3
BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1 Sumber Data
2.1.1 Literatur Buku
1. “Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia” karya Leo Suryadinata.
2. “ Tradigital 3ds Max” karya Richard Lapidus.
3.  “After Effects CS5 Visual Effects and Compositing” karya Mark  Christiansen.
2.1.2 Literatur Internet
    
2.2 Data Historis
2.2.1 Awal Kedatangan  Orang Tionghoa Di Batavia
Orang China Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan keberangkatan
mereka dari Tiongkok:
Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang untuk
menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai Tangerang
dengan
menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama
dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini
kebanyakan orang Cina Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah
terasimilasi dengan budaya Pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal
di pedesaan. 
  
4
Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan
mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa mereka akan tetap loyal
terhadap China dan Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan kapal
dagang Belanda,
mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang lebih
layak dengan menjadi buruh,  pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial
Belanda. Cina Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial
Belanda yaitu "One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial
Empire". Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu
Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50%
tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras baru" ini hanya
akan loyal terhadap pemerintah Belanda.China Benteng golongan kedua ini hampir
semuanya hidup sejahtera dan mewah.
Gambar 2.1
Kaisar Qing
  
5
Gambar 2.2
Peta distribusi daerah asal leluhur Tionghoa
2.2.2 Asal Muasal Cina Benteng
Nama "China Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang.
Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane,
difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten,
benteng ini merupakan benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Saat ini
Banten sudah tidak ada lagi, tinggalah pemukiman Tionghoa yang awalnya berdiri di
Pasar Llama yang terkenal dengan Petak Sembilan yang ditandai dengan Kelenteng
Boen Tek Bio. Orang-orang yang tinggal di dekat benteng itulah yang kemudian
menamakan dirinya Cina Benteng. Setelah itu warga keturunan Thionghoa tersebar di
pedesaan yang terletak diwilayah Tangerang dan Batavia. Setelah memperoleh izin dari
VOC, orang-orang dari Tiongkok datang ke wilayah sebelah timur kali Cisadane untuk
membuka hutan belantara untuk mendirikan perkebunan tebu dan mendirikan pabrik
gula, hal ini terjadi setelah 1682 (tahun perjanjian antara VOC dan Banten). Namun
pada masa itu industri gula menurun pada 1730an, sehingga menyebakan pengangguran
dan menyebakan tragedi pembantaian pada 1740. Setelah itu warga beralih menjadi
petani padi hingga sekarang.
Orang China Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap
(walaupun tetap berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan China lainnya di
Indonesia, mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang Tiongkok.
  
6
Kesenian mereka yang terkenal adalah kesenian campuran Betawi-Tionghoa, Cokek
yaitu sebuah tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang
kromong. Agama yang dianut beragam antara lain Konghucu, Buddhisme, Taoisme,
Katholik, Protestan, Pemujaan Leluhur, Pemujaan Surga, dan ada sedikit yang beragama
Islam. Hal menarik dari China Benteng adalah biarpun mereka sudah tidak berbahasa
China lagi, mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok, ini bisa
dilihat dari tradisi pernikahan mereka yang menggunakan upacara pernikahan gaya
Dinasti Manchu (Qing), mereka juga mengenakan pakaian gaya Dinasti Manchu seperti
Manchu robe dan Manchu hat pada saat menikah. Orang China Benteng adalah satu-satu
nya komunitas Tionghoa di Indonesia yang memiliki darah orang Manchu, karena hanya
orang China Benteng yang masih tetap menggunakan upacara nikah gaya Dinasti
Manchu. Setelah Dinasti Qing runtuh pada tahun 1912, di Tiongkok sendiri, upacara
nikah gaya Dinasti Qing itu sudah hampir hilang dan sangat jarang ditemukan. Karena
adanya revolusi budaya di Tiongkok sendiri pada tahun 1966-1976.
Selain itu, banyak orang China Benteng yang sebenarnya adalah keturunan dari
keluarga Kekaisaran Dinasti Qing (clan Manchu Aisin-Giorio atau Aixinjueluo dalam
Bahasa Bandarin). Mereka adalah keturunan dari anak haram hasil hubungan gelap
antara Kaisar Qianlong dengan seorang gadis cantik bermarga Wang di provinsi Fujian.
Karena sang Kaisar tidak mau hubungan gelapnya diketahui publik, maka untuk
menyembunyikan fakta tersebut, anak hasil hubungan haram tersebut dipaksa memakai
nama marga ibunya, yaitu "Wang" dalam mandarin atau "Ong" dalam Hokkien. Mereka
adalah orang-orang China Benteng yang bermarga "Ong" dalam dialek Hokkien atau
"Wang" dalam dialek Mandarin. Namun tidak semua orang China Benteng bermarga
Ong adalah keturunan Aixinjueluo. Mereka yang merupakan keturunan sang Kaisar
Qianlong kini mengggunakan nama Indonesia Wangsa Mulya /Wangsa Mulia. Nama
Wangsa Mulia sendiri berasal dari bahasa sanskerta, Wangsa (dinasti), dan Mulia
(murni) apabila diterjemahkan ke bahasa inggris menjadi "Pure Dynasty". Sedangkan
kata "Qing" sendiri berarti "pure". Sehingga secara harafiah Wangsa Mulia berarti "Qing
Dynasty". Kebanyakan orang dari keluarga Wangsa Mulya dan keluarga marga Ong
lainnya tidak menyadari kalau mereka adalah keturunan kekaisaran, namun
bagimanapun juga darah dan napas Kekaisaran Qing Raya tetap mengalir pada diri
mereka. Mereka hidup modern namun memegang teguh sifat ultra-konservatif seperti
feodalisme dan anti feminisme.
  
