BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1. Remaja Akhir
Menurut Mar’at (2006) di negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan
adolescence
” yang
berasal
dari
kata
dalam
bahasa
Latin
“adolescere”
(kata
bendanya adolescentia, yang artinya remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa
atau dalam perkembangan menjadi dewasa.
Sarwono
(2003)
mengemukakan
remaja
adalah
individu
yang berkembang
pada saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat
ia   mencapai   kematangan 
seksual,   individu   yang   mengalami   perkembangan
psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menuju dewasa, dan individu yang
mengalami peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menjadi suatu kemandirian.
Bangsa primitif – demikian pula orang-orang zaman purbakala – memandang
masa
puber
dan
masa
remaja
tidak
berbeda
dengan
periode-periode lain
dalam
rentang
kehidupan, anak
dianggap
sudah
dewasa
apabila
sudah
mampu
mengadakan reproduksi
(dalam
Hurlock,
1999).
Perubahan biologis,
kognitif,
dan
sosial-emosional yang
terjadi
di
masa
remaja
berkisar
dari
perkembangan
fungsi
seksual, proses berpikir abstrak sampai kepada kemandirian.
2.1.1. Batasan Remaja
Rentang usia
individu sebagai remaja berbeda-beda. Menurut papalia et
al.
(2004), individu pada masa remaja berusia antara 11 tahun sampai dengan 20 tahun.
Sedangkan, Sarwono (2003) mengemukakan bahwa usia remaja berkisar antara 13
tahun sampai dengan 19 tahun, namun definisi remaja untuk masyarakat Indonesia
  
adalah individu yang berusia antara 11 tahun sampai dengan 20 tahun. Dan menurut
Dirgagunarsa dan Dirgagunarsa (2000), usia
remaja yakni
antara 12 tahun sampai
dengan 21 tahun.
Papalia (2008) membagi masa remaja menjadi 2 bagian, yaitu masa remaja
awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung kira-kira dari 11 tahun
atau 12 tahun sampai 14 tahun. Masa remaja akhir berlangsung kira-kira 15 tahun
sampai 20 tahun.
Minat
pada
karir,
pacaran,
dan
eksplorasi identitas
seringkali
lebih
nyata
dalam masa remaja akhir ketimbang dalam masa remaja awal. Gunarsa & Gunarsa
(2006) mengatakan remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa
dewasa, masa
remaja
akhir
berusia
sekitar
17
tahun
6
bulan-22 tahun.
Menurut
Hurlock (1991) remaja artinya tumbuh atau
tumbuh mencapai kematangan, remaja
akhir menurut Hurlock pada wanita 17-21 tahun dan pria 17 tahun 6 bulan-21 tahun.
Santrock
(2003)
mengungkapkan masa
remaja
akhir
(
late
adolescence
)
menunjuk pada kira-kira setelah usia 15 tahun. Mar’at (2006) dan Monks, dkk (2002)
menyimpulkan bahwa remaja akhir berusia antara 18-21 tahun. Kurun waktu masa
remaja
menurut
Witherington (dalam
Rumini
dan
Sundari,
2004)
late
adolesence
berusia antara 15-18 tahun.
Masa remaja akhir menurut
Mappiare (1982) berusia
17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun.
2.1.2. Perkembangan Remaja
Perubahan-perubahan pada remaja
berlangsung secara
terus-menerus
dan
ditandai
oleh
adanya perubahan
dalam
aspek
biologis,
kognitif,
psikologis, sosial
serta moral dan spiritual (Geldard & Geldard, 2000).
  
Perubahan biologis
meliputi
perubahan fisiologis,
perubahan hormon
dan
perilaku seksual, serta perubahan emosional akibat adanya perubahan biologis dan
perubahan
hormon
seksual.
Perubahan
kognitif
meliputi
peningkatan abstrak,
kecenderungan egosentris untuk menjadi pusat perhatian, dan adanya peningkatan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Perubahan psikologis meliputi pembentukan
identitas baru, perubahan
fungsi
identitas
diri,
awal
proses
inviduasi,
pemahaman
pengalaman
baru
dalam
hidup,
penghayatan etnis
dan
upaya
penyesuaian diri.
Perubahan sosial mencakup upaya pemenuhan peran sosial, pemenuhan harapan
orang tua dan teman sebaya, serta usaha menjalani peran remaja sesuai dengan
lingkungannya.
Pada
periode
ini
juga berlangsung
perubahan
moral dan
spiritual,
dan biasanya muncul dorongan untuk mulai berafiliasi dengan kepercayaan tertentu
(Geldard & Geldard, 2000).
Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi
terjadi pada kepribadian remaja: (1) terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam
kehidupannya dan
(2)
tercapainya
identitas
peran,
kurang
lebih
dengan
cara
menggabungkan motivasi,
nilai-nilai,
kemampuan,
dan
gaya
yang
dimiliki
remaja
dengan peran yang dituntut dari remaja. (Santrock, 2003).
2.1.2.1. Perkembangan Biologis
Menurut
Papalia
(2001),
perubahan fisik
yang terjadi pada remaja
adalah
terjadinya
adolescent growth
spurt.
Adolescent growth
spurt
adalah
peningkatan
secara tajam pada tinggi dan berat badan yang diikuti kematangan seksual. Hal ini
terjadi karena masa puber yang dimulai peningkatan produksi hormon seksual.
Menurut
Sarlito
(dalam
Yunita,
2002)
menyatakan bahwa
perubahan-
perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja merupakan gejala primer, sedangkan
  
