BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan adalah lapisan permukaan jalan yang terdiri dari campuran
agregat
yang bisa
berupa
batu
pecah,
batu
kali
dan
berfungsi
untuk
menahan
beban kendaraan
yang melewati jalan tambang tersebut.
Lapis perkerasan
tersebut harus
mampu dilewati kendaraan-kendaraan
yang akan
melintas di atas
jalan tersebut dengan tingkat kenyamanan tertentu dan harus anti selip.
Untuk memenuhi
syarat-syarat
tersebut
ketebalan dari lapis
perkerasan
tersebut harus mampu untuk mendistribusikan beban hingga ke lapis tanah dasar.
Lapis
perkerasan
tersebut
juga
harus
memiliki
kekuatan
yang
dapat
menahan
gaya gesek antara roda kendaraan dengan permukaan perkerasan, dan juga gaya
yang diakibatkan pengereman dan percepatan dari kendaraan.
Susunan
struktur dari perkerasan
biasanya terdiri dari lapis
permukaan
(surface course), lapis pondasi atas (base course), lapis pondasi bawah (sub-base
course), lapis tanah dasar (sub-grade course). Selain mampu menahan gaya-gaya
yang
terjadi pada permukaan perkerasan, ketebalan dari
masing-masing lapisan
juga harus memperhitungkan
cuaca dan drainase yang akan terjadi pada
lokasi
jalan tambang tersebut.
6
|
7
Gambar 2.1 Struktur Perkerasan
Sumber : BHP Billiton Mine Road Design Manual (2006)
2.2
Perkerasan Lentur
Perkerasan
lentur merupakan
kombinasi antara
material
bitumen dengan
agregat halus maupun
kasar yang
banyak dipergunakan
dalam konstruksi
jalan
raya.
Perkerasan
lentur
lebih
banyak
digunakan
dalam
pembangunan
jalan di
Indonesia dibandingkan dengan perkerasan kaku. Hal ini disebabkan karena
biaya
yang dikeluarkan
untuk
membangun
perkerasan
lentur
lebih
kecil
dibandingkan
biaya untuk
membangun
perkerasan
kaku.
Agar
struktur
perkerasan
lentur dapat
berfungsi
dengan
baik,
maka
perlu
dilakukan
perencanaan dan pemeliharaan terhadap struktur perkerasan kaku tersebut.
Material aspal menjadi salah satu pilihan utama untuk dipergunakan
sebagai
lapis
permukaan. Material
tersebut
mempunyai sifat
plastis
dan berada
dalam keadaan baik dalam suhu normal, tetapi dalam suhu panas material
tersebut akan melunak dan berkurang kepadatannya. Proses pencampuran antara
material aspal dengan
agregat kasar maupun
halus dilakukan dalam suhu yang
|
8
sangat tinggi. Ketika suhu menurun maka campuran beraspal tersebut akan
mengeras dan membentuk suatu lapis permukaan perkerasan.
Pada
tahun
1999, Departemen
Pekerjaan
Umum
telah
mengeluarkan
SK
No. 76/KPTS/Db/1999 yang berjudul Menurut Pedoman Perencanaan Campuran
Beraspal Panas dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak No. 025/T/BM/1999. Di
dalamnya
terdapat
spesifikasi-spesifikasi jenis
campuran
beraspal
yang
digunakan
dalam
perkerasan
lentur.
Beberapa jenis
campuran
beraspal
dalam
spesifikasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir) kelas A dan B
Campuran
jenis
ini
ditujukan
untuk
jalan dengan
lalu
lintas
ringan,
khususnya pada daerah dimana agregat kasar sulit diperoleh. Pemilihan
kelas A
dan
B tergantung pada
gradasi pasir
yang
akan
digunakan.
Campuran
Latasir biasanya
memerlukan penambahan
filler
agar dapat
memenuhi kebutuhan sifat-sifat yang disyaratkan. Campuran jenis ini pada
umumnya memiliki daya tahan yang related rendah terhadap terjadinya alur,
oleh sebab itu tidak campuran jenis ini tidak dapat dipasang dengan lapisan
yang tebal,
pada
jalan
yang memiliki
kondisi
lalu
lintas berat,
dan pada
daerah tanjakan.
b. Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston)
Lataston
mempunyai
persyaratan kekuatan
yang
sama dengan
tipikal
yang
disyaratkan untuk aspal beton konvensional (AC)
yang bergradasi
menerus.
