6
BAB 2
Landasan Teori
2.1 Konsep Kesopanan
Kesopanan berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bahasa.
Tsujimura
(1999) menyatakan hubungan antara bahasa dengan kesopanan sebagai
berikut
Human interaction always has the potential to lead to conflict between the
participants, and human behavior involves a variety of devices to avert these crises. A
key concept at the heart of all these devices is politeness, which is the speaker’s
consideration for the addressees in order to make communication among them smooth.
Politeness is realized through various verbal and non-verbal devices (hal. 445)
Terjemahan
Hubungan antar manusia selalu memiliki kemungkinan timbulnya konflik antar pihak,
dan tingkah laku manusia telah mengembangkan berbagai sarana untuk mencegah hal
ini. Kunci dasar dari segala sarana ini adalah kesopanan, yang adalah merupakan
perhatian penutur terhadap petutur
untuk memperlancar komunikasi. Kesopanan
dinyatakan melalui berbagai sarana verbal maupun non-verbal.
Kesopanan merupakan salah satu alat yang digunakan manusia agar komunikasi dapat
berlangsung dengan lancar dan terhindar dari konflik yang cenderung untuk muncul
dalam setiap hubungan antar manusia.
Bahasa Jepang memiliki seperangkat tatanan
bahasa untuk menyatakan kesopanan dan rasa hormat, demi mencapai tujuan tersebut,
yaitu keigo.
2.2 Teori Keigo
Menurut Tsujimura (1991, hal. 4-5), secara umum, keigo dapat didefinisikan sebagai
kata untuk menunjukkan rasa hormat. Lebih jauh lagi dijelaskan, keigo adalah bentuk
tuturan khusus yang digunakan penutur berdasarkan perasaan hormatnya terhadap lawan
  
7
bicara ataupun pihak ketiga yang dibicarakan. Sejalan dengan hal ini, Hirabayashi dan
Hama (1992, hal. 5) 
menyatakan bahwa keigo
adalah ragam bahasa hormat yang
digunakan
untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (penutur
atau
penulis) untuk menghormati orang kedua (lawan bicara atau pembaca) dan orang ketiga
(pihak yang dibicarakan). Jadi, yang dipertimbangkan dalam penggunaan keigo adalah
konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua dan orang ketiga.
Keigo
dibagi menjadi tiga bagian besar. Tsujimura (1991, hal.
7) membagi keigo
menjadi tiga bagian, yaitu sonkeigo, kenjougo
dan teineigo. Bunka Shingikai
mengeluarkan pedoman pembagian keigo terbaru dalam lima jenis yang tertuang dalam
?????
(Keigo no Shishin; Pedoman Keigo).
??
3?????
Pembagian 3 jenis
5?????
Pembagian 5 jenis
1.???
Sonkeigo
???
Sonkeigo
2.???
Kenjougo
???I
Kenjougo I
??? II(???)
Kenjougo II (Teichougo)
3.???
Teineigo
???
Teineigo
??? Bikago
Tabel 2.1 Perbandingan Sistem Pembagian Keigo dalam Tiga Jenis dan Lima Jenis
(sumber: Aoki, Keigo no Shishin, 2007)
Sonkeigo dan kenjougo dapat berbentuk kelas kata verba, kelas kata nomina berupa
nomina khusus untuk memanggil orang seperti
??
,
??
, dapat juga berbentuk prefiks
atau sufiks seperi akhiran ~
??
(Hirabayashi dan Hama, 1992, hal. 6-14)
  
8
2.2.1 Teori Sonkeigo
Menurut Tsujimura (1991, hal. 7),
sonkeigo
digunakan untuk meninggikan lawan
bicara dan pihak ketiga, yaitu orang yang dibicarakan. Hirabayashi dan Hama (1992,
hal. 14)  menjelaskan bahwa sonkeigo dipakai terhadap orang yang tingkatannya lebih
tinggi, orang yang tidak dekat, dan 
segala sesuatu yang berhubungan dengan orang-
orang semacam itu, misalnya sanak keluarganya.
Pembentukan verba sonkeigo berdasarkan Hirabayashi dan Hama (1992, hal. 16-18)
adalah sebagai berikut.
(1) Menggunakan verba sonkeigo bentuk khusus. Istilah verba jenis ini berbeda-beda.
ada yang menyebut dengan istilah tokubetsuna sonkeigo
(
??????
) atau
sonkeigo doushi (
??? ??
)
Bentuk biasa
Bentuk sonkeigo
??
suru
???
nasaru
??
kuru
??????
irassharu:
??????Oide ni naru
???
Mieru /
?????
omi ni naru
??????
Okoshi ni naru
??
iku
??????
irassharu:
??????
oide ni naru
  
