7
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Subjective Well Being
Ada
dua
tradisi
dalam
memandang
kebahagiaan, yaitu
kebahagiaan
eudaimonic 
dan  kebahagiaan  hedonis.  Istilah 
eudaimonic 
berasal  dari  bahasa
Yunani
daimon,
yang
berarti
diri
yang
sebenarnya.
Kebahagiaan
eudaimonic
bermakna
bahwa
kebahagiaan adalah
hasil
dari
perjuangan
untuk
mencapai
aktualisasi diri, dimana dalam prosesnya akan sangat dipengaruhi oleh bakat, nilai,
dan
kebutuhan
dari
individu
dalam
menjalani
hidup
(Baumgardner, 2010).
Sedangkan,
kebahagiaan hedonis
memiliki
kesamaan
dengan
filosofi
hedonisme
yang   memandang 
bahwa   tujuan   hidup   adalah   pencarian 
kebahagiaan 
dan
kepuasan. Hal
ini
dituangkan dalam
konsep
subjective well
being
atau
SWB
(Baumgardner, 2010).
Dengan
demikian,
konsep
SWB
tergolong
dalam
tradisi
kebahagiaan hedonis.
Subjective well
being
merupakan evaluasi
orang
tehadap
kehidupannya
sendiri—baik secara afektif maupun kognitif. Orang merasakan SWB yang melimpah
ketika
mereka
mengalami perasaan
nyaman
yang
melimpah dan
hanya
sedikit
perasaan tidak
nyaman,
ketika
terlibat
dalam
kegiatan yang
menarik dan
ketika
mereka merasakan banyak kesenangan dan
sedikit rasa sakit, dan ketika mereka
puas dengan hidup mereka (Diener, 2000).
Subjective
Well
Being
mencerminkan penilaian
masing-masing individu
terhadap diri sendiri tentang kualitas kehidupan mereka (Baumgardner, 2010). Ada
beberapa
alasan
kebahagiaan perlu
diukur
dengan
penilaian
subjektif.
Masing-
masing individu bisa jadi memiliki respon yang berbeda terhadap suatu fakta atau
  
8
masalah. Misalnya, ada orang yang
tabah menghadapi kematian anggota keluarga
dekat,
namun
ada
juga
yang
sedih
luar
biasa.
Perbedaan
ini
dapat
tejadi
karena
faktor nilai, ekspektasi, dan pengalaman hidup individu. Karena itu, penilaian secara
subjektif
dapat
membantu memahami bagaimana individu
memaknai
masalah
(Baumgardner, 2010).
Penelitian
terbaru
menemukan ada
tiga
komponen
SWB,
yaitu
:
life
satisfaction, positive
affect
,
dan
negative
affect.
Life
satisfaction
adalah
penilaian
kognitif
seseorang terhadap
tingkat
kepuasan hidupnya.
Positive
affect
adalah
frekuensi
dan
intensitas
emosi
yang
menyenangkan seperti
perasaan
nikmat
dan
bahagia.
Negative
affect
adalah
frekuensi dan
intensitas emosi
yang
tidak
menyenangkan seperti kesedihan dan kehawatiran. Kedua afek tersebut (positif dan
negatif) 
adalah 
perasaan 
orang 
terhadap 
kehidupan 
mereka 
(Andrews 
dan
Robinson, 1992; Argyle, 2001; Diener, 2000; Diener dkk., 1999 dalam Baumgardner,
2010). Dengan demikian, orang yang merasakan emosi positif yang berlimpah dan
emosi
negatif
yang
sedikit,
lalu
merasakan
kepuasan terhadap
hidup
mereka,
didefinisikan sebagai
orang
yang
bahagia.
Hal
ini
sejalan
dengan
definisi
SWB
menurut Diener
(2000)
di
atas.
Selain
itu,
dari
definisi
tersebut, konsep
SWB
tergolong dalam tradisi kebahagiaan hedonis yang mengejar kepuasan hidup.
SWB
tidak
mencari
tahu
penyebab orang
bahagia
atau
tidak
bahagia
(Baumgardner, 2010). Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa SWB adalah
kebahagiaan itu
sendiri.
Karena itu,
dalam
tulisan
ini, istilah
subjective
well being
dan kebahagiaan dianggap memiliki makna yang sama.
Pandangan
kebahagiaan yang
hedonis
menganggap bahwa
makna
dari
kebahagiaan dapat
ditemukan dengan
membandingkan orang-orang yang
bahagia
dan tidak bahagia.
Misalnya, penelitian menemukan bahwa,
orang
yang
bahagia
  
