12
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Teori Sintaksis
Menurut Arifin dan Junaiyah (2008, hal.
1), sintaksis adalah cabang linguistik
yang membicarakan hubungan antarkata dalam tuturan. Unsur bahasa yang termasuk
ke dalam lingkup sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat.
2.1.1 Aspek-Aspek Sintaksis
Arifin dan Junaiyah (2008, hal.
2-5) membagi sintaksis menjadi empat
aspek, yaitu:
1.
Kata
Menurut pemakai bahasa, kata adalah satuan gramatikal yang diujarkan,
bersifat berulang-ulang, dan secara potensial ujaran itu dapat berdiri sendiri.
Secara linguistis, kata dapat dibedakan atas satuan pembentuknya, yaitu:
a.
Kata sebagai satuan fonologis
Kata mempunyai ciri-ciri fonologis yang sesuai dengan ciri bahasa
yang bersangkutan.
b.
Kata sebagai satuan gramatikal
Masih banyak ahli
bahasa yang belum sepakat mengenai batasan
kata sebagai satuan gramatikal. Namun, menurut Lyons (1971) dan Dik
(1976), secara gramatikal, kata
bebas bergerak, dapat dipindah-
pindahkan letaknya, tetapi identitasnya tetap. Kata
memiliki keutuhan
internal yang kuat sehingga tidak bisa disisipi kata atau bentuk apapun
|
13
lainya. Oleh karena itu, awalan, akhiran, dan konfiks hanya dapat
melekat pada bagian awal, bagian akhir, serta bagian awal dan akhir
kata.
c.
Kata sebagai satuan ortografis
Secara ortografis, kata ditentukan oleh sistem aksara yang berlaku
dalam bahasa itu.
2.
Frasa
Menurut Rusyana dan Samsuri dalam Arifin dan Junaiyah (2008, hal. 4),
frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat
nonpredikatif atau satu konstruksi ketatabahasaan yang terdiri atas dua kata
atau lebih.
Frasa terdiri atas frasa eksosentris dan frasa endosentris. Frasa
eksosentris terdiri atas frasa eksosentris direktif dan frasa eksosentris
nondirektif. Frasa endosentris terdiri atas frasa endosentris bersumbu satu
dan frasa endosentris bersumbu jamak. Frasa endosentris bersumbu satu
dapat dibedakan menjadi frasa nominal, frasa pronominal, frasa verba, frasa
adjektival, dan frasa numeral. Frasa endosentris bersumbu jamak terbagi
menjadi frasa koordinatif dan frasa apositif.
3.
Klausa
Klausa adalah satuan gramatikal yang setidak-tidaknya terdiri atas
subjek dan predikat. Klausa berpotensi menjadi kalimat.
Klausa dapat
dibedakan berdasarkan distribusi satuannya dan berdasarkan fungsinya.
Berdasarkan distribusi satuannya, klausa dapat dibedakan menjadi klausa
|
14
bebas dan klausa terikat. Berdasarkan fungsinya, klausa dapat dibedakan
menjadi klausa subjek, klausa objek, klausa keterangan, dan klausa
pemerlengkapan.
Secara garis besar, hubungan antar klausa diperinci menjadi hubungan
antarklausa koordinatif dan hubungan antar klausa subordinatif. Hubungan
klausa koordinatif dibedakan menjadi hubungan aditif (perjumlahan),
hubungan adversif (pertentangan), dan hubungan alternatif
(pemilihan).
Hubungan antar klausa subordinatif dibedakan menjadi hubungan sebab,
hubungan akibat, hubungan tujuan, hubungan syarat, hubungan waktu,
hubungan konsesif, hubungan cara, hubungan kenyatan, hubungan
sangkalan, hubungan pembandingan, hubungan hasil, hubungan penjelasan,
hubungan atributif, dan hubungan andaian.
4.
Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri,
mempunyai intonasi final (kalimat lisan), dan secara aktual ataupun
potensial terdiri atas klausa. Dapat dikatakan bahwa kalimat membicarakan
hubungan antara sebuah klausa dan klausa yang lain.