7
Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan
dari Parahyangan), keberadaan komunitas China di Tangerang dan Batavia sudah ada
setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan
pertama dari dataran Cina yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai
Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Gambar 2.3
Kehidupan di Tiongkok pada abad ke-17
          
         Gambar 2.4
             Tradisi ciao tao pada cina benteng
  
8
Gambar 2.5
keluarga cina benteng
                      
Gambar 2.6
Fany Fadilah salah satu cina benteng
                      
  
9
2.2.3 Persengketaan Tanah
Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah
Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di
Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah
rumah-rumah warga China Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari
ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk Pribumi dipicu
seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan
menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni
1946 menulis pada saat itu hubungan warga China Benteng dan Pribumi mengalami
kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Poh An Tuy, kelompok pemuda China
Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat China
Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu
berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy and tentara Kolonial Belanda.
Saat itu, semua etnis China Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka
tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. 
2.2.4 Kontribusi Dalam Kelangsungan Kolonialisme Belanda
Mereka berkontribusi besar terhadap kelangsungan kekuasaan kolinal Belanda
di Tangerang, banyak dari mereka yang diangkat menjadi kapitein Tionghoa pada era
feodalisme tuan tanah di Tangerang, dan mereka sangat loyal terhadap Belanda. Pada
saat Jepang menduduki Indonesia, mereka melawan Jepang dengan gagah berani
walaupun akhirnya kalah.
Tangerang merupakan daerah terakhir yang dikuasai Belanda
di pulau Jawa, daerah ini baru diserahkan kepada Republik pada tahun 50-an. Pada
Gambar 2.7
Bangunan rumah tua peninggalan Oey Djie San yang rusak berat,
dipereteli dan dijual komponennya. Bangunan tua di Karawaci ini
terletak di atas tanah sekitar 2 hektar.
  
1
tahun 1946 terjadi kerusuhan etnis di Tangerang, Pribumi menuduh China berpihak ke
Belanda. Terlebih setelah Poh An Tuy, tentara China Benteng pro-NICA, mengirim
tentara dan mengungsikan masyarakat China Benteng yang selamat ke Batavia. Etnis
pribumi pendatang (kebanyakan Jawa dan Madura) beserta beberapa kelompok
olonial
Sunda dan Betawi melakukan peyerangan terhadap
orang China Benteng
karena dianggap terlalu loyal terhadap NICA, akhirnya kerusuhan ini berhasil diredam
oleh tentara gabungan NICA dan Poh An Tuy yang membela orang China Benteng.
Orang-orang China Benteng merasa sangat kehilangan ketika Belanda meninggalkan
Tangerang pada tahun 50-an dan menyerahkan kota itu kepada Republik, karena mereka
kehilangan pelindung mereka, maka terjadilah penyerangan dan perampasan terhadap
orang-orang China Benteng, banyak di antara mereka yang dulunya kaya sekarang
menjadi miskin karena harta leluhur mereka dirampas, orang China Benteng hidup lebih
sejahtera selama pada zaman olonial
Belanda daripada setelah Tangerang masuk ke-
dalam Republik Indonesia. Di Belanda pun orang China Benteng mudah ditemui di
antara komunitas tionghoa disana, karena kebanyakan orang Tionghoa yg ada di
Belanda adalah orang China Benteng yang melarikan diri setelah Tentara Poh An Tuy
mengalami kekalahan melawan tentara republik.
Gambar 2.8
Kegiatan para cina benteng
  
1
Gambar 2.9
Kompeni
2.2.5 Data Pembanding
Sebagai pembanding, penulis akan menyertakan tentang Cina Legok, yang
berada di desa Budi Mulya atau Legok, kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal. Desa ini
berada di sebuah gang yang terletak persis di belakang klenteng Hok Ie Kiong. Dahulu,
daerah tersebut merupakan daerah pecinan yang di tinggali oleh mayoritas orang
keturunan Tionghoa. Seperti halnya daerah-daerah pecinan lainnya, daerah ini menjadi
pusat perjudian dan prostitusi terselubung. Terjadilah amalgamasi dan alkulturasi
kebudayaan disini. Banyak orang dari berbagai etnis ataupun suku yang masuk di daerah
ini, Terutama kaum Pribumi atau etnis Jawa. Walaupun begitu, setiap ada acara
kebudayaan Tionghoa, merekalah yang aktif dan menjadi pionir dalam acara-acara
tersebut. Walaupun mereka beragama muslim, kristiani ataupun hindu, mereka di
persatukan dalam sebuah budaya yang kental, yaitu budaya Tionghoa. Walaupun ciri
fisik mereka sudah jauh dari ciri fisik orang Tionghoa, mereka berkulit hitam,bermata
belo tidak seperti orang keturunan Tionghoa kebanyakan.
2.3 Analisa
Penulis melakukan survey kepada 25 remaja berusia antara 15-22 tahun yang
memiliki tingkat pendidikan minimal setara dengan sekolah menengah pertama,serta
memiliki ketertarikan ataupun pekerjaan di bidang seni, budaya, sejarah, serta politik dan
film dan bermukim di daerah Jabodetabek. Dan hasilnya sangat mengejutkan,  ternyata
sebagian besar dari mereka (18 orang dari 25 orang) tidak mengetahui tentang Cina Benteng.  
  
1
Kurva 2.1
Kurva hasil survey seberapa banyak mereka yang mengetahui tentang Cina
Benteng.
2.4 Target Audiens
2.4.1 Target Primer
Berusia sekitar 15-50 tahun,
baik pria maupun wanita,
bermukim di daerah
Jabodetabek, dan memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan minimal setara Sekolah
Menengah Atas, serta memiliki pekerjaan di bidang seni, budaya, sejarah, politik dan
film. Tingkat ekonomi B hingga A.
       2.4.2 Target Sekunder
Berusia sekitar 15-50 tahun, baik pria maupun wanita, memiliki pekerjaan di
bidang pendidikan, jurnalistik, maupun desain. Merupakan warga Negara Indonesia
maupun bekewarganegaraan asing yang tinggal di Indonesia dan tertarik dengan dunia
pendidikan, jurnalistik, maupun desain. Memiliki tingkat ekonomi B hingga A.
0
5
10
15
20
Tahu tentang Cina Benteng
Tidak
Ya
  
1
2.5 Faktor Pendukung dan Penghambat
       2.5.1 Faktor Pendukung
  1. Isu tentang ras, sejarah, social dan politik memiliki keunikan tersendiri, dan belum
banyak orang yang mengetahuinya, sehingga membuat orang tertarik.
2. Perkembangan teknologi baik internet, komputer dan gadget memungkinkan
penyebaran informasi dan promosi yang cepat dan luas.
3. Film animasi dokumenter yang mengangkat tentang ras, sejarah, social, budaya dan
politik masih sangat sedikit.
       2.5.2 Faktor Penghambat
1. Tema yang di usung sangat sensitif terhadap rasisme, sehingga bisa berujung  pada
pencekalan. 
2. Dilihat dari sudut pandang nilai jual, nilai jual film dokumenter tidak sebesar genre
film yang lainnya, dan bagi masyarakat awam, kurang menghibur.