9
~????~????~???
~te iku, ~te kuru, ~te iru
~???????
~te irassharu
??
iru
??????
irassharu
??????
oide ni naru
??
iu
?????
ossharu
?????
Shitteiru
?????
Gosonji desu
??? taberu, ?? nomu
??? Agaru?????? meshiagaru
??
kiru
??
Mesu,
??????
o meshi ni
naru
????
Kaze wo hiku
?????
o kaze wo mesu
????
Toshi wo toru
?????
o toshi wo mesu
????
Ki ni iru
?????
o ki ni mesu
??
kiku
?????
o mimi ni hairu
??
miru
?????
goran ni naru
???
kureru
???
kudasaru
~????
Te kureru
~????
~te kudasaru
Tabel 2.2 Tabel Sonkeigo Doushi (Sumber: Hirabayashi dan Hama, Gaikokujin no Tame
no Nihongo Reibun/Mondai Shi-rizu: Keigo. 1992)
  
10
(2) Mengubah verba menjadi bentuk berikut
1.
?(?)……???
Keigo bentuk ini dibentuk dengan cara menghilangkan ??pada verba bentuk
??
, menambahkan
?
/
?
di depan dan
???
di belakang kata tersebut.
Contoh:
??
menjadi
??????
2.
?
……
???
atau ……
???
Dibentuk dengan mengubah
??
dengan
???
pada verba yang berakhiran
dengan
??
.
Contoh:
????
menjadi
?????
atau
??????
3.
?
(
?
)……
?
Dibentuk dengan cara menghilangkan
??
pada verba bentuk
??
dan
menambahkan
?
/
?
di depan verba tersebut. Bentuk ini sering digunakan untuk
menggantikan bentuk ~???.
Contoh:
??
/
?????
menjadi
????
,
????
menjadi
????
4. ?(?)……????/????
Dibentuk dengan cara menghilangkan
??
pada verba bentuk
??
dan
menambahkan
?
/
?
di depan dan
????/????
di belakang kata. Dipakai
untuk mengubah bentuk
~?????
dan
~?????
menjadi keigo.
  
11
Contoh:
??
menjadi
???????
,
???????
menjadi
???????)
5. ……(
?
)
??
Dibentuk dengan cara mengubah verba menjadi bentuk  (
?
)
??
(sama dengan
bentuk
???
ukemikei)
Ada bentuk keigo
?
……
?????
dimana bentuk keigo
?(?)……???
dan
……(
?
)
??
diterapkan pada satu verba. Bentuk ini disebut nijuukeigo
(
????
)
(Hirabayashi dan Hama, 1992, hal. 21). Contohnya adalah
????????
. Bentuk
ini adalah perubahan bentuk
??
menjadi
??????
dan ditambah lagi dengan
bentuk (
?
)
??
sehingga menjadi
????????
. Bentuk semacam ini tidak dapat
dikatakan tepat,
namun
sekarang ini bentuk semacam ini sering digunakan dalam
masyarakat sehingga mengalami pembakuan secara tidak resmi, seperti yang
tertulis
dalam Keigo no shishin (Aoki, 2007, hal. 30)
2.2.2 Teori Kenjougo
Kenjougo
digunakan untuk merendahkan diri sendiri dan benda milik sendiri
(Tsujimura, 1991, hal. 7). Kenjougo digunakan untuk menyatakan rasa hormat terhadap
lawan bicara atau terhadap teman orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan
orang yang dibicarakan termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas atau hal-hal lain yang
berhubungan dengannya. Misalnya ketika sedang membicarakan tentang ‘ibu saya’
  