Lataston
terdiri
dari
dua
macam campuran,
yaitu
Lataston
Lapis
Pondasi
|
9
(HRS-Base) dan Lataston Lapis Permukaan (HRS-Wearing Course). Ukuran
maksimum agregat masing-masing campuran adalah 19 mm.
c. Lapis Aspal Beton (Laston)
Laston lebih peka terhadap variasi kadar aspal maupun variasi gradasi
agregat
jika
dibandingkan
dengan Lataston.
Aspal beton
(AC)
terdiri dari
tiga
macam campuran,
yaitu
Laston
Lapis
Aus 2
(AC-WC),
Laston
Lapis
Aus
1
(AC-BC) dan
Laston
Lapis Pondasi
(AC-Base). Ukuran
maksimum
agregat masing-masing campuran adalah 19 mm, 25,4 mm, dan 37,5 mm.
2.3
Bahan Campuran Aspal Beton
Campuran beraspal adalah kombinasi material bitumen dengan agregat
yang merupakan material umum yang digunakan pada perkerasan jalan. Material
aspal dipergunakan untuk semua jenis jalan raya dan merupakan salah satu
bagian dari lapisan beton aspal jalan raya kelas satu.
2.3.1 Agregat
Agregat
merupakan sekumpulan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau
mineral
lainnya baik
yang berasal dari alam
maupun buatan. Seringkali agregat
juga
diartikan
sebagai
suatu
bahan
untuk
yang bersifat
keras dan kaku dan
digunakan sebagai bahan pengisi campuran. Agregat dapat berupa berbagai jenis
butiran
atau
pecahan batuan,
termasuk di dalamnya
antara lain
:
pasir, kerikil,
agregat pecah, abu/debu agregat dan lain-lain.
|
10
Menurut Harold N. Atkins, (1997) beberapa tipikal ketentuan penggunaan
dalam penggambaran agregat adalah sebagai berikut :
a. Fine Aggregate (sand size/ukuran pasir) : adalah partikel-partikel agregat
yang lolos saringan no.4 sieve test (4,75 mm) dan
tertahan saringan no.
200 sieve test (0,074 mm).
b.
Coarse Aggregate
(gravel
size/ukuran kerikil) : adalah partikel-partikel
yang berukuran lebih besar dari 4,75 mm (saringan no.4 sieve test).
c. Pit run : agregat yang berasal dari pasir atau gravel pit (biji kerikil) yang
terjadi tanpa melewati suatu proses atau secara alami.
d. Crushed gravel
:
pit gravel
(kerikil dengan pasir atau batu bulat) yang
mana telah didapatkan dari salah satu alat pemecah untuk menghancurkan
banyak partikel batu yang berbentuk bulat untuk menjadikan ukuran yang
lebih kecil atau untuk memproduksi lapisan kasar.
e. Crushed rock : kepingan-kepingan dan debu atau bubuk yang merupakan
produksi dalam pemecahan dari batuan (bedrock) untuk agregat.
f.
Concrete sand : pasir yang telah dibersihkan
untuk menghilangkan debu
dan kotoran.
g. Fines
:
endapan
lumpur
(silt),
lempung
(clay)
atau
partikel
debu
lebih
kecil
dari
0,074
mm
(saringan
no.
200
sieve test). Biasanya terdapat
kotoran atau benda asing yang tidak diperlukan dalam agregat.
Menurut Buku
Petunjuk
Umum
Edisi
2008
mengenai
Manual Pekerjaan
Campuran Beraspal Panas
yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum
Direktorat
Jenderal
Bina
Marga,
terdapat ketentuan-ketentuan
yang
harus
|
11
dipenuhi
untuk bahan campuran aspal panas sehingga diperoleh campuran
rencana yang memenuhi persyaratan, ketentuan tersebut antara lain :
Tabel 2.1 Ketentuan Agregat
Ketentuan
Metode Pengujian
Analisa saringan agregat halus dan kasar
SNI 03-1968-1990
Berat jenis dan penyerapan agregat halus
SNI 03-1970-1990
Berat jenis dan penyerapan agregat kasar
SNI 03-1969-1991
Keausan terhadap abrasi dengan mesin Los
Angeles
SNI 03-2417-1991
Kelekatan agregat terhadap aspal
SNI 03-2439-1991
Sifat dan kualitas dari agregat menentukan kemampuan lapisan pemukaan
lentur
tersebut
untuk
menahan
beban
yang melintas
diatasnya
dan
menyebarkannya ke lapisan di bawahnya hingga ke permukaan tanah.
Gambar 2.2 Hot Bin I - IV
|
12
Selanjutnya dapat
dilakukan
pemilihan
gradasi
agregat
campuran.
