut
organisasi
industri
ekonomi,
keunggulan
kompetitif
yang
berkelanjutan
didasarkan
  
11
pada
posisi strategis
perusahaan
dalam sebuah
industri. Mobilitas
hambatan dalam
sebuah
industri
adalah faktor
utama
pertama yang
mendukung
keunggulan
kompetitif.
Menurut
pandangan
berbasis
sumber
daya
keunggulan
kompetitif
yang
berkesinambungan
penghematan
didasarkan pada
kompetensi
inti
perusahaan.
Kompetensi
ini,
yang
berharga,
langka, dan
sulit
untuk
meniru,
perdagangan,
dan
pengganti, merupakan dasar keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Dalam
lingkungan
bisnis
baru,
ditandai
dengan
meningkatnya
gejolak
dan
kompleksitas,
kapasitas organisasi
untuk
menciptakan
dan mempertahankan
keunggulan
kompetitif
terletak
pada apa
yang
diketahui,
bukan apa
yang
dimiliki.
Kompetensi inti tidak dapat tetap statis; hanya perusahaan-perusahaan yang terus
berinvestasi dan
meningkatkan
kompetensi
yang mampu
menciptakan alternatif
pertumbuhan strategis. Oleh
karena itu, dalam
lingkungan bisnis yang
dinamis, perlu
memelihara
potensi kompetensi
inti masa
depan (Jon-Arild Johannessena dan Bjorn
Olsenb, 2003).
Sebuah
model
korporasi praktik
bisnis
yang
berkelanjutan perlu
untuk
meningkatkan
nilai stakeholder
dalam arti
luas.
Nilai
stakeholder adalah
konsep
yang
luas
dan
menyiratkan
bahwa sebuah perusahaan memiliki
tanggung
jawab
dan
komitmen
ke
berbagai pemilik
kepentingan
internal
dan eksternal
di
pasar dan
masyarakat, bukan
hanya
untuk
para
investor
dan pemilik
perusahaan,
tetapi
juga
kepada
para
karyawan, pelanggan,
pemasok,
masyarakat
dan lingkungan. Telah
disimpulkan  bahwa 
praktek-praktek 
bisnis 
yang  berkelanjutan 
dan
pengembangannya harus memenuhi kebutuhan dan persyaratan masa kini tanpa
mengurangi kemampuan generasi
mendatang
untuk memenuhi
kebutuhan
mereka
sendiri (Goran Svensson, Greg Woodb, dan Michael Callaghan, 2009).
Menurut
Judy
Matthewsa
dan
Arthur
D.
Shulmanb
(2005),
Kay
pada
tahun
1995 
menyajikan 
gagasan 
keunggulan 
kompetitif 
yang 
berkelanjutan 
dalam
  
12
organisasi 
diperoleh 
melalui 
relasional 
arsitektur, 
reputasi, 
inovasi, 
dan 
aset
strategis.
Inti
model
Kay
adalah
teori berbasis
sumber
daya
perusahaan
yang
berfokus
pada
atribut
internal
atau sumber
daya
dan
kemampuan
perusahaan
di
mana,
agar sumber
daya
dan
kemampuan
perusahaan
untuk memberikan kinerja
yang 
unggul, 
mereka 
harus 
(1) 
berharga 
dalam 
arti 
memungkinkan 
suatu
perusahaan  untuk 
mengeksploitasi 
peluang-peluang 
lingkungan 
(dan/atau
menetralisir ancaman-nya),
(2)
langka
di
antara
yang sekarang
atau
pesaing
potensial,
(3)
mahal
untuk
ditiru,
dan
(4)
tanpa pengganti
strategis
dekat.
Kay
menyatakan
bahwa
organisasi
memiliki
arsitektur
yang
kuat
di
mana
ada
harapan
dari
hubungan
jangka
panjang
baik di dalam
perusahaan
dan
di
antara
para
anggotanya, membutuhkan sebuah komitmen untuk berbagi penghargaan dan
prestasi kolektif yang tinggi tetapi tingkat informalitas tidak terstruktur. Arsitektur ini
memberikan nilai
tambah
kontribusi
individu
anggotanya melalui
penciptaan
pengetahuan
organisasi,
melalui pembentukan
etika
dalam
organisasi
dan
pelaksanaan rutinitas organisasi.
2.1.6  
Keunggulan   Bersaing   yang  
Dapat   Dipertahankan   (Sustainable
Competitive Advantage)
Dalam  mengembangkan  keunggulan 
bersaing  yang  dapat 
dipertahankan
atau berkelanjutan
dalam jangka panjang, diperlukan suatu
bauran ritel
yang
tepat.
Bauran
ritel
(
retail mix)
adalah kombinasi
dari
elemen
merchandise,
price,
location,
customer service
& selling
,
store layout & design, dan advertising & promotion.
  
13
Gambar 2.1
Retail Mix
(Bauran Ritel)
Sumber: Dunne dan Lusch (2008, p53)
1.
Merchandise
Merchandising
terdiri
dari
kegiatan
untuk pengadaan barang
dan/ jasa
yang
membuat barang dan jasa tersedia di tempat, waktu, dan
harga serta dalam jumlah
yang
memungkinkan
peritel
untuk
mencapai tujuannya
(Berman
dan Evans2007,
p408). 
Menurut 
Cox 
dan 
Brittain
(2004, 
pp116-117),
merchandise (p®oduk)
merupakan
unsur
paling
penting
dari
bauran
ritel
karena
produk
adalah
apa
yang
pelanggan
butuhkan, alasan
mengapa mereka
mengunjungi
suatu toko
dan sesuatu
yang
menghasilkan
keuntungan.
Sebuah
produk
adalah
segala sesuatu
yang
dapat
ditawarkan kepada pasar yang mungkin memenuhi
kebutuhan atau keinginan.
Berdasarkan penelitian
Yavas
(1994), terdapat
empat
atribut
utama
dari
dimensi mer©handise
,
yaitu:
1.  
Banyak variasi barang.
Keberagaman
barang
dagangan
merupakan
daya
tarik
tersendiri
bagi
sebuah
ritel.
Namun,
jangan sampai
ritel
menyiapkan terlalu
banyak variasi
barang
dagangan yang lambat penjualannya sehingga membebani biaya persediaan.
  
