7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 
Gambaran Umum Obyek Penelitian
Obyek Penelitian adalah persimpangan Lebak Bulus, dengan batasan-batasan
sebagai berikut :
Utara  
: Jalan Raden Ajeng Kartini
Selatan
: Jalan Raden Ajeng Kartini
Timur 
: Jalan Metro Pondok Indah
Barat  
: Jalan Pasar Jumat
                            
(sumber : indotekken.com)
Gambar 2.1 Denah Lokasi Persimpangan
  
8
2.1.1 
Kondisi Geometrik
Persimpangan Lebak Bulus merupakan salah satu persimpangan yang cukup
besar di daerah Jakarta Selatan. Di daerah sekitar persimpangan terdapat macam-
macam fasilitas umum seperti pusat pendidikan, perkantoran, pusat perbelanjaan,
apartemen, terminal dan tempat ibadah. Berikut adalah foto-foto lokasi masing-masing
simpang dan lebar geometrik masing-masing yaitu simpang arah TB Simatupang, arah
Pondok Indah, dan arah Pondok Pinang.
Gambar 2.2 Simpang Jl. R.A Kartini (Selatan)
  
9
Gambar 2.3 Lebar Eksisting Jl. R.A Kartini (Selatan)
Gambar 2.4 Simpang Jl. Metro Pondok Indah
Gambar 2.5 Lebar Eksisting Jl.  Metro Pondok Indah
2 m
0.9 m
2 m
10,4 m
m
2 m
2 m
13,8  m
  
10
Gambar 2.6 Simpang Jl. R.A Kartini (Utara)
Gambar 2.7 Lebar Eksisting Jl. R.A Kartini (Utara)
2 m
2 m
15,6  m
  
11
2.2.
Landasan Teori
2.2.1
Klasifikasi Jalan
Jalan merupakan sebidang prasarana di darat, baik dengan konstruksi tertentu
maupun tidak yang digunakan untuk kepentingan pergerakan kendaraan. Kegunaan dan
fungsi jalan dapat didasarkan  pada berbagai hal baik secara fisik maupun pelayanannya.
Berdasarkan kapasitas jalan dan muatannya, menurut UU No.28 tahun 2004 klasifikasi
jalan adalah sebagai berikut :
a)
Jalan Arteri
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk (akses)
dibatasi secara berdaya guna
b)
Jalan Kolektor 
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau
pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan
jumlah jalan masuk dibatasi.
c)
Jalan Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
d)
Jalan Lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan
ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
  
12
2.2.2
Fungsi Jalan
Jalan memiliki suatu sistem jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan
pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya
dalam suatu hubungan. Klasifikasi jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan fungsi
jalan, administrasi pemerintahan dan berdasarkan muatan sumbu yang menyangkut
dimensi dan berat suatu kendaraan. Penentuan klasifikasi jalan terkait dengan besarnya
volume lalu lintas yang menggunakan jalan tersebut. Jalan umum menurut statusnya
dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan
jalan desa.
a)
Jalan Nasional
Jalan nasional adalah jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional,
serta jalan tol.
b)
Jalan Provinsi
Jalan provinsi adalah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota kabupaten, atau antar ibukota, dan jalan strategis
provinsi.
c)
Jalan Kabupaten 
Jalan kabupaten adalah jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak
termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota
kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan
lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
  
13
d)
Jalan Kota
Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan antar pusat
pemukiman dalam wilayah perkotaan.
e)
Jalan Desa
Jalan desa adalah jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar
pemukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
2.2.3 
Simpang Jalan
Simpang Jalan adalam simpul jalan raya yang terbentuk dari beberapa pendekat,
dimana arus kendaraan dari berbagai pendekat tersebut bertemu dan memencar
meninggalkan simpang. Pada jalan raya dikenal tiga macam pertemuan jalan, yaitu :
pertemuan sebidang, pertemuan tidak sebidang dan persimpangan jalan.
Pertemuan sebidang dapat menampung arus lalu lintas baik yang menerus
maupun yang membelok sampai batas tertentu. Jika kempampuan menampung arus lalu
lintas tersebut telah dilampaui dan tampak dengan munculnya tanda-tanda
kemacetan
lalu lintas. Pertemuan ini terdiri dari berbagai cabang yang dikelompokkan menurut
cabangny, yaitu : pertemuan sebidang bercabang tiga, pertemuan sebidang bercabang
empat, pertemuan sebidang bercabang banyak.
2.2.4
Simpang Bersinyal
Simpang bersinyal adalah simpang yang dikendalikan oleh sinyal lalu lintas.
Sinyal lalu lintas adalah semua peralatan pengatur lalu lintas yang menggunakan tenaga
listrik, rambu dan marka jalan untuk mengarahkan atau memperingatkan pengemudi
  
14
kendaraan bermotor, pengendara sepeda, atau pejalan kaki (Oglebsy dan Hick, 1982)..
Berikut adalah fungsi sinyal lalu lintas, ciri-ciri fisik lampu lalu lintas, lokasi lampu lalu
lintas, pengoperasian lampu lalu lintas, karakteristik lampu lalu lintas, dan fase sinyal. 
a)
Fungsi sinyal lalu lintas 
 
Fungsi sinyal lalu lintas antara lain :
Mendapatkan gerakan lalu lintas yang teratur.
Mengurangi frekuensi kecelakaan.
Mengatur pengguna jalur lalu lintas.
Mengkoordinasikan lalu lintas di bawah kondisi jarak sinyal yang cukup
baik, sehingga arus lalu lintas tetap berjalan menerus pada kecepatan
tertentu.
Memutuskan arus lalu lintas tinggi agar memungkinkan adanya
penyebrangan kendaraan lain atau pejalan kaki.
Sebagai pengendali pertemuan pada jalan masuk menuju jalan bebas
hambatan.
Memutuskan arus lalu lintas bagi lewatnya kendaraan darurat (ambulance)
atau pada jembatan baru.
b)
Ciri-ciri fisik lampu lalu lintas
Ciri-ciri fisik lampu lalu lintas yang disebutkan oleh Oglesby dan Hick (1982)
adalah :
Sinyal modern yang dikendalikan dengan tenaga listrik.
Setiap unit terdiri dari lampu berwarna merah, hijau dan kuning yang
terpisah dengan diameter 0,203 – 0,305 cm.
  
15
Lampu lalu lintas dipasang di luar batas jalan atau digantung di atas
persimpangan jalan. Tinggi lampu lalu lintas dipasang diluar 2,438 – 4,572
m di atas trotoar atau di atas perkerasan bila tidak ada trotoar. Sedangkang
sinyal yang digantung, diberi jarak bebas vertikal antara 4,572 – 5,892 cm.
Sinyal modern dilengkapi dengan sinyal pengatur untuk pejalan kaki dan
penyebrangan jalan.
c)
Lokasi lampu lalu lintas
Menurut Oglesby dan Hick (1982), letak lampu lalu lintas diisyaratkan apabila
dipasang menggunakan tiang berlengan atau digantung dengan kabel, diberi
jarak antara 12,912 –
36,576 m garis henti. Bila kedua sinyal dipasang tegak
sebaiknya dipasang di sisi kanan dan satunya di sisi kiri atau di atas median.
Dengan syarat sudut yang terbentuk dengan garis pandang normal pengemudi
tidak lebih dari 20º.
d)
Pengoperasian lampu lalu lintas
Menurut HCM 1994 terdapat tiga macam cara pengoperasian lampu isyarat lalu
lintas, yaitu :
Premtimed Operation, yaitu pengoperasian lampu lalu lintas dalam putaran
konstan dimana setiap siklus sama panjang dan panjang siklus serta fase
tetap.
Semi Actuated Operation, yaitu pada operasi isyarat lampu lalu lintas ini,
jalan utama selalu berisyarat hijau sampai alat deteksi pada jalan samping
menentukan bahwa terdapat kendaraan yang datang pada satu atau kedua
sisi jalan tersebut.
  
16
Full Actuated Operation, yaitu pada isyarat lampu lalu lintas di control
dengan alat detektor, sehingga panjang siklus untuk fasenya berubah-ubah
tergantung permintaan yang disarankan oleh detektor.
e)
Karakteristik lampu lalu lintas
Penggunaan sinyal dengan lampu tiga warna (merah, kuning, hijau) diterapkan
untuk memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu lintas yang saling
bertentangan dalam dimensi waktu. Sistem perlampuan lalu lintas menggunakan
jenis nyala lampu sebagai berikut :
Lampu Hijau
Kendaraan yang mendapatkan isyarat bergerak maju
Lampu Kuning
Kendaraan yang mendapatkan isyarat harus melakukanantisipasi, jika
memungkinkan harus mengambil keputusan untuk berlakunya lampu yang
selanjutnya menyala (merah ataupun hijau)
Lampu merah
Kendaraan yang mendapatkan isyarat harus berhenti sebelum garis henti
(stop line).
Penggunaan sinyal dengan lampu tiga warna (hijau, kuning, merah) diterapkan
untuk memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu lintas yang salung
bertentangan dalam dimensi waktu. Hal ini adalah keperluan yang mutlak bagi
gerakan-gerakan lalu lintas yang dating dari jalan-jalan yang saling berpotongan
= konflik-konflik utama. Sinyal-sinyal dapat digunakan untuk memisahkan
gerakan membelok dari lalu lintas lurus melawan, atau untuk memisahkan
  
17
gerakan-gerakan lalu lintas membelok dari pejalan kaki yang menyebrang =
konflik-konflik kedua. Keterangan sperti gambar di bawah (MKJI, 1997).
Gambar 2.8 Konflik-konflik utama dan kedua pada simpang bersinyal
dengan empat lengan
Jika hanya konflik-konflik primer yang dipisahkan, maka adalah mingkin untuk
mengatur sinyal lampu lalu lintas hanya dengan dua fase, masing-masing sebuah untuk
jalan yang berpotongan seperti gambar 2.9. Metoda ini selalu dapat diterapkan jika
gerakan belok kanan dalam suatu simpang telah dilarang. Karena pengaturan dua fase
memberikan kapasitas tertinggi dalam beberapa kejadian, maka pengaturan tersebut
disarankan sebagai dasar dalam kebanyakan analisa lampu lalu lintas (MKJI, 1997)..
  
18
Gambar 2.9 Urutan waktu pada pengaturan sinyal dengan dua fase
Gambar di atas memberikan penjelasan tentang urutan perubahan sinyal dengan
sistem dua fase termasuk definisidari waktu siklus, waktu hijau, dan periode antar hijau.
Maksud dari periode antar hijau (IG = kuning + merah semua) di antara dua fase yang
berurutan adalah untuk :
1.
Memperingatkan lalu lintas yangs edang ebrgerak bahwa fase telah ebrakhir
2.
Menjamin agar kendaraan terakhir pada fase hijau yang baru saja diakhiri
memperoleh waktu yang cukup untuk ke luar dari daerah konfliks ebelum
kendaraan pertama dari fase berikutnya memauki daerah yang sama.
Fungsi yang pertama dipenuhi oleh waktu kuning, sedangkan yang kedua dipenuhi oleh
waktu merah semua yang berguna sebagai waktu pengosongan antara dua fase. 
  
19
f)
Fase sinyal
Pemilihan fase pergerakan tergantung dari banyaknya konflik utama, yaitu
konflik yang terjadi pada volume kendaraan yang cukup besar. Menurut MKJI,
1997 Jika fase sinyal tidak diketahui, maka pengaturan dengan dua fase
sebaiknya digunakan sebagai kasus dasar. Pemisahan gerakan-gerakan belok
kanan biasanya hanya dilakukan berdasarkan pertimbangan kapasitas kalau
gerakan membelok melebihi 200 smp/jam.
2.2.5
Pemilihan Jenis Simpang
Berdasarkan buku MKJI 1997 terdapat 3 ketentuan untuk pemilihan jenis
simpang, yaitu sebagai berikut :
a)
Umum
Pada umumnya sinyal lalu lintas digunakan dengan satu atau lebih alasan berikut :
Untuk menghindari kemacetan sebuah simpang oleh arus lalu lintas yang
berlawanan, sehingga kapasitas simpang dapat dipertahankan selama keadaan
lalu lintas puncak.
Untuk mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh
tabrakan antara kendaraan-kendaraan yang berlawanan arah. Pemasangan
sinyal lalu lintas dengan alas an keselamatan lalu lintas umumnya diperlukan
bila kecepatan kendaraan yang mendekati simpang sangat tinggi dan/ jarak
pandang terhadap gerakan lalu lintas yang berlawanan tidak memadai yang
disebabkan oleh bangunan-bangunan atau tumbuh-tumbuhan yang dekat pada
sudut-sudut simpang.
  
20
Untuk mempermudah menyebrangi jalan utama bagi kendaraan dan/pejalan
kaki dari jalan minor.
b)
Pertimbangan ekonomi
Dalam pemilihan jenis simpang juga diperlukan saran mengenai tipe simpang yang
paling ekonomis baik itu simpang bersinyal, simpang tidak bersinyal, dan
bundaran. 
Gambar 2.10 Jenis-Jenis Simpang Empat Lengan
  
21
Gambar 2.11 Jenis-Jenis Simpang Tiga Lengan
Gambar 2.12  Panduan untuk memilih simpang bersinyal paling ekonomis pada
daerah perkotaan
  
22
c)
Perilaku lalu lintas (kualitas lalu lintas)
Tujuan analisa perencanaan dan operasional (untuk meningkatkan) simpang
bersinyal yang sudah ada, biasanya untuk penyesuaian waktu
sinyal dan untuk
perbaikan kecil pada geometri simpang agar perilaku lalu lintas yang diinginkan
dapat dipertahankan baik pada ruas jalan maupun pada jaringan jalan bersinyal
d)
Pertimbangan keselamatan lalu lintas
Angka kecelakaan lalu-lalu lintas pada simpang bersinyal diperkirakan 0,43
kecelakaan/juta kendaraan dibandingkan dengan 0,60 pada simpang tak bersinyal
(MKJI, 1997).
Dampak perencanaan geometri
Dampak yang akan terjadi karena perencanaan suatu geometri adalah sebagai
berikut:
Sinyal lalu-lintas mengurangi jumlah kecelakaan pada simpang dengan
empat lengan dibandingkan dengan simpang dengan tiga lengan.
Kanalisasi gerakan membelok (lajur terpisah dan pulau-pulau juga
mengurangi jumlah kecelakaan.
Dampak keselamatan akibat pengaturan sinyal
Dampak yang terjadi terhadap keselamatan akibat pengaturan sinyal antara lain :
Hijau awal dapat menambah jumlah kecelakaan.
Arus berangkat terlindung akan mengurangi jumlah kecelakaan 
dibandingkan dengan arus berangkat terlawan.
Penambahan antar hijau akan mengurangi jumlah kecelakaan.
  
23
e)
Pertimbangan lingkungan
Tidak ada data empiris dari Indonesia tentang emisi kendaraan pada saat
pembuatan MKJI 1997 ini. Asap kendaraan dari emisi kebisingan umumnya
berkurang dalam keadaan-keadaan berikut :
Pengaturan sinyal terkoordinasi dan/atau sinyal aktuasi kendaraan akan
mengurangi asap kendaraan dan emisi kebisingan bila dibandingkan dengan
pengaturan sinyal waktu tetap utnuk simpang terisolir.
Waktu sinyal yang efisien akan mengurangi emisi.
2.2.6
Alih Gerak Kendaraan dan Konflik
Terdapat empat jenis dasar alih gerak kendaraan, yaitu : berpencar, bergabung,
berpotongan, dan bersilangan. Alih gerak berpotongan lebih berbahaya dibandingkan
alih gerak bersilangan dan alih gerak bersilangan lebih berbahaya dibandingkan alih
gerak  bergabung dan berpencar. Hal ini disebabkan karena adanya kecepatan relatif
yang lebih besar antara satu lintasan kendaraan dengan lintasan kendaraan lainnya. Lalu
lintas yang bergerak pada persimpangan dapat dikendalikan dengan berbagai cara.
Pengendalian tersebut mengikuti hirarki tertentu sesuai dengan jenis-jenis jalan yang
saling berpotongan dan besarnya arus lalu lintas yang memasuki persimpangan. Berikut
adalah pembagiannya :
a)
Persimpangan Sebidang
Persimpangan sebidang merupakn persimpangan  yang kaki-kakinya
berpotongan pada satu bidang datar, sehingga memungkinkan terjadinya konflik
antar satu arus dengan arus lainnya yang berpotongan. Jenis sistem
pengendaliannya meliputi :
  
24
Jenis tanpa pengaturan lalu lintas
Jenis pengaturan berhenti
Jenis pengaturan manual
Jenis pengaturan dengan lampu lalu lintas
Jenis pengaturan dengan bundaran lalu lintas
b)
Persimpangan Tak Sebidang
Persimpangan tak sebidang merupakan persimpangan yang kaki kakinya tidak
saling berpotongan satu dan lainnya, melainkan saling bersilangan dengan
ketinggian yang berbeda antara satu kaki dengan kaki lainnya.
c)
Persimpangan Tanpa Pengaturan Lalu Lintas
Persimpangan yang tidak dikendalikan ini umumnya hanya dapat digunakan
pada pertemuan jalan-jalan local perumahan yang arus lalu lintasnya pada
masing-masing kakinya kecil, sehingga konflik yang terjadi juga kecil dan tidak
telalu perlu untuk dibuat suatu pengendalian lalu lintas pada persimpangan
tersebut.
d)
Persimpangan Prioritas
Metode pengendalian terhadap pergerakan kendaraan pada persimpangan adalah
diperlukan dengan maskud agar kendaraan yang melakukan pergerakan konflik
tersebut tidak akan saling bertabrakan. Sistem pengendalian ini mempunyai
prinsip-prinsip tertentu yaitu :
Aturan-aturan prioritas harus secara jelas dimengerti
oleh semua
pengemudi
Prioritas harus terbagi dengan baik, sehingga setiap orang mempunya
kesempatan untuk bergerak.
  
25
Prioritas harus terorganisasi, sehingga titik-titik konflik dapat diperkecil.
Keputusan-keputusan yang harus dilakukan oleh pengemudi harus
dijaga
agar sesederhana mungkin.
Jumlah total hambatan-hambatan terhadap lalu lintas harus diperkecil.
2.2.7
Waktu Antar Hijau dan Waktu Hilang
Waktu antar hijau adalah periode kuning dan merah semua antara dua fase yang
berurutan, arti dari keduanya adalah sebagai berkut :
a)
Panjang waktu kuning pada sinyal lalu lintas perkotaan di Indonesia adalah 3 detik
(MKJI, 1997) .
b)
Waktu merah semua pendekat adalah waktu dimana sinyal merah menyala
bersamaan dalam semua pendekat yang dilayani oleh dua fase sinyal yang
berurutan. Fungsi dari waktu merah semua adalah memberi kesempatan bagi
kendaraan terakhir (melewati garis henti pada akhir sinyal kuning) berangkat
sebelum kedatangan kendaraan pertama dari fase berikutnya.
Waktu hilang adalah jumlah semua periode antar hijau dalam siklus yang lengkap.
Waktu hilang dapat diperoleh dari beda antara waktu siklus dengan jumlah waktu hijau
dalam semua fase.
LTI = S (semua merah + kuning)………………………………………………...….(2.1)
Ketentuan waktu antar hijau berdasarkan ukuran simpang menurut MKJI , 1997 dapat
dilihat pada Tabel 2.1
  
26
Tabel 2.1 Waktu Antar Hijau
Ukuran Simpang
Lebar Jalan Rata-
Rata
Nilai Normal Waktu
Antar Hijau
Kecil
6 - 9 m
4 detik/fase
Sedang
10 - 14 m
5 detik/fase
Besar
15 m
< 6 detik/fase
        (sumber: MKJI,1997)
2.2.8
Waktu Siklus dan Waktu Hijau
Waktu siklus adalah urutan lengkap dari indikasi sinyal (antara dua saat
permulaan hijau yang berurutan di dalam pendekat yang sama). Waktu siklus yang
paling rendah akan menyebabkan kesulitan bagi pejalan kaki untuk menyebrang,
sedangkan waktu siklus yang lebih besar menyebabkan memangjangnnya antrian
kendaraan dan bertambahnya tundaan, sehingga akan mengurangi kapasitas keseluruhan
simpang.
a.
Waktu siklus sebelum penyesuaian
FR)
1
(
)
5
5xLTI
,
1
(
Cu
…………………………………………………………(2.2)
Cu
= Waktu siklus sebelum penyesuaian
LTI
= Waktu hilang total per siklus
FR 
= Rasio arus simpang
b.
Waktu hijau
Gi = (Cua – LTI) x PRi (detik)…………………………………….…………(2.3)
Gi
= Tampilan waktu hijau pada fase i
PRi
= Rasio fase FR/ Sfr
  
27
c.
Waktu siklus yang disesuaikan
c = SG + LTI (detik)……………………………………………..…………..(2.4)
2.2.9 
Alinyemen dan Profil
Persimpangan harus direncanakan dengan baik agar pertemuan jalan di
persimpangan mendekati sudut atau sama dengan 90°. Sudut pertemuan antara 60°
sampai 90° masih diijinkan. Alinyemen jalan-jalan yang berpotongan harus diusahakan
agar menghasilkan perpotongan yang tegak lurus. Apabila jalan-jalan yang berpotongan
membentuk sudut lancip, maka diperlukan area untuk membelok yang lebih luas lagi.
Hal ini bertujuan untuk menghindari pelanggaran
lajur dari kendaraan yang sedang
berbelok.
2.2.10
Lajur
Lajur jalan merupakan bagian dari jalur lalu lintas tempat lalu lintas bergerak,
untuk satu kendaraan. Lebar satu lajur yang dijadikan acuan adalah 3,5 meter, sehingga
bila dilewati oleh kendaraan dengan lebar maksimum 2,5 meter masih ada ruang bebas
sebesar 0,5 meter di kiri kanan kendaraan. Lajur yang sebelah kiri diperuntukkan untuk
kendaraan yang berjalan dengan kecepatan rendah dan yang sebelah kanannya untuk
kendaraan yang berjalan dengan kecepatan lebih tinggi, atau di jalan tol antar kota yang
memiliki dua lajur, lajur kanan hanya diperuntukkan untuk kendaraan yang menyalip.
  
28
2.2.11     Kendaraan Rencana
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang
dimensi radius putarnya dipakai
sebagai cauan dalam perencanaan geometric. Kendaraan rencana dikelompokkan dalam
beberapa kategori sperti tabel di bawah ini.
Tabel 2.2 Pembagian Tipe Kendaraan
Kode
Jenis Kendaraan
MC
Kendaraan Roda Dua ( Sepeda Motor)
LV
Kendaraan Bermotor 2 as beroda 4 dengan jarak as 2-3 m (mobil
penumpang, pick up, truk kecil)
HV
Kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari 3,5 m (bus, truk besar)
2.2.12
Perilaku Lalu Lintas 
Perilaku lalu lintas menyatakan ukuran kuantitas yang menerangkan kondisi
yang dinilai oleh Pembina jalan. Perilaku lalu lintas pada simpang bersinyal meliputi
waktu sinyal, kapasitas, derajat kejenuhan, panjang antrian dan tundaan rata-rata (MKJI,
1997).
a)
Volume Lalu Lintas
Volume lalu lintas menurut MKJI 1997  adalah kendaraan yang lewat pada suatu
jalan dalam satuan waktu (hari, jam, menit). Volume lalu lintas yang tinggi
membutuhkan lebar perkerasan jalan yang lebih besar. Satuan volume lalu lintas
yang digunakan sehubungan dengan analisis antrian adalah volume jam
perencanaan (VJP) dan kapasitas.
  
29
b)
Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan menunjukkan rasio arus lalu lintas pada pendekat tersebut
terhadap kapasitas. Pada nilai tertentu, derajat kejenuhan dapat menyebabkan
antrian yang panjang pada kondisi lalu lintas puncak (MKJI 1997). Derajat
kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio volume (Q) terhadap kapasitas (C).
Persamaan dasar untuk menentukan derajat kejenuhan (DS) adalah:
DS = Q/C…………………………………………..……................................(2.5)
Derajat kejenuhan (DS) dihitung dengan menggunakan volume dan kapasitas
yang dinyatakan dalam smp/jam. Derajat kejenuhan (DS) digunakan sebagai
faktor yang penting dalam penentuan perilaku lalu lintas pada suatu ruas jalan
karena nilai derajat kejenuhan (DS) dapat menunjukkan bahwa kapasitas suatu
ruas jalan masih mampu menampung volume lalu lintas yang ada atau tidak. 
Berdasarkan MKI 1997, syarat derajat kejenuhan apabila lebih dari 0,85 maka
dianggap sudah mendekati jenuh.
c)
Panjang Antrian 
Antrian kendaraan sering kali dijumpai dalam suatu simpang pada jalan dengan
kondisi tertentu misalnya pada jam-jam sibuk, hari libur atau pada akhir pekan.
Panjang antrian merupakan jumlah kendaraan yang antri dalam suatu
lengan/pendekat. Panjang antrian diperoleh dari perkalian jumlah rata-rata
antrian (smp) pada awal sinyal dengan luas rata-rata yang digunakan per smp (20
m
²) dan pembagian dengan lebar masuk simpang (MKJI 1997).
  
30
d)
Tundaan
Tundaan di persimpangan adalah total waktu hambatan rata-rata yang dialami
oleh kendaraan sewaktu melewati suatu simpang. Hambatan tersebut muncul
apabila kendaraan berhenti karena terjadinya antrian di simpang sampai
kendaraan itu keluar dari simpang karena adanya pengaruh kapasitas simpang
yang sudah tidak memadai. Nilai tundaan mempengaruhi nilai waktu tempuh
kendaraan. Semakin tinggi nilai tundaan, semakin tinggi pula waktu tempuh.
Tundaan pada suatu simpang dapat terjadi karena dua hal :
Tundaan Lalu Lintas (DT) karena interaksi lalu lintas dengan gerakan
lainnya pada suatu simpang. Tundaan
lalu lintas rata-rata suatu pendekat j
dapat ditentukan dari rumus berikut (didasarkan pada Akcelik 1988) :
C
n
GR)2
c
3600
NQ1
1
1
(
5
,
0
DTj
………………………………....(2.6)
    
                
Dimana :
DTj
= Tundaan lalu lintas rata-rata pendekat j (det/smp)
GR
= Rasio hijau (g/c)
DS
= Derajat kejenuhan
C
= Kapasitas (smp/jam)
NQ1
Jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya
Tundaan Geometri (DG) karena perlambatan dan percepatan saat membelok
pada suatu simpang dan/atau terhenti karena lampu merah. Tundaan
geometri rata-rata pada suatu pendekat j dapat diperkirakan sebagai berikut :
  
31
DGj = (1-Psw) x P
T
x 6 + (Psw x 4)…………………………….…...…(2.7)
Dimana :
DG
j
=
 
Tundaan geometri rata-rata pada pendekat j (det/smp)
P
sv
=
Rasio kendaraan terhenti pada suatu pendekat
P
T
= Rasio kendaraan membelok pada suatu pendekat
Tundaan rata-rata untuk suatu pendekat j dihitung sebagai :
Dj=DTj +DGj…………………………………………………………(2.8)
Dimana:
Dj
= Tundaan rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
DTj
= Tundaan lalu lintas rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
DGj
= Tundaan geometri rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
e)
Kapasitas
Kapasitas dapat didefinisikan sebagai arus lalu lintas yang dapat dipertahankan
dari suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu, dalam kendaraan/jam atau
smp/jam  (MKJI 1997). Menurut Ahmad Munawar (2006), pengertian kapasitas
adalah jumlah maksimum kendaraan yang melewati suatu persimpangan atau
ruas jalan selama waktu tertentu pada kondisi jalan dan lalu lintas dengan tingkat
kepadatan yang ditetapkan, kapasitas suatu ruas jalan dapat dilakukan dua
pengukuran yaitu:
Pengukuran kuantitas, yaitu pengukuran mengenai kemampuan maksimum
suatu ruas jalan atau jalur jalan dalam melayani lalu lintas ditinjau dari
volume kendaraan yang dapat ditampung oleh jalan tersebut pada kondisi
tertentu. Pengukuran kuantitas dibagi menjadi tiga, meliputi :
  
32
Kapasitas Dasar, yaitu jumlah kendaraan maksimum yang dapat melintasi
suatu penampang jalan atau ruas jalan selama satu jam pada kondisi jalan
dan lalu lintas yang paling mendekati ideal.
Kapasitas yang mungkin, yaitu jumlah kendaraan maksimum yang dapat
melintasi suatu penampang jalan atau ruas jalan selama satu jam pada
kondisi arus lalu lintas yang sedang berlaku pada jalan tersebut.
Kapasitas Praktis, yaitu jumlah kendaraan maksimum yang dapat
melintasi suatu penampang jalan atau ruas jalan selama satu jam dengan
kepadatan lalu lintas yang cukup besar, yang menyebabkan perlambatan
yang berarti bagi kebebasan pengemudi kendaraan melakukan gerakan
pada kondisi jalan dan lalu lintas yang berlaku saat ini.
f)
Arus Lalu Lintas
Perhitungan dilakukan per satuan jam untuk satu atau lebih periode, misalnya
didasarkan pada kondisi arus lalu lintas rencana jam puncak pagi, siang, dan
sore. Arus lalu lintas (Q) untuk setiap pergerakan (belok kiri Q
LT
, lurus Q
ST,
dan
belok kanan Q 
RT
) dikonversi dari kendaraan per-jam menjadi satuan mobil
penumpang (SMP) per-jam dengan menggunakan ekuivalen kendaraan
penumpang (EMP) untuk masing-masing pendekat terlindung dan terlawan :
  
33
Tabel 2.3 Ekuivalen Kendaraan Penumpang
Jenis kendaraan
EMP untuk tipe pendekat
Terlindung
Terlawan
Kendaraan Ringan (LV)
1,0
1,0
Kendaraan Berat (HV)
1,3
1,3
Sepeda Motor (MC)
0,2
0,4
(sumber: MKJI,1997)
Jika hanya arus lalu-lintas harian (LHRT) saja yang ada tanpa diketahui
distribusi lalu-lintas setiap jamnya, maka arus rencana per jam dapat
diperkirakan sebagai suatu persentase dari LHRT sebagai berikut :
Tabel 2.4 Persentase LHRT
Tipe kota dan jalan
Faktor persen k
(k x LHRT = arus rencana/jam)
Kota-kota > 1 juta penduduk
 
1.Jalan-jalan pada daerah komersial dan
Jalan arteri
7 - 8%
2.Jalan pada daerah pemukiman
8 - 9%
 
 
Kota-kota < 1 juta penduduk
 
1.Jalan-jalan pada daerah komersial dan
Jalan arteri
8 - 10%
2.Jalan pada daerah pemukiman
9 - 12%
(sumber: MKJI,1997
)
Jika distribusi gerakan membelok tidak diketahui dan tidak dapat diperkirakan,
15% belok kanan dan 15% belok kiri dari arus pendekat total dapat
dipergunakan (kecuali jika ada gerakan membelok tersebut yang akan dilarang):
Nilai-nilai normal untuk komposisi lalu-lintas berikut dapat digunakan bila tidak
ada taksiran lebih baik :
  
34
Tabel 2.5 Nilai-Nilai Komposisi Lalu Lintas
Ukuran
kota
Komposisi lalu-lintas kendaraan bermotor %
Rasio
Kendaraan
tak
bermotor
(UM)
Kendaraan ringan
(LV)
Kendaraan berat
(HV)
Sepeda motor
(MC)
> 3 juta
60
2,5
35,5
0,01
1-3 jta
55,5
3,5
41
0,05
0,5-1 juta
40
3,0
57
0,14
0,1-0,5 juta
63
2,5
34,5
0,05
< 0,1 juta
63
2,5
34,5
0,05
      (sumber: MKJI,1997)
2.2.13
Pengaturan Fase
Pemisahan berdasarkan waktu untuk menghindari/mengurangi adanya konflik
baik primer maupun sekunder dikenal istilah pengaturan fase. Pengaturan fase harus
dilakukan analisa terhadap kelompok pergerakan kendaraan dari seluruh yang ada
sehingga dapat  terjadi :
Pengurangan konflik baik konflik primer maupun konflik sekunder.
Urutan yang optimum pergantian fase.
Mempertimbangkan waktu pengosongan pada daerah persimpangan.
Jika hanya untuk memisahkan konflik primer yang terjadi, maka pengaturan  fase
dapat dilakukan dengan dua fase. Hal ini dilakukan dengan masing-masing fase untuk
masing-masing jalur jalan yang saling bersilangan, yaitu kaki simpang yang saling lurus
menjadi satu fase. Pengaturan dua fase ini juga digunakan untuk kondisi yang terdapat
larangan untuk berbelok kanan.
  
35
Pergantian antar fase diatur dengan jarak waktu jeda supaya terjadi kelancaran
ketika akan terjadi pergantian antar fase. Istilah ini disebut dengan waktu antar hijau
yang berfungsi sebagai waktu pengosongan. Waktu antar hijau terdiri dari waktu kuning
dan waktu semua merah. Waktu hijau bertujuan untuk :
Waktu Kuning
Peringatan bahwa kendaraan akan berangkat maupun berhenti. Besaran waktu
kuning ditetapkan berdasarkan kemampuan seorang pegemudi untuk dapat melihat
secara jelas namun singkat, sehingga dapat dijadikan sebagai informasi untuk
ditindaklanjuti dalam pergerakannya. Penentuan ini biasanya ditetapkan sebesar 3 detik
dengan anggapan bahwa waktu tersebut sudah dapat mengakomodasi ketika terjadi
kedipan mata
Waktu semua arah
Untuk memberikan waktu pengosongan sehinggaresiko terjadinya kecelakaan
dapat dikurangi. Hal ini dimaksudkan supaya akhirrombongan kendaraan pada fase
sebelumnya tidak berbenturan dengan awal rombongan kendaraan pada fase berikutnya.
Besaran waktu semua merah sangat tergantung pada kondisi geometric persimpangan,
sehingga benar-benar cukup waktu untuk waktu pengosongan. Pertimbangan yang harus
diperhitungkan adalah waktu percepatan dan jarak pada daerah waktu pengosongan pada
persimpangan.
2.2.14
Survei Volume Lalu Lintas
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan kota Jakarta, maka perkembangan
jalan juga mengalami kemajuan. Hal ini dikarenakan jalan merupakan sarana akses
keluar dan masuk suatu daerah. Di kota Jakarta, pertumbuhan penduduknya sangat
  
36
tinggi, hal itu juga menyebabkan pertumbuhan jumlah kendaraan. Sehingga, sarana jalan
harus menjadi perhatian yang utama. Tingkat pelayanan suatu jalan ditentukan oleh
kapasitas jalan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu survey untuk mendapatkan
data-data lalu lintas.
a)
Data Volume Kendaraan
Data volume kendaraan digunakan untuk menghitung jumlah kendaraan yang
melintasi persimpangan Lebak Bulus. Untuk analisa perbaikan kapasitas simpang
diperlukan volume kendaraan saat jam-jam padat.
b)
Perhitungan Volume Lalu Lintas
Untuk menghitung
jumlah kendaraan yang melintas pada persimpangan Lebak
Bulus, digunakan alat berupa counter
atau alat pencacah. Dan tipe kendaraan
yang dihitung adalah kendaraan berat, kendaraan ringan, sepeda motor, dan
kendaraan tak ebrmotor.
c)
Penentuan Waktu  Survei
Waktu survei dilakukan selama dua minggu. Untuk pemilihan hari adalah hari
Selasa dan Jumat untuk mewakili hari kerja, hari Sabtu dan Minggu untuk
mewakili hari libur. Jadi total hari survey adalah selama 8 hari. Sedangkan untuk
jam yang dipilih adalah pada pagi hari pkl 06.00 –  09.00, siang hari pkl. 12.00 –
14.00, dan sore hari pkl. 16.00 – 19.00.
Selain menghitung volume kendaraan, dilakukan jugasurvei waktu tempuh
kendaraan untuk meleintasi persimpangan Lebak Bulus, survei ini dilakukan
pada Selasa pagi untuk mewakili jam padat, dan Selasa siang untuk mewakili
jam normal.
  
37
2.2.15
Pola Pergerakan
Dalam skala wilayah perkotaan, menurut Willumesn (Junari, 2001 : 34), terdapat
empat jenis pergerakan, yaitu :
a)
Kota menuju kota
Berupa arah pergerakan dari dalam pusat kota ke CBD. Pergerakan ini dilakukan
oleh para transit dan pekerja non terampil yang besarnya menggantungkan pada
kendaraan dan alat transportasi lainnya.
b)
Daerah pinggiran menuju kota
Merupakan pergerakan yang dimulai dari daerah pinggiran dan berakhir pada
pusat kota di CBD atau di sekitar area kerja. Pergerakan ini meliputi pergerakan
dengan kendaraan pada jalur cepat.
c)
Commuting
Arah pergerakan ini dari daerah dekat dengan pusat kota dan peralihan menuju
lokasi pekerja dimana industry terkonsentrasi. Pergerakan ini biasanya
menggunakan kendaraan umum, terutama yang digunakan oleh pekerja industri.
d)
Dari pinggiran menuju daerah pinggiran
Arah pergerakan ini menempuh perjalanan dari daerah lokasi permukiman ke
lokasi pusat kota lainnya di daerah pinggiran.
2.2.16
Model Sebaran Pergerakan
Karakteristik persimpangan Lebak Bulus merupakan simpang empat lengan dan
merupakan simpul pertemuan tiga arah. Secara umum, kondisi arus lalu lintas pada
perismpangan Lebak Bulus saat ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
  
38
a)
Jl. R.A Kartini (Utara)
Terdapat 2 jalur namun terpisah oleh jalan layang tol JORR
yang berada di
atasnya.
Pada arah Pondok Pinang –
TB Simatupang terdapat lima lajur, dan arah TB
Simatupang –
Pondok Pinang terdapat 4 lajur yang kemudian menyempit
menjadi 2 lajur ± 100 m setelah lampu lalu lintas, dan menjadi kembali menjadi
4 lajur lagi ± 200 m setelah lampu lalu lintas.
b)
Jl. R.A. Kartini ( Selatan)
Terdapat 2 jalur namun terpisah oleh jalan layang tol JORR
yang berada di
atasnya.
Pada arah TB. Simatupang – Pondok Pinang terdapat 4 lajur, ± 100 m sebelum
lampu lalu lintas hanya terdapat 2 lajur. Untuk arah Pondok Pinang –
TB
Simatupang terdapat 4 lajur dan ± 250 m dari lampu lalu lintas menyempit
menjadi 2 lajur.
c)
Jl. Metro Pondok Indah
Terdapat 2 jalur yang dibatasi oleh median jalan. Untuk arah Pondok Indah –
Lebak Bulus terdapat 3 lajur begitu juga untuk arah TB Simatupang – Pondok
Indah.
2.2.17
Satuan Mobil Penumpang
Karakteristik pergerakan tiap jenis kendaraan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan
dimensi, kecepatan, dan percepatan masing-masing jenis kendaraan berbeda-beda, selain
pengaruh geometrik jalan. Untuk menyamakan satuan dari setiap jenis kendaraan, maka
  
39
digunakan standar satuan yang biasa digunakan dalam perencanaan lalu lintas, yaitu
Satuan Mobil Penumpang (SMP).
Satuan Mobil Penumpang adalah satuan kendaraan di dalam arus lalu lintas
yang disertakan dengan kendaraan ringan/mobil penumpang, dimensi kendaraan, dan
kemampuan olah gerak. SMP digunakan dalam melakukan rekayasa lalu lintas terutama
dalam desain persimpangan, perhitungan waktu alat pengatur isyarat lalu lintas (APILL),
ataupun dalam menentukan volume per kapasitas jalan (V/C) suatu ruas jalan. Berikut
adalah besaran SMP berdasarkan pedoman MKJI 1997 :
Tabel 2.6 Besaran SMP
Jenis kendaraan
Jalan raya
Perkotaan
Mobil penumpang, taxi, pickup,
minibus
1
1
Sepeda motor
0,5 - 1
0,2 - 0,5
Bus, truk 2 dan 3 sumbu
3
2
Bus tempel, truk > 3 sumbu
4
3
      (sumber: MKJI,1997)
2.2.18 Faktor Penyesuaian
Faktor penyesuaian menurt MKJI, 1997 dibagi menjadi 5
yaitu : faktor
penysuaian ukuran kota, faktor penyesuaian hambatan samping, 
faktor penyesuaian
parkir, faktor penyesuaian belok kanan, dan faktor penyesuaian belok kanan.
  
40
a)
Faktor penyesuaian kota ditentukan sebagai fungsi dari ukuran kota.
Tabel 2.7 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota 
Penduduk Kota (Juta Jiwa)
Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs)
>
3,0
1,05
1,0 - 3,0
1,00
0,5 - 1,0
0,94
0,1 - 0,5
0,83
<
0,1
0,84
      (sumber: MKJI,1997)
b)
Faktor penyesuaian hambatan samping
Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping
Lingkungan
Jalan
Hambatan samping
Tipe fase
Rasio kendaraan tak bermotor
0,0
0,05
0,10
0,15
0,20
=
0,25
Komersial
Tinggi
Terlawan
0,93
0,88
0,84
0,79
0,74
0,70
(COM)
 
Terlindung
0,93
0,91
0,88
0,87
0,85
0,81
 
Sedang
Terlawan
0,94
0,89
0,85
0,80
0,75
0,71
 
 
Terlindung
0,94
0,92
0,89
0,88
0,86
0,82
 
Rendah
Terlawan
0,95
0,90
0,86
0,81
0,76
0,73
 
 
Terlindung
0,95
0,93
0,90
0,89
0,87
0,83
Pemukiman
Tinggi
Terlawan
0,96
0,91
0,86
0,81
0,78
0,72
(RES)
 
Terlindung
0,96
0,94
0,92
0,89
0,86
0,84
 
Sedang
Terlawan
0,97
0,92
0,87
0,82
0,79
0,73
 
 
Terlindung
0,97
0,95
0,93
0,90
0,87
0,85
 
Rendah
Terlawan
0,98
0,93
0,88
0,83
0,80
0,74
 
 
Terlindung
0,98
0,96
0,94
0,91
0,88
0,86
Akses
terbatas
Tinggi/Sedang/Rendah
Terlawan
1,00
0,95
0,90
0,85
0,80
0,75
(RA)
 