perubahan-perubahan psikologis muncul sebagai akibat
dari peribahan-perubahan
fisik fisik tersebut.
Hurlock (1999) membagi perubahan fisik pada remaja menjadi 2 (dua) jenis
perubahan, yaitu perubahan eksternal dan perubahan internal. Perubahan eksternal
meliputi
perubahan tinggi,
berat,
proporsi
tubuh,
organ
seks
dan
ciri-ciri
seks
sekunder.
Perubahan
internal
meliputi
perubahan
di
sistem
pencernaan, system
peredaran darah, system pernapasan, system endokrin dan jaringan tubuh.
2.1.2.2. Perkembangan Kognitif
Masa remaja berada pada tahap ke-empat dari teori
perkembangan kognitif
Piaget
dan
yang terakhir, yaitu
tahap
operasional formal.
Pada tahap
ini,
remaja
individu lebih melampaui pengalaman konkrit dan berpikir dalam istilah yang abstrak,
remaja menciptakan bayangan situasi ideal (dalam Santrock, 2007).
Remaja
mulai
berpikir
seperti
ilmuwan,
menyusun rencana
pemecahan
masalah
dan
secara sistematis menguji cara-cara
pemecahan yang dipikirkannya.
Jenis proses pemecahan ini diberi nama penalaran hipotetikal-deduktif
(hypothetical-
deducative  reasoning). Penalaran hipotetikal-deduktif  ialah kemampuan kognitif
untuk mengembangan hipotesis, atau
memperkirakan cara
memecahkan masalah.
Remaja
melakukan
deduksi
secara
sistematis,
atau
menyipulkan cara
melakukan
persamaan tersebut (dalam Santrock, 2003).
2.1.2.3. Perkembangan Emosional
Hurlock
(1999)
menyatakan bahwa
keadaan
emosi
remaja
berada
pada
periode badai dan tekanan (
storm and stress
)
yaitu suatu masa di mana ketegangan
emosi  meninggi 
sebagai 
akibat 
dari   perubahan 
fisik 
dan 
kelenjar. 
Adapun
  
meningginya emosi
terutama karena
para remaja berada
di bawah
tekanan sosial
dan
menghadapi
kondisi
dan
harapan
baru.
Keadaan
ini
menyebabkan remaja
mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Tidak semua
remaja
mengalami
storm
dan stress
.
Namun
sebagian besar
remaja
mengalami
ketidakstabilan dari
waktu
ke
waktu
sebagai
konsekuensi
dari
usaha
penyesuaian
diri
pada
pola
perilaku
baru
dan
harapan
sosial
yang
baru
(dalam
Hurlock,
1999).
Meskipun emosi
remaja
seringkali
sangat
kuat,
tidak
terkendali dan tampaknya irasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi
perbaikan perilaku emosional (dalam Hurlock, 1999).
Perbedaan pola emosi remaja dan anak-anak terletak pada rangsangan yang
membangkitkan emosi
dan
derajat,
dan
khususnya
pada
pengendalian
latihan
individu
terhadap
ungkapan emosi
mereka.
Remaja
tidak
lagi
mengungkapkan
amarahnya dengan
cara gerakan amarah yang
meledak-ledak, melainkan dengan
menggerutu, tidak
mau
berbicara, atau dengan suara keras mengritik orang-orang
yang menyebabkan amarah (dalam Hurlock, 1999).
Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa
remaja
tidak
”meledakkan”
emosinya
di
harapan
orang
lain
melainkan
menunggu
saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara
yang
lebih
dapat
diterima, individu
menilai situasi
secara
kritis
terlebih
dahulu
sebelum bereaksi secara emosional (dalam Hurlock, 1999).
Bila remaja ingin
mencapai kematangan
emosi, ia
harus belajar
mengenai
katarsis
emosi
untuk
menyalurkan
emosinya.
Adapun cara
yang
dilakukan
adalah
latihan fisik
yang
berat,
bermain
atau
bekerja, tertawa
atau menangis. Akhirnya,
remaja
yang
emosinya
matang
memberikan
reaksi
emosional
yang
stabil,
tidak
  
berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain (dalam
Hurlock, 1999).
2.2. Identitas Diri
Menurut Erikson (dikutip oleh Corsini, 2002), identitas adalah suatu perasaan
tentang menjadi seseorang yang sama, perasaan tersebut melibatkan sensasi fisik
dari
tubuh,
body
image
,
tujuan,
nilai-nilai,
dan
pengalaman yang
dimiliki
oleh
seseorang,
suatu
perasaan
yang
berhubungan dengan
rasa
keunikan
dan
kemandirian.
Marcia (dikutip oleh papalia et al., 1998) juga telah mendefinisikan identitas
sebagai
konstruksi diri
dan
organisasi
dinamis
atas
dorongan,
kemampuan,
kepercayaan, dan sejarah diri yang berlangsung secara internal.
Identitas dapat dikatakan sebagai gabungan dari motivasi, nilai, kemampuan
dan gaya remaja yang sesuai dengan tuntutan peran yang diletakan pada remaja
(dalam Santrock, 2008).
Erikson
(dalam
Hurlock,
1999)
menyebutkan bahwa tugas
terpenting bagi
remaja
adalah
mencapai identitas diri
yang
lebih
mantap
melalui
pencarian dan
eksplorasi
terhadap
diri
dan
lingkungan sosial.
Perubahan biologis
pada
remaja
menyebabkan perubahan dalam ekspektasi atau harapan sosial pada mereka. Pada
masa
ini
sebenernya
diharapkan
bahwa
remaja
dapat
mengintegrasikan suatu
perasaan konsistensi dalam hidup (
a
sense of consistency
)
dengan diri mereka serta
menemukan identitas peran mereka (Santrock, 1998).
Usia
remaja
berada pada
situasi
stadium
identity
diffusion
atau
role-
confusion.
Stadium
identity diffusion
yaitu keadaan dimana seseorang tidak mampu
menemukan identitas sesungguhnya, menemukan peran (George, 2006).
Menurut
  
Erikson (dalam Hurlock, 1997), identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk
menjelaskan siapa dirinya.
Achievement
dalam
konteks
psikologi
umum
berarti
penyelesaian atau
pencapaian yang diperoleh seseorang terhadap tujuan
yang telah ditargetkan oleh
seseorang itu sendiri atau oleh masyarakat (dalam Corsini, 2002).
Menurut
Handayani
(2000),
proses pengenalan
diri akan
lebih
tampak
dan
sering ditemui pada remaja, karena dalam rentang perkembangan manusia, remaja
sedang berada dalam pencarian identitas diri. Pengenalan diri merupakan salah satu
wahana
untuk
mencapai
tujuan
hidup.
Seseorang
hendaknya
melakukan
upaya
untuk
mengenali
kekuatan
dan
kelemahan diri
sehingga
menyadari ”siapa
saya”.
Setelah   seseorang   menemukan   jati   dirinya,   maka   pertanyaan   selanjutnya
adalah ”saya ingin menjadi siapa”, sehingga arah hidupnya akan jelas.
Menurut
teori
perkembangan yang
dikemukakan
oleh
Erik
Erikson (1968),
masa
remaja
ada
pada
tahap
di
mana
krisis
identity versus
identity
confusion
(identitas versus difusi identitas) harus diatasi. (Santrock, 2003).
Identity
versus
identity
confusion
merupakan
tahap
perkembangan
Erikson
yang ke-lima yang terjadi pada saat individu berada pada masa remaja. Pada tahap
ini,
remaja
berusaha
untuk
menemukan
siapakah
mereka
sebenarnya,
apa
saja
yang ada dalam diri mereka, dan arah mereka dalam menjalani hidup. Erikson yakin
bahwa remaja menghadapi sejumlah pilihan dan
pada titik
tertentu di
masa muda
akan memasuki suatu masa
psychological moratorium
(Santrock, 2003)..
Psychological
moratorium
adalah
istilah
Erikson untuk
kesenjangan
antara
rasa
aman
di
masa
kanak-kanak dengan
otonomi
individu dewasa
yang
dialami
remaja
sebagai
bagian
dari
eksplorasi identitas
mereka.
Ketika
remaja
mengeksplorasi dan mencari identitas budayanya, remaja seringkali bereksperimen
  