14
Menurut Utami
(2006,
p166),
variasi adalah sejumlah
kategori barang-barang
yang berbeda di dalam toko atau departemen.
2.  
Kuantitas atau isi produk.
3.  
Ketersediaan produk.
4.   Mutu produk.
Membicarakan
tentang
pengertian
atau definisi
kualitas
dapat
berbeda
makna
bagi 
setiap 
orang, 
karena 
kualitas 
memiliki 
banyak 
kriteria 
dan 
sangat
tergantung pada konteksnya.
Berdasarkan perspektif
kualitas,
David
Garvin
mengembangkan
dimensi
kualitas
ke
dalam
delapan
dimensi yang
dapat
digunakan
sebagai
dasar
perencanaan
strategis
terutama
bagi
perusahaan atau manufaktur yang
menghasilkan
barang.
Kedelapan dimensi tersebut adalah sebagai berikut: (Yamit2004, p10)
a.  
Performance (kinerja), yaitu karakteristik pokok dari produk inti.
b.  
Features (fitur), yaitu karakteristik pelengkap atau tambahan.
c.  
Reliability
(keandalan), yaitu kemungkinan tingkat kegagalan pemakaian.
d.  
Conformance (kesesuaian),
yaitu 
sejauh  mana 
karakteristik  desain 
dan
operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan sebelumnya.
e.  
Durability (daya tahan), yaitu berapa lama produk dapat terus digunakan.
f.
Serviceability
(kemampuan
melayani)
yaitu
meliputi
kecepatan,
kompetensi,
kenyamanan, 
kemudahan  dalam  pemeliharaan  dan  penanganan  keluhan
yang memuaskan.
g.   Estetika, yaitu menyangkut corak, rasa dan daya tarik produk.
h.  
Perceived (kualitas
yang
dirasakan),
yaitu
menyangkut
citra
dan
reputasi
produk serta
tanggung jawab perusahaan terhadapnya.
  
15
2.         Price
Harga   seringkali   dianggap   sebagai   pengganti   indikator   kualitas   dan
konsumen sering membuat penilaian pada produk sebagai hasil dari respons mereka
terhadap
harga
barang
dagangan.
Definisi harga
menurut
Philip
Kotler
yaitu:
harga
adalah sejumlah
uang
yang dibebankan untuk sebuah produk atau jasa.
Secara lebih
luas, harga adalah
keseluruhan nilai
yang ditukarkan
konsumen untuk mendapatkan
keuntungan
dari
kepemilikan
terhadap
sebuah produk
atau jasa. Sedangkan Stanton
mendefinisikan 
harga: 
harga 
adalah 
sejumlah 
uang 
dan 
atau 
barang 
yang
dibutuhkan  untuk 
mendapatkan 
kombinasi 
dari  barang  yang  lain 
yang 
disertai
dengan pemberian jasa.
Berdasarkan  penelitian 
Yavas  (1994), 
terdapat 
dua 
atribut 
utama 
dari
dimensi price, yaitu:
1.  
Kestabilan harga.
2.   Tingkat harga.
3.         Location
Lebih
dari
90%
penjualan
ritel
terjadi
di
toko.
Dengan
demikian,
pemilihan
lokasi
toko
adalah
salah
satu
keputusan
strategis
yang
paling
signifikan
di
ritel.
Menurut 
Cox 
dan 
Brittain 
(2004, 
p56), 
lokasi 
toko 
harus 
dipilih 
agar 
dapat
mencerminkan kebutuhan
kelompok pelanggan yang telah didefinisikan sebelumnya.
(Berman
dan Evans2007,
p262)
Keputusan lokasi
sangatlah kompleks,
biaya
bisa
sangat
tinggi,
hanya
sedikit
fleksibilitas sesaat
lokasi
telah
dipilih,
dan
atribut-
atribut lokasi mempunyai dampak
yang besar
terhadap strategi. Sehingga, lokasi ritel
yang
tepat merupakan
faktor
penentu
bagi keberhasilan
peritel.
Pemilihan lokasi
memerlukan pengambilan keputusan
yang
panjang karena
dalam
pemilihan
lokasi
terdapat
banyak
kriteria
yang
harus
dipertimbangkan,
seperti
ukuran
dan
ciri-ciri
  
16
populasi,
persaingan,
akses
transportasi,
ketersediaan
parkir,
lingkungan
di
sekitar
toko, biaya properti, lama perjanjian, dan faktor lainnya.
Menurut Utami (2006,
p104),
hal
yang membuat suatu
lokasi
memiliki
daya
tarik
secara
spesifik
adalah
aksesibilitas. Aksesibilitas
suatu
lokasi
adalah
suatu
kemudahan bagi
konsumen untuk
masuk
dan keluar dari lokasi
tersebut.
Analisis
ini
memiliki dua tahap, yaitu:
1.   Analisis makro
Untuk
mengukur
aksesibilitas
lokasi
pada tingkat
makro,
ritel
secara
bersamaan
mengevaluasi beberapa
faktor seperti pola-pola
jalan,
kondisi jalan,
dan
hambatannya.
2.   Analisis mikro
Analisis
ini
berkonsentrasi
pada
masalah-masalah
pada
sekitar lokasi,
seperti
visibilitas, arus lalu lintas, parkir, keramaian, dan jalan masuk atau jalan keluar.
Berdasarkan 
penelitian  Yavas  (1994), 
terdapat 
dua  atribut  utama 
dari
dimensi lo©ation, yaitu:
1.  
Lokasi yang mudah dijangkau.
2.   Fasilitas parkir yang luas.
Menurut
Engel,
Blackwell,
dan
Miniard (1995)
yang dikutip
oleh
Pujiastuti,
terdapat empat atribut utama dari dimensi
location
,
yaitu:
1.   Waktu tempuh perjalanan menuju tempat berbelanja.
2.  
Kelancaran arus lalu lintas.
3.  
Banyaknya sarana transportasi yang menunjang.
4.  
Lingkungan sekitar yang aman.
  
17
4.
Customer Service
&
Selling
Pelanggan
(
customer)
adalah
aset
yang paling
vital
bagi
perusahaan,
tanpa
mereka
maka
perusahaan
tidak
akan
bertahan
dalam
bisnis. Apabila
pelanggan
merasa
puas,
mereka
tidak
hanya
menjadi
pelanggan
setia, tetapi
juga akan
merekomendasikan
kepada
teman
dan kolega bisnisnya. Menurut
Berman
dan Evans
(2007,
p18),
faktor-faktor
strategi
pelayanan
pelanggan
(
customer service
)
adalah
jam
operasi
toko,
fasilitas parkir,
keramahan
pramuniaga,
penerimaan
pembayaran
secara   kredit,   kesopanan   karyawan,   pengetahuan   pramuniaga,   waktu   yang
dihabiskan
oleh pelanggan untuk melakukan pembayaran.
Menurut
Engel,
Blackwell,
dan
Miniard
(1995)
yang
dikutip
oleh
Pujiastuti,
terdapat empat atribut utama dari dimensi
customer service & selling,
yaitu:
1.   Pengetahuan pramuniaga atas produk yang ditawarkan.
2.   Pramuniaga yang ramah dan sopan.
3.   Proses transaksi pembayaran yang cepat.
4.  
Kasir  memberikan  penjelasan 
yang  cukup  jelas  mengenai  cara  pembayaran
(tunai, debet, kredit).
Berdasarkan  penelitian  Yavas  (1994), 
terdapat  tiga  atribut  utama 
dari
dimensi customer service &
selling
,
yaitu:
1.  
Layanan yang ramah dan membantu.
2.  
Jam buka yang sesuai.
3.   Mudah menukarkan barang dan
mendapatkan pengembalian uang.
5.
Store Layout &
Design
Menurut
Dunne
dan
Lusch
(2008,
p184),
store
layout &
design menjadi
semakin penting
bagi ritel
dalam beberapa tahun terakhir ini.
Store layout
&
layout
mempertimbangkan
eksterior
dan
interior
toko
juga
tata
letak
dan
display
barang
  
