BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1 Pajak
Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
Perpajakan Pasal 1 Ayat 1, pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prof. Dr. Rochmat
Soemitro mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan
Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik
(kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani pajak adalah iuran kepada negara
(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Sedangkan menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets pajak adalah prestasi kepada pemerintah
yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya
kontraprestasi yang dapat ditunjukkan secara individual; maksudnya adalah untuk
membiayai pengeluaran pemerintah (Waluyo, 2008).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, Adinur (2006) dan Waluyo (2008)
menyimpulkan beberapa persamaan yang merupakan ciri-ciri dari pajak, yaitu:
a.
Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan pelaksaannya
  
b.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi yang
sempurna
c.
Pajak dipungut baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
d.
Pajak dipergunakan untuk menjalankan berbagai kewajiban negara, seperti
pelayanan publik, menjaga keamanan dan pertahanan, serta menyelenggarakan
permerintahan yang baik. Dan apabila terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai public investment
e.
Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgetair, yaitu fungsi mengatur
Menurut Adinur (2006), pajak memiliki 4 fungsi, yaitu fungsi penerimaan
(budgetair), fungsi mengatur (regulator), fungsi distribusi dan fungsi demokrasi. Pajak
dalam fungsi penerimaan berarti pajak sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi
pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas
negara dan menyediakan fasilitas publik. Dalam APBN, pajak merupakan sumber
penerimaan dalam negeri. Pajak dalam fungsi mengatur berarti pajak sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan proses kebijakan nasional di bidang politik, sosial,
pertahanan dan ekonomi. Contohnya atas minuman keras dan barang-barang mewah
lainnya dikenakan PPnBM.
Pajak dalam fungsi distribusi lebih menekankan unsur pemerataan dan keadilan
dalam masyarakat. Pajak yang dibayar masyarakat sebagai penerimaan negara,
kemanfaatannya tidak hanya dinikmati oleh masyarakat tersebut atau di wilayah
sekitarnya, atau oleh kelompoknya, melainkan oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali.
Contoh penerapan fungsi ini adalah ketika seseorang yang tinggal di Jakarta membayar
pajak, maka hasilnya tidak hanya dinikmati oleh dirinya sendiri atau masyarakat Jakarta
  
saja. Melalui pos pengeluaran dalam APBN, pembayaran pajak tersebut akan dinikmati
oleh masyarakat di seluruh Indonesia.
Fungsi pajak dalam demokrasi merupakan wujud keikutsertaan masyarakat
dalam pengelolaan negara. Sesuai dengan pengertian dan ciri khasnya, pajak merupakan
salah satu perwujudan pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara. Pajak berasal dari
rakyat, yang dibayar rakyat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan pajak juga
dibuat oleh rakyat melalui wakilnya di parlemen (DPR) dalam bentuk Undang-Undang
Perpajakan.
Hal yang menyebabkan negara berhak memungut pajak kepada warganya
dijelaskan dalam teori pemungutan pajak. Waluyo (2008) menjelaskan ada empat teori
yang menyatakan mengapa negara berhak memungut pajak, yaitu teori asuransi, teori
kepentingan, teori gaya pikul, teori bakti, dan teori azas daya beli.
Teori asuransi mengumpamakan pembayaran pajak adalah seperti premi asuransi
yang dibayarkan oleh pemegang asuransi. Premi ini dibayarkan atas usaha negara untuk
melindungi warga dan segala kepentingannya seperti keamanan dan keselamatan. Teori
kepentingan memperhatikan beban pajak yang harus dipungut dari masyarakat.
Pembebanan ini didasarkan pada kepentingan setiap orang dalam tugas pemerintah,
termasuk perlindungan jiwa dan hartanya. Oleh karena itu biaya yang timbul atas
perlindungan tersebut dibebankan kepada rakyat melalui pajak.
Teori gaya pikul
mengandung maksud bahwa negara telah berjasa dalam melindungi rakyatnya, baik
perlindungan jiwa maupun benda. Oleh karena itu masyarakat sudah sepatutnya
membayar pajak menurut gaya pikulnya. Teori bakti disebut juga teori kewajiban
mutlak. Menurut teori ini, negara memiliki hak mutlak untuk memungut pajak dari
rakyatnya. Di lain pihak, pembayaran pajak oleh rakyat kepada negara merupakan tanda
  
bakti seorang warga. Oleh karena itu teori ini menekankan hukum pajak pada hubungan
antara masyarakat dan negara. Teori terakhir adalah teori azas daya beli yang
mendasarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat yang dianggap sebagai
dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau negara,
sehingga menitikberatkan pada fungsi mengatur.
Dalam buku An inquiry Into the Nature and Causes of The Wealth of The
Nations seperti yang dijelaskan Jones (1998), Adam Smith memaparkan bahwa ada 4
asas dalam pemungutan pajak. Asas pertama adalah Equality. Asas ini menjelaskan
bahwa pemungutan pajak harus besifat final, adil dan merata. Pajak yang dikenakan
pada wajib pajak harus sebanding dengan kemampuan mambayar pajak atau ability to
pay
dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil berarti setiap wajib pajak yang
menyumbangakan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan
dan manfaatnya. Asas kedua adalah certainty. Asas ini menjelaskan bahwa pajak
memiliki kepastian dan tidak ditentukan secara sewenang-wenang. Wajib pajak berhak
dan harus mengetahui secara jelas jumlah pajak terutang dan jatuh tempo pembayaran.
Asas ketiga adalah convinience of payments. Asas ini menyatakan bahwa pembayaran
pajak oleh wajib pajak seharusnya memiliki waktu yang tepat sehingga tidak
menyulitkan wajib pajak itu sendiri. Contoh dari asas ini adalah adanya pemotongan
pajak bagi karyawan pada saat menerima gaji, atau biasa disebut pay as you earned.
Asas yang terkahir adalah economics of collection. Asas ini menyatakan bahwa secara
ekonomi, biaya untuk memungut pajak dan biaya pemenuhan kewajiban pajak
seharusnya seminimal mungkin sehingga manfaat yang diterima tidak lebih kecil
daripada biaya yang dikeluarkan.
  
Dalam penelitiannya, Walby (2010) membagi tarif pajak menjadi empat macam,
yaitu :
a.
Tarif Pajak Statutori (Statutory Tax Rate)
Tarif pajak statutori adalah tarif pajak yang secara legal berlaku dan ditetapkan oleh
otoritas perpajakan. Contoh dari tarif statutori adalah tarif PPh badan sebesar 25%.
b.
Tarif Pajak Rata-Rata (Average Tax Rate)
Tarif pajak rata-rata adalah rasio jumlah pajak yang dibayarkan terhadap jumlah
penghasilan kena pajak. Tarif pajak rata-rata akan menjadi berbeda dengan tarif paja
statutori ketika tarif pajak statutori memiliki tarif yang bertingkat. Pada saat tersebut
tarif pajak rata-rata akan lebih rendah daripada tarif pajak statutori. Contohnya
adalah lapisa tarif PPh orang pribadi yang memiliki tarif 5% sampai dengan 35%,
tetapi bisa saja tarif rata-ratanya berada pada tingkat 13%.
c.
Tarif Pajak Marginal (Marginal Tax Rate)
Tarif pajak marginal adalah tarif pajak yang dikenakan atas sisa penghasilan kena
pajak setelah dikenakan dengan tarif pajak sebelumnya. Contohnya penghasilan
kena pajak Z sebesar Rp70.000.000,00. Tarif pajak yang berlaku adalah 5% untuk
Rp0-Rp50.000.000,00 dan tarif 15% berlaku untuk Rp50.000.000,00-
Rp250.000.000,00. Atas Rp20.000.000,00 penghasilan A akan dikenakan tarif
sebesar 15%, dan 15% adalah tarif marginal.
d.
Tarif Pajak Efektif (Effective Tax Rate)
Tarif pajak efektif adalah tarif pajak aktual yang harus dibayarkan oleh perusahaan
dibandingkan laba yang dihasilkan oleh perusahaan.
  