Jenis
campuran
yang akan
digunakan
untuk
pembuatan
benda
uji
adalah
harus
memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan Departemen Pekerjaan Umum tahun
2008, seperti terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Gradasi Agregat untuk Campuran AC-WC
%
Lolos (US
Standard)
Syarat
(in)
(mm)
3/4"
19,1
100
1/2"
12,7
80 - 100
3/8"
9,6
70 - 90
#4
4,8
50 - 70
#8
2,4
35 - 50
#30
0,6
18 - 29
#50
0,3
13 - 23
#100
0,15
8 - 16
#200
0,075
4 - 10
Untuk campuran AC-WC, kombinasi
agregat dianjurkan masuk didalam
persyaratan
yang telah
ditetapkan.
Kurva
gradasi
AC-WC sesuai
spesifikasi
Departemen Pekerjaan Umum adalah sebagai berikut :
|
13
Gambar 2.3 Daerah Batasan Gradasi Agregat untuk AC-WC
Untuk memperoleh
gradasi
gabungan, digunakan metode
analitis.
Kombinasi
agregat
dari
Hot
Bin
I
IV
dan
filler
dapat
digabungkan
dengan
persamaan dasar di bawah ini.
P
A.a
B.b
C.c
D.d
E.e
100
................................................................(2.1)
Dimana :
P
=
Persen lolos agregat dengan ukuran tertentu (%)
A,B,C,D,E = Persen bahan yang lolos saringan masing-masing ukuran (%)
a,b,c,d,e
=
Proporsi masing-masing agregat yang digunakan, jumlah
total 100% (%)
Setelah didapatkan nilai a,b,c,d dan e maka proporsi masing-masing fraksi
agregat dalam campuran dapat dievaluasi.
|
14
2.3.2 Aspal
Aspal
adalah material
semen hitam,
padat
atau
setengah
padat
dalam
konsistensinya dimana unsur pokok
yang menonjol adalah bitumen yang terjadi
secara alam atau yang dihasilkan dengan penyulingan minyak.
Aspal dibuat dari minyak mentah (crude oil) dan secara umum berasal dari
sisa
organisme
laut
dan
sisa
tumbuhan
laut
dari
masa
lampau
yang
tertimbun
oleh
dam
pecahan
batu
batuan.
Pada umumnya aspal
berwarna
coklat
gelap
sampai
hitam, dan
jika dipanaskan pada suhu tertentu maka aspal tersebut akan
mencair, sedangkan pada suhu ruang bentuk aspal akan menjadi padat. Sebelum
digunakan, material aspal perlu menjalani beberapa
pengujian
yang akan
menentukan bahwa aspal
tersebut
layak
untuk
digunakan.
Beberapa pengujian
tersebut
antara
lain
uji
penetrasi,
uji
titik nyala dan
titik bakar,
uji
berat
jenis
aspal, titik lembek. Aspal yang akan digunakan pada penelitian
ini adalah aspal
PERTAMINA penetrasi 60/70.
Gambar 2.4 Aspal Pertamina Penetrasi 60/70
|
15
2.3.3 Filler
Filler dapat terdiri dari debu batu kapur (limestone dust), semen Portland,
fly ash, abu batu atau bahan non plastis lainnya yang sumbernya telah disetujui
oleh Direksi
Departemen Pekerjaan
Umum.
Fungsi
filler
dalam
campuran
beraspal adalah :
a.
Untuk memodifikasi agregat halus sehingga berat jenis campuran
meningkat dan
jumlah aspal yang
diperlukan
untuk
mengisi rongga
akan
berkurang.
b.
Filler dan aspal secara bersamaan akan membentuk suatu pasta yang akan
menyelimuti dan mengikat agregat halus untuk membentuk mortar.
c.
Mengisi ruang antar agregat halus dan kasar serta meningkatkan kepadatan
dan kestabilan dari campuran beraspal tersebut.
Tujuan
awal
filler
adalah
mengisi rongga dalam
campuran (VIM), tidak
hanya oleh bitumen tetapi
material yang lebih murah. Pada kadar aspal konstan,
penambahan filler akan memperkecil VIM.
Mineral filler dapat terjadi secara alamiah atau dapat juga dihasilkan dari
proses
pemecahan
batuan
atau
dari proses
buatan.
Mineral
ini
penting artinya
untuk mendapatkan campuran yang padat, berdaya tahan tinggi, dan kedap air.
Rencana filler
yang akan ditambahkan ke dalam campuran beraspal harus
dalam kondisi kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan, dan bila diuji dengan
pengayakan
sesuai
SNI
03-1968-1990
harus
mengandung bahan
yang lolos
ayakan
No.