18
dagangan
sehingga
menciptakan
atmosphere
(komponen
utama
dari
citra
toko
dan
dapat
didefinisikan
sebagai
efek
dominan
yang diciptakan melalui
desain
toko)
yang
baik. (Utami2006, p229) Suasana toko dapat
dibangun
melalui sistem
pencahayaan,
pengaturan
tata
letak,
dan
penataan
atau pengaturan
barang
dagangan
yang
baik
yang akan menarik pelanggan.
Beradasarkan
penelitian Yavas
(1994),
terdapat
tiga
atribut
utama
dari
dimensi store layout &
design, yaitu:
1.  
Kebersihan toko dan area perbelanjaan.
2.   Mudah menjangkau seluruh area toko dan perbelanjaan.
3.   Mudah menjangkau dan memilih barang
dagangan.
Menurut
Engel,
Blackwell,
dan
Miniard (1995)
yang dikutip
oleh
Pujiastuti,
terdapat dua atribut utama dari dimensi sto®e layout & design, yaitu:
1.   Penempatan rak yang disusun dengan rapi sesuai dengan jenis barang.
2.   Pencahayaan
yang baik.
6.         Advertising &
Promotion
Apapun
bisnis
ritel
yang dijalankan,
maka
komunikasi adalah
hal
pertama
yang
tidak
bisa
dilupakan.
Untuk
dapat
berkomunikasi
dengan
pelanggan,
terlebih
dahulu
peritel membuat
sadar
pelanggannya akan
produk
yang
dimilikinya
kemudian
merangsang minat dan keinginan pelanggan. Menurut Utami (2006, pp214-217), ritel
berkomunikasi dengan pelanggan melalui beberapa sarana di antaranya:
1.  
Iklan
Iklan merupakan urutan pertama dan berperan besar
di antara semua alat dalam
bauran
pemasaran
(
promotion mix
),
khususnya
bagi
peritel
besar.
Periklanan
biasanya diimplementasikan oleh ritel dengan beberapa tujuan:
  
19
Memberikan
informasi,
yaitu
memberitahukan
adanya
produk
baru,
program
promosi
penjualan,
maupun
layanan baru,
bahkan
untuk
memperbaiki
kesalahpahaman atau untuk membangun citra perusahaan.
Membujuk,
yaitu
untuk
membangun
rasa
suka
pelanggan
terhadap
ritel,
membujuk untuk mengunjungi gerai, maupun membujuk untuk membeli dan
mengkonsumsi produk baru.
Mengingatkan,
yaitu
menggugah
kesadaran
atau
ingatan
pelanggan
tentang
sesuatu
yang positif
dari ritel.
Mengingatkan
bahwa
ritel selalu
menjual
produk
dengan
kualitas
prima,
menawarkan
variasi barang
dagangan
yang
lengkap, 
serta 
mengingatkan 
pelanggan 
dari 
waktu 
ke 
waktu 
secara
konsisten mengunjungi gerai ritel.
2.   Promosi Penjualan
Promosi
penjualan
adalah program
promosi
ritel
dalam
rangka
mendorong
terjadinya
penjualan atau untuk
meningkatkan
penjualan.
Ada
banyak
jenis
promosi penjualan, beberapa di antaranya adalah:
•    Titik penjualan (
point of purchase)
Dapat
dilaksanakan
dengan
cara
memajang
produk
(display)
di
counter,
lantai,
dan
jendela
(window display)
yang
memungkinkan
ritel
untuk
mengingatkan
para
pelanggan
dan sekaligus
merangsang
pola
perilaku
belanja impulsif.
•   
Kontes
Kontes
dilakukan
dengan menyelenggarakan
suatu acara
yang bersifat
kompetisi untuk memperebutkan hadiah yang disiapkan.
•   
Kupon
Kupon
adalah tanda
yang ditunjukkan
pada
pelanggan
untuk
mendapatkan
diskon khusus saat berbelanja.
  
20
•    Sampel Produk
Sampel
produk
adalah
contoh yang diberikan
secara
cuma-Cuma
yang
tujuannya adalah memberikan gambaran baik dalam manfaat maupun
tampilan dari produk yang dipromosikan.
•   
Demonstrasi
Tujuan demonstrasi sama dengan
tujuan
sampel
produk,
yaitu
memberikan
gambaran atau contoh dari produk atau jasa yang dijual.
•    Program Pelanggan Setia (Frequent Shopper Program)
Para pelanggan diberi poin atau diskon berdasarkan banyaknya jumlah
belanja yang
dilakukan.
•   
Hadiah Langsung
Mirip  dengan 
program 
pelanggan  setia 
yang  berupa  poin,  yaitu  jumlah
belanja menjadi faktor untuk memperoleh hadiah.
•   
Hadiah untuk Rujukan (®
eferral gift
)
Hadiah
yang diberikan
kepada
pelanggan
jika
mereka
membawa
calon
pelanggan baru.
•    Suvenir
Barang-barang
suvenir dapat
menjadi
alat
promosi
penjualan
yang
menunjukkan nama dan logo peritel.
•    Acara-acara khusus (
special
event
)
3.   Publisitas
Publisitas adalah komunikasi yang membangun citra positif bagi peritel di mata
publik.
Publik
bagi
peritel
adalah pemegang
saham,
pelanggan,
pemerintah,
masyarakat
luas, media masa, para opinion leader khususnya
tokoh masyarakat
baik
yang
berskala
nasional
maupun skala
lokal,
para
karyawan dan
keluarga
mereka, serikat pekerja, serta para pemasok.
  
21
4.   Situs Web
Ritel
dapat
meningkatkan
komunikasi
dengan
pelanggan
melalui
keberadaan
situs Web.
Ritel
menggunakan situs Web
untuk
membangun
citra
merek dan
menginformasikan berbagai
hal pada pelanggan seperti
lokasi toko,
peristiwa
khusus yang dijalankan
oleh ritel, dan ketersediaan barang dagangan.
5.   Penjualan Perorangan
Penjualan
perorangan
(pe®sonal
selling) adalah
upaya
penjualan
yang dilakukan
oleh para karyawan di gerai ritel kepada calon pembeli.
Menurut
Engel,
Blackwell,
dan
Miniard (1995)
yang dikutip
oleh
Pujiastuti,
terdapat lima atribut utama dari dimensi advertising & promotion
,
yaitu:
1.  
Iklan yang menarik.
2.  
Informasi brosur yang dapat dipercaya.
3.   Potongan harga.
4.  
Hadiah langsung atas pembelian sejumlah barang tertentu.
5.  
Diskon khusus pada event tertentu.
Menurut Utami (2006,
pp57-62), elemen
terakhir
dalam strategi ritel adalah
pendekatan-pendekatan
untuk
mengembangkan
keunggulan
bersaing
yang bisa
dipertahankan
atau
berkelanjutan
dalam
jangka
panjang.
Segala
kegiatan
bisnis
yang
dijalankan
ritel
dapat
menjadi
dasar
bagi
keuntungan
dalam
bersaing, tapi
keunggulan tersebut harus bisa dipertahankan dalam jangka panjang.
Tujuh  
kesempatan   yang   penting   bagi   ritel   untuk  
mengembangkan
keunggulan bersaing yang bisa dipertahankan adalah:
  