Jika dilihat dari
fungsinya, unsur-unsur kalimat berupa subjek, predikat, objek, pelengkap,
dan keterangan.
Menurut bentuknya, kalimat dibedakan menjadi kalimat tunggal,
kalimat tunggal perluasaannya, serta kalimat majemuk. Kalimat majemuk
dibedakan menjadi kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat,
dan kalimat majemuk campuran.
|
15
2.1.2 Unsur-Unsur Kalimat
Menurut Sugono (2009), unsur-unsur kalimat terdiri dari subjek, predikat,
objek, pelengkap, dan keterangan.
a.
Subjek
Subjek adalah unsur pokok
yang terdapat pada sebuah kalimat di
samping predikat.
Ciri-ciri subjek, yaitu jawaban apa atau siapa, disertai
kata ini ; itu ; tersebut, didahului kata bahwa, mempunyai keterangan
pewatas yang, tidak didahului preposisi, dan berupa nomina atau frasa
nomina. (Sugono, 2009, hal. 41-55)
b.
Predikat
Predikat merupakan unsur utama suatu kalimat, disamping subjek. Ciri-
ciri predikat, yaitu jawaban atas pertanyaan mengapa atau bagaimana,
disertai kata adalah atau merupakan,
dapat diingkari (dengan kata tidak),
dapat disertai kata keterangan aspek, dapat disertai kata keterangan
modalitas, dan dapat didahului kata yang. Predikat dapat berupa kata benda /
frasa
nominal, kata kerja / frasa
verbal, kata sifat / frasa
adjektival,
kata
bilangan / frasa
numeral, kata depan / frasa preposisional.
(Sugono, 2009,
hal. 55-70)
c.
Objek
Objek merupakan unsur kalimat yang bisa diperlawankan oleh subjek.
Unsur kalimat ini bersifat wajib dalam susunan kalimat yang berpredikat
verba. Ciri-ciri objek, yaitu berada langsung di belakang predikat, dapat
menjadi subjek dalam kalimat pasif, dan tidak didahului preposisi. (Sugono,
2009, hal. 70-79)
|
16
d.
Pelengkap
Persamaan pelengkap dan objek, yaitu bersifat wajib (harus ada karena
melengkapi makna
verba predikat kalimat, menempati posisi di belakang
predikat, dan tidak didahului preposisi. Sedangkan perbedaannya, yaitu
pelengkap tidak bisa menjadi subjek dalam kalimat pasif.
(Sugono, 2009,
hal. 79-84)
e.
Keterangan
Keterangan merupakan unsur kalimat yang memberikan informasi lebih
lanjut tentang suatu
yang dinyatakan dalam kalimat :
misalnya, memberi
informasi tentang tempat, waktu, cara, sebab, dan tujuan.
Ciri-ciri
keterangan, yaitu bukan unsur utama dan tidak terikat posisi. Jenis-jenis
keterangan antara lain keterangan waktu, keterangan tempat, keterangan
cara, keterangan sebab, keterangan tujuan, keterangan aposisi (memberi
penjelasan nomina, dapat menggantikan unsur yang diterangkan),
keterangan tambahan (tidak dapat menggantikan unsur yang diterangkan),
dan keterangan pewatas. (Sugono, 2009, hal. 84-95)
2.1.3 Jenis-Jenis Kalimat Berdasarkan Bentuknya
Berdasarkan pendapat Arifin & Junaiyah (2008, hal. 5), menurut bentuknya,
kalimat dibedakan menjadi kalimat tunggal, kalimat tunggal perluasannya, serta
kalimat majemuk. Kalimat majemuk dibedakan menjadi kalimat majemuk
setara, kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk campuran.
|
17
1.
Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang mempunyai satu subjek dan
satu predikat.
Semua kalimat dasar adalah kalimat tunggal. Kalimat
tunggal dapat diperoleh dari beberapa segi, yaitu kalimat tunggal adalah
kalimat murni, kalimat tunggal adalah kalimat dasar yang diperluas
dengan berbagai keterangan, kalimat tunggal adalah kalimat dasar yang
berubah susunannya. (Arifin & Junaiyah, 2008, hal. 56-57)
2.