9
adalah
orang
yang
memiliki
hubungan sosial
yang
baik,
optimis,
dan
memiliki
pekerjaan yang bermakna, maka hal
tersebut dapat menjelaskan alasan mengapa
orang
tesebut bahagia. Peneliti SWB
menggunakan pendekatan riset. Artinya, Hal
yang
perlu
didahulukan
adalah
riset,
dan
teori
dapat
dikemukakan kemudian
(Baumgardner, 2010).
Dengan
demikian,
penelitian
empiris
merupakan
hal
yang
utama dalam pengembangan studi SWB.
SWB
memungkinkan
orang
untuk
menilai
kebahagiaannya sendiri
berdasarkan kriteria mereka sendiri (Baumgardner, 2010). Diener juga beranggapan
bahwa pendekatan SWB memiliki kelebihan yaitu orang tidak terpaku pada definisi
kebahagiaan yang dikemukakan para psikolog (Diener dalam Baumgardner, hal 35,
2010).
2.1.1.1 Afek Positif dan Afek Negatif
Carr
(2004)
menjelaskan afek
positif
sebagai
dimensi
dimana
terdapat
perasaan  yang  nyaman  dengan  intensitas  yang  beragam.  Afek  positif  dapat
membuat orang lebih menikmati pekerjaan,
dan
hubungan dengan orang lain, dan
sebaliknya,
bahagia
dalam
pekerjaan
dan
percintaan
meningkatkan afek
positif.
Sementara itu,
rendahnya
afek
positif
diasosiasikan dengan
gangguan
psikologis.
Afek
positif
mendorong
organisme
untuk
mendekatkannya pada
situasi
yang
menyenangkan dan
bermanfaat seperti makanan, tempat
berlindung, dan
mencari
pasangan (Watson
dkk,
1995
dalam
Carr
2004).
Afek
positif
dapat
ditingkatkan
dengan melakukan aktifitas fisik sehari-hari, tidur yang cukup, bersosialisasi dengan
teman
dekat dan bekerja
keras untuk
mencapai tujuan yang
memiliki nilai (Carr,
2004).
Sedangkan afek negatif adalah dimensi dimana terdapat perasaan yang tidak
nyaman    dengan    intensitas    yang   
beragam.   
Afek   
negatif   
dan    positif
  
10
merepresentasikan sistem
neurobiologis
yang
telah
berevolusi
demi
melakukan
tugas-tugas evolusinya. Salah satu
fungsi
dari
afek
negatif
adalah
mengarahkan
kepada perilaku menghindar yang berguna untuk menjauhkan organisme dari situasi
yang berbahaya (Carr, 2004).
Dalam penelitian ini, afek negatif dan positif diukur dengan SPANE. SPANE
berisi 6
item
yang mengukur afek positif dan 6
item
yang mengukur afek negatif. Alat
ini
digunakan
untuk
mengukur perasaan
well
being
dan
ill
being
secara subjektif.
SPANE
memiliki
beberapa
keunggulan dibanding
alat
ukur
emosi
yang
sejenis.
Diantaranya, SPANE
mengukur perasaan
secara umum seperti “positif”, “negatif”,
dan
“nyaman”.
Dengan
cara
ini
SPANE
dapat
menjangkau lebih
luas
perasaan
responden, tanpa harus membuat item yang terlalu banyak (Diener dkk., 2009).
2.1.2 Pertemanan
Hartup
(dalam Chan
&
Cheng,
2004) mendefinisikan teman
sebagai orang
yang
secara spontan mencari mencari kawan
dan kedekatan
walaupun
tidak
ada
tuntutan
sosial
yang
kuat
untuk
melakukannya. Definisi
tersebut
serupa
dengan
definisi
dari
Wright
(dalam
Chan
&
Cheng,
2004)
yang
mengatakan bahwa
pertemanan
adalah  hubungan  yang  melibatkan  interaksi  yang  sukarela  dimana
orang
yang
terlibat
di
dalamnya
memberikan
respon
secara
pribadi
kepada
yang
lain. Dari dua definisi tersebut, dapat dismpulkan bahwa pertemanan terjadi dengan
sukarela, tanpa paksaan, melibatkan interaksi dan kedekatan secara personal.
Menurut Hays (dalam Demir & Weitekamp, 2007) pertemanan adalah saling
ketergantungan secara
sukarela
diantara
dua
orang,
yang
memudahkan
untuk
mendapatkan  dukungan  sosio-emosional,  yang  melibatkan 
berbagai  jenis  dan
derajat dari
companionship
,
intimasi,
afeksi,
dan
mutual
assistance
.
Dari
definisi
  