22
Loyalitas
konsumen
Layanan
konsumen
Lokasi
Keunggulan
persaingan yang
berkelanjutan
Hubungan
pedagang
Manajemen
SDM
Barang dagangan
yang unik
Sistem distribusi
dan informasi
Gambar 2.2
Keunggulan Bersaing yang
Dapat Dipertahankan
(
Sustainable
Competitive Advantange)
Sumber: Utami (2006, p58)
1.  
Loyalitas konsumen
Loyalitas
konsumen
berarti
kesetiaan
konsumen
untuk
berbelanja
di
lokasi
ritel
tertentu. 
Beberapa  dasar 
untuk  mempertahankan  keunggulan  bersaing  juga
membantu menarik perhatian dan mempertahankan para konsumen yang loyal.
Salah satu cara yang paling mudah dalam
mendeteksi loyalitas pelanggan adalah
frekuensi 
kunjungan  dan  presentase  belanja  pelanggan.  Seorang  pelanggan
yang
rutin
berbelanja
di
suatu
gerai
dengan
total
belanja
sebulannya
kurang
lebih sama dapat menjadi indikasi sederhana bahwa
pelanggan tersebut loyal.
Dengan
survei,
akan
dapat
diketahui
seberapa
besar
konsumen
suatu
gerai
termasuk 
pelanggan 
loyal 
murni 
atau 
tidak. 
Maka, 
banyak 
ritel 
mencoba
menjalankan 
program 
loyalitas 
untuk 
secara 
berkelanjutan 
memantau 
dan
mengelola
pelanggan
loyalnya.
Beberapa
ritel
yang
berorientasi
makanan
di
Indonesia
juga
telah
menjalankan
program
ini,
misalnya
Alfa
dengan
menawarkan
program
AFC
(Alfa
Family
Club),
Carrefour
dengan
Kartu
Belanja
  
23
Carrefour, Matahari
dengan MCC
(Matahari
Club Card),
maupun
Makro
dengan
kartu keanggotaannya.
2.  
Lokasi
Lokasi
adalah
faktor
penting
dalam pemilihan
toko
konsumen.
Ini
juga
keunggulan
bersaing yang
tidak
dengan
mudah
ditiru.
Penentuan
lokasi
dimulai
dengan
memilih
komunitas.
Keputusan ini sangat
bergantung pada
potensi
pertumbuhan ekonomis dan stabilitas maupun persaingan serta iklim politik.
3.   Manajemen Sumber Daya Manusia
Ritel adalah bisnis tenaga kerja
intensif.
Para pegawai
memiliki peranan penting
dalam   memberikan   layanan   pada   konsumen   dan   membangun   loyalitas
konsumen.
4.   Sistem Distribusi dan Informasi
Ritel
dapat mencapai efisiensi
dengan
mengembangkan
sistem distribusi
dan
informasi.
5.  
Barang-barang yang Unik
Sangat sulit
bagi
ritel
untuk
mengembangkan
keunggulan
bersaing
melalui
barang-barang,
karena
para
pesaing dapat
membeli dan
menjual merek-merek
nasional
yang
sama terkenalnya.
Tetapi
beberapa
ritel
menyadari
keunggulan
bersaing
yang
dapat
dipertahankan dengan
mengembangkan
merek-merek
berlabel  privat  (juga  disebut  merek-merek  toko),  yang  merupakan  produk-
produk
yang
dikembangkan
dan
dipasarkan
oleh
ritel
dan
hanya
tersedia
dari
ritel tersebut.
6.  
Hubungan Para Pedagang
Dengan
mengembangkan hubungan
yang kuat dengaan
para pedagang atau
penjual, ritel bisa mendapatkan hak-hak eksklusif, di antaranya:
a.  
Untuk menjual barang-barang di sebuah daerah
  
24
b.  
Untuk
mendapatkan
istilah-istilah
khusus
dan
membeli
yang
tidak
tersedia
untuk para pesaing yang kekurangan dalam hal tersebut
c.  
Untuk menerima barang-barang terkenal dalam pengiriman yang singkat
7.  
Layanan Konsumen
Beberapa ritel menawarkan layanan-layanan yang tidak benar-benar diinginkan
konsumen, tetapi membuat
konsumen melakukan pembelian.
Dibutuhkan waktu
dan
usaha
untuk
membangun
sebuah
tradisi dan
reputasi
untuk
layanan
konsumen, tetapi layanan yang bagus adalah aset strategis yang berharga.
2.1.7  
Analisis Kebijakan
Kebijakan merupakan arah tindakan yang ditetapkan
oleh seorang
aktor atau
sejumlah
aktor
dalam
mengatasi
suatu masalah.
Analisis
kebijakan
pada
dasarnya
mencakup
tiga
hal utama,
yaitu
bagaimana
merumuskan kebijakan,
implementasi
kebijakan,
dan evaluasi kebijakan (Dwijowijoto, 2003). Setiap kebijakan dirumuskan
untuk
tujuan tertentu
yaitu mengatur
sistem
yang
sedang
berjalan
untuk
mencapai
tujuan
(visi dan
misi)
bersama
yang
telah
disepakati.
Dengan
demikian,
analisis
kebijakan adalah tindakan yang
diperlukan
untuk
dibuatnya
sebuah
kebijakan,
baik
kebijakan
yang
baru
sama sekali atau
kebijakan
yang
baru
sebagai
konsekuensi dari
kebijakan yang ada.
Analisis  kebijakan  merupakan  suatu  keharusan  bagi  perumus  kebijakan,
namun
tidak terlalu
ditekankan
pada
implementasi kebijakan.
Pada
implementasi
kebijakan biasanya
dilakukan
evaluasi.
Namun demikian,
evaluasi
kebijakan
merupakan bagian dari analisis kebijakan yang lebih berkenaan dengan prosedur dan
manfaat dari kebijakan.
Meski analisis
kebijakan lebih fokus pada perumusan, pada
prinsipnya  setiap 
analisis 
kebijakan  pasti  mencakup 
evaluasi  kebijakan  karena
analisis
kebijakan
menjangkau
sejak
awal
proses
kebijakan,
yaitu
menemukan
isu
  