Kalimat Tunggal Perluasan
Kalimat dasar yang diperluas dengan berbagai unsur keterangan.
(Arifin & Junaiyah, 2008, hal. 60)
3.
Kalimat Majemuk
a.
Kalimat Majemuk Setara
Kalimat majemuk yang terdiri atas dua kalimat tunggal atau lebih
yang digabungkan dengan kata hubung yang menunjukkan
kesetaraan, seperti dan, atau, sedangkan, dan tetapi.
(Arifin &
Junaiyah, 2008, hal. 62)
b.
Kalimat Majemuk Bertingkat
Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat majemuk yang terdiri
atas unsur anak kalimat dan induk kalimat.
(Arifin & Junaiyah, 2008,
hal. 62)
Contoh : Saya akan sulit sampai di kantor jika pagi-pagi sekali hari
sudah hujan.
|
18
c.
Kalimat Majemuk Campuran
Kalimat majemuk campuran terdiri atas kalimat majemuk setara dan
kalimat majemuk bertingkat. (Arifin & Junaiyah, 2008, hal. 68)
Contoh: Karena pembicaraan mengenai pemecahan atom belum
rampung, kami terpaksa bekerja sampai malam dan melakukan
pembagian kerja dengan lebih baik lagi.
2.2 Teori Semantik
Semantik adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari serta meneliti
tentang makna. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata benda sema
yang berarti tanda atau lambang. Kata kerja dari kata sema adalah semanio
yang berarti menandai atau melambangkan. Kata semantik disepakati sebagai
istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan tentang
tanda-tanda linguistik dan hal-hal yang ditandainya (Chaer, 2002, hal. 2).
Semantik
menurut Saeed (2003) adalah Semantics is the study
of meaning communicated
through language
(hal. 3). Artinya, Semantik adalah ilmu tentang makna yang
diungkapkan melalui bahasa.
Semantik adalah pengkajian arti. Jika seseorang mengabaikan bentuk-bentuk
bahasa dan mencoba menyelidiki arti atau arti-arti
secara abstrak, ia sebenarnya
mencoba menyelidiki alam raya pada umunya; istilah semantik kadang-kadang
dihubungkan dengan usaha-usaha semacam itu (Bloomfield, 1995, hal. 495).
Menurut Parera (2004, hal.
42), kita perlu membedakan semantik dengan
semantik
general. Semantik general, yang diukir oleh seorang filsuf Amerika yang
bernama Alfred Korzybski, merupakan satu reaksi terhadap filsafat Aristoteles.
Semantik general menurut
Korzybski dalam Parera (2004, hal. 18) adalah studi
|
19
tentang kemampuan manusia untuk menyimpan pengalaman dan pengetahuan lewat
fungsi bahasa sebagai penghubung waktu: bahasa mengikat waktu dan umur manusia.
Selanjutnya, Parera (2004, hal. 42) juga mengatakan bahwa semantik sebagai
pelafalan lain dari istilah la sematique yang diukir oleh M.Breal dari Perancis
merupakan salah satu cabang linguistik general. Oleh karena iu, semantik di sini
adalah satu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik.
2.2.1 Makna Kata Secara Umum
Menurut Keraf (2007, hal 27-28), kata makna dalam semantik dibagi secara
umum menjadi dua, yaitu makna yang bersifat denotatif
dan makna yang
bersifat konotatif .
1. Makna Denotatif
Menurut Keraf (2007, hal. 28), makna denotatif disebut juga dengan
istilah makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna
ideasional, makna referensial, atau makna proposional. Disebut makna
denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu
menunjuk kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen.
Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau
pengetahuan; stimulus (dari pihak pembaca) dan respons (dari pihak
pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindria (kesadaran)
dan rasio manusia. Makna ini juga disebut makna proposisional karena
bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang
bersifat faktual. Makna ini adalah makna yang paling dasar pada suatu kata.
Keraf (2007, hal.
29) melanjutkan bahwa makna denotatif dapat dibedakan
|
20
atas dua macam relasi, yaitu pertama, relasi antara sebuah kata dengan barang
individual yang diwakilinya, dan kedua relasi antara sebuah kata dan ciri-ciri
atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya.
