10
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Teori-teori Umum
Teori
teori yang akan digunakan oleh penulis pada penelitian ini akan di
jabarkan pada bab ini, diantaranya adalah :
2.1.1
Teori Komunikasi Massa
a.
Definisi
Ahli komunikasi, Joseph A. Devito merumuskan definisi komunikasi
massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa
serta tentang media yang digunakannya. Ia mengemukakan definisinya
dalam dua Item, yakni : Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi
yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa
banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk
atau semua orang yang menonton televisi tetapi ini berarti bahwa
khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan.
Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh
pemancar-
pemancar yang audio dan/ visual. Komunikasi massa
barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut
bentuknya : televisi, radio siaran, surat kabar, majalah dan film
(Effendy,2007 : 26)
Jay Back dan Frederick C. Whitney dalam bukunya introduction to
Mass Communication yang dikutip dari Nurudin (2011; 12) komunikasi
massa adalah sebuah proses di mana pesan-pesan yang di produksi secara
|
11
massal/tidak sedikit itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang
luas, anonim, dan heterogen.
Kita juga sudah mengetahui bahwa definisi-definisi komunikasi
massa itu secara prinsip mengandung sesuatu makna yang sama, bahkan
antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat dianggap saling
melengkapi. Adapun fungsi dari komunikasi massa menurut Jay Black
dan Frederick C. Whitney, antara lain :
1.
To Inform (menginformasikan)
2.
To entertain (memberi hiburan)
3.
To persuade (membujuk)
4.
Transmission of the culture (transmisi budaya)
b. Karakteristik Komunikasi Massa
Melalui definisi-definisi diatas maka
kita dapat mengetahui
karakteristik komunikasi massa. Berikut adalah karakteristik komunikasi
massa (Ardianto, 2009: 6-11) :
1.
Komunikator Terlembagakan
Ciri pertama adalah komunikatornya. Kita sudah
memahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media
massa, baik media cetak maupun elektornik.
2.
Pesan Bersifat Umum
Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi
massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk
|
12
sekelompok orang tertentu. Oleh karenanya, pesan komunikasi
massa bersifat umum.
3.
Komunikannya Anonim dan Heterogen
Komunikan pada komunikasi massa bersifat anonim dan
heterogen. Pada komunikasi antarpersonal, komunikator akan
mengenal komunikannya, mengetahui identitasnya, seperti nama,
pendidikan, pekerjaan,dll. Sedangkan dalam komunikasi massa,
komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena
komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Di
samping anonim, komunikan komunikasi massa bersifat
heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang
berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor :
usia,jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan latar belakang
budaya yang berbeda.
4.
Media Massa Menimbulkan Keserempakan
Kelebihan komunikasi massa dengan komunikasi lainnya
adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya
relatif banyak dan tidak terbatas.
5.
Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan
Salah satu prinsip komunikasi adalah bahwa komunikasi
mempunyai dimensi isi dan dimensi hubungan (Mulyana,2000
:99).
Dimensi isi menunjukkan muatan atau isi komunikasi,
|
13
yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan
menunjukkan bagaimana cara mengatakannya, yang juga
mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi
itu.
6.
Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah
Karena komunikasinnya melaui media massa, maka
komunikator dan komunikannya tidak dapat kontak langsung.
Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif
menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat
melakukan dialog sebagaimana, halnya terjadi dalam komunikasi
antarpersonal.
7.
Stimulasi Alat Indra Terbatas
Ciri komunikasi massa lainnya yang dapat dianggap salah
satu kelemahannya, adalah stimulasi alat indra yang terbatas.
Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat, pada radio
siaran, dan rekaman auditif khalayak hanya mendengar,
sedangkan pada televisi kiat hanya menggunakan panca indra
penglihatan.
8.
Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan Tidak Langsung (Indirect)
Dalam proses komunikasi massa, umpan balik bersifat
tidak langsung (indirect) dan tertunda (delayed). Artinya,
|
14
komunikator komunikasi massa tidak dapat dengan segera
mengetahui bagaimana reaksi khalayak terhadap pesan yang
disampaikannya.
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi
melalui media massa
(surat kabar, majalah, televisi, radio dan film)
dan memiliki karakteristik
tersendiri. Pesan-pesan yang di produksi
secara massal disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas,
anonim, dan heterogen.
2.1.2
Teori Film
Film cerita adalah semua jenis film yang mengandung cerita termasuk
film eksperimental dan animasi yang pada umumnya bersifat fiksi (rekaan).