Berkaitan dengan empat macam tarif pajak yang dikemukakan oleh Walby
(2010), Waluyo (2008) menjelaskan bahwa dikenal empat macam struktur tarif pajak
yang berhubungan dengan pola persentase tarif pajak, yaitu :
a.
Tarif Pajak Proporsional atau Sebanding
Tarif pajak proporsional yaitu tarif pajak berupa persentase tetap terhadap jumlah
berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak.
b.
Tarif Pajak Progresif
Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar apabila
jumlah yang menjadi dasar pengenaannya semakain besar. Memperhatikan kenaikan
tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi beberapa tarif. Yang pertama adalah tarif
progresif  progresif, yaitu kenaikan persentase pajaknya semakain besar. Yang
kedua adalah progresif tetap, yaitu kenaikan persentase pajaknya tetap. Sedangkan
yang terkahir adalah tarif progresif degresif, yaitu kenaikan persentase pajaknya
semakin kecil.
c.
Tarif Pajak Degresif
Tarif pajak degresif adalah persentase tarif pajak yang semakin menurun apabila
jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak (DPP) semakin besar.
d.
Tarif Pajak Tetap
Dalam tarif pajak tetap ini adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama besarnya)
terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak (DPP).
  
II.2 Manajemen Pajak
Menurut Zain (2005), manajemen pajak adalah proses mengorganisasi usaha
wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik
pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya berada dalam posisi yang minimal. Posisi
minimal yang dimaksud adalah posisi minimal sepanjang dimungkinkan olek ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan
konsekuensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi dan
kensekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian pajak tersebut dapat
mengefisienkan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang
disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak
(tax evasion). Tidak seperti tax avoidance, tax evasion merupakan tindak pidana fiskal
yang tidak akan ditoleransi. Walaupun kedua cara tersebut kedengarannya mempunyai
konotasi yang sama sebagai tindak kriminal, tetapi suatu hal yang jelas berbeda disini.
Penghindaran pajak adalah perbuatan legal yang masih dalam ruang lingkup pemajakan
dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara
itu, penyelundupan pajak jelas-jelas merupakan perbuatan ilegal yang melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bedasarkan uraian tersebut,
manajemen pajak merupakan upaya-upaya untuk mengimplementasikan fungsi-fungsi
menajemen di atas agar dapat dicapai efektivitas dan efisiensi pelaksanaan hak dan
kewajiban perpajakan. Dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, wajib pajak harus
mengerti unsur-unsur berikut :
  
Tax Compliance
Tax compliance merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan-
kegiatan untuk memenuhi aturan perpajakan. Kegiatan ini meliputi administrasi
yang harus dilakukan, pembukuan, pemotongan, pemungutan, penyetoran,
pelaporan, memberikan data untuk keperluan pemeriksaan pajak dan sebagainya.
Secara umum, peraturan pajak akan dipatuhi oleh wajib pajak apabila biaya untuk
mematuhinya (compliance cost) relatif murah.
Tax Planning
Tax planning merupakan rangkaian strategi untuk mengatur akuntansi dan keuangan
perusahaan untuk meminimalkan kewajiban pajak dengan cara-cara yang tidak
melanggar peraturan perpajakan yang berlaku. Tax planning dalam arti yang luas
meliputi keseluruhan fungsi manajemen pajak.
Tax Litigation
Tax litigation merupakan upaya-upaya untuk menyelesaikan sengketa pajak dengan
pihak lain, terutama kantor pajak. Sengketa pajak terjadi karena adanya perbedaan
penafsiran atas suatu ketentuan perpajakan atau atas masalah-masalah yang tidak
ada aturannya secara jelas. Sengketa pajak terjadi antara wajib pajak dengan fiskus
dalam pemeriksaan  atau penelitian pajak. Di Indonesia, tax litigation berhubungan
dengan permohonan peninjauan
kembali untuk pembetulan/pembatalan surat
ketetapan pajak, permohonan pengurangan sanksi perpajakan, pengajuan keberatan,
banding, gugatan dan cara-cara lain yang sesuai dengan Undang-Undang.
  
Tax Reseacrh
Tax reseacrh merupakan proses untuk mencari jawaban, solusi, atau rekomendasi
atas suatu permasalahan perpajakan. Kegiatan yang dilakukan biasanya meliputi
penentuan fakta-fakta tersebut, menentukan pihak-pihak yang dapat menjadi sumber
data dan informasi, mengevaluasi data dan informasi yang diperoleh,
mengembangkan kesimpulan, merumuskan kesimpulan, mengembangkan
rekomendasi, merumuskan rekomendasi, dan mengkomunikasikan rekomendasi
yang dibuat.
Berdasarkan uraian diatas, manajemen pajak merupakan bagian yang integral
dari perencanaan strategis perusahaan. Perencanaan pajak menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari manajemen pajak. Perencanaan pajak dimulai pada saat akan
mendirikan perusahaan (pemilihan bentuk usaha, pemilihan metode pembukuan, dan
pemilihan lokasi usaha), menjalankan perusahaan (pemilihan transaksi-transaksi yang
akan dilakukan dalam kegiatan operasionalnya, pemilihan metode akuntansi) sampai
dengan menutup perusahaan (restrukturisasi usaha, likuidasi, merger, pemekaran, dan
sebagainya). Perencanaan pajak akan memiliki manfaat yang besar bila dapat
dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu
dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, perangkat kerja yang memadai,
prosedur kerja yang tepat waktu, tepat jumlah dan tepat informasi. Selain itu,
strategi
juga menjadi hal yang penting dalam manajemen pajak. Menurut Indonesian Tax
Review, ada beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk mengefisienkan beban pajak
secara legal.
  
Cara pertama adalah tax saving. Tax saving adalah upaya untuk mengefisienkan
beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif lebih rendah.
Cara kedua adalah tax avoidance. Tax avoidance adalah upaya untuk mengefisienkan
beban pajak dengan cara menghindari pengenaan pajak dan mengarahkan pada transaksi
yang bukan objek pajak. Cara ketiga adalah dengan penundaan pembayaran pajak tanpa
melanggar peraturan yang berlaku. Cara keempat adalah dengan mengoptimalkan kredit
pajak yang diperkenankan. Wajib pajak seringkali tidak mengetahui secara jelas
informasi yang berisikan tentang pembayaran yang dapat dikreditkan. Contohnya adalah
PPh Pasal 22 atas pembelian solar dari pertamina dapat dikreditkan terhadap PPh badan.
Hal ini tentu saja lebih menguntungkan dibandingkan apabila perusahaan
membebankannya sebagai biaya. Cara kelima adalah dengan menghindari pemeriksaan
pajak dengan cara menghindari lebih bayar. Wajib pajak dapat melakukan penghindaran
lebih bayar dengan cara mengajukan pengurangan PPh Pasal 25 apabila diperkirakan
perusahaan akan lebih bayar juga dapat dilakukan dengan cara mengajukan permohonan
pembebasan PPh Pasal 22 impor apabila perusahaan melakukan impor. Cara terakhir
adalah dengan menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku.
Manajemen pajak bisa meningkatkan bottom-line performance measurement,
tetapi tentu saja memiliki biaya-biaya, salah satunya opportunity cost. Scholes et al.
(2009) menyatakan bahwa selain opportunity cost, ada juga biaya lainnya yang terkait
dengan manajemen pajak yaitu biaya transaksi, biaya implisit serta ketidakpastian.
Hanlon dan Slemrod (2010) menuliskan bahwa manajemen pajak juga terkait dengan
adanya political cost. Political cost hypotesis
menyatakan bahwa perusahaan enggan
untuk menerapkan manajemen pajak apabila mereka dianggap tidak patriotis atau bad
corporate citizen.
  