200
tidak
kurang dari
75%
terhadap
beratnya.
Semua
campuran
beraspal harus mengandung filler yang akan ditambahkan tidak kurang dari 1%
|
16
dan maksimum
2% dari
berat
total
agregat.
Kondisi
akan ditentukan pula dari
beban lalu lintas
yang direncanakan akan melintas
diatas
campuran beraspal
tersebut. Pada penelitian diambil persentase filler sebesar 1,5% dengan asumsi
campuran beraspal panas akan digunakan untuk kondisi jalan dengan lalu lintas
harian normal.
2.3.3.1 Semen Portland
Semen Portland
dibuat
dari
batu
kapur (limestone) dan
mineral
lainnya,
dicampur
dan dibakar
dalam sebuah alat pembakaran hingga didapatkan bahan
material
berupa bubuk.
Bubuk
tersebut
akan
mengeras dan terjadi
ikatan
yang
sangat kuat dikarenakan suatu reaksi kimia ketika dicampur dengan air.
Kekuatan 100% dari
semen dapat
dilihat
pada campuran
beton
yang
mengeras pada umur 28
hari setelah bereaksi dengan air. Proses kimia tersebut
dinamakan
dengan
proses
hidrasi. Ketentuan
mineral
yang
paling pokok untuk
memproduksi semen Portland adalah kapur/lime
(CaO),
silika
(SiO2), alumina
(Al2O3
) dan besi oksida (Fe2
O3).
Gambar 2.5 Semen Portland Tipe I
|
17
Sedangkan sumber senyawa bahan pembuatan semen Portland dapat dilihat
pada tabel berikut
Tabel 2.3 Karakteristik Semen Portland
Tipe Semen
I
Ia
a
II
IIa
a
III
IIIa
a
IV
V
1
Rongga udara
dalam mortar
maks
%
12
22
12
22
12
22
12
12
min
%
-
16
-
16
-
16
-
-
2
Kehalusan, masing-
masing permukaan
a. turbidimeter test,
minimum
2
cm /gr
1600
1600
1600
1600
-
-
1600
1600
b. air permeability
test, minimum
2
cm /gr
2800
2800
2800
2800
-
-
2800
2800
3
Autoclave expansion
maximum
%
0,8
0,8
0,8
0,8
0,8
0,8
0,8
0,8
4
Kuat tekan
1 hari
psi
-
-
-
-
1800
1450
-
-
MPa
-
-
-
-
12,4
10
-
-
3 hari
psi
1800
1450
1500
1200
3500
2800
-
1200
MPa
12,4
10
10,3
8,3
24,1
19,3
-
8,3
7 hari
psi
2800
2250
2500
2000
-
-
1000
2200
MPa
19,3
15,5
17,2
13,8
-
-
6,9
15,2
28 hari
psi
-
-
-
-
-
-
2500
3000
MPa
-
-
-
-
-
-
17,2
20,7
5
Gilmore test :
a. initial set
menit
60
60
60
60
60
60
60
60
b. final set
jam
10
10
10
10
10
10
10
10
6
Vicat test :
a. initial set
menit
45
45
45
45
45
45
45
45
b. final set
jam
8
8
8
8
8
8
8
8
Sumber : ASTM C.150 (Harold N.Atkins, PE. 1997)
|
18
Dalam
penelitian
ini
tipe semen Portland
yang
akan
digunakan
adalah
semen Portland
tipe
I
yang
sangat
umum
digunakan
dalam
berbagai
macam
pekerjaan konstruksi.
2.3.3.2 Fly ash
Fly
ash
adalah
partikel
halus
yang merupakan
endapan
dari
tumpukan
bubuk
hasil pembakaran
batubara
yang dikumpulkan
dengan
alat
Elektrostatik
Presipirator.
Fly ash
dapat
digunakan
sebagai
material
filler
pada campuran
beraspal
karena
ukuran
partikelnya yang
sangat kecil
sehingga
dapat
berfungsi
sebagai pengisi
rongga
dan
sebagai
pengikat
aspal
beton.
Persyaratan
fly
ash
dapat
digunakan
sebagai
filler
dalam
campuran
beraspal
adalah
fly ash
harus
berada dalam kondisi kering dan bebas dari berbagai
macam bahan
yang dapat
mengganggu hasil campuran beraspal.
Karakteristik fly ash :
1.