dengan
peran-peran yang
berbeda.
Penting
bagi
para
orang
dewasa
untuk
memberikan waktu dan kesempatan bagi remaja untuk mengeksplorasi peran-peran
dan kepribadian yang berbeda. Pada akhirnya remaja akan membuang peran-peran
yang tidak diharapkan. Ada beratus-ratus peran yang dapat dicoba oleh remaja, dan
mungkin juga
banyak cara
untuk bisa
memperoleh setiap peran (Santrock, 2003).
Erikson meyakini bahwa di masa remaja akhir, peran dalam dunia kerja merupakan
titik pusat dari perkembangan identitas (Santrock, 2003).
Remaja
yang
berhasil
menghadapi
dengan
identitas-identitas yang
saling
bertentangan akan mendapatkan pemikiran yang baru dan dapat diterima mengenai
dirinya (Santrock, 2003).
Goethals and Klos (dalam Dacey & Kenny, 1997) berpendapat bahwa krisis
identitas datang
hanya pada masa
remaja
akhir.
Pencarian identitas
ego
itu
tidak
dimulai
dan
tidak
berakhir
pada
usia
remaja
(pencarian
identitas
ego
ada
sejak
tahap
bayi
sampai
tahap
tua),
krisis
antara
identitas
dengan
kekacauan identitas
mencapai puncaknya pada tahap remaja ini (Alwisol, 2008). Pembentukan tersebut
dimulai dengan munculnya keterikatan (
attachment
), perkembangan suatu pemikiran
mengenai
diri,
dan
munculnya
kemandirian
di
masa
kanak-kanak, dan
mencapai
fase
terakhir
dengan
pemikiran
kembali
mengenai
hidup
dan
pengintegrasian
di
masa
tua.
Perkembangan identitas
terjadi
secara
sedikit-sedikit.
Keputusan
tidak
dibuat sekali saja
untuk
seterusnya, namun harus
dibuat lagi dan lagi
(Santrock,
2003).
Menurut
Gunarsa
(2008),
krisis
identitas
sering
terjadi
pada
anak
karena
tokoh model yang bisa ditiru oleh anak menjadi kabur, dengan akibat anak mencari
model di luar rumah yang seringkali malah menyesatkan.
Remaja
yang
tidak
berhasil
menyelesaikan krisis
identitasnya
akan
mengalami yang disebut oleh Erikson sebagai
identity confusion
(kebimbangan akan
  
identitasnya).
Kebimbangan tersebut
bisa
menyebabkan dua
hal:
penarikan
diri
individu, mengisolasi dirinya dari teman sebaya dan keluarga, atau meleburkan diri
dengan dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya (Santrock, 2003).
Kekuatan dasar
yang
muncul
dari
krisis
identitas
pada
tahap
adolesen adalah
kesetiaan (
fidelity
);
yaitu setia
dalam
beberapa
pandangan
idiologi
atau
visi masa
depan. Kekuatan dasar kepercayaan yang diperoleh semasa infantil menjadi dasar
fidelity
masa remaja. Remaja harus belajar mempercayai orang lain sebelum mereka
mempercayai pandangan masa
depannya sendiri.
Mereka harus
mengembangkan
virtue
hope
selama masa bayi, kemudian harus diikuti dengan kekuatan dasar yang
lain  –  kemauan,  tujuan,  dan  kompetensi.
Semuanya  menjadi  prasyarat 
fidelity
,
seperti juga
fidelity
menjadi prasyarat perkembangan berikutnya (Alwisol, 2008).
Erikson
(dikutip
oleh
Wallace,
1993),
mengemukakan bahwa
remaja
yang
memiliki rasa
identitas yang
positif akan
mampu membuat karir, nilai-nilai, dan
hal
lain
yang
dapat diterima secara sosial
dan hal
tersebut
akan
dapat
diekspresikan
secara
pribadi
oleh
remaja
tersebut.
Rendahnya
kompetensi
yang
remaja
miliki,
yang
dapat
dihubungkan dengan
rendahnya
harga
diri
mereka,
juga
merupakan
suatu
hal yang
harus
mereka
hadapi berkaitan dengan
identitas
mereka.
Remaja
yang
merasa
gagal
atau
tidak
mampu
untuk
memenuhi identitas
peran
yang
dibebankan  kepada  mereka  akan  memilih  jalan  pengembangan  identitas  yang
negatif (Gunarsa, 2006).
2.2.1. 
Jenis-jenis Identitas Diri
Menurut James Marcia dan Watterman (dalam Santrock, 2003), identitas diri
merujuk
kepada
“pengorganisasian atau
pengaturan
dorongan-dorongan,
kemampuan-kemampuan  dan  keyakinan-keyakinan  ke 
dalam  citra 
diri 
secara
  