2. Makna Konotatif
Menurut Keraf (2007, hal. 29-30), konotasi atau makna konotatif disebut
juga makna konotasional, makna emotif, atau evaluatif. Makna konotatif
adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-
nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin
menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang dan
sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih itu
meperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama.
Sering sinonim dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Kenyataannya
tidak selalu demikian. Ada sinonim-sinonim yang memang hanya mempunyai
makna denotatif, tetapi ada juga sinonim yang mempunyai makna konotatif.
Konotasi pada dasarnya timbul karena masalah hubungan sosial atau
hubungan interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain.
2.3 Teori Kelompok
Tanaka (2009) mengutip pendapat dari Akademi Tokyo, kelompok adalah:
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
????????????
(hal. 76)
Terjemahan:
Secara umum kelompok diartikan sebagai kumpulan orang, namun dalam
psikologi, kelompok adalah kumpulan orang yang mempengaruhi satu sama lain,
yang memiliki beberapa tujuan bersama. (hal. 76)
|
21
Sarwono (2005, hal. 4)
mengatakan bahwa tidak mudah mendefinisikan kata
kelompok karena jenis kelompok yang beragam. Johnson &
Johnson dalam
Sarwono (2005, hal. 4) mengidentifikasikan setidaknya tujuh jenis definisi kelompok
yang penekanannya berbeda-beda sebagai berikut.
1.
Kumpulan individu yang saling berinteraksi (Bonner, 1959; Stogdill, 1959).
2.
Satuan (unit) sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat diri
mereka sendiri sebagai bagian dari kelompok itu (Bales, 1950; Smith, 1945).
3.
Sekumpulan individu yang saling tergantungan (Cartwright & Zander, 1968;
Fieldler, 1967; Lewin, 1951).
4.
Kumpulan individu yang bersama-sama bergabung untuk mencapai satu
tujuan (Deutsch, 1959; Mills, 1967).
5.
Kumpulan individu yang mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan
melalui penggabungan diri mereka (joint association) (Bass, 1960; Cattell,
1951).
6.
Kumpulan individu yang interaksinya diatur (distrukturkan) oleh atau dengan
seperangkat peran dan norma (McDavid & Harari, 1968; Sherif & Sherif,
1956).
7.
Kumpulan individu yang saling mempengaruhi (Shaw, 1976).
Johnson
&
Johnson dalam Sarwono (2005), merumuskan definisi kelompok
berdasarkan definisi-definisi diatas. Definisi kelompok itu adalah sebagai berikut.
Sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka
(face to face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaanya dalam
kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota
kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif
dalam mencapai tujuan bersama. (hal. 5)
Cattell dalam Sarwono (2005, hal. 18-19) berpendapat bahwa untuk mempelajari
kelompok perlu ada cara untuk menguraikan dan mengukur sifat-sifat dan perilaku
|
22
kelompok. Dasar pendapat ini adalah pandangan McDougall mengenai kelompok. Ia
menyatakan sebagai berikut.
1.
Perilaku dan struktur yang khas dari suatu kelompok tetap ada, walaupun
anggotanya berganti-ganti.
2.
Pengalaman-pengalaman kelompok direkam dalam ingatan.
3.
Kelompok mampu berespons secara keseluruhan terhadap rangsang
yang
tertuju kepada salah satu bagiannya.
4.
Kelompok menunjukkan adanya dorongan-dorongan.
5.
Kelompok menunjukkan emosi yang bervariasi.
6.
Kelompok menunjukkan adanya pertimbangan-pertimbangan kolektif
(bersama).
2.4 Teori Persahabatan
Auhagen dalam Hinde (1997), mendefinisikan persahabatan sebagai berikut.