Jumlah persentase yang lolos saringan No. 200 (0,074 mm) berkisar di
antara 60% sampai 90%. Hal ini
disebabkan karena ukuran partikel
fly
ash yang sangat halus.
2. Warna dari fly ash bervariasi dari abu-abu sampai hitam, tergantung dari
jumlah kandungan
karbonnya.
Semakin
terang
warnanya
maka akan
semakin rendah pula kandungan karbonnya.
3. Fly ash bersifat tahan air (hydrophobic).
4. Komponen utama dari fly ash adalah
silicon
(S
i
), alumunium (Al), besi
(F
e
), dan kalsium (C
a
) dengan variasi kandungan karbon.
|
19
Fly
ash
dibedakan
menjadi
2
kelas,
yaitu
kelas
F
dan
kelas
C
dimana
perbedaan antara kelas F dengan kelas C terdapat pada tabel berikut :
Tabel 2.4 Kandungan Mineral fly ash
Kandungan mineral fly ash
Kelas F
Kelas C
Silikon Dioksida (SiO2) + Alumunium Oksida
(Al2
O3
) + Besi Oksida (Fe2
O3), minimal
70%
50%
Sulfur Trioksida (SO3), maksimal
5%
5%
Kalsium Oksida (CaO)
1%-12%
30%-40%
Sumber: Annual Book of ASTM Standard Volume 04.02 Standard Specification for Fly Ash and Raw or
Calcined Natural Pozzolans for Use as a mineral Admixture in Portland Cement Concrete, 1994.
Gambar 2.6 Fly ash Kelas F
Pada penelitian
ini, material
fly ash yang akan
digunakan adalah fly ash
kelas F.
2.4
Karakteristik Campuran Aspal Beton
Menurut
Silvia Sukirman (2003),
Terdapat
tujuh karakteristik
campuran
yang
harus
dimiliki
oleh campuran aspal beton,
diantaranya adalah
stabilitas,
|
20
keawetan, kelenturan atau fleksibilitas, ketahanan terhadap kelelahan (fatigue
resistance), ketahanan geser, kedap air dan kemudahan pelaksanaan di lapangan
(workability).
1.
Stabilitas
adalah
kemampuan
perkerasan
jalan
menerima beban
kendaraan tanpa terjadi perubahan bentuk (bergelombang) dan bleeding.
Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan
fungsi dari jalan
itu sendiri
dan beban lalu lintas yang akan melintas diatasnya. Jalan yang melayani
volume
lalu
lintas
yang tinggi
dan
mayoritas
kendaraan
berat
akan
membutuhkan tingkat stabilitas yang cukup tinggi.
2. Keawetan atau durabilitas adalah kemampuan aspal beton untuk
menerima repetisi beban
lalu
lintas seperti berat kendaraan dan
gesekan
antara roda kendaraan dengan permukaan jalan, serta juga dapat menahan
keausan akibat pengaruh cuaca atau
iklim. Durabilitas aspal dipengaruhi
tebal
lapisan film
atau selimut
aspal, banyaknya
pori dalam campuran,
kepadatan dan kedap air suatu campuran beraspal.
3.
Kelenturan atau fleksibilitas
adalah kemampuan aspal beton
untuk
menyesuaikan diri akibat penurunan (konsolidasi/settlement) dari pondasi
atau tanah dasar. Penurunan tersebut dapat terjadi karena repetisi beban
lalu lintas ataupun akibat beban sendiri tanah timbunan yang berada
diatas tanah asli.
4.
Ketahanan
terhadap
kelelahan
(fatigue resistance) adalah
kemampuan
campuran beraspal untuk menerima lendutan berulang akibat repetisi
|
21
beban,
tanpa
terjadinya
kelelahan
berupa
alur
dan
retak. Hal
ini
dapat
tercapai dengan menggunakan kadar aspal yang tinggi.
5.
Ketahanan
terhadap
geser adalah
kemampuan
permukaan
aspal
beton
terutama pada
kondisi
basah
untuk
memberikan
gaya
gesek
sehingga
kendaraan tidak tergelincir atau selip. Untuk menghasilkan kekesatan
jalan yang baik diperlukan faktor-faktor seperti kekasaran permukaan
dari
butiran
agregat,
luas
bidang kontak
antar
butiran
agregat,
gradasi
agregat, kepadatan campuran dan tebal lapisan film aspal.
6. Kedap air adalah kemampuan aspal beton menahan resapan air dan udara
melalui
lapisan permukaan. Air dan udara
dapat
mengakibatkan
percepatan proses
penuaan aspal
dan pengelupasan selimut
aspal dari
permukaan agregat.