12
kepada orang yang dihormati. Karena ‘ibu saya’ termasuk bagian dari ‘saya’, maka
penutur menggunakan kenjougo
ketika membicarakan ‘ibu saya’ tersebut. Hal ini
berhubungan juga dengan hubungan uchi-soto terhadap pihak yang dibicarakan, seperti
yang dijelaskan oleh Hirabayashi dan Hama (1992, hal. 3).
Hirabayashi dan Hama (1992, hal. 15) membagi kenjougo menjadi dua jenis, yaitu
kenjougo I dan kenjougo II. Sejak tahun 2007, pembagian semacam ini dibakukan dalam
Bunka shingikai toushin
(
???????
)
dalam keigo no shishin
(
?????
).
Namun, penyebutan istilah kenjougo I dan kenjougo II dalam keigo no shishin terbalik
dengan penyebutan istilah kenjougo I
dan kenjougo II
oleh Hirabayashi dan Hama.
Dalam penelitian ini akan digunakan penggunaan istilah berdasarkan Hirabayashi dan
Hama.
Kenjougo I digunakan untuk meninggikan lawan bicara dengan cara merendahkan
tindakan penutur dan ‘uchi’ dari pentutur. Tindakan tersebut tidak berhubungan dengan
lawan bicara. Contohnya adalah dalam kalimat berikut
????????????
(Mulai besok (saya) pergi ke luar negeri)
Sedangkan Kenjougo II
digunakan untuk meninggikan lawan bicara dengan cara
merendahkan tindakan pentutur dan ‘uchi’ penutur yang berhubungan dengan lawan
bicara, yaitu sebagai sasaran dari verba tersebut. Tindakan penutur tersebut berhubungan
dengan lawan bicara dan menyebabkan dampak pada lawan bicara. Contohnya adalah
dalam kalimat berikut
  
13
???????????????……?
((Saya) ingin pergi ke tempat pak guru. (Kenjougo II)
Dalam dua contoh kenjougo di atas, verba yang digunakan memiliki arti yang sama,
yaitu ‘pergi’. Dalam contoh pertama, penutur merendahkan tindakan diri dengan
menggunakan bentuk kenjougo berupa mairu
sebagai pengganti iku
yang artinya juga
‘pergi’. Pelaku verba ‘pergi’ adalah penutur. Pelaku verba ‘pergi’ adalah penutur dan
sasaran verbanya adalah ‘sensei’. Dalam contoh kedua, penutur merendahkan tindakan
diri dengan menggunakan bentuk kenjougo berupa ukagau sebagai pengganti iku yang
artinya ‘pergi’.
Jumlah kenjougo II dalam verba tetap tidak terlalu banyak, hanya ada
empat yaitu
??
(ukagau),
???
(agaru)/
~????
(~te agaru),
?????
(moushi ageru),
???????
(sonjiageteiru/oru) dan
????
(haichousuru)
Pembentukan verba kenjougo adalah sebagai berikut (Hirabayashi dan Hama, 1992,
hal. 16-18)
(1) Menggunakan verba kenjougo
bentuk khusus. (tokubetsuna kenjougo
(
??????
) atau kenjougo doushi (
??? ??
)
Bentuk biasa
Bentuk kenjougo
??
suru
???
itasu
??·??
iku, kuru
??
mairu
??
ukagau;
???
agaru (ada sasaran
verba/Kenjougo II)
  
14
~???
~te iku,
~???
te kuru
~???
~te mairu
~????
~te agaru
(ada sasaran
verba/Kenjougo II)
??
iru
??
oru
~???
~te iru
~???
~te oru
???
tazuneru
??
ukagau;
???
agaru
(ada sasaran
verba/Kenjougo II)
??
iu
??
mousu
?????
moushi ageru
(ada sasaran
verba/Kenjougo II)
??
omou
???
sonjiru
?????
Shitteiru
?????/??
sonjiteiru/oru
???????/??
sonjiageteiru/oru
(ada sasaran verba/Kenjougo II)
???
taberu,
??
nomu
??
itadaku
??
kiku
??
ukagau;
??
uketamawaru;
????
haichousuru
(ada sasaran
verba/Kenjougo II)
??
au
??????
o me ni kakaru
???
miseru
??????
o me ni kakeru,
??????
goran ni ireru
  
15
??
miru
????
haiken suru
???
kariru
????
haishaku suru
???
ageru
?????
sashiageru
~????
te ageru
~??????
~te sashiageru
???
morau
??
itadaku;
????
choudai suru;
??
tamawaru
~????
~te morau
~???
~te itadaku
Tabel 2.3 Tabel Kenjougo Doushi (Sumber: Hirabayashi dan Hama, Gaikokujin no tame
no Nihongo Reibun/Mondai shi-rizu: Keigo. 1992)
(2) Mengubah verba menjadi bentuk berikut
1.
?(?)……??
Keigo bentuk ini dibentuk dengan cara menghilangkan
??
pada verba bentuk
??
, menambahkan
?
/
?
di depan dan
??
/
???
di belakang kata tersebut. Ini
merupakan bentuk yang paling sering digunakan.
Contoh: ??? menjadi ?????
2.
?(?)……?????
Dibentuk dengan cara menghilangkan ??
pada verba bentuk ??,
menambahkan
?
/
?
di depan dan
?????
di belakang kata tersebut. Bentuk ini
mengandung nuansa penghormatan yang lebih tinggi daripada bentuk pada poin 1
Contoh:
???
menjadi
????????
  