Perencanaan pajak yang efektif sebagaimana didefinisikan oleh Scholes et al.
(2002) adalah perencanaan pajak yang memaksimalkan expected discounted after-tax
cash flow perusahaan. Manajer sebagai pembuat perencanaan pajak juga
harus
mempertimbangkan konsekuensi dari perencanaan pajak tersebut. Kerangka konseptual
yang dibangun oleh Scholes et al. (2002) terdiri atas all parties, all tax, dan all cost.
Tax planning
yang efektif mensyaratkan penyusun kebijakan untuk melihat
konsekuensi dari transaksi yang direncanakan terhadap semua pihak yang akan terkena
dampak transaksi tersebut. Selain itu, tax planning yang efektif mensyaratkan penyusun
kebijakan untuk mempertimbangkan tidak hanya pajak eksplisit, tetapi juga pajak
implisit. Pajak eksplisit adalah pajak yang secara langsung dibayarkan kepada otoritas
perpajakan. Sedangkan pajak implisit adalah pajak yang dibayarkan tetapi secara tidak
langsung, yaitu dalam bentuk lower before-tax rates of return on tax-favored
investments. Terakhir, tax planning yang efektif mensyaratkan pembuat kebijakan untuk
menyadari bahwa pajak hanyalah satu dari sekian banyak biaya dalam bisnis, dan semua
biaya akan diperhitungkan pada saat membuat perencanaan. Agar perencanaan pajak
bisa diimplementasikan, sangat mungkin bisnis perlu direstrukturisasi dan memakan
biaya yang besar.
Ketiga hal ini, all parties, all taxes, dan all cost membuat sebuah struktur pajak
yang bisa mencapai tujuan organisasi, seperti laba ataupun maksimalisasi kekayaan
pemegang saham. Ketiga dasar ini menjelaskan bahwa minimalisasi pajak belum tentu
merupakan tujuan utama perencanaan pajak yang efektif. 
Dalam bidang perpajakan, dikenal istilah statutory tax rate (STR) atau tarif pajak
statutori (TPS) dan effective tax rate (ETR) atau tarif pajak efektif (TPE). Tarif pajak
statutori adalah tarif pajak yang ditetapkan oleh hukum atas dasar pengenaan tertentu.
  
Tarif  pajak statutori di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Perpajakan yang
berlaku dan secara terus-menerus menjadi objek reformasi pajak. Sedangkan, tarif pajak
efektif adalah tarif pajak yang terjadi dan dihitung dengan membandingkan beban pajak
dengan laba akuntansi perusahaan. Tarif pajak efektif secara ringkas menunjukan
efektivitas manajemen pajak suatu perusahaan. Selain itu, tarif pajak efektif juga
menunjukan respon dan dampak insentif pajak terhadap sebuah perusahaan. Gillman et
al. (2002) mengemukakan bahwa tarif pajak statutori seharusnya sama dengan tarif
pajak efektif apabila tidak adanya faktor tax shields, credits, dan rebates. Faktor-faktor
inilah yang dikenal denga insentif pajak atau tax incentives.
Sekalipun semua perusahaan memiliki tarif pajak statutori yang sama, tetapi pada
kenyataannya tarif pajak efektif antar perusahaan berbeda-beda. Ada perusahaan yang
memiliki tarif pajak efektif yang lebih tinggi daripada tarif pajak statutori yang berlaku,
dan ada pula perusahaan yang memiliki tarif pajak efektif lebih rendah daripada tarif
statutori yang berlaku. Perbedaan tarif pajak efektif antar perusahaan ini disebabkan
karena adanya ketidaksamaan antara pencatatan akuntansi dan perpajakan. Perbedaan
yang ditimbulkan oleh pencatatan ini bisa bersifat sementara maupun tetap. Gillman et
al. (2002) mengemukakan bahwa perbedaan tarif pajak efektif antar perusahaan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti beban bunga, beban riset dan pengembangan,
kepemilikan asing, stock-market listing, dan jumlah anak perusahaan. Karakteristik
perusahaan juga dapat mempengaruhi variasi tarif pajak efektif antar perusahaan.
Perusahaan yang melakukan pembiayaan lewat utang akan memiliki tarif pajak efektif 
yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perusahaan yang melakukan pembiayaan
lewat penerbitan saham. Ini disebabkan karena beban bunga yang timbul dari
pembiayaan lewat utang merupakan beban yang dapat mengurangi kena pajak.
  
II.3 Akuntansi Pajak Penghasilan
Berdasrakan Pasal 3 Ayat  3 Poin C Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa wajib pajak
menyampaikan  Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan wajib pajak
badan paling lambat 4 bulan setelah tahun buku berakhir. Dalam SPT yang disampaikan
oleh wajib pajak terdapat laba perusahaan yang merupakan objek pajak penghasilan.
Laba yang tertera dalam laporan keuangan tidak bisa secara langsung dijadikan sebagai
dasar pengenaan pajak karena masih merupakan laba akuntansi. Dasar pengenaan pajak
bagi wajib pajak badan dan disampaikan dalam SPT perusahaan adalah laba fiskal. Laba
akuntansi disusun oleh akuntan dengan mengikuti Persyaratan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) yang berlaku, sedangkan laba fiskal disusun menggunakan Undang-
Undang perpajakan yang berlaku. Oleh karena hal ini, atas laba akuntansi harus
dilakukan koreksi terlebih dahulu dengan menggunakan Undang-Undang Perpajakan
sehingga menjadi laba fiskal.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, perbedaan antara standar penyusunan
laporan akuntansi dan fiskal menyebabkan adanya perbedaan antara laba akuntansi dan
fiskal. Perbedaan dapat terjadi karena adanya pos-pos penghasilan yang diakui oleh
akuntansi, tetapi tidak diakui oleh perpajakan. Demikian pula sebaliknya, perbedaan bisa
terjadi karena adanya pos-pos pendapatan yang tidak diakui dalam akuntansi, tetapi
diakui secara perpajakan. Perbedaan juga bisa disebabkan karena adanya beban-beban
yang diakui dalam akuntansi, tetapi tidak diakui secara fiskal. Sebaliknya, dimungkinkan
pula adanya beban-beban yang tidak diakui dalam akuntansi, tetapi diakui dalam
perpajakan. Perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan pengakuan penghasilan dan
beban dapat bersifat sementara ataupun bersifat tetap.
  
Menurut Jones (1998) yang dimaksud dengan perbedaan sementara adalah
perbedaan waktu pengakuan laba, beban, keuntungan, dan kerugian untuk tujuan
akuntansi dan untuk tujuan perpajakan. Perbedaan waktu pengakuan disebabkan oleh
ketentuan perpajakan dan memberikan pengaruh terhadap laba akuntansi dan
penghasilan kena pajak (PKP) pada akhirnya sama. Perbedaan sementara terdiri dari
penyisihan/akrual dan realisasi, penyusutan, amortisasi dan kompensasi rugi.
Sesuai dengan PSAK, penyusunan laporan keuangan akuntansi menggunakan
asas akrual, yaitu pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian dan
dicatat serta dilaporkan dalam periode berjalan. Dalam kasus penyisihan
piutang tak
tertagih, akuntansi menggunakan metode tidak langsung. Namun, di sisi lain perpajakan
menggunakan metode langsung. Menurut perpajakan, penggunaan penyisihan piutang
tak tertagih hanya boleh dilakukan oleh usaha bank, usaha asuransi, biaya reklamasi
usaha pertambangan, dan cadangan dalam sewa dengan hak opsi. Dampak akrual
lainnya yang bisa mengakibatkan beda sementara adalah pendapatan diterima dimuka
dan beban dibayar dimuka. Di mata pajak, pendapatan diterima dimuka merupakan
komponen pendapatan kena pajak, sedangakan menurut akuntansi pendapatan diterima
dimuka merupakan utang sampai dengan bisa terealisasi. Sebaliknya, beban dibayar
dimuka menurut pajak merupakan komponen pengurang penghasilan kena pajak.
Namun, di mata akuntansi item ini merupakan aset dan dibebankan secara berkala sesuai
dengan realisasinya.
Beda sementara juga ditimbulkan karena adanaya penyusutan dan amortisasi.
Secara fiskal, penyusutan dan amortisasi mempunyai ketentuan tersendiri sebagaimana
diatur dalam pasal 11 dan 11A UU PPh. Ketentuan ini mengatur tentang metode
penyusutan dan amortisasi dan masa manfaat. Pembukuan penyusutan dan amortisasi
  
yang dilakukan oleh akuntan mungkin saja memiliki masa manfaat dan metode yang
berbeda dengan perpajakan sehingga timbul beda sementara.
Menurut Jones (1998) yang dimaksud dengan beda tetap adalah perbedaan antara
laba akuntansi dan penghasilan kena pajak yang disebabkan karena perbedaan
pengakuan untuk tujuan pembukuan dan perpajakan. Adanya pos-pos pendapatan yang
diakui untuk
tujuan akuntansi tetapi tidak pernah diakui umtuk tujan perpajakan dapat
menimbulkan beda tetap. Demikian pula dengan adanya beban yang diakui untuk tujuan
akuntansi tetapi tidak diakui untuk tujuan perpajakan. Tax saving yang muncul karena
pos-pos beda tetap dalam perusahaan tidak akan pernah dibayar. Kelebihan pembayaran
pajak karena beda tetap juga tidak akan pernah diterima kembali. Perbedaan tetap terdiri
dari penghasilan yang telah dipotong PPh final, penghasilan yang bukan merupakan
objek pajak.
Penghasilan yang dipotong PPh final dapat menyebabkan adanya perbedaan
tetap. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
pasal 4 ayat 2, penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final adalah penghasilan
berupa bunga deposito dan bunga lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan
bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
Objek PPh final lainnya adalah hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura. Berikutnya, yang termasuk objek pajak PPh final adalah
penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan. Perlakuan atas
penghasilan tersebut adalah perusahaan mencatatkannya sebagai penghasilan dalam laba
  
akuntansi, tetapi dalam menghitung penghasilan kena pajak, penghasilan tersebut tidak
dimasukkan lagi dalam komponen penghasilan karena sudah dikenakan pajak final.
Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak juga dapat menciptakan beda
tetap. Berdasarkan Pasal 4 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak antara lain penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk
natura atau kenikmatan. Dividen juga bisa menjadi non-objek pajak apabila berasal dari
cadangan laba ditahan dan bagi Perseroan Terbatas (PT), BUMN, dan BUMD yang
memiliki kepemilikan paling rendah 25% dalam badan yang memberikan dividen
tersebut. Iuran dan penghasilan modal yang diterima oleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan juga dikecualikan dari objek pajak.
Perlakuan tehadap penghasilan-penghasilan yang telah disebutkan diatas, perusahaan
mencatat sebagai penghasilan dalam laporan keuangan, tetapi penghasilan-penghasilan
ini bukan merupakan penghasilan kena pajak.
Hal lainnya yang bisa mengakibatkan beda tetap adalah beban-beban yang tidak
boleh dikurangkan. Berdasrakan Pasal 6 dan Pasal 9 ayat 1 UU PPh ada beberapa beban
yang tidak boleh dikurangkan di mata pajak. Namun, ada beberapa dari item-item
tersebut merupakan beban secara akuntansi. Pertama, penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan
kenikmatan. Kedua, pemberian sumbangan dari perusahaan kepada instansi yang tidak
diatur dalam peraturan pemerintah. Selanjutnya adalah sanksi administrasi perpajakan
baik berupa denda maupun bunga. Ketiga, biaya entertainment
yang tidak memiliki
bukti normatif. Terakhir adalah terkait biaya riset dan pengembangan. Biaya riset dan
pengembangan yang dilakukan di Indonesia merupakan beban di mata pajak, tetapi
  
berdasarkan PSAK semua biaya riset dan pengembangan, item-item tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan kena pajak.
II.4 Trade off antara Pelaporan Akuntansi dan Manajemen Pajak  
Shackelford et al. (2007) mengembangkan model umum tentang bagaimana
pajak mempengaruhi keputusan perusahaan secara kas dan secara akuntansi. Dijelaskan
bahwa laporan keuangan merupakan sebuah alat bagi manajemen untuk
mengkomunikasikan keadaan perusahaan kepada pihak eksternal, khususnya investor.
Laporan keuangan dapat mengurangi information asymmetries
sehingga menurunkan
biaya modal. Information asymmetries merupakan kondisi dimana salah satu pihak dari
suatu transaksi memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak
lainnya.
Shackelford et al. (2007) mengemukakan
bahwa setidaknya ada dua alasan
mengapa laporan keuangan adalah hal penting bagi manajemen. Pertama, banyak
kontrak seperti kontrak hutang, dan termasuk kontrak kompensasi didasarkan pada
laporan keuangan. Kedua, karena adanya pengguna laporan keuangan tidak dapat
membedakan antara laba yang rendah karena profitabilitas yang buruk dan laba yang
rendah karena adanya manajemen pajak. Manajemen pajak akan mengakibatkan laba
rendah tetapi arus kas akan meningkat karena pajak yang dibayarkan semakin rendah.
Manajemen pada umunya tidak mau laporan keuangan terlihat buruk.
Kebanyakan manajer akan lebih memilih membayar pajak dalam jumlah lebih tinggi
tanpa merusak laba akuntansi.
  
II.5 Corporate Governance
Corporate governance muncul sebagai akibat adanya principal-agent problem.
Pemegang saham sebagai principal memiliki modal untuk diinvestasikan, tetapi
pemegang saham tidak memiliki kapasitas atau waktu untuk bisa mengelola modal yang
dimilikinya. Oleh karena itu, pemegang saham memperkerjakan pihak profesional yaitu
manajemen untuk mengelola modalnya. Tugas dari manajemen sebagai agent adalah
memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Namun, manajemen memiliki insentif
untuk melakukan hal-hal lain selain memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham.
Disinilah letak pentingnya corporate governance, yaitu sebagai penjamin dilindunginya
hak-hak pemegang saham. Masalah antara manajemen dan pemilik modal ini tentu saja
menimbulkan biaya-biaya. Lestari (2007) menyatakan bahwa agency cost terdiri atas
monitoring cost dan bonding cost. 
Corporate governance
dikatakan dapat menurunkan monitoring cost
dengan
adanya peningkatan pengawasan dan transparansi. Bonding cost merupakan agency cost
yang ditanggung oleh direksi yang mencerminkan upaya manajemen dalam
menunjukkan kepada
pemegang saham (shareholder)
bahwa mereka tidak akan
menyalahgunakan wewenang yang diberikan.
Sejalan dengan konsep-konsep yang melatarbelakangi perkembangan corporate
governance, terdapat beberapa definisi mengenai corporate governance. Untuk
mendapatkan gambaran mengenai pengertiannya, dipaparkan pengertian dari berbagai
sumber. 
a.
OECD (1999)
Sistem dimana operasi bisnis diarahkan dan dikendalikan. Struktur tata kelola
perusahaan menetapkan distribusi hak dan tanggung jawab diantara pihak-pihak
  
yang berbeda dalam perusahaan, seperti komisaris, manajer, pemegang saham dan
stakeholder
lainnya. Struktur tata kelola perusahaan juga menyatakan berbagai
aturan dan prosedur untuk membuat keputusan mengenai urusan perusahaan.
b.
Bank Dunia
Sebagai kumpulan hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang
dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien,
menghasilkan nilai ekonomi jangkan panjang yang berkesinambungan bagi para
pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.
c.
Ernst & Young 
Corporate governance
terdiri atas sekumpulan mekanisme yang saling berkaitan,
terdiri atas pemegang saham institusional, dewan direksi, dewan komisaris, para
manajer yang dibayar berdasarkan kinerjanya, pasar sebagai pengendalian
perusahaan, struktur kepemilikan, struktur keuangan, investor terkait dan persaingan
produk. Pengendalian perusahaan terhadap resiko bisnis merupakan hal yang sangat
penting. 
Dari definisi–definisi yang diberikan diatas dapat disimpulkan bahwa corporate
goverance adalah sebuah sistem dimana bisnis dijalankan, diarahkan, dan dikendalikan
dengan tujuan mengoptimalkan nilai (value) bagi shareholder
dan stakeholder.
Sedangkan good corporate governace bertujuan meningkatkan kinerja perusahaan demi
mencapai kepuasan stakeholders.
Corporate governance
timbul sebagai upaya untuk mengatasi perilaku
manajemen yang mementingkan diri sendiri. Selain itu corporate governance
juga
bermanfaat untuk menciptakan pengawasan dalam perusahaan yang memastikan adanya
  
optimalisasi
pemenuhan kepentingan stakeholder
serta menciptakan efesiensi bagi
perusahaan.
Corporate governance juga telah diakui dapat melindungi perusahaan dari
kondisi–kondisi yang merugikan. Tunggal (2002) menyatakan bahwa dengan adanya
corporate governance yang
baik akan berdampak pada naiknya kinerja perusahaan,
bahkan sampai dengan 30% diatas tingkat pengembalian yang normal. Dengan adanya
penerapan good corporate governance
perusahaan akan mendapatkan manfaat, antara
lain perbaikan dalam komunikasi, meminimalisasi potensi benturan, fokus pada strategi–
strategi utama, peningkatan dalam produktivitas dan efesiensi, kesinambungan manfaat
(Sustainability of benefits), promosi citra korporat (corporate image), dan perolehan
kepercayaan investor. 
Menurut The Forum
For Corporate Governance in Indonesia, ada empat
kegunaan dari corporate goverance. Pertama adalah kemudahan mendapatkan modal.
Dengan adanya corporate governance, klaim stakeholder kepada perusahaan dapat lebih
terjamin sehingga resiko investasi lebih kecil. Apabila resiko lebih kecil maka, investor
akan lebih percaya kepada perusahaan dan lebih mudah dalam memberikan modal
kepada perusahaan. Kegunaan kedua adalah rendahnya biaya modal. Seiring dengan
semakin baiknya pengelolaan perusahaan, resiko akan semakin kecil. Semakin
rendahnya resiko ini dicerminkan dengan adanya penurunan biaya modal. Gilson (2000)
seperti dikutip Lestari (2007) menyatakan bahwa perusahaan harus menerapkan good
corporate governance agar perusahaan mendapatan dukungan ekonomi dalam
bentuk
pinjaman dari perbankan. Kegunaan selanjutnya adalah memperbaiki kinerja
perusahaan. Dengan diterapkannya corporate governance diperusahaan, masalah agent-
principle
akan sangat terminimalisir sehingga tujuan perusahaan menjadi jelas yaitu
  
mengoptimalkan bila bagi shareholder dan stakeholder. Dengan adanya tujuan yang
jelas, maka manajemen dapat bekerja lebih efektif sehingga kinerja pun akan menjadi
lebih baik. Brown dan Robinson (2004) seperti yang dikutip Lestari (2007) menemukan
bahwa perusahan dengan corporate governance yang lebih baik memiliki kinerja yang
baik dibandingkan perusahaan yang memiliki corporate governance
yang buruk.
Kegunaan yang terkahir adalah mempengaruhi harga saham. Mc Kinsey&Co. (2002)
seperti yang dikutip Wallace dan Zinkin (2005) menemukan bahwa lebih dari 70%
investor institusional bersedia membayar lebih saham perusahaan yang “well governed”.
Ini menandakan bahwa ekspektasi investor terhadap perusahaan dengan corporate
governance
yang lebih baik dari perusahaan tanpa corporate governace
sehingga
investor menilai saham lebih tinggi.
OECD mengemukakan empat prinsip corporate governance. Prinsip pertama
adalah fairness. Fairness
adalah kepastian perlindungan atas hak seluruh pemegang
saham dari penipuan (fraud) dan penyimpangan lainnya serta adanya pemahaman yang
jelas mengenai hubungan berdasarkan kontrak diantara penyedia sumber daya
perusahaan dan pelanggan. Hal ini mengandung arti bahwa pengelolaan aset/investasi
dilakukan secara prudential, perlindungan terhadap seluruh
kepentingan pemegang
saham secara fair, termasuk pemegang saham minoritas.
Prinsip kedua dalam corporate governance adalah transparency. Transparency
mencakup pengelolahan aset atau investasi secara amanah dan prudential, perlindungan
terhadap seluruh kepentingan pemegang saham secara wajar (fair), termasuk pemegang
saham minoritas. Perlindungan mencangkup kemungkinan terjadinya praktik korporasi
yang merugikan seperti kecurangan (fraud), dilusi,  controlling shareholders, self
dealing, dan insider trading. Setiap contractual relationship harus dapat dilaksanakan
  
secara efektif. Perusahaan juga harus berfungsi dalam suatu elemen yang bebas korupsi
dan penyuapan.
Prinsip selanjutnya dalam corporate governance adalah accountability. Prinsip
ini menekankan pada penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan
pembagian wewenang, hak, peranan, dan tanggungjawab dari pemegang saham, direksi,
manajer, dan auditor. Hal ini bermanfaat mencegah terjadinya agency problem yang
muncul karena adanya perbedaan kepentingan antar pemegang saham sebagai pemilik
dan manjemen sebagai pengelolah.
Prinsip terakhir yang ditemukan dalam OECD adalah responsibility.
Responsibility
berarti mencegah agency problem yang dapat muncul karena adanya
perbedaan kepentingan pemegang saham dan direksi.  Selain itu juga mengatur kejelasan
fungsi, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab masing –
masing antara pemegang
saham (Termasuk institusi yang mempresentasikannya yaitu Rapat Umum Pemegang
Saham) dan dewan komisaris serta direksi. Bentuk implementasi adalah kejelasan
fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggungjawab dalam anggaran dasar korporasi
dan statement of corporate intent, pembentukan komite audit, praktik audit internal yang
efektif, pengangkatan direksi dan komisaris independen.
OECD (2004) membuat pedoman corporate governance
yang dikenal dengan
nama OECD guideline. Guideline ini memiliki enam hal yang esensial dalam corporate
governance sebuah perusahaan yaitu hak-hak pemegang saham, perlakuan yang sama
kepada semua pemegang saham peranan stakeholders
dalam corporate governance,
pengungkapan dan tranparansi, dan tanggung jawab dewan komisaris.
  
a.
Manajemen kerangka dasar Corporate Governance yang efektif
Corporate Governance harus dapat mendorong terciptanya pasar yang transparan dan
efisien, sejalan dengan perundangan dan peraturan yang berlaku, dan dapat dengan
jelas memisahkan fungsi dan tanggungjawab otaritas-otoritas yang memiliki
pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum.
b.
Hak-hak pemegang saham
Corporate governance
harus dapat melindungi dan memfasilitasi penggunaan hak-
hak oleh pemegang saham. Hak-hak ini meliputi hak untuk melakukan registrasi
saham, mengalihkan saham, memperoleh informasi tepat waktu, hak untuk
berpartisipasi dan memberi suara (voting) dalam Rapat Umum Pemegang Saham, hak
untuk memilih dan menghentikan anggota dewan komisaris, dan untuk mendapatkan
bagian dari laba.
c.
Perlakuan yang sama kepada semua pemegang saham
Corporate governance
harus dapat memastikan bahwa ada perlakuan yang sama
kepada semua pemegang saham, termasuk kepada pemegang saham minoritas dan
asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan ganti
rugi karena pelanggaran terhadap haknya.
d.
Peranan stakeholder dalam corporate governance
Corporate governance
seharusnya mengetahui hak-hak pemegang saham yang
dibentuk oleh hukum atau mutual agreement dan mendukung kerjasama aktif antara
perusahaan dengan pemegang saham dalam menciptakan kekayaan.
e.
Pengungkapan dan transparansi
Corporate governance
seharusnya memastikan adanya pengungkapan yang tepat
waktu dan akurat. Pengungkapan ini berisikan hal-hal yang material terkait dengan
  
perusahaan, termasuk keadaan keuangan, kinerja, kepemilikan, dan governance
perusahaan.
f.
Tanggung jawab dewan komisaris
Corporate governance harus memastikan pedoman strategis perusahaan, pengawasan
yang efektif terhadap manajemen oleh dewan komisaris, dan tanggung jawab dewan
komisaris kepada perusahaan dan pemegang saham.
Governace seringkali dikaitkan dengan adanya kinerja finansial perusahaan yang
lebih baik di masa depam. Dalam mengukur sumber keberhasilan ini, biasanya
digunakan beberapa proxy, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut
a.
Dewan Komisaris dan Direksi 
UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas di Indonesia menganut two board system,
dengan memisahkan antara direksi dan komisaris. Direksi bertindak sebagai
pengurus, sementara komisaris sebagai pengawas.
Dewan komisaris merupakan faktor sentral dalam corporate governance
karena
hukum perseroan menempatkan tanggung jawab legal atas urusan suatu perusahaan
kepada dewan komisaris. Dewan komisaris secara legal bertanggungjawab untuk
menetapkan sasaran perusahaan, mengembangkan kebijakan yang luas, dan memilih
personel tingkat atas untuk melaksanakan sasaran dan kebijakan tersebut. Dewan
komisaris juga menelaah kinerja menajemen untuk meyakinkan bahwa perusahaan
dijalankan secara baik dan kepentingan pemegang saham dilindungi.
Tujuan keberadaan dewan komisaris menurut Undang-undang Perseroan Terbatas
(UU PT) adalah mengawasi sekaligus memberi nasihat kepada direksi dalam
menjalankan perseroan. Dewan komisaris akan menjadi efektif apabila mampu
bersikap independen serta memiliki kemampuan yang memadai.
  
Fungsi komisaris adalah sebagai wakil pemegang saham untuk melakukan
pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi dalam rangka menjalankan tata
kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Komisaris juga
memiliki tugas dan tanggung jawab, antara lain melakukan pengawasan terhadap
kebijakan pengurusan perseroan yang dilakukan direksi serta memberi nasihat kepada
direksi, memberikan pendapat dan saran kepada RUPS, mengawasi pelaksanaan
rencana kerja dan anggaran perseroan, mengikuti perkembangan kegiatan perseroan,
dan melakukan tugas-tugas pengawasan lainnya yang ditentukan oleh RUPS.
Komisaris mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan dan dalam
rapat tersebut komisaris mengundang direksi.
b.
Komisaris Independen
Pada tahun 2000 pemerintah telah membuat regulasi yaitu Regulasi Pencatatan
Nomor IA tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek bersifat Ekuitas di Bursa.
Regulasi ini mensyaratkan adanya komisaris independen dalam perusahaan yang
tercatat di bursa. Proporsinya adalah sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki
bukan oleh pemegang saham pengendali atau dengan ketentuan minimal sejumlah
30% dari jumlah dewan komisaris.
Seperti yang dikutip dari Herwidayatmo (2000), Reiter (1999) menyatakan bahwa
komisaris independen dapat membantu memberikan kontinuitas dan objektivitas yang
diperlukan bagi suatu perusahaan untuk berkembang dan makmur. Hermalin dan
Weisbach (1998) menyimpulkan bahwa outside director
memberikan pengawasan
yang sangat besar di dalam dewan komisaris. Komisaris independen membantu
merencanakan strategi jangka panjang perusahaan dan secara berkala melakukan
  
review atas implementasi strategi tersebut. Dengan demikian, hal ini akan
memberikan keuntungan bagi perusahaan.
Untuk mewujudkan perannya secara efektif, komisaris independen seharusnya
menjadi organ utama bagi penerapan praktik GCG dalam perusahaan. Di Indonesia,
keberadaan komisaris independen sudah diatur dalam Code of GCG (KNKCG).
Komisaris independen dapat mendorong dibentuknya komite-komite dewan
komisaris seperti komite nominasi, komite remunerasi, komite manajemen resiko,
dan komite audit.
c.
Kompensasi dewan komisaris dan direksi
Kompensasi memiliki tiga tujuan dasar, yaitu menarik, menahan, dan memotivasi key
empolee (Cheeks, 1982). Untuk menarik dewan direksi dan komisaris masuk dalam
perusahaan, maka perusahaan akan menawarkan imbalan yang menarik dibandingkan
yang dapat diberikan perusahaan lain. Sekali direksi dan komisaris masuk dalam
perusahaan, tujuan berikutnya dari kompensasi adalah untuk menahan mereka agar
tetap bekerja pada perusahaan tersebut. Tujuan terakhir dari kompensasi adalah untuk
memotivasi eksekutif perusahaan. Teori motivasi mencoba menjelaskan semua jenis
perilaku yang termotivasi dalam semua jenis situasi, termasuk perilaku dalam
organisasi. Kompensasi merupakan salah satu penerapan teori motivasi. Ratna (1994)
mengemukakan bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan imbalan dan
motivasi dipengaruhi oleh insentif.
Penelitian mengenai insentif oleh Anthony dan Welsch (1981) menemukan
bahwa individu cenderung termotivasi oleh imbalan. Selain itu ditemukan juga bahwa
moneter merupakan alat pemuas kebutuhan tertentu yang penting. Dekemukakan pula
  
bahwa efektivitas kompensasi menurun cepat apabila waktu antara tindakan dan imbalan
terlalu jauh. Oleh karena itu, penting sekali tersedianya laporan kinerja  yang cepat dan
memadai. Terakhir, Anthony dan Welsh (1981) menemukan bahwa motivasi semakin
lemah bila seseorang menganggap tidak dapat atau terlalu mudah mencapai tujuan.
Motivasi akan semakin kuat apabila tujuan dapat dicapai dengan berbagai usaha.
Motivasi juga akan semakain kuat apabila individu memandang pencapaian sebagai
suatu yang penting sehubungan dengan kebutuhannya.
Ratna (1994) mengemukakan bahwa kompensasi eksekutif perusahaan tidak
hanya terdiri dari gaji saja. Namun, kompensasi dapat terdiri dari bebagai elemen diluar
gaji diantaranya bonus, stock option plans, stock appreciation rights, restricted stock
plans, phantom stock, performance share plans, preticipating units, deffered bonus and
compensations, retirement pension, dan kompensasi jenis lainnya seperti perawatan
kesehatan, pinjaman lunak, fringe benefit, dan perquisites
II.6 Governance dan Manajemen Pajak 
Penelitian terdahulu yang membahas tentang pengaruh corporate governance
terhadap manajemen pajak dilakukan oleh Minnick & Noga (2010). Penelitian yang
dilakukan oleh Minnick & Noga (2010) bertujuan untuk mengetahui bagaimana peranan
corporate gevernance pada manajemen pajak perusahaan dalam jangka panjang. Kinerja
perusahaan dalam jangka panjang ini dilihat dari bottom-line performance perusahaan.
Dalam paper
tersebut, Minnick & Noga (2010) melihat bagaimana governance yang
lebih baik dapat menaikkan kekayaan pemegang saham dalam jangka panjang melalui
keuntungan perusahaan. Dalam penelitian tersebut, juga ditemukan bahwa pay-
performance-sensitivity
(PPS) atau kompensasi memberikan insentif jangka panjang
  
bagi dewan komisaris dan direksi yang pada akhirnya akan memotivasi keduannya untuk
berinvestasi pada sektor yang memberikan dampak jangka panjang. Kompensasi dewan
direksi dan komisaris berbanding terbalik dengan pajak, baik pajak yang dibayarkan
secara kas maupun beban pajak dalam laporan akuntansi. Kompensasi direksi
berpengaruh lebih besar kepada pajak dibandingkan dengan kompensasi dewan
komisaris. Setiap adanya kenaikan 1 unit kompensasi pada CEO akan mengakibatkan
0,54% penurunan pada GAAP tax dan 0,57% pada cash tax. Dalam paper tersebut juga
ditemukan bahwa semakin besar perusahaan, maka akan semakin besar pula pajaknya.
Dalam penelitiannya, Minnick dan Noga (2010) menggunakan model yang merupakan
modifikasi dari model Dyreng et al. (2007) sebagai berikut :
ETR =
2
ETR
t-1
+
3
ETR
t-2
+
4-7
BoardCharacteristic +
8
Entrechment +
9-10
Compensation +
11-14
ControlVariables +
Dimana :
ETR terdiri dari GAAP ETR dan CASH ETR rata-rata selama 5 tahun
ETR
t-1
dan ETR
t-2
merupakan ETR pada tahun t-1 dan t-2 yang dirata-ratakan
selama 5 tahun
Board Characteristic adalah karakteristik dewan komisaris yang terdiri atas ukuran
dewan komisaris, banyaknya komisaris independen, dualisme komisaris dan CEO,
dan umur CEO
Compensation terdiri atas gaji dewan komisaris dan direksi
  