7. Workability adalah suatu tingkat pelaksanaan campuran aspal beton untuk
dihamparkan
dan
dipadatkan. Kemudahan
pelaksanaan
menentukan
tingkat efisiensi pekerjaan.
Ketujuh karakteristik tersebut
tidak mungkin
dapat
terpenuhi
dalam satu
campuran. Pemilihan karakteristik aspal
yang dominan dipengaruhi
fungsi dan
kelas jalan
itu
sendiri,
sehingga perlu diperhatikan
pada saat
merancang
tebal
perkerasan jalan.
2.5
AC-WC (Asphalt Concrete Wearing Course)
Aspal beton adalah jenis perkerasan jalan yang terdiri dari campuran
agregat halus, agregat kasar dan aspal, dengan atau tanpa bahan tambahan.
|
22
Material-material
pembentuk
aspal
beton
dicampur
pada suhu yang ditentukan
berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan. Pada umumnya suhu pencampuran
campuran beraspal dengan menggunakan semen Portland mencapai 145-155°C,
sehingga disebut juga campuran panas (hotmix).
Salah satu produk campuran beraspal yang kini banyak digunakan adalah
AC-WC
(Asphalt Concrete
Wearing
Course)
/
Lapis
Aus
Aspal
Beton.
Penggunaan AC-WC untuk lapis permukaan dalam struktur perkerasan, memiliki
tekstur
yang paling halus
dibandingkan
jenis
lapis
aspal
beton
lainnya.
Pada
campuran
laston
yang bergradasi
menerus
tersebut
mempunyai
sedikit rongga
dalam
struktur agregatnya
dibandingkan
dengan
campuran
bergradasi senjang.
Hal tersebut menyebabkan campuran AC-WC lebih peka terhadap variasi dalam
proporsi campuran.
2.6
Metode Pengujian Laboratorium
Rancangan
campuran beraspal
bertujuan
untuk mendapatkan
komposisi
campuran
dari
material
yang direncanakan
akan
digunakan,
sehingga
pada
akhirnya
akan
menghasilkan
campuran
beraspal
yang memenuhi
spesifikasi
campuran
yang telah ditetapkan. Saat ini, metode perancangan untuk campuran
beraspal
di
Indonesia
pada umumnya
menggunakan
metode Marshall
dengan
melakukan pengujian empiris dengan menggunakan alat tes Marshall.
Metode perancangan
berdasarkan
pengujian
empiris
terdiri
dari 4
tahap,
yaitu :
|
23
1.
Menguji sifat
agregat
dan
aspal
yang akan
digunakan
sebagai
bahan dasar
campuran.
2.
Rancangan
campuran
di
laboratorium
yang menghasilkan
rumus campuran
rancangan.
3.
Kalibrasi
hasil
rancangan
campuran
ke
instalasi
pencampur
yang akan
digunakan.
4. Berdasarkan hasil kedua tahap di atas, dilakukan percobaan produksi di
instalasi pencampur, dilanjutkan dengan penghamparan dan pemadatan dari
hasil campuran percobaan.
Rancangan campuran berdasarkan metode Marshall ditemukan oleh Bruce
Marshall,
dan
telah
distandarisasi
oleh ASTM
maupun AASTHO melalui
beberapa modifikasi , yaitu ASTM D 1559-76, atau AASTHO T-245-90. Prinsip
dasar
dari
metode Marshall adalah
pemeriksaan stabilitas dan kelelehan (flow),
serta analisis kepadatan dan pori dari campuran padat yang terbentuk.
Langkah-
langkah rancangan campuran metode Marshall adalah:
a.
Mempelajari spesifikasi gradasi agregat campuran
yang diinginkan
dari spesifikasi campuran pekerjaan.
b.
Merancang proporsi dari masing-masing fraksi agregat yang tersedia
untuk mendapatkan agregat campuran dengan gradasi sesuai butir.
c.
Menentukan kadar aspal total dalam campuran.
d.
Membuat benda uji atau briket beton aspal.
|
24
e.
Melakukan penimbangan
terhadap benda
uji tersebut, dalam
hal
ini
ada 3 macam penimbangan, yaitu ditimbang: dalam keadaan kering,
dalam air, dalam keadaan basah (SSD).
f.
Melakukan perendaman benda
uji didalam waterbath dengan suhu
60°C selama 30 menit.
g.
Melakukan uji Marshall untuk mendapatkan stabilitas dan kelelahan
(flow) benda uji.
h.
Menghitung parameter
Marshall
yaitu
AV,
VMA,
VFA,
Stabilitas
dan
Flow
sesuai
dengan
parameter
yang ada
pada
spesifikasi
campuran.
i.