16
3.
?(?)……????
Dibentuk dengan cara menghilangkan
??
pada verba bentuk
??,
menambahkan
?
/
?
di depan dan
?????
di belakang kata tersebut. Digunakan
pada situasi ketika menerima kemurahan hati dari lawan bicara.
Contoh:
??
menjadi
???????
4.
?(?)…… ??
Dibentuk dengan cara menghilangkan
??
pada verba bentuk
??
,
menambahkan
?
/
?
di depan dan
??
di belakang kata tersebut. 
2.2.3 Teori Teineigo
Tsujimura (1991, hal. 7) mengatakan bahwa teineigo
adalah bentuk untuk
memperhalus cara penuturan maupun memperhalus benda. Teineigo digunakan sebagai
bentuk kesopansantunan terhadap lawan bicara langsung. Misalnya pada kalimat Sensei
ga okaeri ni naru, bentuk ini menggunakan sonkeigo
berupa okaeri ni naru untuk
menaikkan derajat sensei sebagai orang yang posisinya lebih tinggi, namun kalimat ini
tidak menggunakan teineigo bagi lawan bicara.
Dalan teineigo
terdapat cara memperhalus dan memperindah kata. Misalnya kata
??
dan
?
diubah ke dalam teineigo menjadi
???
dan
??
. Tsujimura menyebut
teineigo bentuk ini menjadi bikago (
???
)
  
17
Teineigo dapat berupa kelas kata verba dengan menggunakan verba bantu
??
dan
??
seperti
????
,
???
dan kelas kata nomina seperti
???
dan
??
, yang
diklasifikasikan sebagai bikago oleh Tsujimura.
Dalam sistem pembagian jenis keigo terbaru, pembagian dengan lima jenis, Teineigo
dibagi menjadi dua, yaitu teineigo dan bikago. Teineigo berbentuk verba dengan verba
bantu
??
dan
??
dan bikago
berbentuk kelas kata nomina dengan penambahan
prefiks
?
atau
?
di depan kata benda.
Teineigo bentuk verba dibentuk dengan mengubah verba bentuk kamus/bentuk biasa
(futsuutai;
???)
menjadi bentuk masu
(
??
).
Bentuk lainnya
adalah dengan
menambahkan
??
pada akhir kalimat yang berakhiran dengan nomina atau adjektiva.
Contoh: 
???
menjadi
????
?
menjadi
???
.
2.3 Konsep Penggunaan Keigo
Salah satu kesulitan dalam penggunaan keigo adalah keharusan memilih bentuk yang
tepat dalam situasi tertentu berdasarkan hubungan antar manusia. Pengguna harus
melihat siapa lawan bicaranya, seberapa kedekatannya pada lawan bicara, juga situasi
dan kondisi saat menggunakan keigo. (Hirabayashi dan Hama, 1992, hal.
2-3).
Berdasarkan hal tersebut, Hirabayashi dan Hama menjabarkan kondisi penggunaan
keigo sebagai berikut
1. Lawan bicara penggunaan keigo
Ketika bicara terhadap orang yang tidak dekat (orang yang tidak terlalu dikenal, orang
yang bukan anggota kelompok kita), orang yang posisinya lebih tinggi dan orang
  
