BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar
pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini.
2.1 Anxiety (Kecemasan)
Freud (1924, dalam Spielberger, 2004) mendefinisikan kecemasan sebagai
sebuah kondisi atau keadaan emosi tertentu yang
tidak menyenangkan. Kondisi
atau keadaan emosi tertentu yang tidak menyenangkan tersebut meliputi perasaan
cemas, tegang, khawatir,
gairah
fisiologis, dan
rasa takut
yang disama
artikan
dengan kecemasan obyektif (Freud, 1936 dalam Spielberger, 2004), yang dianggap
sebagai reaksi emosional yang proporsional dalam intensitas bahaya nyata di dunia
luar.
Kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingati individu tentang
kemungkinan terjadinya bahaya sehingga individu dapat menyiapkan reaksi adaptif
yang sesuai. Freud
(1936
dalam Spielberger 2004)
menekankan
fungsi adaptif
kecemasan dalam memotivasi perilaku membantu seseorang untuk dapat mengatasi
situasi yang berbahaya dan mengancam secara lebih efektif.
Freud membagi kecemasan dalam tiga jenis (Hall & Linzey, 1993), yaitu:
Realistic Anxiety
(Kecemasan Realistis),
Neurotic Anxiety
(Kecemasan Neurotik),
dan
Moral Anxiety
(Kecemasan Moral). Pertama, kecemasan realistis adalah suatu
kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap bahaya yang
mengancam di dunia nyata. Kecemasan ini menuntun kita untuk berperilaku
bagaimana menghadapi bahaya. Tidak jarang ketakutan yang bersumber pada
|
realitas ini menjadi ekstrim. Seseorang dapat menjadi sangat takut untuk keluar
rumah karena takut terjadi kecelakaan pada dirinya atau takut menyalakan korek api
karena takut terjadi kebakaran (Andri & Dewi, 2007). Kedua, kecemasan neurotik,
kecemasan ini mempunyai dasar pada masa kecil, pada konflik antara pemuasan
instingtual dan realitas. Kecemasan neurotik bukanlah kecemasan terhadap insting-
insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika
suatu insting dipuaskan. Dan yang ketiga, kecemasan moral merupakan ketakutan
terhadap sura hati, hasil dari konflik antara Id dan superego. Secara dasar
merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika individu termotivasi
untuk mengekspresikan impuls instingtual yang berlawanan dengan nilai moral yang
termasuk dalam superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah.
Lain lagi dengan konsep kecemasan yang dikemukakan oleh Spielberger
(2004) yang membedakan antara
state anxiety
dan
trait anxiety
.
State Anxiety
(Kecemasan Sesaat) dikarakteristikan oleh setiap individu secara subjektif.
State
Anxiety
dikonseptualisasikan
sebagai
kondisi
psikologis, biologis, dan emosional
yang ditandai dengan timbulnya rasa tegang, gugup, ketakutan, dan kekhawatiran
yang bervariasi dalam intensitas yang tidak menentu dari waktu ke waktu (fluktuatif)
(Spielberger, 2004). Artinya, kadar kecemasan akan meningkat pada keadaan yang
dianggap mengancam dan akan menurun pada keadaan yang tidak menekan atau
dianggap tidak membahayakan. Persepsi tentang membahayakan atau tidaknya
suatu keadaan dipengaruhi oleh kecenderungan kepribadian seseorang dan
pengalaman yang dimiliki atau dipelajari pada waktu yang lalu.
Trait Anxiety
(Kecemasan Dasar) merupakan kecemasan yang sifatnya relatif menetap dan
penghayatan kecemasannya cenderung sebagai sifat dari kepribadian.
|
Trait Anxiety
mengacu pada perbedaan kestabilan
individu dan bagaimana
individu menampilkan respon terhadap situasi yang menyebabkan kecemasan.
Walaupun sedang berada dalam kondisi yang rawan terhadap kecemasan,
bagaimana individu dapat merespon situasi yang menimbulkan kecemasan
merupakan ciri dari kepribadian (Spielberger, 2004).
Untuk penelitian ini, peneliti hanya akan menggunakan trait anxiety sebagai
acuan penelitian dengan alasan
trait anxiety
(kecemasan dasar) merupakan
kecemasan yang sifatnya relatif menetap dan penghayatan kecemasannya
cenderung sebagai sifat dari kepribadian.