25
kebijakan,
menganalisis
faktor pendukung
kebijakan,
implementasi,
evaluasi,
dan
kondisi lingkungan kebijakan.
Metodologi analisis
kebijakan
merupakan
perpaduan
elemen-elemen
dari
berbagai
disiplin
seperti
ilmu
politik, sosiologi,
psikologi,
ekonomi,
ilmu
terapan lain
dan
ilmu
lingkungan.
Analisis
kebijakan bersifat
deskriptif,
valuatif
dan
dapat
pula
bersifat
normatif (Dunn,
2004). Analisis kebijakan pada
dasarnya adalah
menemukan
langkah strategis
untuk
mempengaruhi sistem.
Ada dua pilihan
skenario
yang dapat
dilakukan untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu: (1) kebijakan fungsional,
skenario
dengan
tindakan yang
mempengaruhi
fungsi
dari
unsur
sistem
tanpa
mengubah
sistem;
dan (2)
kebijakan
struktural, skenario dengan tindakan
yang akan
menghasilkan sistem yang berbeda (Muhammadi et al
.
,
2001).
Ada
tiga
jenis
analisis
kebijakan,
yaitu:
(1)
analisis
prospektif,
(2)
analisis
retrospektif,
dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 2004). Analisis prospektif merupakan
analisis
kebijakan
yang
terkait
dengan produksi
dan transformasi
informasi sebelum
tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya yaitu berkaitan dengan
produksi
dan transformasi informal
setelah
tindakan
kebijakan dilakukan.
Analisis
terintegrasi
adalah analisis
kebijakan yang
secara
utuh
mengkaji
seluruh daur
kebijakan dengan menggabungkan analisis prospektif dan retrospektif.
Tujuan
dari
analisis
kebijakan
adalah
menganalisis
dan
mencari
alternatif
kebijakan
yang
dapat
dipakai sebagai dasar
pengambilan
keputusan
bagi
penentu
kebijakan.
Analisis
kebijakan
adalah ilmu yang
menghasilkan informasi yang
relevan
dengan
kebijakan publik. Produk
analisis kebijakan
adalah nasehat sehingga seorang
analis 
kebijakan 
hanyalah 
penasehat 
kebijakan 
bukan  penentu 
kebijakanOleh
karena itu, analis kebijakan memerlukan
hal-hal sebagai berikut: (1) harus tahu cara
mengumpulkan, mengorganisasikan dan mengkomunikasikan informasi dalam situasi
yang
memiliki
keterbatasan
waktu
dan
akses;
(2)
membutuhkan
perspektif
untuk
  
26
melihat
masalah-masalah
sosial yang
dihadapi
dalam konteksnya;
(3) membutuhkan
kemampuan teknik agar
dapat memprediksi
kebijakan yang diperlukan di masa
yang
akan
datang
dan
mengevaluasi alternatif
kebijakan
dengan lebih
baik; (4) mengerti
institusi dan implementasi dari masalah
yang diamati untuk dapat meramalkan akibat
dari kebijakan yang dipilih, sehingga dapat menyusun fakta dan argumentasi secara
lebih efektif; dan (5) harus mempunyai etika (Suharto, 2005).
Muhammadi  et  al.  (2001)  menyatakan  bahwa  analisis  kebijakan  adalah
pekerjaan
intelektual memilah
dan mengelompokkan
upaya
yang
strategis dalam
mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis untuk
menyederhanakan
sistem
dalam
analisis
kebijakan
digunakan
simulasi
model.
Ada
dua  tahap  simulasi
model 
untuk  analisis 
kebijakan 
yaitu: 
(1) 
pengembangan
kebijakan
alternatif,
yaitu
suatu
proses
berpikir
kreatif
untuk
menciptakan
ide-ide
baru
tentang tindakan
yang
diperlukan
dalam
rangka
mempengaruhi
sistem untuk
mencapai tujuan,
baik
dengan
cara
merubah
model
maupun
tanpa merubah model;
dan
(2)
analisis
kebijakan
alternatif,
suatu
upaya
untuk
menentukan alternatif
kebijakan
yang
terbaik dengan
mempertimbangkan
perubahan sistem serta
perubahan lingkungan ke depan.
Rapid Apraissal For Private Label
(RAP-FOVABEL)
Rapid
apraissal
(RAP) 
adalah 
suatu 
teknik 
multi-disciplinary untuk
mengevaluasi comparative
sustainability
berdasarkan sejumlah atribut
atau
indikator
yang
mudah untuk
di
skoring
(Fauzi dan
Anna,
2005).
Insusfovabel
merupakan
singkatan
dari
Index Sustainable
for Private Label
atau
indeks
keberlanjutan
untuk
pengelolaan
private label.
Rapid Apraissal
Analysis adalah teknik yang dikembangkan oleh University of
British   Columbia   Canada   untuk 
sumberdaya 
perikanan,   untuk 
mengevaluasi
  
27
keberlanjutan 
sumberdaya 
perikanan 
secara 
multidisipliner. 
Metode 
ini 
adalah
metode
yang
sederhana
dan
fleksibel
yang menampung kreatifitas
dalam
pendekatannya
terhadap
suatu
masalah.
Metode
ini
memasukkan pertimbangan-
pertimbangan melalui penentuan atribut yang akhirnya menghasilkan skala prioritas.
Dalam Rapid Apraissal Analysis
,
sumberdaya dapat saja didefinisikan sebagai
suatu
entitas
dalam
lingkup
yang
luas,
atau
dalam lingkup
sempit
misalnya
dalam
satu
yurisdiksi.
Sejumlah atribut
sumberdaya
dapat
dibandingkan, atau
bahkan
trajektori waktu dari individual sumberdaya dapat di plot. Atribut dari setiap dimensi
yang
akan
dievalusi
dapat
dipilih
untuk
merefleksikan
keberlanjutan, serta
dapat
diperbaiki atau diganti ketika informasi terbaru diperoleh (Fauzi dan Anna, 2005).
Penggunaan  analisis  Rapid
Apraissal For
Private
Label
yang  mencakup
dimensi
merchandise,
quality
product
,
price
,
location, customer
service
&
selling,
dan
store
layout
&
design
akan
diperoleh
gambaran
yang
jelas
dan
komprehensif
mengenai
kondisi
pengelolaan
khususnya
di wilayah penelitian, sehingga
akhirnya
dapat
dijadikan
bahan
untuk
menentukan
kebijakan
yang tepat
untuk
mencapai
sistem pengelolaan yang berkelanjutan.
Dalam
Rapid Apraissal Analysis
,
analisis
data
dilakukan
melalui
beberapa
tahapan,
yaitu
(1) tahap
penentuan atribut
deskriptor
yang
mencakup
lima
dimensi
(ekologi, ekonomi, sosial, hukum, teknologi); (2) tahap penilaian setiap atribut dalam
skala
ordinal
(skoring)
berdasarkan kriteria
keberlanjutan
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
multi
variabel non-parametrik yang
disebut multidimensional
scaling (MDS); (3) analisis  leverage untuk peubah  yang sensitif mempengaruhi
keberlanjutan
dan;
(4) analisis
Monte
Carlo
untuk
memperhitungkan
dimensi
ketidakpastian.
Prosedur Rapid Apraissal indeks status
keberlanjutan sumberdaya dilakukan
melalui lima tahapan yaitu: (1) analisis terhadap data sektor yang diteliti melalui data
  