Friendship as involving a dyadic, personal, informal relationship, which involves
reciprocity and mutual attraction, is voluntary, long-lasting and positive, and does
not involve explicit sexuality. (hal. 410)
Terjemahan:
Persahabatan adalah hubungan dyadic (komunikasi atau interaksi antara dua orang
(Marcionis & Gerber, 2011, hal. 153)), personal dan informal, dimana melibatkan
hubungan timbal balik dan adanya ketertarikan, yang secara sukarela, bertahan
lama dan positif, dan tidak melibatkan seksualitas. (hal. 410)
Persahabatan juga adalah suatu bentuk ikatan yang jauh lebih daripada
sekedar tujuan yang sama, kesenangan yang sama, sejarah yang sama (Nouwen,
2003, hal. 44). Basow (1992, hal. 204) mengatakan bahwa di dalam persahabatan
terdapat kepedulian, biasanya saling berbalasan, saling menguntungkan, ada rasa
percaya, loyalitas, dan kebutuhan.
|
23
Persahabatan merupakan salah satu jenis kelompok berdasarakan tujuan
(Sarwono, 2005, hal. 9). Selain itu, Akademi Tokyo dalam Tanaka (2009, hal. 78)
menyatakan hubungan persahabatan dengan kelompok, yaitu?????????
????????????????????????????????5?
???????????, yang artinya
Persahabatan, rasa aman, suasana
yang positif, disiplin, otonomi dapat dikatakan sebagai 5 komponen kelompok
yang ideal. Dengan kata lain, persahabatan pasti selalu berhubungan dengan
kelompok.
2.5 Konsep Shuudan shugi
Shuudan shugi
adalah konsep berkelompok yang ada di
masyarakat Jepang.
Konsep ini menjadi salah satu dasar kehidupan sosial dalam masyarakat Jepang.
Walaupun masyarakat Jepang saat ini mengatakan konsep ini sudah ditinggalkan,
pada kenyataanya tidak. Menurut Yoshino (1992, hal. 19) 'groupism' atau 'konsep
kelompok (shuudan shugi) mengacu kepada berbagai fenomena seperti identifikasi
individu dengan penggabungan ke dalam kelompok. Shuudan shugi menurut Takano
&
Eizaka yang dikutip Wang & Nakamura (2005), sebagai berikut:
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
??????(hal. 79)
Terjemahan:
Karena individu bekerja untuk kelompok, maka memiliki tingkat kerja sama yang
tinggi, tapi ego individu tidak terbentuk sehingga kurang memiliki kepribadian,
tujuan kelompok lebih diutamakan dibandingkan tujuan pribadi, hal inilah yang
disebut konsep berkelompok (shuudan shugi). (hal. 79)
|
24
Wang & Nakamura (2005) menyimpulkan definisi
shuudan shugi dari beberapa
ahli menjadi sebagai berikut:
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
??????????????????(hal. 79)
Terjemahan:
Tujuan, nilai dan sikap pribadi, menerima pengaruh yang kuat dari anggota
kelompoknya, tipe yang mengutamakan prinsip kerja sama kelompok. Berdasarkan
studi sebelumnya, negara-negara barat merupakan negara yang memegang nilai
individualisme, sedangkan Jepang, Cina, dan negara-negara Asia lainnya
merupakan negara yang memegang nilai orientasi kelompok. (hal. 79)
Masyarakat Jepang yang hidup dengan konsep shuudan shugi
memiliki
kecenderungan yang khusus. Menurut Taplin (1995, hal.
45), mereka cenderung
melihat segala sesuatu dalam hal 'kita' dan harmoni, dengan penekanan pada
konsensus. Penekanan kelompok melibatkan kesediaan untuk menjadi ambigu dan
untuk menggabungkan ide-ide yang berbeda yang dalam akal logis tampak seperti
konflik.
Berdasarkan penjelasan di atas, ada tiga bagian dalam shuudan shugi:
1. Shuudan Shikou
Kawamoto dalam Madubrangti (2004)
mendefinisikan shuudan shikou
sebagai
berikut:
Orientasi kelompok adalah kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja
kelompok yang didasari kesadaraan yang tinggi terhadap kepentingan berkelompok
dalam suatu kehidupan sosial masyarakat yang diikat oleh kehidupan bekerja sama
di dalam satu kesatuan kehidupan. (hal. 49)
Ciri utama shuudan shikou menurut Jabis dalam Iseda (2007), sebagai berikut:
?????????????????????????????????
???????
)
??(???????????????????????
????????????)????????????????????