Menggambarkan hubungan antara kadar aspal dan parameter
Marshall.
j.
Menentukan
nilai kadar aspal optimum dari
hubungan
antara kadar
aspal dan parameter Marshall.
k.
Menghasilkan rumus rancangan campuran
Penggunaan aspal harus memperhatikan hal-hal berikut:
Suhu saat aspal
mulai
menyala.
Hal
ini terkait dengan batas
pemanasan izin dengan tanpa menimbulkan bahaya kebakaran.
Suhu pada
saat
aspal
mulai
meleleh. Hal
ini
terkait dengan
proses
pencampuran, penghamparan dan pemadatan.
Penetrasi
aspal.
Hal
ini
terkait
dengan
dengan
lokasi
penggunaan
aspal, jenis struktur.
|
25
Kehilangan berat akibat pemanasan, hal ini terkait dengan
pencegahan kerapuhan aspal.
Kekerasan
aspal
dinyatakan
dengan
angka penetrasinya.
Semakin
besar
angka penetrasinya,
maka tingkat
kekerasannya
makin
rendah.
Sebagai
bahan
untuk
campuran
perkerasan,
aspal
harus mempunyai
kinerja,
kekuatan
dan
keawetan yang memadai. Oleh karena itu, pemilihan jenis aspal harus meninjau
dari segi jenis, sifat dan
maksud penggunaan yang terkait dengan
syarat teknis
dan kondisi di lapangan.
Metoda kepadatan mutlak dan uji durabilitas diabaikan pada penelitian kali
ini, dengan anggapan bahwa lapisan AC-WC dihampar pada keadaan lalu lintas
belum melintas diatas lapisan tersebut dan tidak ada air yang menggenangi
lapisan AC-WC tersebut.
2.7
Parameter dan Formula Perhitungan
Parameter-parameter dan
formula untuk
menganalisa campuran
aspal
panas adalah sebagai berikut :
2.7.1
Kadar Aspal Rencana
Perkiraan awal kadar aspal optimum dapat direncanakan setelah
dilakukan pemilihan dan penggabungan pada tiga fraksi agregat. Perhitungannya
adalah sebagai berikut :
|
26
P
b
=
0,035(%CA) + 0,045(%FA) + 0,18(%FF) + K...........................................(2.2)
Dimana :
P
b
=
Perkiraan kadar aspal optimum
CA
=
Nilai persentase agregat kasar
FA = Nilai persentase agregat halus
FF = Nilai persentase filler
K
=
Konstanta (0,5 1,0 untuk campuran Laston)
2.7.2
Berat Jenis Bulk dan Apparent dari total agregat
Agregat
total
terdiri
atas
fraksi-fraksi
agregat
kasar, agregat
halus
dan
filler, yang masing-masing memiliki
berat
jenis
yang berbeda, baik berat jenis
kering (bulk specific gravity) dan berat
jenis
semu
(apparent
specific gravity).
Setelah didapatkan kedua macam berat
jenis pada masing-masing agregat pada
pengujian material agregat, maka berat jenis total agregat tersebut dapat dihitung
dalam persamaan berikut :
1. Berat jenis kering (bulk specific gravity) dari total agregat
G
sb
P
1
P
2
P
3
....
P
n
P
1
G
sb1
P
2
G
sb 2
P
3
G
sb 3
....
P
n
G
sb
n
.........................................................(2.3)
Dimana :
G
sb
=
Berat jenis kering agregat gabungan
|
27
G
sb1
, G
sb2,..
G
sbn
=
Berat jenis kering dari masing-masing agregat
P1
, P2, P3
,..
P
n
=
Persentase berat dari masing-masing agregat (%)
2. Berat jenis semu (apparent specific gravity) dari total agregat.
G
sa
P
1
P
2
P
3
....
P
n
P
1
G
sa1
P
2
G
sa 2
P
3
G
sa 3
....
P
n
G
sa
n
.........................................................(2.4)
Dimana :
G
sa
=
Berat jenis semu agregat gabungan
G
sa1
, G
sa2,..
G
san
=
Berat jenis semu dari masing-masing agregat
P1
, P2, P3
,..
P
n
=
Persentase berat dari masing-masing agregat (%)
2.7.3
Berat Jenis Efektif Agregat
Berat
jenis efektif total
agregat dapat ditentukan
dengan
menggunakan
persamaan dibawah ini :
G
se
G
sb
G
sa
2
...........................................................................................................(2.5)
Dimana :
G
se
=
Berat jenis efektif
G
sb
=
Berat jenis kering agregat
G
sa
=
Berat jenis semu agregat
|
28
2.7.4
Penyerapan Aspal
Penyerapan aspal
dinyatakan dalam persen
terhadap berat
agregat total.