28
statistik 
dengan 
mengacu 
pada 
literatur 
dan 
pengamatan 
di 
lapangan; 
(2)
melakukan skoring
dengan mengacu
pada literatur
dengan menggunakan
Excel; (3)
melakukan
analisis
MDS dengan
software
spss
untuk
menentukan
ordinasi
dan
nilai
stress melalui
ALSCAL
Algoritma;
(4)
melakukan
rotasi
untuk
menentukan
posisi
sumberdaya
pada
ordinasi
bad
dan
good dengan
excel
dan
Visual
Basic;
(5)
melakukan
sensitivity analysis
(
leverage analysis
)
dan
Analisis
Monte
Carlo
untuk
memperhitungkan aspek ketidakpastian (Kavanagh, 2001).
2.1.9  
Analisis Prospektif
Analisis
prospektif
adalah suatu
cara
atau
pendekatan
untuk
menganalisis
beragam
kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi
di
masa
depan,
berdasarkan
situasi saat ini.
Analisis
prospektif
tidak sama dengan
peramalan karena situasi
saat
ini tidak dapat digunakan untuk meramal
masa depan.
La prospective berasal
dari
Bahasa
Perancis
yang apabila
diterjemahkan
ke
dalam
Bahasa
Inggris
menjadi
a
preactive
and
proactive approach atau
apabila
diterjemahkan
dalam
satu
kata
yang
sepadan
adalah
foresight karena
kata
proactivity jarang
digunakan
(Godet
et
al.,
1999).
Bila
diterjemahkan
ke
dalam
bahasa
Indonesia
menjadi
tinjauan ke masa depan.
Pendekatan
prospektif
menekankan pada
proses-proses
evolusi
jangka
panjang, sehingga
dimensi waktu
menjadi
salah
satu
unsurnya.
Analisis
prospektif
ini adalah
salah satu
dari
metoda
dengan pendekatan sistem.
Tujuan analisis
prospektif
adalah: (1)
untuk
mendefinisikan
tujuan
pembangunan
jangka
panjang
dari
sistem
yang
dipelajari,
(2) untuk
menentukan
strategi
yang akan
diikuti
agar
sistem
mencapai
tujuan.
Strategi
berupa
rangkaian
keputusan
yang
penting
untuk
mencapai
tujuan
dan dugaan
untuk
memperkirakan
interaksi 
yang 
mungkin 
sebagai 
akibat 
dari  setiap 
keputusan; 
dan 
(3) 
untuk
  
29
menterjemahkan
strategi kedalam
perencanaan,
tujuan
umum dan
strategi yang
muncul dari analisis prospektif yang berguna untuk menentukan prioritas dalam
proses perencanaan (Godet et al., 1999).
Analisis
prospektif
tepat
digunakan
untuk
perancangan
strategi
kebijakan
karena analisis
prospektif
dapat
digunakan
untuk
mempersiapkan tindakan
strategis
dan
melihat
apakah
perubahan
dibutuhkan di
masa
depan.
Terdapat
tiga
langkah
yang
harus
dilakukan
dalam
analisis
prospektif,
yaitu:
(1)
mengidentifikasi faktor
penentu
di
masa
depan,
(2)
menentukan tujuan
strategis
dan
kepentingan
pelaku
utama
(stakeholde®), serta
(3)
mendefinisikan
dan
mendeskripsikan
evolusi
kemungkinan masa depan.
2.1.10
Analytical Hierarcy Process
(AHP)
Analytical Hierarchy
Process
(AHP)
merupakan
salah
satu
alat
analisis
manajemen  strategik 
dengan  pendekatan  sistem.  Menurut  Ma’arif  dan  Tanjung
(2003,
p90),
AHP
merupakan
suatu
model
yang
luwes
yang
mampu
memberikan
kesempatan bagi
perorangan
atau
kelompok
untuk
membangun
gagasan-gagasan
dan
mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi
mereka
masing-masing
dan membuat memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya.
Secara umum, keuntungan penggunaan metode AHP dapat diikhtisarkan
sebagai berikut. (Marimin2004, p77)
1.  
Kesatuan:
AHP
memberikan
satu
model
tunggal
yang mudah
dimengerti, luwes
untuk aneka ragam persoalan yang tidak terstruktur.
2.  
Kompleksitas:
AHP
memadukan
ancangan
deduktif
dan
ancangan
berdasarkan
sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
3.   Saling
ketergantungan:
AHP
dapat
menangani
saling
ketergantungan
elemen-
elemen dalam suatu sistem dan tidak
memaksakan pemikiran linier.
  
30
4. 
Penyusunan Hierarki: AHP
mencerminkan
kecenderungan
alami pikiran
untuk
memilah-milah
elemen-elemen
suatu
sistem
dalam
berbagai
tingkat
berlainan
dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
5.   Pengukuran:
AHP
memberi
suatu
skala
untuk
mengukur
objek
dalam
wujud
suatu metode untuk menetapkan prioritas.
6.   Konsistensi: 
AHP  melacak 
konsistensi  logis 
dari  pertimbangan-pertimbangan
yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
7.   Sintesis: AHP menuntun
ke
suatu
taksiran
menyeluruh
tentang
kebaikan setiap
alternatif.
8.   Tawar-menawar: AHP
mempertimbangkan prioritas-prioritas
relatif
dari berbagai
faktor
sistem
dan
memungkinkan
orang
memilih
alternatif
terbaik
berdasarkan
tujuan-tujuan mereka.
9.   Penilaian 
dan 
Konsensus: 
AHP 
tidak 
memaksakan 
suatu 
konsensus 
tetapi
mensintesis suatu hasil
yang representatif
dari
berbagai penilaian yang berbeda-
beda.
10. Pengulangan
Proses:
AHP
memungkinkan
orang
untuk
memperhalus
definisi
mereka
pada
suatu
persoalan
dan
memperbaiki
pertimbangan
dan
pengertian
mereka melalui pengulangan.
Dengan
pendekatan AHP,
pengukuran
dapat dilakukan dengan membangun
suatu
skala
pengukuran
dalam
bentuk
indeks,
skoring
atau
nilai
numerik
tertentu.
Karena itu,
menurut Ma’arif dan Tanjung (2003, pp92-94), dalam menyelesaikan
persoalan
dengan
menggunakan
AHP,
terdapat
beberapa prinsip
yang harus
dipahami,
antara
lain
adalah:
decomposition,
comparative judgement,
syntetis of
priority, dan logical consistency.
1.  
Decomposition
  
31
Setelah
persoalan  
didefinisikan,  
tahapan  
yang  
perlu  
dilakukan  
adalah
decomposition
yaitu
memecah
persoalan
yang
utuh
menjadi
unsur-unsurnya.
Jika
ingin  mendapatkan
hasil
yang
akurat,
pemecahan
juga
dilakukan
pada
unsur-unsurnya
sampai
tidak
mungkin dilakukan
pemecahan lebih
lanjut,
sehingga
didapatkan
beberapa
tingkatan dari
persoalan
tadi.
Karena
alasan
ini
maka
proses
analisis
ini
dinamakan
hirarki.
Ada
dua
jenis
hirarki
yaitu
lengkap
dan tidak lengkap. Dalam hirarki lengkap, semua elemen pada suatu tingkat
memiliki
semua
elemen
yang
ada
pada
tingkat
berikutnya. Jika tidak
demikian
maka dinamakan hirarki tidak lengkap.
2.  
Comparative Judgement
Prinsip
ini
berarti
membuat
penilaian
tentang
kepentingan
relatif
dua
elemen
pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian
ini
merupakan
inti
dari
penilaian
AHP, karena
ia
akan
berpengaruh
terhadap
prioritas
elemen-elemen.
Hasil
dari
penilaian
ini akan
tampak lebih
enak
bila
disajikan
dalam
bentuk matriks
yang dinamakan
matriks
perbandingan
berpasangan
(
Pairwise Comparison
Matrix).
Pertanyaan
yang
biasanya
diajukan
dalam penyusunan skala kepentingan adalah:
a.   Elemen mana yang lebih ( penting / disukai / mungkin / ... )? dan
b.  
Berapa kali lebih ( penting / disukai / mungkin/ .... )?
Agar
diperoleh
skala
yang
bermanfaat ketika
membandingkan
dua
elemen,
seseorang
yang
memberikan
jawaban
perlu
memahami pengertian
menyeluruh tentang elemen-elemen
yang
dibandingkan
dan relevansinya
terhadap kriteria atau tujuan yang dipelajari. Dalam penyusunan skala
kepentingan ini digunakan patokan sebagai berikut:
  
32
Tabel 2.1  Skala Dasar
Tingkat
Kepentingan
Definisi
1
3
5
7
9
2,4,6,8
Kebalikan
(
Reciprocal
)
Kedua elemen sama pentingnya.
Elemen yang satu “sedikit lebih penting” daripada elemen yang lain.
Elemen yang satu “lebih penting” daripada elemen yang lain.
Elemen yang satu “jelas lebih penting” daripada elemen yang lain.
Elemen yang satu “mutlak lebih penting” daripada elemen yang lain.
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan
yang berdekatan.
Jika untuk
aktifitas i
mendapat
satu
angka
bila dibandingkan
dengan
aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan
dengan i.
Sumber: Saaty (1999)
Dalam
penilaian
kepentingan
relatif,
dua
elemen
berlaku
aksioma recip®ocal
artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding j, maka elemen j harus
sama
dengan
1/3
kalinya
lebih
penting
dari elemen
i.
Di samping
itu,
perbandingan dua
elemen yang
sama
akan
menghasilkan
angka
1, artinya
sama
penting. Dua elemen yang berlainan dapat saja dinilai sama penting.
Jika  terdapat  n  elemen,  maka  akan  diperoleh  matriks  Pairwise
Comparison
berukuran
nxn.
Banyaknya
penilaian
yang
diperlukan
dalam
menyusun
matriks
ini
adalah
n(n-1)/2
karena
matriksnya
reciprocal
dan
elemen-elemen
diagonal
sama dengan 1.
3.  
Syntetis of Priority
Dari setiap matriks
Pairwise
Comparison kemudian
dicari
eigen vector-nya untuk
mendapatkan
local priority.
Karena
matriks
Pairwise Comparison
terdapat
pada
setiap
tingkat, maka untuk
mendapatkan
global priority harus
dilakukan
sintesis
di
antara
local prority.
Prosedur
melakukan
sintesis
berbeda
menurut
bentuk
hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur
sintesis dinamakan
priority setting
.
  
33
4.  
Logical Consistency
Konsistensi  memiliki 
dua  makna. 
Pertama  adalah  bahwa  objek-objek  yang
serupa
dapat
dikelompokkan
serupa dengan
keseragaman dan
relevansi.
Contohnya, anggur dan
kelereng
dikelompokkan dalam himpunan yang
seragam
jika “bulat”
merupakan
kriterianya,
tetapi tidak
dapat jika
“rasa”
kriterianya.
Arti
kedua adalah menyangkut
tingkat hubungan
antara
objek-objek yang
didasarkan
pada
kriteria
tertentu.
Contohnya,
jika
manis
merupakan
kriteria
dan
madu
dinilai 5x lebih manis dibanding gula, dan gula 2x lebih manis dibanding sirop,
maka seharusnya
madu
dinilai
10x
lebih
manis
dari sirop. Jika madu
dinilai
4x
manisnya
dibanding
sirop, maka
penilaian
tidak
konsisten
dan proses
harus
diulang jika ingin mendapatkan penilaian yang lebih tepat.
AHP
merupakan
salah
satu
tools dalam
pemecahan
masalah
yang
bersifat
strategis. Adapun langkah-langkah penggunaan AHP adalah sebagai berikut.
1.  
Identifikasi sistem
Mengidentifikasikan
kriteria
dan
subkriteria
apa saja
yang
diperlukan
untuk
mencapai tujuan tersebut.
2.   Penyusunan hirarki
Hirarki
adalah alat
yang paling mudah untuk
memahami
masalah yang
kompleks
dimana  masalah  tersebut  diuraikan  ke  dalam  elemen-elemen  yang
bersangkutan,
menyusun elemen-elemen
tersebut
secara
hirarkis
dan
akhirnya
melakukan penilaian
atas
elemen-elemen
tersebut
sekaligus
menentukan
keputusan
mana
yang
akan
diambil.
Proses
penyusunan
elemen-elemen secara
hirarkis
meliputi
pengelompokan elemen-elemen dalam
komponen
yang sifatnya
homogen dan menyusun
komponen-komponen tersebut
dalam
level
hirarki yang
tepat.
Hirarki juga
merupakan abstraksi struktur suatu
sistem yang
mempelajari
fungsi
interaksi
antara
komponen
dan
juga
dampak-dampaknya
pada
sistern.
  
34
Abstraksi
ini
mempunyai
bentuk
saling
berkaitan,
tersusun
dan
suatu
puncak
atau
sasaran
utama
(ultimate goal)
turun
ke
sub-sub
tujuan
tersebut,
lain
ke
pelaku (aktor) yang memberi dorongan, turun ketujuan-tujuan pelaku, kemudian
kebijakan-kebijakan,
strategi-strategi tersebut. Dengan demikian hirarki adalah
sistem
yang
tingkatan-tingkatan
(
level) keputusannya
berstratifikasi
dengan
beberapa elemen keputusan pada setiap tingkatan keputusan.
3.   Penentuan prioritas
Ada
beberapa
cara
untuk
mencari vektor
prioritas
dari
matriks pairwise
comparison.
Penekanan
pada
konsistensi
menyebabkan
digunakannya
rumus
eigen value.
Berikut
ini
adalah
rumus
yang
digunakan
(untuk
para
pengambil
keputusan 
telah 
disediakan 
software
AHP 
di 
mana 
kita 
tidak 
perlu 
lagi
menghitung dengan rumus-rumus):
VE
i
(Vektor Eigen)
=
n
n    
?
a
ij
j
=
1
, i = 1, 2, .....n
Vp
i
(Vektor Prioritas)
=
VE
i
n
?
VE
i = 1
VA (Vektor Antara)
= aij x VP
(baris)
VA
VB (Nilai Eigen)
=
VP
?
maks
(Nilai Eigen
maks
)
=
?VB
n
CI (Indeks Konsistensi)
= (
?
maks
-
n)/ (n-1)
CR (Rasio Konsistensi) 
= (CI/RI)
  