11
tersebut dapat disimpulkan bahwa pertemanan adalah hubungan antara dua orang
yang
melibatkan
beberapa
unsur
yang
telah
disebutkan.
Unsur-unsur tersebut
memiliki  derajat,  yang  berarti  ada  kualitas  yang  bisa  diukur  dari  unsur-unsur
tersebut.  Kualitas 
dari  unsur-unsur 
pertemanan 
tersebut 
dirumuskan 
menjadi
kualitas pertemanan.
2.1.2.1 Kualitas Pertemanan
Mendelson
dan
Aboud
(1999)
mengidentifikasi enam
macam
fungsi
pertemanan. Mereka adalah:
a. 
stimulating  companionship
—melakukan
kegiatan  yang  menyenangkan
bersama-sama.
b.
help
—menyediakan pertolongan dan berbagai jenis bantuan.
c.
intimacy
—mengungkapkan pikiran dan perasaan,informasi pribadi secara
jujur dan sensitive terhadap kondisi dan kebutuhan satu sama lain.
d.
reliable alliance
—loyalitas dan r
emaining available.
e.
self
validation
—meyakinkan,
mendukung
satu
sama
lain
dalam
membentuk citra diri positif.
f.
emotional  stability
—menyediakan  kenyamanan  dan  kepercayaan  diri
dalam situasi yang baru atau mengancam.
2.1.3 Emerging Adult
Subjek
penelitian
ini
adalah
golongan
mahasiswa, yang
secara
fase
perkembangan, berada
pada
fase
emerging
adult
(Arnett,
2000).
Yang
dimaksud
emerging adult
adalah periode transisi dari remaja menuju dewasa (Papalia, 2007).
Menurut
Arnett
(2000),
dewasa
muda
adalah
fase
dimana
seseorang
tidak
lagi
  
12
remaja 
namun 
juga 
belum 
sepenuhnya  dewasa. 
Arnett  membedakan  istilah
emerging
adult
dengan
young adult
(dewasa
muda)
yang menurutnya
lebih
tepat
digunakan untuk
menyebut kaum
muda
yang
berumur 30-an
yang
telah
memiliki
perkerjaan
yang
stabil. Di
sisi
lain,
golongan
yang
termasuk pada fase
emerging
adult
berada 
pada
umur 
18-25
tahun,
dimana sebagian besar mereka
sedang
menjalani pendidikan dan pelatihan
yang
berguna untuk
pekerjaan dalam
jangka
panjang. Dengan kata lain, mereka sedang mengenyam proses pendidikan tinggi.
Fase
emerging adulthood
dapat ditemukan di negara-negara industri, dimana
untuk
memasuki
profesi
yang
berbasis
informasi,
dibutuhkan pendidikan dan
pelatihan dengan level
yang tinggi. Hal ini menyebabkan kaum muda banyak yang
melanjutkan  pendidikan  ke  level  yang  lebih  tinggi  setelah  lulus  sekolah,  dan
menunda pernikahan (Arnett, 2000).
2.2 Kerangka Berfikir dan Hipotesis
Manusia
Mahluk
Sosial
Pertemanan
Kualitas
Pertemanan
berkorelasi
Mahasiswa
Psikologi
Binus
Mahasiswa
Emerging
Adult
Subjective
Well Being
  
13
Hipotesis
Ho
:
Tidak
ada
hubungan
positif
antara
kualitas
pertemanan dengan
subjective   well   being  
pada   mahasiswa   Jurusan   Psikologi   Universitas   Bina
Nusantara.
Ha :   Ada hubungan positif antara
kualitas pertemanan
dengan
subjective
well being
pada mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara.