10
Bab 2
Landasan Teori
Dalam
Bab
2
yang
merupakan
landasan
teori
ini,
penulis
akan
mencantumkan
teori-teori
yang
merupakan
dasar
dari
analisis
yang
akan
dilakukan
penulis
dalam
bab berikutnya.
2.1 Teori
Pengambilan
Keputusan
2.1.1 Konsep
Pengambilan
Keputusan
Pengambilan
keputusan
merupakan
salah
satu unsur
penting
penentu
keberhasilan
manusia,
baik
individu
maupun
kelompok
atau
organisasi.
Stoner
dalam
Hasan
(2004:
10)
menyatakan
definisi
pengambilan
keputusan
secara
umum
sebagai
suatu
proses
yang
digunakan
untuk
memilih
suatu
tindakan
sebagai
suatu
cara
untuk
memecahkan
masalah.
Selain
itu, Kawanishi
(2007:
70) menjelaskan
pengambilan
keputusan
sebagai
berikut:
?????????????????????????????
?????????????????????????????
???????????????????????????
Pemilihan
suatu
tindakan
yang dilakukan
sebelum
melaksanakan
suatu
tindakan
tertentu
disebut pengambilan
keputusan.
Sebelum
melakukan
suatu
tindakan, manusia seringkali menganalisis situasinya terlebih
dahulu,
kemudian menentukan tindakan apa yang akan
dilakukannya.
Hal seperti inilah
yang disebut
dengan
pengambilan
keputusan.
|
11
2.1.2
Fase Pengambilan
Keputusan
Proses pengambilan
keputusan
secara umum terdiri
atas
tiga fase menurut
Simon
dalam
Fukuda
(2010:
41),
yaitu
intelligence
(intelegensia),
design
(desain),
dan
choice
(pemilihan).
Fase
ini
dimulai
dari
intelegensia,
kemudian
berlanjut
pada
desain dan diakhiri
oleh
fase
pemilihan
dengan
penjabaran
berikut.
Menurut
Simon
dalam
Hasan
(2002:
24), fase
intelegensia
merupakan
fase
penelusuran
informasi
untuk
keadaan
yang
memungkinkan
dalam rangka
pengambilan keputusan.
Data dan informasi diperoleh,
diproses, dan diuji untuk
mencari bukti-bukti
yang dapat diidentifikasi.
Fase
desain
dideskripsikan
sebagai
fase pencarian
atau
penemuan,
pengembangan,
serta analisis
kemungkinan
suatu
tindakan
yang
merupakan
kegiatan
perancangan
dalam
pengambilan
keputusan
(Hasan,
2002: 24).
Fase
terakhir,
yaitu fase pemilihan,
meliputi
seleksi atas alternatif-alternatif
solusi
yang
ada
sekaligus
pemilihan
alternatif
terbaik
untuk
dilaksanakan.
Dengan
kata
lain,
fase
pemilihan
merupakan
kegiatan
memilih
tindakan
atau
alternatif
tertentu dari
bermacam-macam
kemungkinan
yang
dapat ditempuh
(Hasan, 2002:
24).
Terkait
dengan
fase
pengambilan
keputusan
secara umum
yang
telah
dipaparkan oleh
Simon
tersebut,
Fukuda
(2010:
41) lebih lanjut
mengemukakan
proses pengambilan
keputusan
di Jepang
sebagai
berikut:
|
12
The
decision-making
process
commonly adopted in
Japan
is
basically
the same as
the Western one.
However,
the role
of the
top
management
is,
in
large part, limited
to the initial definition of problems and
opportunities and,
to
a
lesser extent, the selection of
a
best
possible
course of action.
Proses
pengambilan
keputusan
yang
secara
umumnya
dilakukan
di
Jepang
pada dasarnya
sama
dengan
Barat.
Namun,
peran
manajemen
puncak sebagian
besar terbatas pada
penjelasan
awal
tentang
masalah
dan peluangnya
serta,
sebagian
kecil,
berperan
dalam
pemilihan
tindakan
yang
terbaik.
2.2
Teori Ringi Seido
2.2.1 Konsep
Ringi Seido
Menurut
Waters
(1991:
42)
kata ringi
sendiri terbentuk
atas dua unsur; yaitu
?
(rin)
yang
berarti
menyerahkan
suatu
usulan dan
meminta keputusan
berdasarkan
usulan yang ada, dan ? (gi) yang
berarti
pertimbangan
dan penetapan
keputusan.
Definisi
singkat
yang terkandung
dalam
kedua
karakter
tersebut
tampak
selaras
dengan
definisi
ringi seido yang dideskripsikan
oleh Houkei
(2006:
1)
sebagai
berikut:
?????????????????????????????
?? ???????????????????????????
???????????
Sistem
Ringi
adalah
suatu
sistem
manajemen
khas
Jepang
dengan
prosedur
berikut;
orang
yang
berada
pada level
(manajemen)
bawah
membuat
suatu
dokumen
rancangan
keputusan
yang akan
diedarkan
atau
disirkulasikan
pada
atasan-atasannya
secara
berurutan,
dan pada
akhirnya
sirkulasi
tersebut akan
berakhir
saat dokumen
sampai pada
orang
yang memiliki
otorisasi
untuk
membuat
keputusan
dalam
organisasi.
|
13
Lebih
lanjut
Lincoln (1989:
98)
menjelaskan definisi serupa mengenai ringi
seido
sebagai berikut.
The
ringi
system
exemplifies
this
pattern.
A
middle-lower
manager
drafts
a
document
proposing
a course
of action
(ringisho).
It then circulates
up
through
the
hierarchy,
acquiring
the
chops
(personal
stamp)
of
other
managers
symbolizing
their
participation
in the decision
and
the
willingness to commit
to it.
Sistem
Ringi
memiliki
pola sebagai
berikut.
Seorang
manager
tingkat
tengah-bawah
membuat
suatu
dokumen
yang
berisi
usulan
atas
suatu
tindakan
(ringisho).
Dokumen
ini
kemudian
disirkulasikan
ke
atas
secara
hierarkis
dan
memerlukan
stempel
nama
manager
lain untuk
menandakan
keterlibatan
mereka
dalam
pengambilan
keputusan
tersebut
dan persetujuan
mereka
untuk
menjalankannya.
2.2.2
Keunggulan
dan
Kelemahan
Ringi
Seido
Menurut
Chen
(2007:
156),
konsep
yang
akhirnya
menjadi
suatu
ciri khas
manajemen
Jepang
ini memiliki
beberapa
keunggulan
seperti
dalam
pernyataannya
sebagai
berikut:
There
are
many
advantages
to
the Japanese form
of
decision
making.
It
has
some
elements
of
democracy
in
the
sense
that
employees
at
lower
levels can
initiate proposals
or work out plans,
which
will
be transferred
upward to
higher
levels of
management.
Since
many
people
are
involved
in
the
process
and
various
meetings
are
held,
there
is
a greater
participation
of
decision
making
in
the
company.
Any
decision
adopted
on
the
basis of
such extensive discussions
will
more likely
meet
with
general
acceptance.
Also,
the
inclusion
of
so
many
different
individuals
in
the decision-making
process
tends
to
reduce
the danger of
a
decision
being
manipulated
by certain
individuals,
and
because
the decision
is
generally accepted, the implementation
will be easier
and
more efficient.
Ada
banyak
keuntungan
dari
bentuk
pengambilan
keputusan
Jepang
ini.
Pengambilan
keputusan
ini mengandung
nilai
demokrasi
yang
ditandai
dengan
para karyawan
tingkat
bawah
dapat
membuat
proposal
atau
merancang
perencanaan
yang
akan
disampaikan
pada
tingkat
manajemen
|
14
yang
lebih
tinggi.
Banyaknya individu
yang
terlibat
dalam
proses
dan
adanya
berbagai
macam
rapat
atau diskusi
yang
diselenggarakan
menyebabkan
adanya
tingkat
partisipasi
yang
tinggi
dalam pembuatan
keputusan
di
perusahaan.
Keputusan-keputusan
yang
dipilih
berdasarkan
diskusi
yang
ekstensif
tentunya
secara
umum
lebih
dapat
diterima.
Lalu,
banyaknya
individu
yang
berbeda
yang terlibat
dalam
proses
pengambilan
keputusan
ini cenderung
menurunkan
risiko
manipulasi
keputusan oleh
individu tertentu, dan
karena
keputusan
tersebut lebih
dapat
diterima
secara
umum,
implementasinya
akan
menjadi
lebih
mudah
dan efisien.
Sedangkan
beberapa
kelemahan
sistem tersebut
dijelaskan
dalam pernyataan
berikut
ini:
There are, however, a
number of
flaws associated
with this process.
Often,
too
many people
and
sections
get involved,
even
though
a ringisho
may only
concern
one
section.
Too
many
meetings
are
held,
with
many
unnecessary
questions
and
suggestions
raised.
Moreover,
the final
decision
is
often
strongly
influenced
by the
relationships
between
the
participants.
(Chen,
2007: 156-157)
Namun
ada beberapa
kekurangan
yang
terkait
dalam
proses
ini.
Kadangkala,
proses
ini
melibatkan
terlalu
banyak
orang
walaupun
ringisho
hanya
bersangkutan
dengan
satu
bagian tertentu
dalam
organisasi.
Terlalu
banyak
rapat diadakan,
ditambah
dengan
banyaknya
pertanyaan
dan saran
yang
diajukan.
...Terlebih
lagi,
keputusan
akhir
kadang
sangat dipengaruhi
oleh
hubungan
antar partisipan
yang terlibat.
2.2.3
Filosofi
Tradisional dalam
Ringi
Seido
Ala (1999:
22)
mengemukakan
bahwa
filosofi
pengambilan
keputusan
Jepang
yang
khas
ini
lahir
dari
tradisi
sistem
keluarga
Jepang,
sesuai
dengan
pernyataan
sebagai
berikut:
This
decision-making
philosophy
is derived
from
the
traditions
of the
Japanese
family
system,
based
on
authority
highly
concentrated
in
the
head
of
the
household.
In
the
past,
the
head
of
the
household
made
all
significant
decisions
for
the entire family.
Today,
he
is
often
more
|
15
interested
in
maintaining
harmony
and
consensus
than
in
upholding
his
authority.
Therefore,
he consults
with
other
household
members
before
making important decisions. A
similar change from
autocratic to
consensus
decision-making
is reflected
in Japanese
companies.
As
Japanese companies grew
in
size
and
complexity,
it
became
difficult
for
the
head
of
the
company to
make
all
important
decisions.
A
process,
termed
ringi,
evolved
to
overcome
the
traditional
autocratic
one
decision-maker
practice.
Filosofi pengambilan
keputusan
ini diturunkan
dari tradisi sistem
keluarga
Jepang,
berdasarkan
otoritas
yang
terkonsentrasi
pada kepala
keluarga.
Pada
masa
lalu, kepala
keluarga
membuat
seluruh
keputusan
penting
untuk
seluruh
keluarganya.
Saat
ini,
ia lebih tertarik
dalam
menjaga
kedamaian
dan
konsensus
daripada
menjaga
otoritasnya.
Maka,
ia berkonsultasi
dengan
anggota
keluarga
lainnya
sebelum
membuat
keputusan
penting.
Perubahan
pengambilan
keputusan
yang serupa
dari
otoriter
menjadi
konsensus
tercerminkan
pada perusahaan-perusahaan
Jepang.
Pertumbuhan
perusahaan
Jepang
dalam
segi ukuran
dan
kompleksitas
menyulitkan
pimpinan
perusahaan
dalam membuat
keputusan-keputusan
penting.
Suatu
proses
yang
disebut
ringi dibentuk
untuk menggantikan
praktik
pengambil
keputusan
tunggal
tradisional
yang
otokratis tersebut.
Pernyataan
serupa
mengenai
latar
belakang
kultural
yang
melekat
pada
sistem
ini
juga
disebutkan
oleh
Chen (2007: 156):
There
are
certainly
cultural
roots
for
consensus
decision
making,
as
the
Japanese
believe
that
wa
or
harmony,
which
constitutes
the
essence
of
Japanese
life, can be
best
maintained
this
way.
Decisions
thus
reached can be carried
out most efficiently.
Jelas
bahwa
ada latar
belakang
kebudayaan
dalam
pengambilan
keputusan,
karena
bangsa
Jepang
percaya
bahwa
wa
atau
keharmonisan
yang membentuk
esensi
kehidupan
masyarakat
Jepang
dapat dijalankan
dengan
cara
pengambilan
keputusan
ini.
Melalui
metode
ini
keputusan
yang
dicapai akan dapat dijalankan
dengan efisien
secara maksimal.
|
![]() 16
2.2.4
Langkah
Pengambilan
Keputusan
dalam Ringi
Seido
Berdasarkan
prosedur
ringi
seido
yang
telah
disinggung
dalam konsep
sistem
pengambilan
keputusan
ini, Fukuda
dalam
Chen
(2007:
157)
menggambarkan
lima
langkah
pengambilan
keputusan
ringi seido
seperti
yang
terurai
dalam
Gambar
2.2
berikut.
Gambar
2.1 Langkah Pengambilan
Keputusan Ringi Seido
Sumber:
Fukuda
dalam
Chen (2007: 157)
Langkah pertama
dalam
ringi
seido
diawali
dengan penjelasan
masalah
(Fukuda,
2010:
43). Dalam
ringi
seido,
manajemen
puncak
menjelaskan
permasalahan
yang
terjadi
dan
memberikan
instruksi
pada
manajemen
tengah
untuk
menemukan
solusi yang
terbaik bagi masalah
tersebut.
|
17
Langkah
kedua
dalam
ringi seido
adalah
analisis;
informasi
yang lengkap
yang
berkaitan
dengan
permasalahan
dikumpulkan
dan dianalisis
(Fukuda,
2010:
43).
Langkah
ini dilakukan
oleh
manajemen
tengah
bersama-sama
dengan
para
staf
bawahannya
yang tergabung dalam tingkat manajemen bawah.
Setelah
analisis
permasalahan
selesai,
para
staf
dalam
manajemen
bawah
akan
melakukan
langkah
ketiga
dalam
sistem
ini, yaitu
memikirkan
atau
mencari
solusi
masalah
tersebut (Fukuda, 2010:
43). Setelah mereka
menemukan
ide mengenai
solusi
yang tepat,
solusi
tersebut
kemudian
akan
ditulis
dalam suatu
proposal
atau
dokumen
formal yang
disebut ringisho.
Tahap
keempat
dalam
ringi
seido
ini
adalah
proses
ringi;
yang
dijelaskan
oleh
Fukuda
(2010:
43) sebagai
proses
sirkulasi
ringisho
kepada
staf pada
tingkat
manajemen
yang
sama
sampai ke
manajemen
puncak;
yang
mencakup konsensus
unit internal
(diskusi
yang
dilakukan
oleh
manajemen
bawah),
konsensus
antar-unit
(dilakukan
oleh
manajemen
tengah
setelah
ringisho
disetujui
oleh staf
manajemen
bawah
dalam
konsensus
unit internal
yang
telah
diadakan),
sampai
akhirnya
ringisho
yang telah disetujui oleh manajemen bawah dan
tengah sampai pada manajemen
puncak
untuk
diotorisasi.
Selanjutnya,
Ala
(1999:
23)
mengatakan
bahwa
ringisho
itu
akan
diserahkan
kembali
kepada
pencetusnya
untuk
direvisi
(jika
ditolak).
Lebih
lanjut
Fukuda
(2010:
43)
juga
menyebutkan
bahwa
proses
ringi
ini
merupakan
salah
satu
komponen
dari
keseluruhan
ringi
seido,
sehingga
tidak
dapat
disamakan
dengan
ringi seido
yang mencakup
kelima komponen
tahap dalam Gambar
2.2.
|
18
Keputusan
yang telah diotorisasi
oleh
manajemen
puncak
pada tahap
keempat
tersebut selanjutnya akan
diimplementasikan
oleh
manajemen
tengah dan bawah
secara
sinergis.
Tahap
ini merupakan
langkah
terakhir
dalam
sistem
pengambilan
keputusan
ini (Fukuda, 2010:
43).
2.2.5 Formulir
yang Digunakan
dalam
Ringi
Seido
Dalam Ringi Seido,
digunakanlah
suatu
formulir
yang disebut
dengan
istilah
ringisho.
Okumura
dan
Yasukouchi
(2007:
38)
memaparkan definisi
ringisho
sebagai
berikut:
?????????????????????????????
?????????????????????????????
?????????????????????????????
?????????????????????????????
?????????????????????????????
???
Ringisho
adalah
suatu
dokumen yang
disusun
untuk
memperoleh
persetujuan
dari struktur
organisasi
atas atau atasan
yang
memiliki
wewenang
untuk
mengotorisasi
keputusan.
Ringisho
dikenal
juga
dengan
sebutan
Kiansho,
Ukagaisho,
dan
Kaigisho.
Atasan atau pembuat
keputusan
akhir
yang menerima
ringisho
ini
berbeda-beda
tergantung
pada
perusahaan
dan
isi
ringisho
tersebut.
Dokumen
ini
memiliki
kolom
bagi penerima
ringisho
untuk
membubuhkan
stempel
mereka,
disirkulasikan
untuk persetujuan
atasan atau manajemen
puncak,
dan pada
akhir
proses
pihak
yang
mengotorisasi
keputusan
akhir
akan
membubuhi
stempel
lambang persetujuannya
atas ringisho
tersebut.
|
![]() 19
Gambar 2.2 Contoh
Ringisho 1
Sumber: Okumura dan
Yasukouchi
(2007:
39)
|
![]() 20
Gambar 2.3 Contoh
Ringisho 2
Sumber: Okumura dan
Yasukouchi
(2007:
40)
|