???????????????(hal. 1-2)
|
25
Terjemahan:
Pola pikir yang mencegah pemikiran kritis agar memiliki kesamaan pemikiran
dalam pengambilan keputusan yang diikat oleh kelompok (motivasi yang tinggi
untuk terus menjadi anggota sebuah kelompok dan memiliki evaluasi yang positif),
dan kecenderungan mengikuti kelompok, ini adalah ciri utama dari shuudan
shikou. (hal. 1-2)
Pola pikir seperti ini membuat masyarakat Jepang selalu menunjukkan sikap
keberadaannya di dalam kelompok jika melakukan suatu kegiatan kelompok
(Madubrangti, 2004, hal. 50). Hal ini juga didukung oleh pendapat Nakane (1991, 1-
8), yaitu orientasi dalam kelompok merasuk ke dalam gaya hidup orang Jepang
terutama antara hubungan pribadi. Masyarakat Jepang lebih mengutamakan individu
sebagai bagian dari satu kelompok. Secara individu pun, mereka selalu
mengungkapkan dirinya sebagai bagian suatu kelompok.
Selain itu, pola pikir seperti ini membuat masyarakat Jepang, jika mereka
menganggap diri mereka sebagai individu, sebagai unit tak berdaya dalam
dunia yang bermusuhan, mereka akan merasa tidak aman dan tidak bahagia.
Karenanya, mereka lebih senang menjadi anggota dalam sebuah kelompok
(Soetanti, 2007, hal. 214).
Menurut Sai (1996, hal. 5) banyak orang Jepang merasa bahwa menjadi anggota
kelompok yang terorganisir adalah pengalaman manusia yang paling menyenangkan
dan nyaman. Perasaan senang dan nyaman saat bersama kelompoknya tumbuh lebih
kuat karena seorang individu sudah berada di dalam kelompoknya dan berhubungan
dengan anggota kelompoknya untuk waktu yang lama. Hal ini merupakan hasil
pemikiran masyarakat Jepang yang memiliki kesadaran yang tinggi tentang
kepentingan berkelompok.
|
26
2. Shuudan Seikatsu
Menurut Kawamoto dalam Madubrangti (2008), shuudan seikatsu
sebagai
berikut.
Kehidupan kelompok (shuudan seikatsu) adalah kehidupan sosial yang
berlangsung atas dasarnya kerja sama kelompok yang didasari atas kesadaran yang
tinggi terhadap kepentingan kelompok yang diikat oleh aturan, sistem, pola, dan
pedoman tentang kehidupan dalam bekerja sama di dalam kelompok atau
masyarakatnya. (hal. 19)
Kebiasaan bekerja sama membuat masyarakat Jepang bisa menyatukan segala
perbedaan yang ada di antara individu dengan mudah. Dengan kata lain, perbedaan
individu bukan halangan bagi mereka untuk bekerja sama. Bekerja sama di dalam
kelompok merupakan hal yang biasa terjadi di dalam masyarakat Jepang.
3. Shuudan Ishiki
Kesadaran kelompok disebut shuudan ishiki
(Davies & Ikeno, 2002, hal. 195).
kebanyakan masyarakat Jepang menyadari bahwa penting untuk mengikuti nilai-nilai
yang ada dikelompoknya. Davies & Ikeno (2002) berpendapat sebagai berikut.
In Japanese society, people are primarily group-oriented and give more priority to
group harmony than to individuals. Most Japanese consider it an important virtue
to adhere to the values of the group to which they belong. This loyalty to the group
produce a feeling of solidarity, and underlying
concept of group consciousness.
(hal. 195).