Dyreng et al. (2007) menyatakan bahwa GAAP ETR merupakan salah satu
pengukur tax avoidance.  Namun, GAAP ETR memiliki beberapa keterbatasan, yaitu
GAAP ETR bukan merupakan variabel prediksi yang baik dalam jangka panjang. GAAP
ETR tidak bisa mengukur dalam jangka panjang karena adanya estimasi-estimasi
akuntansi yang terkandung dalm GAAP ETR. Oleh karena itu, selain GAAP ETR,
Minnick dan Noga (2010) menggunakan alat pengukuran lain juga yaitu Cash
ETR.
Berikut ini adalah rumus GAAP ETR 
t
i,
Income
Pretax
t
i,
Expense
Tax
ETR
GAAP
Dimana :
GAAP ETR adalah effective tax rate berdasarkan pelaporan akuntansi keuangan
yang berlaku
Tax expense, adalah beban pajak penghasilan badan untuk perusahaan i pada tahun
t berdasarkan laporan keuangan perusahaan
Pretax Income, adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada tahun t
berdasarkan laporan keuangan perusahaan
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, GAAP ETR memiliki kekurangan
yaitu penggunaan beban pajak sebagai pembilang. Berdasarkan standar akuntansi
keuangan, pada saat manajemen, direksi, ataupun dewan komisaris melakukan exercise
atas stock option
yang dimilikinya maka tidak ada beban yang diakui. Di lain pihak,
  
perusahaan bisa mengakuinya sebagai beban di mata pajak sehingga beda permanen.
Selain itu, GAAP ETR juga dipengaruhi oleh estimasi-estimasi akuntansi sehingga
timbul perbedaan sementara antara komersial dan fiskal.
Oleh karena itu, selain menghitung GAAP ETR Minnick dan Noga (2010) juga
menghitung Cash
ETR. Fungsi dari Cash
ETR adalah mengakomdasi kekurangan
GAAP ETR yang tidak bisa mereprentasikan dampak dari employee stock option. Selain
itu juga Cash
ETR bisa mengukur tax avoidance dalam jangka pendek karena tidak
seperti GAAP ETR, Cash
ETR tidak dipengaruhi oleh estimasi. Hanlon dan Slemrod
(2010) menghitung Cash ETR sebagai berikut :
Cash ETR
Cash tax paid i,
t
Pretax Income i,
t
Dimana :
CASH ETR adalah effective tax rate
berdasarkan jumlah pajak penghasilan
badan yang dibayarkan perusahaan secara kas pada tahun berjalan
Cash tax paid
i-t
, adalah jumlah pajak penghasilan badan yang dibayarkan
perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan
Pretax income
i-t
, adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada
tahun t berdasarkan laporan keuangan perushaan
Dalam penelitian ini Cash ETR akan digantikan dengan Current ETR. Alasannya
adalah pajak yang disajikan dalam cash flow perusahaan tidak sepenuhnya merupakan
pajak penghasilan badan, melainkan ada unsur-unsur lainnya seperti cukai dan pajak-
  
pajak lainnya. Beberapa peneliti seperti Kern dan Morris (1983), Omer et al. (1993),
Stickney dan McGee (1982), serta Zimmerman (1983) menyatakan bahwa seharusnya
ada penyesuaian terhadap pajak tangguhan. Omer dan Molloy (1991) menyatakan bahwa
penggunaan lebih dari satu ukuran ETR dapat meningkatkan kekuatan hasil. Alasannya
adalah pengukuran ETR yang berbeda dapat menghasilkan akibat yang berbeda sesuai
yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, GAAP ETR bertujuan untuk melihat beban
pajak yang dibayarkan dalam tahun berjalan. Oleh karena itu dalam penelitian ini selain
menghitung GAAP ETR, penulis juga menghitung Current ETR. Fungsi dari Current
ETR adalah mengakomodasikan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan. Current ETR
dalam penelitian ini akan dihitung dengan rumus yang diperagakan oleh Pocarno (1986).  
Current ETR
Current tax expense i,
t
Pretax Income i,
t
Dimana :
Current ETR adalah effective tax rate berdasarkan jumlah pajak penghasilan badan
yang dibayarkan perusahaan pada tahun berjalan
Current tax expense, adalah jumlah pajak penghasilan badan yang dibayarkan
perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan
Pretax income, adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada tahun t
berdasarkan laporan keuangan perusahaan 
  
II.7 Perumusan Hipotesis
II.7.1 Jumlah Dewan Komisaris dan Manajemen Pajak
Desai dan Dharmapala (2006) dan Erickson et al. (2006) menunjukkan bahwa
manajemen pajak dipengaruhi oleh corporate governance. Struktur dewan komisaris
merupakan salah satu mekanisme internal yang dapat digunakan untuk mengetahui
apakah manajemen bertindak sesuai dengan keinginan principal. Dewan komisaris
berfungsi sebagai kontrol internal yang bertugas untuk melindungi kepentingan
pemegang saham. Beberapa tulisan mengungkapkan adanya hubungan antara jumlah
dewan komisaris dengan keefektifan fungsi pengawasan. Coles et al. (2008) menemukan
bahwa jumlah dwan komisaris yang optimal berbeda-beda tergantung pada karakteristik
perusahaan itu sendiri. Perusahaan yang berukuran besar dan memiliki struktur yang
kompleks akan maksimal kinerjanya apabila jumlah dewan komisaris semakin banyak.
Hal ini terjadi karena semakin besar perusahaan akan semakin banyak membutuhkan
penasihat. Sebaliknya, Bhagat dan Black (1999) menyatakan bahwa jumlah dewan
komisaris yang sedikit akan menghasilkan fungsi pengawasan yang lebih baik. Sejalan
dengan Bhagat dan Black (1999), Minnick dan Noga (2010) menyatakan bahwa jumlah
komisaris yang lebih sedikit akan membuat dewan lebih fokus untuk meyakinkan
manajemen untuk berinvestasi dalam manajemen pajak.
Karena dalam penelitian ini sampel yang diamati adalah perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia sehingga diasumsikan perusahaan adalah perusahaan
besar dan memiliki kompleksitas tinggi. Diharapkan semakin banyak jumlah dewan
  
komisaris akan menurunkan tarif pajak efektif perusahaan sehingga hipotesis yang
diajukan adalah
H1 : Jumlah dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen pajak yang
ditandai dengan semakin rendahnya tarif pajak efektif.
II.7.2 Persentase Komisaris Independen dan Manajemen Pajak
Beberapa tulisan mengungkapkan adanya hubungan antara komposisi dewan
komisaris dengan keefektifan fungsi pengawasan. Coles et al. (2008), menemukan
bahwa persentase komisaris independen yang optimal berbeda-beda tergantung pada
karakteristik perusahaan itu sendiri. Perusahaan yang berukuran besar dan meiliki
struktur yang kompleks akan maksimal kinerjanya apabila jumlah komisaris independen
semakin banyak. Bhagat dan Black (1999) menyatakan bahwa jumlah komisaris
independen yang
lebih banyak akan menghasilkan fungsi pengawasan yang lebih baik.
Sejalan dengan Bhagat dan Black (1999), Minnick dan Noga (2010) menyatakan bahwa
dengan kehadiran komisaris independen juga akan membuat perusahaan berada dalam
posisi bukan lagi fokus pada top-line performance measure tetapi berfokus pada overall
performance dimana tarif pajak efektif memainkan peranan penting.
Penerapan corporate governance
masih cukup baru di Indonesia, khususnya
tentang komisasris independen. Diharapkan peran komisaris independen memberikan
dampak yang signifikan kepada tarif pajak efektif. Semakin besar persentase komisaris
  