2.2 Acceptancance of Dating Violence
Pada kasus
dating violence
, secara tidak disadari para korban menerima
begitu saja kekerasan yang diberikan oleh pasangan mereka (Kaura &Lohman,
2007). Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran
memiliki dampak yang signifikan terhadap kepuasan dalam suatu hubungan dan
kesehatan mental orang yang menjalani hubungan tersebut seperti yang dikatakan
oleh Kaura & Lohman (2007). Sedikit yang mengetahui bahwa ada lagi satu faktor
penting yang terjadi dalam suatu hubungan yang berlandaskan kekerasan. Yaitu
penerimaan terhadap kekerasan itu sendiri (
acceptance of violence
). Penerimaan
terhadap kekerasan merupakan pembenaran dan atau toleransi terhadap kekerasan
yang diberikan oleh pasangan (Foshee et al., 1992 dalam O'Keefe &Treister, 1998
dalam Kaura & Lohman, 2007). Orang yang merupakan korban kekerasan dalam
pacaran, dapat lebih menerima diperlakukan kasar dibandingkan orang-orang yang
tidak mengalami kekerasan dalam pacaran. Hal ini didasarkan pada logika bahwa
|
seorang individu yang menerima diperlakukan dengan kasar dalam hubungan tidak
akan menganggap pelaku sebagai orang yang negatif dan menyimpang (Capaldi &
Crosby, 1997 dalam Kaura & Lohman, 2007).
Hasil penelitian Kaura & Lohman (2007) dengan responden mahasiswa yang
tidak mengalami kekerasan ialah, disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran
tidak berhubungan dengan kepuasan dalam hubungan. Kekerasan dalam pacaran
terbukti berdampak negatif pada kesehatan mental yaitu depresi, kecemasan, dan
somatis terhadap korban.
Penerimaan terhadap kekerasan dalam pacaran juga dapat mencerminkan
seberapa banyak
seseorang
setuju
untuk menggunakan kekerasan terhadap
pasangan (Guerraet al., 2003, dalam Kaura, Lohman, & Scnurr 2010). Sebagian
orang setuju bahwa kekerasan
diberikan sebagai cara
untuk memenuhi
harapan
seseorang. Misalnya, kekerasan harus diberikan pada situasi tertentu yang dapat
diterima oleh pasangan mereka (Schumi & Slep, 2004 dalam Kaura et al., 2010).
2.3 Dating (Pacaran)
Dating
ialah jalinan hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin
dengan saling membagi rasa saling mengenal, memenuhi kebutuhan satu sama lain,
percaya, termasuk merasa aman dan nyaman juga ingin membuat pasangannya
merasakan hal yang sama yang juga menimbulkan kedekatan psikologis antara
keduanya (Shaver & Hazan, 1988, dalam Feeney, 1996). Tujuan hubungan ini
untuk mendapatkan reaksi emosi cinta (merasa aman,
proximity maintenance
) dan
konsisten dengan tujuan
attachment
seperti yang dikatakan oleh Bowlby (1969,
1973, 1980, dalam Feeney, 1996).
|
Fungsi
dating
menurut Paul & White (1990, dalam Santrock 2003): (1)
Dating
bisa menjadi bentuk rekreasi. (2)
Dating
merupakan sumber
status dan prestasi.
Bagian dari proses perbandingan sosial yang melibatkan mengevaluasi status dari
seseorang. (3)
Dating
adalah bagian dari proses sosialisasi. Ini membantu
seseorang untuk belajar bagaimana bergaul dengan orang lain dan membantu
dalam berperilaku sopan santun dan ramah. (4)
Dating
mempelajari tentang
keintiman dan berfungsi sebagai sebagai kesempatan untuk membangun hubungan
dengan lawan jenis. (5)
Dating
bisa menjadi konteks eksperimen seksual dan
penjelasan. (6)
Dating
dapat memberikan persahabatan melalui interaksi dan
aktivitas bersama dalam hubungan dengan lawan jenis. (7) Pengalaman berpacaran
berkontribusi untuk mengidentifikasi pembentukan dan pengembangan.
Dating
membantu untuk menjelaskan identitas mereka dan untuk memisahkan
dari
keluarga atau asal mereka. (8)
Dating
dapat menjadi sarana pemilahan dan
pemilihan pasangan, sehingga mempertahankan fungsi pacaran yang sebenarnya.