Sedangkan film non-cerita adalah film yang berisi penyampaian informasi,
termasuk film animasi, film iklan (film yang memuat materi iklan), film
eksperimental (abstrak), film seni, film pendidikan, dan film documenter (nyata).
(Arifin, 2011 : 155) .
Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya
yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat
berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video,
piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala
bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses
lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan
dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.
|
15
Adapun fungsi film menurut Effendy, tujuan khalayak menonton film
terutama adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat
terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun
sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain media
hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan
generasi muda dalam rangka nation and character building. (Ardianto, 2009: 6-
11)
2.1.2.1
Karakteristik film
Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah
1.
Layar yang luas/lebar
2.
Pengambilan gambar
3.
Konsentrasi penuh
4.
Identifikasi psikologis
2.1.2.2
Jenis-jenis film
Film dapat
dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film
dokumenter, dan film kartun.
a.
Film cerita
Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau
berdasarkan cerita nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur
menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari segi gambarnya.
b.
Film berita
|
16
Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang
benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan
kepada publik harus mengandung nilai berita (news value).
c.
Film dokumenter
Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataan,
maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi
(pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut.
d.
Film kartun
Film kartun dibuat untuk konsumsi anak-anak. Sebagian besar film
kartun, sepanjang film itu diputar membuat kita tertawa karena
kelucuan para tokohnya. Namun ada juga film kartun yang membuat
iba penontonnya karena penderitaan tokohnya.sekalipun tujuan
utamanya menghibur, film kartun bisa juga mengandung unsur
pendidikan.
2.1.3
Teori Fiksi
Alterbern dan Lens dalam Nurgiyantoro (2010:2) mengartikan fiksi sebagai
karya yang bersifat imaginatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung
kebenaran yang mendramatisasikan hubungan hubungan antar manusia. Karya
fiksi merupakan hasil dari pengalaman dan pengamatan sang pengarang terhadap
kehidupan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannnya yang sekaligus
memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan
manusia.
|
17
Fiksi merupakan cerita rekaan karena berupa
karya naratif yang isinya
tidak menyaran pada keberadaan sejarah. Jadi karya fiksi merupakan suatu karya
yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak
ada dan tidak sungguh
sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya
dalam dunia nyata. Tokoh penokohan, dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi
adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif. Nurgiyantoro
(2010:2)
Nurgiyantoro (2010:3) lebih lanjut,
mengatakan bahwa Fiksi
menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan
lingkungan dan sesama, interaksinya dengan sendiri, dan interaksinya dengan
Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang
terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika
fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan
perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan,
perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung
jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi merupakan model-model
kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan
sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.
Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra,
|
18
unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.
Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita,
plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa
lain. (Nurgiyantoro, 2010:23)
2.1.4 Teori Penokohan
Isitilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak,
perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap pada tokoh seperti yang
ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.
Seperti yang dikatakan Jones dalam Nurgiyantoro (2010:165), penokohan ada
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang digambarkan dalam
cerita.
Penokohan memiliki pengertian yang lebih luas dibandungkan tokoh:
dan perwatakan sebab ia mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Stanton dalam
Nurgiyantoro (2010:165) mengemukakan bahwa pengunaan istilah karakter
(character) sendiri dalam literature bahasa inggris menyarankan pada dua
pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan
sebagai sikap, ketertarikan, keinginan emosi, dan prinsip moral yang dimiliki
tokoh-tokoh tersebut.
Dengan demikian, character dapat berarti pelaku cerita
dan dapat pula berarti perwatakan.
|
19
Menurut
Echols dan Shadily, karakter dalam bahasa inggris, character,
berarti watak, peran, huruf. Sementara menurut Hornby, Karakter (character)
bisa berarti orang, masyarakat, ras, sikap mental dan moral, kualitas nalar, orang
terkenal, tokoh dalam karya sastra, reputasi dan tanda atau huruf. (Minderop,
2005: 2)
Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada
tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya
dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca.
Nurgiyantoro (2010:203) dalam bukunya menjelaskan berbagai teknik
dalam penggambaran teknik dramatik :
1.
Teknik cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga
dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.
Percakapan yang baik, mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.
2. Teknik Tingkah laku
Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk munjuk tingkah laku
verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku
menyarankan pada tindakan yang bersifat non-verbal, fisik. Apa yang
dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak
|
20
dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap
yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
3. Teknik Pikiran dan Perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang
melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikirkan
dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-
sifat kediriannya juga.