independen, maka penurunan tarif  efektif akan menjadi cepat. Oleh karena hal ini, maka
hipotesis yang diajukan adalah
H2
: Persentase komisaris independen berpengaruh positif terhadap manajemen
pajak yang ditandai dengan semakin rendahnya tarif pajak efektif 
II.7.3 Kompensasi Komisaris serta Direksi dan Manajemen Pajak
Yermack (2004) mengatakan bahwa dewan komisaris memiliki dua alasan untuk
melindungi pemegang saham, yaitu reputasi dan remunerasi. Komisaris dengan reputasi
yang baik akan mendapatkan kesempatan-kesempatan yang lebih baik lagi di kemudian
hari, seperti kesempatan untuk memberikan jasa konsultasi, tawaran pekerjaan baru
ataupun posisi dewan komisaris di tempat lainnya. Ketika nilai perusahaan semakin
besar, maka remunerasi yang diterima oleh komisaris pun semakin besar. Di sisi lain,
ketika kinerja dewan komisaris buruk maka dewan komisaris sangat mungkin
kehilangan posisinya. Yermack (2004) menyimpulkan bahwa tujuan utama dari dewan
komisaris adalah untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Salah satu caranya
adalah dengan manajemen yang efektif terhadap pajak perusahaan. Sejalan dengan
Yermack, Brown dan Robinson (2004) juga menemukan bahwa kompensasi direksi
memiliki korelasi yang besar dalam menentukan performa perusahaan. Semakin tinggi
kompensasi komisaris, maka semakin baik kinerja perusahaan.
  
Bertrand dan Mullinathan (2001) mengemukakan bahwa dari sudut pandang
contracting,
remunerasi kepada direksi oleh pemegang saham adalah untuk
menyelesaikan masalah agency. Literatur yang membahas tentang korelasi antara
kompensasi direksi dan kinerja perusahaan oleh Jensen an Murphy (1990) menemukan
bahwa adanya korelasi positif antara remunerasi CEO dengan kinerja perusahaan. Setiap
adanya kenaikan 30 sen pada remunerasi CEO akan mengakibatkan kenaikan USD1000
pada kekayaan pemegang saham. Literatur tersebut juga menunjukkan bahwa
kompensasi berupa stock option dapat mengurangi potensi moral hazard
oleh
manajemen.  
Perusahaan dengan corporate governance
yang baik akan memberikan
kompensasi kepada direksi atas kinerja yang telah dilakukannya, bukan karena
keberuntungan semata (Bertrand dam Mullinathan, 2001). Namun di sisi lain, apabila
corporate governance
di perusahaan buruk maka direksi lebih berpotensi untuk
melakukan hal-hal yang hanya menguntungkan diri sendiri saja (Bertrand dan
Mullinathan, 2001; Garvey dan Milbourn, 2006). Selain itu juga direksi pada perusahaan
dengan corporate
governance
buruk hanya akan memaksimalkan kekayaan dalam
jangka pendek (Yermack, 1997; Bebchuk et al., 2006)
Literatur perpajakan oleh Amstrong et al. (2009) dan Rego dan Wilson (2009)
menemukan bahwa ada korelasi antara kompensasi dengan manajemen pajak
dalam
jangka pendek. Di sisi lain, literatur governance
oleh Jensen dan Murphy (1990)
menemukan bahwa bentuk kompensasi mempengaruhi kinerja perusahaan. Tujuan dasar
dari kompensasi adalah untuk menyamakan antara kepentingan pemegang saham dengan
  
kepentingan pengelola aset. Kompensasi dapat memberikan insentif jangka panjang
dengan menggunakan bentuk insentif stock option maupun memberikan insentif jangka
pendek dengan menggunakan kompensasi dalam bentuk uang.  
Karena dalam penelitian ini manajemen pajak diukur dalam jangka pendek, maka
diharapkan perusahaan yang memberikan kompensasi kepada dewan direksi dan
komisaris lebih besar akan berinvestasi lebih banyak kepada manajemen pajak yang
menghasilkan pajak yang rendah dalam tahun berjalan, sehingga hipotesis yang diajukan
adalah :
H3 : Jumlah kompensasi untuk dewan komisaris dan direksi berpengaruh positif
terhadap manajemen pajak ditandai dengan semakin rendahnya tarif pajak
efektif
II.8 Variabel Kontrol
Minnick dan Noga (2010) mengemukakan bahwa dalam meneliti manajemen
pajak, karakteristik perusahaan harus dipergunakan sebagai variabel kontrol. Dalam
penelitian ini karakteristik spesifik perusahaan yang akan dikontrol adalah ukuran
perusahaan, profitabilitas perusahaan dan tingkat hutang perusahaan.
Dyreng et al. (2007) mengemukakan bahwa ukuran perusahaan memainkan
peranan dalam manajemen pajak. Dalam penelitian yang dilakukannya, Dyreng et al.
(2007) menemukan bahwa ada korelasi negatif antara ukuran perusahaan dengan tarif
  
pajak efektif. Ukuran perusahaan didefinisikan sebagai logaritma total aset. Sari dan
Martani (2010), Richardson dan Lanis (2007) serta Derashid dan Zhang (2003)
menemukan bahwa ukuran perusahaan berkorelasi negatif dengan ETR. Sigfried (1972)
seperti yang dikutip Richardson dan Lanis (2007) menyatakan bahwa dalam political
power theory semakin besar perusahaan, maka tarif pajak efektifnya akan semakin
rendah. Hal ini terjadi karena semakin besar perusahaan, semakin besar pula sumber
daya yang dimiliki guna melakukan tax planning sehingga tax saving menjadi optimal,
Kim dan Limpaphayom (1998) yang meneliti di Asia Tenggara dan Asia Timur
menemukan bahwa ukuran perusahaan berkorelasi negatif dengan tarif pajak efektif di
wilayah tersebut. Kontra dari political power theory adalah political cost theory yang
menyatakan bahwa otoritas perpajakan akan cenderung mengontrol perusahaan akan
semakin besar pula tarif pajak efektifnya (Watts dan Zimmerman, 1986).
Richardson dan Lanis (2007) mengemukakan bahwa operasi perusahaan
memberikan dampak kepada menajemen pajak. Wilkie (1998) menemukan bahwa tarif
pajak efektif  perusahaan merupakan fungsi dari rasio tax incentives
terhadap book
income. Tax incentives seperti depresiasi adalah hal yang dapat membuat book income
berbeda dengan taxable income, sedangkan tarif pajak efektif dapat berubah sesuai
dengan perubahan book income. Oleh karena itu, penulis menggunakan ROA untuk
mengontrol perubahan hasil operasi perusahaan. Derashid dan Zhang (2003)
menemukan bahwa ROA memiliki korelasi negatif dengan ETR. Hal ini
mengindikasikan bahwa perusahaan yang beroperasi dengan efisien akan mendapatkan
tax subsidy
berupa tarif pajak efektif yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
  
perusahaan yang beroperasi dengan efisiensi rendah. Sebaliknya, Gupta dan Newberry
(1997) menemukan bahwa kenaikan pada ROA akan mengakibatkan kenaikan pada tarif
pajak efektif.
Jensen (1986) menunjukkan bahwa tingkat hutang yang tinggi dapat
memberantas masalah keagenan. DeAngelo dan Masulis (1980) menyatakan bahwa
perusahaan dapat berpindah diantara debt dan non-debt tax shields. Dalam penelitian ini
leverage didefinisikan sebagai rasio total hutang terhadap book value of equity. Derashid
dan Zhang (2003) serta Richardson dan Lanis (2007) yang membuktikan bahwa tarif 
pajak efektif dan leverage berkorelasi negatif. Richardson dan Lanis (2007) seperti yang
dikutip oleh Sari dan Martani (2010) menyatakan bahwa beban bunga akan mengurangi
baban pajak, sehingga semakin tinggi hutang perusahaan akan membuat tarif pajak
efektif semakin
rendah. Sebaliknya, Gupta dan Newberry (1997) menemukan adanya
korelasi positif dengan tarif pajak efektif yang tinggi akan lebih menyukai pengguna
pembiayaan lewat penerbitan hutang (Gupta dan Newberry, 1997).