konsisten  yang  meliputi  kemampuan  memilih  dan  mengambil  keputusan  baik
menyangkut pekerjaan, orientasi seksual dan filsafat hidup.
James
Marcia
(dalam
Santrock, 2003),
seorang
peneliti
yang
beraliran
Eriksonian,
meyakini
bahwa
teori
perkembangan identitas
Erikson
mengandung
empat status identitas, atau cara-cara untuk mengatasi krisis identittas. Hal-hal yang
ada pada krisis dan komitmen remaja digunakan untuk mengklasifikasikan seorang
individu
berdasarkan salah
satu
dari
empat
identitas.
Krisis
disini
didefinisikan
sebagai
suatu
masa
perkembangan identitas
di
mana
remaja
memilah-milah
alternatif-alternatif
yang
berarti
dan
tersedia.
Komitmen
merupakan
suatu
bagian
dari perkembangan
identitas
di
mana
remaja
menunjukan adanya
suatu investasi
pribadi pada apa yang akan mereka lakukan.
Santrock (2003)  mendefinisikan krisis sebagai suatu periode perkembangan
identitas
selama
dimana
remaja
masih
memilih
diantara
pilihan-pilihan yang
bermakna.
Beberapa
peneliti  biasa  menyebutnya
dengan  eksplorasi
dan  bukan
krisis. Komitmen adalah sebagai bagian dari perkembangan identitas dimana remaja
memperlihatkan suatu
tanggung
jawab
pribadi
terhadap
apa
yang
akan
mereka
lakukan. Keempat status identitas tersebut adalah:
i. 
Identity
diffusion
merupakan istilah
yang
digunakan remaja
yang
belum pernah
mengalami
krisis
(sehingga
mereka
belum
pernah
mengeksplorasi adanya
alternatif-alternatif yang
berarti)
atau
membuat
suatu
komitmen.
Selain
tidak
mampu membuat keputusan mengenai pekerjaan dan ideologi, remaja pada status
ini juga tidak menunjukkan adanya minat pada kedua hal tersebut.
ii. 
Identity
foreclosure
adalah istilah
yang
dipakai
Marcia untuk
remaja
yang
telah
membuat suatu komitmen namun belum pernah mengalami krisis. Status ini sering
terjadi
ketika
orang
tua
menyerahkan
komitmen
kepada
remaja yang biasanya
  
dengan cara otoritarian. Remaja menjadi tidak memiliki kesempatan yang adekuat
untuk
mengeksplorasi
pendekatan-pendekatan, ideologi,
dan
pekerjaan
yang
berbeda-beda dengan cara mereka sendiri.
iii. 
Identity  moratorium
adalah  istilah  yang  digunakan  Marcia  untuk  remaja  yang
berada dalam krisis, namun tidak memiliki komitmen sama sekali ataupun memiliki
komitmen yang tidak terlalu jelas.
iv. 
Identity achievement
adalah istilah Marcia untuk remaja yang telah melewati krisis
dan telah membuat komitmen.
Tabel 2.1 Tipologi Identitas
Identitas
Komitmen
Tinggi
Rendah
Krisis/Eksplorasi
Tinggi
Identity
Achievement
Identity
Moratorium
Rendah
Identity
Foreclosure
Identity Diffusion
2.2.2. 
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Identitas Diri
Proses pencapaian identitas menurut
Marcia (dalam Desmita, 2005) terjadi
secara gradual sejak lahir,
yakni sejak anak
berintegrasi dengan ibu
dan
anggota
keluarga lainnya. Perdana (dalam Dariyo, 2004) menguraikan beberapa faktor yang
mempengaruhi pencapaian identitas diri remaja antara lain :
a. 
Keluarga
Keadaan keluarga dapat mempengaruhi remaja dalam pencapaian identitas diri.
Ada
beberapa
keluarga
yang
dapat
mempengaruhi pencapaian
identitas
diri
remaja antara lain:
1. 
Identitas sosio-ekonomi
  