2.4 Kekerasan Terhadap Perempuan
Seperti yang telah ditetapkan dalam Peta Kekerasan: Pengalaman
Perempuan Indonesia (2002), kekerasan yang dialami perempuan sangat banyak
bentuknya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual maupun yang bersifat
ekonomis. Bentuk-bentuk kekerasan ini terdapat dalam seluruh jenis hubungan
sosial yang dijalani seorang perempuan, termasuk dalam hubungan keluarga dan
perkawinan dekat, dalam hubungan pacaran, dan pekerjaan. Semua jenis kekerasan
ini terjadi di Negara maju maupun Negara berkembang. Lingkungan urban, maupun
non urban tanpa memandang keterbatasan sosial yang ada.
|
Namun saat ini peneliti hanya akan membahas mengenai kekerasan
psikologis dan kekerasan fisik yang terjadi dalam hubungan pacaran yang
korbannya ialah perempuan. Dalam konteks relasi personal, bantuk-bentuk
kekerasan fisik yang dialami korban mencakup, antara lain, tamparan, pemukulan,
penjambakan, pendorong-dorongan secara kasar, penginjak-injakan, penendangan,
pencekikan, lemparan benda keras, penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti
pisau, seterikaan, serta pembakaran. Sedangkan bentuk-bentuk penyiksaan
psikologis yang dialami perempuan mencakup makian dan penghinaan yang
berkelanjutan untuk mengecilkan harga diri korban, bentakan dan ancaman yang
diberi untuk memunculkan rasa takut, larangan ke luar rumah atau bentuk-bentuk
pembatasan kebebasan bergerak lainnya.
2.5 Perempuan Dewasa Muda
Masa dewasa adalah masa peralihan dari remaja yang mencari jati diri
menuju individu yang lebih dewasa. Istilah adult berasal dari kata Latin, adultus yang
berarti tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah dewasa.
Oleh karena itu, individu dewasa muda adalah individu yang telah menyelesaikan
masa pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama
dengan individu dewasa lainnya (Hurlock, 2004).
Santrock (2003) mengatakan masa dewasa muda adalah masa untuk
bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit
waktu untuk hal lainnya.
Masa dewasa muda pada umumnya dimulai pada usia 18 sampai 40 tahun
saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya
|
kemampuan reproduktif (Hurlock, 2004). Pada penelitian ini, peneliti membatasi
rentang usia responden yaitu dari usia 18 tahun hingga usia 22 tahun karena pada
rentang usia tersebut merupakan rentang usia mahasiswi. Selain itu karena
mahasiswi adalah responden yang paling mudah untuk ditemui.
Untuk seorang perempuan dewasa muda, tujuan utama dalam tahapan
perkembangannya adalah menikah (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Dimana untuk
menuju pernikahan tersebut seorang perempuan harus menemukan pendamping
lelaki yang tepat untuk kehidupannya kelak.
|
![]() 2.6 Kerangka Berpikir
Relasi pacaran di kalangan dewasa muda saat ini tidak selamanya berjalan
dengan baik. Salah satu masalah yang terjadi di dalam relasi pacaran ialah
kekerasan. Kekerasan dalam pacaran tidak hanya berbentuk kekerasan fisik saja
namun juga terdapat kekerasan psikologis. Hal tersebut merupakan masalah serius
yang perlu dicermati oleh kita semua.
Kekerasan dalam relasi pacaran terus
berlanjut diakibatkan karena korban menerima dan tetap menjalani relasi pacaran
yang bernuansa kekerasan. Padahal penerimaan kekerasan dalam pacaran
memberi dampak negatif pada kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan
somatis. Dari hal tersebut peneliti memutuskan untuk meneliti mengenai hubungan
antara kecemasan dengan
acceptance of dating violence
pada diri perempuan
dewasa muda di Jakarta. Sebagai informasi untuk mengetahui karakteristik korban
kekerasan dalam pacaran untuk penanganan lebih lanjut.
Relasi pacaran di kalangan
dewasa muda
Korban menerima dan tetap
menjalani relasi pacaran
yang bernuansa kekerasan
Melakukan penelitian
mengenai penerimaan
(acceptance) yang dikaitkan
dengan kecemasan (trait)
Penerimaan kekerasan
memberi dampak negatif
yaitu depresi, kecemasan,
dan somatis
Sebagai informasi untuk
mengetahui karakteristik
korban kekerasan dalam
pacaran untuk penanganan
lebih lanjut
Kekerasan dalam pacaran
|