Perhitungan penyerapan aspal (P
ba
) adalah sebagai berikut :
G
se
G
sb
P
ba
100
G
b
G
se
G
sb
.....................................................................................(2.6)
Dimana :
P
ba
=
Penyerapan aspal, persen total agregat (%)
G
sb
=
Berat jenis kering agregat
G
se
=
Berat jenis efektif agregat
G
b
=
Berat jenis aspal
2.7.5 Void in the Mineral Aggregate (VMA)
VMA, rongga dalam agregat mineral. Adalah rongga antar partikel
agregat
pada
campuran padat termasuk
rongga
udara dan
kadar
aspal
efektif,
dinyatakan
dalam persen
volume
total.
VMA
dihitung berdasarkan
Berat
jenis
agregat
curah
(bulk) dan
dinyatakan
dalam
persentase
dari
volume
curah
campuran padat. Jika komposisi campuran ditentukan sebagai persen berat dari
campuran total, maka VMA dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
G
P
VMA
100
mb
s
.............................................................................................(2.7)
G
sb
Dimana :
VMA
=
Rongga udara pada mineral agregat (%)
G
mb
=
Berat jenis curah campuran padat
|
29
P
s
=
Agregat, persen berat total campuran
G
sb
=
Berat jenis kering agregat
2.7.6
Void in the Compacted Mixture (VIM)
Rongga udara (VIM) dalam campuran padat terdiri atas ruang-ruang kecil
antara partikel agregat terselimuti aspal. Rongga udara
dihitung dengan
persamaan sebagai berikut:
100
G
G
Rongga
Udara
(VIM )
mm
mb
................................................................(2.8)
G
mm
Dimana :
VIM
=
Rongga udara pada campuran setelah pemadatan (%)
G
mm
=
Berat jenis maksimum campuran ( tidak ada rongga udara )
G
mb
=
Berat jenis curah campuran padat
2.7.7
Void Filled with Asphalt (VFA)
VFA adalah rongga udara terisi aspal, merupakan persentase rongga antar
agregat
pertikel
(VMA)
yang
terisi
aspal.
VFA, tidak termasuk
aspal
yang
terserap agregat, dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
100
VMA
VIM
VFA
VMA
........................................................................................(2.9)
Dimana :
VFA
=
Rongga udara yang terisi aspal (%)
VIM
=
Rongga udara dalam campuran padat (%)
|
30
VMA
=
Rongga dalam agregat mineral (%)
2.7.8
Kepadatan (Density)
Density adalah
tingkat kepadatan dari suatu campuran aspal
yang telah
dipadatkan. Density dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Density
P / G
100
100
P
/
G
......................................................................(2.10)
a
b
a
sb
Dimana :
P
a
=
Kadar aspal ( % )
G
b
=
Berat jenis curah aspal
G
sb
=
Berat jenis kering agregat
2.7.9
Stabilitas
Nilai stabilitas
diperoleh berdasarkan
nilai
masing-masing
yang
ditunjukkan pada jarum dial.
Untuk nilai stabilitas, nilai yang ditunjukkan pada
jarum dial perlu dikonversikan terhadap alat Marshall. Selain itu pada umumnya
alat
Marshall
yang digunakan
mempunyai
satuan
Lbf
(pound
force),
sehingga
harus disesuaikan terhadap satuan kilogram. Selanjutnya nilai tersebut juga harus
disesuaikan dengan angka koreksi terhadap ketebalan atau volume benda uji.
2.7.10 Flow
Seperti
halnya untuk
memperoleh nilai
stabilitas,
nilai
flow
diperoleh
berdasarkan
nilai
yang
ditunjukkan
oleh jarum
dial. Hanya saja untuk
alat
uji
|
31
jarum dial flow
biasanya
sudah dalam
satuan
millimeter (mm), sehingga tidak
perlu dikonversikan lebih lanjut.
2.7.11 Marshall Quotient (MQ)
Marshall
Quotient (MQ)
merupakan
hasil pembagian dari stabilitas
dengan kelelehan. Sifat Marshall tersebut dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan :
MQ
MS
MF
....................................................................................................................(2.9)
Dimana :
MQ
=
Marshall Quotient (kg/mm)
MS
=
Marshall Stability (kg)
MF
=
Marshall Flow (mm)
|