2. 
Keutuhan keluarga
3. 
Sikap & kebiasaan orangtua
4. 
Status anak
b. 
Lingkungan Sosial
Remaja akan berusaha berekspresi untuk menemukan suatu lingkungan
pergaulannya sebagai
tempat remaja
untuk
mengekspresikan identitas dirinya.
Para
remaja
merasa
dengan
bersosialisasi remaja
dapat
mencapai
identitas
dirinya.
Selain
itu,
di
dalam
lingkungan
sosial
terdapat
norma,
nilai,
tata
cara
serta adat istiadat. Dalam pencapaian identitas diri, remaja akan mengidentifikasi
nilai-nilai yang berlaku di lingkungan sosialnya.
Cara masyarakat
di
lingkungan sekitar remaja
pada
saat bersosialisasi
juga dapat mempengaruhi pencapaian identitas diri remaja.
c.   Pendidikan
Cara
berpikir
&
bertindak
seorang
remaja
dapat
dipengaruhi oleh
pendidikan remaja,
remaja
yang
mempunyai
pendidikan
yang
baik
dapat
mempertimbangkan nilai-nilai
serta
norma-norma
yang
baik
dan
buruk
dalam
lingkungan sekitarnya. Pada masa
remaja
individu
berada
pada
tahap berpikir
formal
operasional
yang
dimana
pada
tahap
ini
membutuhkan kemampuan
remaja
di
dalam
berpikir
secara
hipotesis
dan
membayangkan serangkaian
kejadian serta
memungkinkan remaja
untuk
berpikir secara sistematis. Dengan
adanya pendidikan yang baik juga akan membuat remaja yang berpikir secara
formal
operasional
merasa
tertantang
untuk
mecapai
identitas
dirinya
secara
unik.
  
2.2.3. Dimensi Identitas Diri
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) identitas melibatkan tujuh dimensi, antara
lain:
a. 
Genetik
Hal  ini  bekaitan  dengan  suatu  sifat  yang  diwariskan  oleh  orang  tua  pada
anaknya. Orang
tua
sangat
mempengaruhi sifat
yang
akan dimiliki
anaknya
di
kemudian hari. Sifat inilah yang akan memberikan sesuatu yang berbeda antara
individu
satu
dengan
individu
lainnya,
terutama di
dalam
menjalankan
kehidupannya.
b. 
Adaptif
Identitas
adalah
penyesuaian remaja
mengenai
keterampilan-keterampilan
khusus,
dan
bagaimana
remaja
tersebut
dapat
menyesuaikan diri
dengan
masyarakat
di
lingkungan
tempat
tinggalnya.
Sejauh mana
keterampilan atau
kemampuannya tersebut
dapat
diterima
oleh
masyarakat
di
lingkungan
tempat
tinggalnya ataukah masyarakat tidak menerima keterampilan yang dimilikinya.
c.   Struktural
Hal ini terkait dengan perencanaan masa depan yang telah disusun oleh remaja,
atau 
dengan 
kata 
lain  remaja 
telah 
mempersiapkan  kehidupan  di 
masa
depannya.  Namun 
bukan  berarti  tidak  ada  hambatan  dalam  menjalankan
rencana
masa
depannya
ini.
Seringkali
apa
yang
telah
direncanakan tidak
berjalan sesuai dengan
yang
diharapkan bisa
jadi rencana tersebut mengalami
suatu  kemunduran  (
deficit  structural
)  atau  bahkan  bisa  tidak  sama  sekali
terwujud.
d. 
Dinamis
  
Proses
ini muncul
dari
identifikasi
masa
kecil
individu
dengan
orang
dewasa
yang kemudian dapat membentuk suatu identitas yang baru di masa depannya
ataukah
sebaliknya,
proses
identifikasi
tersebut
tidak
berpengaruh pada
identitasnya melainkan
yang
berpengaruh
adalah
pemberian
peran
dari
masyarakat terhadap remaja.
e. 
Subjektif atau berdasarkan pengalaman
Individu  yang  mempunyai  pengalaman  akan  berbeda  dengan  individu  yang
sama sekali belum memiliki pengalaman. Hal ini dijelaskan oleh Erikson (dalam
Santrock,
2003)
bahwa
individu
yang
telah
memiliki
pengalaman
sebelumnya,
individu  tersebut  akan  merasakan  suatu  kepastian  dalam  dirinya.  Dengan
adanya
pengalaman maka
akan
banyak
alternatif
yang
dapat
kita
jadikan
pedoman
untuk
melangkah dengan
lebih
yakin
ke
arah
depan
atau
semakin
banyak
pengalaman maka
akan
semakin
timbul
antisipasi
dalam
melakukan
berbagai hal yang belum kita ketahui secara pasti konsekuensinya.
f.
Timbal balik psikososial
Erikson
(dalam
Santrock,
2003)
menekankan hubungan
timbal
balik
antara
remaja
dengan dunia
dan
masyarakat sosialnya. Perkembangan identitas tidak
hanya terbentuk oleh
diri
kita sendiri
melainkan
melibatkan
hubungan
dengan
orang lain, komunitas dan masyarakat.
g. 
Status Eksistensial
Erikson (dalam Santrock, 2003) berpendapat bahwa remaja mencari arti
dalam
hidupnya sekaligus arti
dari
hidup
secara
umum.
Dalam
hal
ini
remaja
ingin
merasakan  apa 
yang 
dinamakan  dengan 
makna 
hidup, 
ingin 
diakui
keberadaanya di dalam masyarakat dengan peran sosial
yang
dijalankan serta
keterampilan yang dimilikinya.
  