2.2
Teori-teori Khusus
2.2.1 Definisi Kekerasan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan dengan perihal
yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik.
Lucien Vanliers
dalam buku memutus rantai kekerasan
(2010; 47)
kekerasan adalah sebuah aktivitas yang sadar atau tidak sadar, yang memasukkan
sebuah objek dalam struktur subjek. Subjek disini memiliki banyak pengertian.
Subjek dapat dipahami sebagai individu atau organisasi, legal ataupun ilegal.
Semua yang memungkinkan terjadinya luka, dukacita,sakit atau bahkan
kematian.
Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan identik dengan tindakan melukai
orang lain dengan sengaja, membunuh, atau memperkosa. Kekerasan seperti itu
|
21
sering disebut sebagai kekerasan langsung (direct violence). Kekerasan juga
menyangkut tindakan-tindakan seperti mengekang, mengurangi, atau
meniadakan hak seseorang, serta mengintimidasi, memfitnah, dan meneror orang
lain. Bahkan, bagi kaum humanis, tindakan membiarkan atau menerumuskan
seseorang dalam sebuah kekerasan juga merupakan bentuk kekerasan. sebagai
contoh, tindakan membiarkan seorang pencuri dihakimi massa, bagi kaum
humanis adalah bentuk kekerasan. kekerasan seperti itu digolongkan sebagai
kekerasan tidak langsung (indirect violence). (Kun Maryati & Juju Suryawati,
2006; 62-63)
2.2.2 Semiotika
Istilah semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti tanda.
Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvesi sosial yang
terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Semiotika
dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-
objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. (Wibowo, 2011:
5)
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan du dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. (Sobur,
2009: 15)
Berikut adalah lima istilah dalam semiotika :
|
![]() 22
S ( s, i, e, r, c )
S
adalah untuk semiotic relation
(hubungan semiotik); s
untuk sign
(tanda); i
untuk interpreter
(penafsir); e
untuk effect
(pengaruh); r
untuk
reference
(rujukan); dan c
untuk context
(konteks) atau conditions (kondisi).
(Sobur, 2009: 17)
Dapat disimpulkan dari rumusan diatas bahwa semiotika adalah suatu
hubungan dari lima komponen yaitu hubungan semiotik,
terhadap objek yang
memiliki tanda, penafsiran makna, dan memiliki efek atau pengaruh, rujukan
atau referensi terhadap konteks atau kondisi tertentu.
Charles Morris (Sobur, 2009: 4) memudahkan kita memahami ruang
lingkup semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda.
Menurut dia, kajian semiotika pada dasarnya dpat dibedakan ke dalam tiga
cabang penyelidikan, diantaranya :
1.
Sintatik (syntatics)
Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal
diantara satu tanda dengan tanda-tanda lain. Dengan begitu hubungan-
hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan
dan interpretasi, pengertian sintatik kurang lebih adalah semacam gramatikal.
2. Semantik (semantics)
Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara
tanda-tanda dengan designata atau objek-objek
yang diacunya. Yang
|
23
dimaksud designata adalah tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan
tertentu.
3. Paragmatik (pragmatics)
Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara
tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakainya. Pemakaian
tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek
komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.
Semiotika Film
Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat, dan
kemudian memproyeksikannya ke atas layar menurut
Irawanto (Sobur, 2009: 127) masih dalam buku yang sama Van Zoest
mengemukakan film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi
analisis struktural atau semiotika. Film dibangun dengan tanda-tanda semata.
Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama denan
baik untuk mencapai efek yang diharapkan.
Sobur menjelaskan kalau film umumnya dibangun dengan banyak tanda.
Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda
yang bekerja sama dengan
baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Sistem semiotika yang
lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni
tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.
Van Zoest mengatakan di sini tentunya harus dibedakan antara suara
yang langsung mengiringi gambar (kata-kata yang diucapkan, derit pintu,
|
24
dan sebagainya) dan music film yang mengiringiny. Suara tipe pertama
sebenarnya secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan
gambar-gambarnya. Suara, sama seperti gambar, merupakan unsure dalam
cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan, dan
dianalisis, dengan cara yang juga sebanding. Suara, sebagai tanda, terjalin
sangat erat hubungannya dengan tanda gambar. Suara bersama tanda
gambar membuat tanda-tanda yang kompleks. Tanda-tanda kompleks ini
memang ikonis, tapi kekuatan keberadaannya pada akhirnya diperoleh dari
indeksikalitas. Karena realitas yang ditampilkan seluruhnya atau sebagian,
tidak hanya mirip, tapi juga memiliki keterkaitan dengan realitas kita.
Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan
linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan. (Sobur,
2009: 131)
Jadi dengan kajian semiotika kita dapat memahami secara lebih
mendalam dari pemaknaan yang ada pada film. Penonton seringkali tidak
menyadari tanda-tanda yang ada pada film yang dipakai sebagai simbol-
simbol yang merepresentasikan suatu pesan dikarenakan hanya terfokus pada
alur ceritanya saja. Simbol-simbol ini merupakan media bagi pembuat film
untuk mengkomunikasikan suatu pesan.
2.2.3 Teori Semiotika Roland Barthes
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam manusia dan bersama-sama
|
25
manusia. Semiologi, pada dasarnnya hendak
mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify)
dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tapi juga
mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda,
Roland barthes dan Kurniawan
dalam Alex Sobur (2009; 15)
Semiologi Barthes mengacu pada de Saussure dengan menyelidiki
hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Barthes mengembangkan
pembedaan penanda dan petanda ke arah yang lebih dinamis.
Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjukkan
tingkatan-tingkatan makna. Makna denotasi adalah makna tingkatan pertama
yang bersifat objektif (first order) yang dapat diberikan terhadap lambang-
lambang, yakni dengan mengaitkan secara langsung antara lambang-lambang
dengan realitas atau gejala yang ditunjuk. Kemudian makna konotasi adalah
makna yang dapat diberikan pada lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-
nilai budaya yang karenanya berada pada tingkatan kedua (second order).
|
![]() 26
Gambar 2. 1 Signifikasi dua tahap Barthes
Berdasarkan gambar di atas, seperti yang dikutip Fiske dalam
Sobur (2006; 127-128), signifikasi tahap pertama dari gambar tersebut
merupakan hubungan antara signifier
dan signified
di dalam sebuah tanda
terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna
paling nyata dari tanda. Sedangkan konotasi adalah istilah yang digunakan
Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan
interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Dengan kata lain, denotasi adalah
apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah
bagaimana menggambarkannya.
Pada signifikasi tahap ke dua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja
melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan
|
27
produk kelas sosial yang sudah memiliki suatu dominasi. Mitos primitif
misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya.
Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu
pengetahuan, dan kesuksesan.
2.2.3.1 Makna denotatif dan konotatif
Harimurti Kridalaksana dalam Alex Sobur (2009; 263)
mendefinisikan denotasi sebagai makna kata atau kelompok kata yang
didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau
yang didasarkan atas konvesi tertentu; sifatnya objektif. Sedangkan
konotasi diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata
yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan
pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).
Denotasi dan konotasi menurut Barthes,
denotasi adalah
apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan
konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. (Sobur 2006;
128)
2.2.3.2 Mitos
Dalam kerangka barthes, konotasi identik dengan operasi
ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan
yang berlaku dalam suatu periode tertentu, budiman dalam Alex Sobur
(2009; 71)
|
28
Sesungguhnya kehidupan manusia, dan dengan sendirinya
hubungan antar manusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap kita terhadap
sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada pada diri kita. Mitos ini
menyebabkan kita menyukainya atau membencinya. Dengan demikian,
mitos akan menyebabkan kita mempunyai prasangka terhadap sesuatu hal
yang dinyatakan dalam mitos. Hanya lewat persentuhan diri kita dengan
hal tertentu tadi, kita dapat mengetahui kebenaran ataukah kesalahan dari
mitos tadi. Persentuhan ini mungkin dapat memperkuat mitos itu, atau
mungkin pula dapat meniadakannya. Ini selanjutnya akan memungkinkan
kita berbeda anggapan dari yang terdapat dalam suatu mitos yang pernah
kita hadapi, meskipun ia tidak selalu mengambil arah demikian. (Alex
Sobur, 2006; 130-131)
|
![]() 29
2.3
Kerangka Pemikiran
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Film Across The Universe
Unsur Intrinsik penokohan
Karakter Anti-kekerasan pada
tokoh Jude
Teori Semiotika
Analisis Semiotika Roland
Barthes
Denotasi
Konotasi
Mitos
Karakter Anti-kekerasan pada
tokoh Jude
|