18
yang harus dihormati (orang yang posisi, status dan umurnya lebih tinggi), bila kita
membicarakan orang tersebut, maka kita menggunakan keigo.
2. Tempat penggunaan keigo
Keigo digunakan pada situasi dan tempat resmi (rapat, pertemuan, presentasi, pidato,
dalam surat dan lainnya). Dalam situasi seperti ini keigo tetap digunakan walaupun
terhadap orang yang posisinya sama dengan kita.
3. Hubungan uchi dan soto
Ketika membicarakan uchi dari diri sendiri, digunakan kenjougo. Sedangkan ketika
membicarakan soto dari orang yang dihormati, digunakan sonkeigo.
Kubota (1990, hal. 67) menyatakan bahwa hubungan antar manusia (
????
;
ningen kankei) merupakan salah satu unsur penting dalam penggunaan keigo. Hubungan
antar manusia tersebut dijabarkan sebagai berikut (Kubota, 1990, hal. 68)
1. Unsur identitas (
??????????
;
honnin ka, honnin dewa nai ka)
Apakah penutur, petutur, subjek pelaku dalam tuturan dan sasaran kegiatan dalam
tuturan adalah orang yang sama atau bukan. Misalnya jika penutur dan subjek tuturan
adalah orang yang sama, lawan bicara dan subjek tuturan adalah orang yang sama
atau bukan, dan sebagainya.
2. Jenis kelamin (
??
;
seibetsu)
Terutama mengenai perbedaan pemilihan keigo berdasarkan jenis kelamin penutur.
Dijelaskan
lebih rinci oleh Hirabayashi dan Hama (1992, hal 3, 4, 21) bahwa
perempuan sering menggunakan keigo dibanding laki-laki sebagai wujud kesopan-
santunan dalam pergaulan (Hirabayashi dan Hama, 1992, hal 3), meninggikan diri
  
19
atau menunjukkan martabat diri (Hirabayashi, et al, 1992, hal 4) maupun untuk
memperindah kata, yang biasanya berupa verba keigo
bentuk kamus (
???
;
futsuukei)
3. Strata sosial diri (
????
; Shozoku kaisou), kedudukan (
??
; Chii), posisi (
??
;
tachiba) dan lain-lain.
Terutama perbedaan penggunaan kata berdasarkan
kasta dan
strata sosial dalam
masyarakat. Misalnya, kalangan bangsawan sering menggunakan bentuk keigo dalam
percakapan sehari-hari.
4. Hubungan atasan-bawahan (
????
; Jougekankei
)
a.
Hubungan atasan-bawahan bersifat status/kedudukan (
???????
;
Mibun
teki jougekankei)
Kurang-lebih adalah kelas dan kasta dalam masyarakat, erat hubungannya dengan
struktur dan sistem yang ada dalam masyarakat (kasta dan sebagainya)
b. Hubungan atasan-bawahan bersifat alami/bawaan
(
???????
; Seitoku teki
jougekankei)
Umumnya hubungan atasan-bawahan berdasarkan umur.
c.
Hubungan atasan-bawahan berdasarkan riwayat karir
(
???????
,
keirekiteki jougekankei)
Panjang-pendeknya riwayat karir dan lama-sebentarnya bekerja dan banyak-
sedikitnya pengalaman
  
20
d. Hubungan
atasan-bawahan berdasarkan peranan tugas/kerja
(
???????
;
yakuwariteki jougekankei)
Salah satu contohnya adalah tingkat jabatan dalam perusahaan. Manajer, direktur,
kepala bagian dan sebagainya.
e.
Hubungan atasan-bawahan bersifat diskriminatif
(
???????
, sabetsuteki
jougekankei)
Pembedaan orang atau kelompok orang berdasarkan nilai-nilai yang sulit
ditemukan alasan logisnya. Misalnya masalah diskriminasi kulit putih-kulit hitam,
diskriminasi terhadap perempuan dan sebagainya.
f.
Hubungan atasan-bawahan berdasarkan tingkat kemampuan
(
???????
;
nouryokuteki jougekankei)
Misalnya mengenai ada tidaknya bakat kepemimpinan.
g. Hubungan atasan-bawahan berdasarkan posisi (
???????
; tachibateki
jougekankei)
Berhubungan dengan psikologis/kejiwaan seseorang. Misalnya
antara tamu toko
dan pelayan toko, pihak yang meminjan dan pihak yang dipinjami, pihak pemohon
dan pihak yang dimohon, pihak yang memberitahu dan yang diberitahu dan
sebagainya.
h. Hubungan atasan-bawahan bersifat mutlak
(
???????
; zettaiteki
jougekankei)
Hubungan superioritas dalam agama atau kekuatan gaib. Hubungan atasan-
bawahan terhadap Tuhan, Buddha, dewa-dewa ataupun kekuatan gaib
  