2.3.
Pola Asuh Orangtua
2.3.1. 
Pengertian Pola Asuh
Pola
asuh
merupakan sikap
orang
tua
dalam
berinteraksi dengan
anak-
anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orang tua dalam memberikan aturan-aturan,
memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuan orang tua dalam rangka
memenuhi
kebutuhan,
memberi
perlindungan dan
mendidik
anak
dalam
kesehariannya.   Sedangkan   pengertian   pola   asuh   orangtua   terhadap   anak
merupakan bentuk
interaksi
antara
anak
dan
orangtua
selama
mengadakan
pengasuhan yang
berarti
orangtua
mendidik,
membimbing, dan
melindungi
anak
(Gunarsa, 2002).
Pengasuhan  (
parenting
)  memerlukan  sejumlah  kemampuan  interpersonal
dan mempunyai
tuntutan
emosional
yang
besar,
namun
sangat
sedikit
pendidikan
formal mengenai tugas ini. Kebanyakan orang tua mempelajari praktik pengasuhan
dari
orangtua
mereka
sendiri.
Sebagian praktik
tersebut
mereka
terima,
namun
sebagian 
lagi 
mereka 
tinggalkan. 
Suami 
dan 
istri 
mungkin 
saja 
membawa
pandangan yang berbeda mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan (Santrock,
2007).
Pola asuh orang tua turut membentuk dasar kepribadian seseorang, apakah
akan menjadi seorang yang memiliki kepribadian yang kokoh
atau rapuh sehingga
mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap stresor (Suwanto, 2009). Kesalahan
pola asuh sekecil apa pun yang dilakukan terhadap remaja dapat berakibat fatal dan
sulit diperbaiki (Surbakti, 2009).
2.3.2. 
Jenis-jenis Pola Asuh
  
Diana Baumrind (Santrock, 2007), seorang pakar
parenting
berpendapat ada
cara yang terbaik untuk mengasuh anak. Baumrind percaya bahwa orang tua tidak
boleh
terlalu
menghukum (
punitive)
atau
terlalu
tidak
peduli
(
aloof)
Sebaiknya,
orangtua menyusun aturan bagi anak dan pada saat yang sama bersifat suportif dan
membimbing dan mengasuh (
nurturant
).
Baumrind
mengatakan
bahwa
ada
empat
bentuk
gaya
pengasuhan atau
parenting:
a. 
Pengasuhan autoritarian (
authoritarian parenting
)
adalah gaya yang membatasi
dan
bersifat
menghukum yang
mendesak
remaja
untuk
mengikuti
petunjuk
orangtua dan untuk menghormati pekerjaan dan
usaha. Orangtua yang bersifat
autoritarian
membuat
batasan
dan
kendali
yang
tegas
terhadap
remaja
dan
hanya melakukan sedikit
komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan
dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap. Sebagai contoh, seorang orang
tua
yang
autoritarian bisa
berkata
“Kamu
harus
melakukan
apa
yang
saya
katakan.   Tidak   ada   tawar-menawar!” 
Remaja   yang   orangtuanya   otoriter
seringkali merasa cemas akan perbendingan sosial, tidak mampu memulai suatu
kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah (dalam Santrock,
2003).
Menurut
Widyarini (2009),
orangtua otoriter
pada
dasarnya bertindak
berdasarkan asumsi bahwa apa
yang dilakukannya terhadap anak adalah yang
terbaik.
Orangtua yang
memiliki
pola
asuh
ini
berusaha membentuk,
mengendalikan, dan
mengevaluasi
perilaku
serta
sikap
anak
berdasarkan
serangkaian standar
mutlak,
nilai-nilai
kepatuhan,
menghormati otoritas, kerja,
tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua
kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman.
  