35
Tabel 2.2  RI (Random Konsistensi Indeks)
n
1
2
3
4
5
RI
0.00
0.00
0.58
0.90
1.12
n
6
7
8
9
10
RI
1.24
1.32
1.41
1.45
1.49
n
11
12
13
14
15
RI
1.51
1.48
1.56
1.57
1.49
Sumber: Ma’arif dan Tanjung (2003, p97)
2.2     
Kerangka
Pemikiran
Menurut
Fred
R.
David (2009),
ketika
perusahaan-perusahaan lain
tidak
mampu
menduplikasi strategi
tertentu, maka
perusahaan yang
menjalankannya
memiliki
keunggulan
kompetitif
yang
berkesinambungan. Keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan adalah
suatu
konsep
kunci
dalam
strategi
praktek dan
riset
yang
memprediksi
faktor-faktor
yang
mempertahankan
keunggulan
kompetitif
yang
akan menghasilkan
kinerja
yang
unggul
dan
konstan (Marc Baaij, Mark Greeven, dan Jan Van Dalen, 2004).
Dalam
upayanya
untuk
memperoleh
keunggulan
kompetitif
yang
berkelanjutan
di
bidang
ritel, perusahaan perlu
menetapkan prioritas alternatif
kebijakan pengelolaan private
label
secara
berkelanjutan melalui berbagai
kajian
baik dari dimensi pengelolaan
private label
maupun
kajian
mengenai
kebutuhan
stakeholder
di
PT.
Indomarco
Prismatama.
Ada
tujuh
dimensi yang
perlu diperhatikan dalam menerapkan
keberlanjutan
pengelolaan private label
yaitu
dimensi
merchandise,
quality product,
price, location, customer
service
&
selling, store
layout & design
,
dan adve®tising & p®omotion
.
Pada
dimensi
merchandise,
hal-hal
yang
perlu
diperhatikan
adalah
banyak
variasi
barang,
kuantitas
atau
isi
produk,
dan
ketersediaan
produk.
Pada
dimensi
quality product,
hal-hal
yang perlu
diperhatikan
adalah
kinerja
produk,
fitur
produk,
keandalan
produk,
kesesuaian
produk,
daya
tahan produk, estestika produk, dan
kualitas
yang dirasakan.
Pada
  
36
dimensi
price
,
hal-hal
yang
perlu
diperhatikan
adalah
kestabilan
harga
dan
tingkat
harga.
Pada
dimensi
location, hal-hal
yang perlu
diperhatikan
adalah lokasi
yang mudah
dijangkau,
fasilitas
parkir
yang
luas, waktu
tempuh
perjalanan menuju
tempat
berbelanja,
kelancaran
arus lalu lintas, banyaknya sarana transportasi yang menunjang, dan lingkungan sekitar yang
aman.
Pada
dimensi
customer service
&
selling
,
hal-hal
yang
perlu
diperhatikan
adalah
pengetahuan pramuniaga atas
produk
yang
ditawarkan,
pramuniaga
yang ramah dan sopan,
proses
transaksi pembayaran cepat,
kasir memberikan penjelasan
yang cukup mengenai
cara
pembayaran (tunai,
debet,
kredit),
layanan
yang
ramah
dan
membantu,
jam
buka
yang
sesuai,
dan
mudah
untuk
menukarkan
barang dan
mendapatkan
pengembalian
uang.
Pada
dimensi
store layout
&
design
,
hal-hal
yang
perlu
diperhatikan
adalah
kebersihan
toko
dan
area
perbelanjaan,
mudah
menjangkau
seluruh area
toko
dan
perbelanjaan,
mudah
menjangkau
dan
memilih
barang
dagangan,
penempatan
rak
yang
disusun
dengan
rapi
sesuai  dengan  jenis  barang,  dan  pencahayaan  yang  baik.  Pada  dimensi  advertising
&
promotion, hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah iklan
yang menarik,
informasi
brosur
yang
dapat dipercaya, potongan harga,
hadiah langsung atas pembelian sejumlah barang tertentu,
dan diskon khusus pada event tertentu.
Dalam
menentukan
prioritas
alternatif
kebijakan
pengelolaan
private label secara
berkelanjutan
di
PT.
Indomarco
Prismatama, digunakan
metode
pendekatan sistem
yang
mengintegrasikan dimensi
merchandise
,
quality product
,
price
,
location
,
©ustomer service
&
selling,
store layout &
design,
dan advertising & promotion
dalam suatu analisis yang runtun.
Dimensi-dimensi
tersebut
penting
untuk
diperhatikan
dalam
pengelolaan
private label guna
mencapai tujuan pengelolaan yang berkelanjutan.
Pada
penelitian
ini,
penilaian
keadaan saat
ini (
existing condition
)
terhadap
ketujuh
dimensi
tersebut
dilakukan
dengan
menggunakan
Rapid Apraissal For Private Label (RAP-
FOVABEL)
yang
merupakan
modifikasi
dari
RAPFISH
yang
dikembangkan
oleh
Kavanagh
  
37
(2001). 
Berdasarkan  analisis  RAP-FOVABEL 
diketahui  status 
keberlanjutan  pengelolaan
private
label
Indomaret
untuk
saat
ini.
Dalam
kaitan dengan pengelolaan
private
label
di
PT.
Indomarco
Prismatama, selain perlu
mengetahui
faktor pengungkit
(leve®aging
factor
)
yang
sensitif
mempengaruhi status
keberlanjutan
pengelolaan, maka perlu
juga
memperhatikan
kebutuhan
stakeholder agar memudahkan implementasi prioritas alternatif kebijakan.
Dalam
melakukan
kegiatan
pengelolaan
private label
di
masa
mendatang,
perlu
diketahui faktor
kunci
pengelolaan private label yang diperoleh dari
faktor
penting
menurut
kebutuhan
stakeholder dan faktor
pengungkit keberlanjutan pengelolaan
private
label. Faktor
kunci
ini
merupakan
masukan
dalam
perumusan
alternatif
kebijakan
pengelolaan
private
label
di PT. Indomarco Prismatama.
PT. Indomarco Prismatama
Pengelolaan Private Label Saat Ini
Dimensi Pengelolaan yang Berkelanjutan
Merchandise
Quality
Product
Price
Location
Customer
Service
&
Selling
Store Layout
&
Design
Advertising
&
Promotion
Status Keberlanjutan dan Faktor
Pengungkit Keberlanjutan Pengelolaan
Analisis Kebutuhan
Stakeholder
Faktor Kunci Pengelolaan Private
Label
yang Berkelanjutan
Prioritas Kebijakan Pengelolaan
Private Label
Pengelolaan Private Label yang Berkelanjutan
di PT. Indomarco Prismatama
Gambar 2.3
Kerangka Pemikiran