Terlindung
1,00
0,98
0,95
0,93
0,90
0,88
 
  
   (sumber: MKJI,1997)
  
41
c)
Faktor penyesuaian parkir
Faktor penyesuaian prkir merupakan jarak dari garis henti sampai kendaraan
yang diparkir pertama dan lebar pendekat dapat juga diterapkan untuk kasus-
kasus dengan panjang lajur belok kiri terbatas.
Fp = [Lp/3 – (W
A
– 2) X (Lp/3 – g) / W
A
] / g    …………………………(2.9)
Lp
= Jarak antara garis henti dan kendaraan yang diparkir pertama (m)
W
A
= Lebar pendekat (m)
G
= Waktu hijau pada pendekat
d)
Faktor penyesuaian belok kanan
Ditentukan sebagai fungsi dari rasio kendaraan belok kanan (P
RT
)
F
RT
= 1,0 + P
RT
x 0,26 ……………………………………………….(2.10)
Gambar 2.13 Faktor Penyesuaian Belok Kanan
  
42
e)
Faktor penyesuaian belok kiri
Ditentukan sebagai fungsi dari rasio kendaraan belok kiri (P
LT
)
F
LT
= 1,0 - P
LT
x 0,16 ……………………………………………….(2.11)
Gambar 2. 14 Faktor Penyesuaian Belok Kiri
2.2.19
Arus Dan Komposisi Lalu Lintas
Dalam lalu lintas di suatu perkotaan, terdapat juga nilai-nilai komposisi
kendaraan yang normal tergantung ukuran kota tersebut. Berikut adalah tabel dari nilai
normal untuk komposisi lalu lintas perkotaan berdasarkan jumlah penduduknya.
Tabel 2.9 Nilai normal untuk komposisi lalu lintas
Nilai normal untuk komposisi lalu lintas
Ukuran kota
LV (%)
HV (%)
MC (%)
< 0,1 juta penduduk
45
11
45
0,1 - 0,5 juta penduduk
45
10
45
0,5 - 1,0 juta penduduk
53
9
38
1,0 - 3,0 juta penduduk
60
8
32
> 3,0 juta penduduk
69
7
24
(sumber: MKJI,1997)
  
43
2.2.20
Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan
geometrik jalan, yang memungkinkan kendaraan dapat ebrgerak dengan aman dan
nyaman dalam kondisi cuaca cerah, lalu lintas lengang dan pengaruh samping jalan tidak
berarti. Untuk perencanaan jalan antar kota, nilai kecepatan rencana ditetetapkan dengan
berdasar pada klasifikasi dan medan jalan, sebagaimana disajikan pada tabel di bawah
ini.
Tabel 2.10 Kecepatan Rencana Berdasarkan Klasifikasi Jalan dan Medan Jalan
Fungsi Jalan
Kecepatan Rencana (km/jam)
Datar
Bukit
Gunung
Arteri
70-120
60-80
40-70
Kolektor
60-90
50-60
30-50
Lokal
40-70
30-50
20-30
(sumber: MKJI,1997)
2.2.21Pengelompokan Jenis Kendaraan Menurut Karakteristik Kendaraan
Berdasarkan jenis kendaraan yang dilayani jalan raya, Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1993 mengelompokkan jenis kendaraan dengan sistem kelas
kendaraan sebagai berikut :
Kendaraan kelas I, yaitu kendaraan berukuran lebar
= 2.50 meter,
panjang
= 18 meter dan muatan sumbu terberat (MST) > 10 ton.
Kendaraan kelas II, yaitu kendaraan berukuran lebar
= 2.50 meter,
 
panjang
= 18 meter dan
muatan sumbu terberat (MST)
= 10 ton.
Kendaraan kelas IIIA, yaitu kendaraan berukuran lebar
= 2.50 meter,
panjang
= 18 meter dan muatan sumbu terberat (MST) = 8 ton.
  
44
Kendaraan kelas IIIB, yaitu kendaraan berukuran lebar
= 2.50 meter,
panjang
= 12 meter dan muatan sumbu terberat (MST) = 8 ton.
Kendaraan kelas IIIC, yaitu kendaraan berukuran lebar
= 2.10 meter,
panjang
= 9 meter dan muatan sumbu terberat (MST) = 8 ton.
2.2.22
Keperluan Untuk Perbaikan Simpang
Untuk menganalisa kinerja suatu simpang dapat dilihat dari nilai derajat
kejenuhannya. Berdasarkan MKJI,1997 apabila suatu simpang nilai derajat kejnuhannya
lebih dari 0,85, maka simpang tersebut mendekati lewat jenuh, yang akan menyebabkan
antrian panjang pada kondisi lalu lintas puncak. Untuk menambah kapasitas simpang
dapat dipertimbangkan dengan melakukan beberapa langkah perbaikan apabila kondisi
pada simpang yang ditinjau memungkinkan. 
Penambahan lebar pendekat
Jika mungkin untuk menambah lebar pendekat, pengaruh terbaik dari tindakan
seperti ini akan diperoleh jika pelebaran dilakukan pada pendekat-pendekat dengan
jumlah arus kendaraan yang tertinggi.
Perubahan fase sinyal
Jika ingin meningkatkan fase sinyal pada suatu simpang, maka akan membuat
kapasitas simpang turun. Jika ingin menurunkan fase sinyal maka akan membuat
kapasitas simpang naik, teteapi konflik akan bertambah. 
Perubahan arus kendaraan
Jika ingin merubah arus kendaraan, maka perlu ditinjau terlebih dahul arah-arah
mana saja yang mempunyai arus kendaraan paling padat saat jam puncak. Dengan
  
45
begitu dapat dipikirkan rencana untuk merubah arus kendaraan pada arah yang
tidak terlalu banyak arus kendaraannya.
Pelebaran lajur masuk
Jika ingin melakukan pelebaran lajur masuk, maka otomatis akan mengurangi
lebar lajur belok kiri langsung. Di sini perlu dilihat arus lalu-lintas yang terpadat
dari suatu pendekat. Apabila arus lurus dan belok kanan yang terpadat, maka bisa
direncanakan untuk pelebaran lajur masuk.