Terjemahan:
Dalam masyarakat Jepang, orang-orang cenderung berorientasi kelompok dan lebih
mengutamakan keselarasan kelompok daripada individual. Kebanyakan
masyarakat Jepang menyadari bahwa penting untuk mengikuti nilai-nilai yang ada
dikelompoknya. Loyalitas pada kelompok ini menciptakan solidaritas, dan konsep
inilah yang mendasari kesadaran kelompok di berbagai aspek kehidupan
masyarakat Jepang. (hal. 195).
|
27
Menurut Yoshino
(1992), shuudan ishiki
membuat
masyarakat Jepang yang
memiliki sifat yang unik, yang dijelaskan sebagai berikut:
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????(hal. 19)
Terjemahan:
Kesadaran
individu bukan berada di dalam individu itu sendiri, tapi lahir di dalam
kelompok, seluruh anggota kelompok akan mematuhi kelompoknya, individu yang
kurang memiliki kepribadian memiliki loyalitas terhadap tujuan kelompok, dengan
begitu tidak akan terjadi pertentangan di dalam kelompok (hal.19)
Loyalitas yang menjadi dasar shuudan ishiki, menjadikan masyarakat Jepang
setia pada kelompoknya. Menurut Nakane (1991, hal. 1-8), masyarakat Jepang selalu
terlihat berkelompok dalam melakukan kegiatan, seperti kelompok berdasarkan
pendidikan, pekerjaan, hobi, klub-klub, dan lain-lain. Saat seorang individu
diakui
oleh satu kelompok masyarakat saat itulah individu itu menjadi manusia seutuhnya.
Sai (1996, hal.
5) memperkuat pernyataan Nakane tersebut. Menurut Sai, orang
Jepang biasanya gemar melakukan kegiatan di dalam kelompok, baik makan, minum,
bermain, belajar, atau bekerja. Jika bisa memilih, mereka akan memilih untuk tinggal
di mana anggota kelompoknya yang lain tinggal. Dengan kata lain, mereka selalu
berusaha ada di dalam kelompoknya.
Kesadaran kelompok atau shuudan ishiki
membuat loyalitas menjadi nilai utama
bagi masyarakat Jepang.
Sugimoto (2010)
memiliki pendapat tentang hal ini.
Pendapat yang Ia kemukakan sebagai berikut.
The Japanese are portrayed as having a personality which lacks of fully developed
ego or independent self. They feel no need for any explicit demonstration of
individuality. Loyalty to the group is primary value. Giving oneself to the
promotion and realization of the groups goals imbues the Japanese with a special
psychology satisfaction. (hal. 3)
Terjemahan:
Orang Jepang digambarkan sebagai individu yang memiliki ego yang tidak
berkembang atau diri yang bebas. Mereka merasa tidak perlu menunjukkan
|
28
individualitas secara nyata. Loyalitas kepada kelompok adalah nilai utama.
Mengabdikan diri untuk peningkatan dan realisasi tujuan kelompok memberikan
individu Jepang kepuasaan psikologi yang istimewa. (hal.3)
2.6 Sastra dan Lirik Lagu
Menurut Daichel mangacu pada Aristoteles dalam Budianta, Husen, Budiman &
Wahyudi (2006, hal.
7), sastra merupakan suatu karya yang menyampaikan suatu
jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara lain, yakni memberikan
kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya.
Menurut Boulton dalam Aminuddin (2000, hal. 37), cipta sastra, selain
menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu
memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang
berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini.
Budianta et al. (2006, hal. 19) berpendapat bahwa sastra menghibur dengan cara
menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian,
kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi.
Karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang
apa yang baik dan yang buruk. Ada pesan yang sangat jelas disampaikan, ada pula
yang tersirat secara halus. Karya sastra juga dapat dipakai untuk menggambarkan apa
yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan disekitarnya.
Menurut Budianta
et al.
(2006, hal. 16) secara umum, ada tiga penggolongan
jenis-jenis teks sastra, yaitu genre prosa, puisi, dan drama. Salah satu yang termasuk
karya sastra puisi adalah lirik lagu. Lirik lagu dalam bahasa Jepang disebut ?
? yang definisinya menurut Shinmura (1998, hal. 494), yaitu ????????
??????? yang artinya ungkapan atau frasa dalam lagu popular atau opera.
Definisi lirik lagu yang terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
|
29
online,
yaitu karya puisi yang dinyanyikan. Bentuk ekspresi emotif tersebut
diwujudkan dalam bunyi dan kata. Sebuah lirik lagu modern dapat berbau puitis
karena pilihan katanya yang khas (Budianta et al., 2006, hal. 31).
|