21
5. Hubungan solidaritas (
????
; shinso kankei)
a.
Hubungan solidaritas berdasarkan kejiwaan
(???????; shinriteki shinso
kankei)
Ada-tidaknya perasaan akrab terhadap objek yang dituju atau tidak, hubungan
persahabatan, hubungan teman sejawat, hubungan tetangga dan lain-lain
b. Hubungan solidaritas secara sosial (
???????
; shakaiteki shinso kankei)
Solidaritas hubungan darah dan solidaritas sosial. Sanak saudara atau bukan, teman
sekantor atau bukan, anggota kelompok yang sama atau bukan, berada dalam kelas
masyarakat yang sama atau tidak, dan sebagainya.
Di antara lima hubungan antar manusia tersebut, terdapat hubungan atasan bawahan
(jogekankei). Hubungan atasan-bawahan ini kemudian dihubungkan dengan hubungan
uchi-soto yang mempertimbangkan dua hal berikut
1. Derajat keakraban
2. Kelompok: termasuk anggota kelompok/bukan anggota kelompok
Dengan mempertimbangkan hubungan
antar manusia serta situasi percakapan,
bermacam-macam efek dapat muncul dalam penggunaan keigo. Kubota memberi contoh
sebagai berikut. Seorang
mahasiswa
menunjungi seorang nyonya bangsawan untuk
mendapatkan pekerjaan. Nyonya tersebut mengatakan bahwa ia akan menyampaikan
permohonannya pada suaminya, dan nyonya tersebut menggunakan banyak bentuk keigo
ketika berbicara pada mahasiswa tersebut. Dilihat dari situasi saat itu, yaitu situasi yang
  
22
tidak mengharuskan penggunaan keigo, serta posisi sang mahasiswa sebagai pihak soto
dan shita, serta penggunaan keigo yang beruntun, menciptakan efek meninggikan diri
sang nyonya bangsawan dan membuat sang mahasiswa menjadi rendah diri (1990, hal.
92-93)
2.4 Teori Efek Penggunaan Keigo
Keigo
digunakan untuk menyatakan
rasa hormat (Tsujimura, 1991,
hal. 4). Akan
tetapi, efek yang ditimbulkan oleh penggunaan keigo bervariasi dari berangkat dari efek
awalnya yang adalah untuk menimbulkan rasa hormat. Efek tersebut timbul tergantung
dari lawan bicara dan situasi serta kondisi saat keigo tersebut digunakan. Misalnya,
penggunaan banyak bentuk keigo
secara beruntun, yang mungkin secara situasi tidak
perlu digunakan, terhadap orang yang lebih rendah posisinya, justru menimbulkan efek
meninggikan posisi petutur sendiri sebagai pengguna keigo, serta membuat posisi lawan
bicara menjadi lebih rendah. Keigo memiliki sifat khusus semacam ini. (Kubota, 1990,
hal. 92-94)
Hirabayashi dan Hama (1992,
hal. 3-4) membagi efek penggunaan
keigo
menjadi
lima bagian sebagai berikut
1. Efek meninggikan
Digunakan untuk
menunjukkan perasaan
meninggikan
pada
orang yang status dan
posisinya lebih tinggi, yang umurnya lebih tua, guru dan orang-orang yang kita
hormati.
2. Efek formal sebagai sopan santun dalam pergaulan
Memunculkan efek formal
dalam
kondisi ketika
rapat, kondisi semacam ketika
sedang duduk semeja dan melakukan pembicaraan dengan orang yang lebih tinggi.
  
23
Yang disebut situasi formal dalam hal ini antara lain ketika rapat, pertemuan,
presentasi, pidato atau dalam surat.
Perempuan dengan sesama perempuan sering
menggunakan keigo dalam percakapannya dengan sesama perempuan lainnya untuk
memunculkan efek semacam ini.
3. Efek menciptakan jarak terhadap lawan bicara
Efek ini biasa digunakan dalam situasi ketika menggunakan keigo kepada orang yang
belum dekat untuk menimbulkan nuansa ‘orang ini tidak terlalu dekat dengan saya’
atau ‘ia orang luar’. Biasanya dipakai kepada orang yang baru pertama ditemui.
4. Efek menunjukkan martabat dan keagungan penutur
Kemampuan menggunakan keigo
dengan lancar
menunjukkan tingkat pendidikan
yang tinggi atau juga kelas sosial yang tinggi, sehingga penggunaan keigo
dapat
memberikan efek menimbulkan kesadaran bahwa status si penutur keigo berada di
tingkat atas.
Banyak
juga perempuan yang banyak menggunakan keigo
untuk
menimbulkan efek semacam ini.
5. Efek sindiran, ejekan dan lelucon
Efek semacam ini timbul dalam penggunaan keigo secara sepihak dan tiba-tiba oleh
penutur terhadap orang yang
sudah
dekat dan akrab. Misalnya penggunaan keigo
secara tiba-tiba oleh seorang istri yang sedang marah pada suaminya.