Pengasuhan otoriter
ini
seringkali
membuat
anak
remaja
memberontak
terlebih
lagi
bila
orang
tuanya
keras,
tidak adil dan tidak menunjukkan
afeksi.
Remaja akan bersikap bermusuhan (
hostile
)
kepada orang tua serta sering kali
menyimpan perasaan tidak puas terhadap kontrol dan didominasi dari orang tua
mereka. Hal
ini
akan menjadi semakin rumit
bila
orang tua juga
menerapkan
hukuman
fisik
kepada
anak.
Penetapan hukuman
fisik
yang
berlebihan akan
mempengaruhi perkembangan kepribadian
dan
sosial
pada
remaja.
Remaja
mungkin
menjadi
kurang
yakin
akan
kemampuan dirinya,
kurang
matang
(
immature
)  dan  menjadi  agresif.  Mungkin  yang  dapat  dikatakan  mengenai
remaja yang menjadi agresif adalah terjadi peniruan terhadap tingkah laku orang
tua
atau
agresi
mejadi
salah
satu
cara
pelampiasan
dari
remaja.
(Gunarsa,
2006).
Menurut 
Widyarini  (2009),  dampak 
negatif  dari 
pola  asuh 
otoriter
terhadap anak antara lain tidak mengembangkan empati, merasa tidak berharga,
standar moral yang eksternal (hanya untuk menghindari hukuman, bukan karena
kesadaran), terlalu
menahan
diri,
agresif,
kejam,
sedih,
menarik
diri
dari
pergaulan, kurang
dalam hal
spontanitas,
kemandirian, afeksi,
dan
rasa
ingin
tahu.
b. 
Authoritative parenting
(pola asuh otoritarif) mendorong anaknya
untuk menjadi
independen tetapi
masih
membatasi
dan
mengontrol
tindakan
anaknya.
Perbincangan  tukar 
pendapat 
diperbolehkan  dan 
orang 
tua 
bersikap
membimbing dan mendukung (Santrock, 2007).
Orang tua
dengan
pengasuhan otoritatif selalu
melibatkan
anak
remaja
mereka dalan segala hal yang berkenaan dengan remaja itu sendiri dan dengan
keluarga. Mereka mempunyai pertimbangan dan penilaian dari remaja serta mau
  
berdiskusi dalam
mengambil
segala
keputusan
yang
berkaitan
dengan
anak
remaja mereka. Remaja pun belajar untuk membuat keputusan bagi diri mereka
sendiri  dan  yang  belajar  mendengarkan  dan  berdiskusi  dengan  orang  tua
mereka.
Orang
tua
yang
otoritatif
menekankan
pentingnya
peraturan,
norma,
dan
nilai-nilai,
tetapi
mereka
bersedia untuk
mendengarkan, menjelaskan
dan
bernegosiasi
dengan anak.
Disiplin
yang
mereka
lakukan
lebih
bersifat
verbal
yang ternyata merupakan sesuatu yang afektif (Gunarsa, 2006).
Pengasuhan autoritatif (
authoritative parenting
)
mendorong remaja untuk
bebas
tetapi
tetap
memberikan
batasan
dan
mengendalikan
tindakan-tindakan
mereka.
Komunikasi
verbal
timbal
balik
bisa
berlangsung dengan
bebas,
dan
orangtua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja yang kompeten.
Seorang
ayah
yang
otoritatif,
contohnya, bisa
merangkul si
remaja
dengan
nyaman
dan
berkata,
“Kamu
tahu,
kamu
seharusnya
tidak
melakukan
hal
itu.
Mari bicarakan bagaimana 
kamu bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih
baik
di
masa depan.”
Remaja
yang
orangtuanya
bersifat
autoritatif
akan
sadar
diri dan bertanggung jawab secara sosial. (dalam Santrock, 2003).
Remaja
yang
dibesarkan
dengan
pola
pengasuhan otoritatif
akan
merasakan
suasana
rumah
penuh
rasa
saling
menghormati, penuh
apresiasi,
kehangatan, penerimaan dengan adanya konsistensi pengasuhan dari orang tua
mereka. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungan mereka
(Gunarsa,
2006).
Selain
itu,
anak
akan
mampu
mengembangkan  kontrol  terhadap  perilakunya  sendiri  dengan  hal-hal  yang
dapat
diterima
oleh masyarakat.
Hal
ini
mendorong anak
untuk mampu
berdiri
sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya
  
berkembang baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu
berinisiatif (dalam Yatim, 1991).
c.  
Neglectful parenting
adalah gaya asuh dimana orang tua tidak terlihat aktif dalam
kehidupan anaknya (dalam Santrock, 2007). Menurut Rice
(1999), pengabaian
(
neglect
)
dapat dibedakan menjadi lima jenis yaitu:
i. 
Pengabaian fisik
(
phycical
neglect
):
meliputi
kegagalan
dalam
memenuhi
kebutuhan atas makanan, pakainan, dan tempat tinggal yang memadai.
ii. 
Pengabaian emosional (
emotional
neglect
): meliputi perhatian,
perawatan,
kasih sayang dan afeksi yang tidak memadai dari orang tua, atau kegagalan
untuk
memenuhi
kebutuhan
remaja
akan
penerimaan, persetujuan dan
persahabatan.
iii. 
Pengabaian intelektual (
intelectual neglect
): termasuk di dalamnya kegagalan
untuk
memberikan  
pengalaman  
yang  
menstimulasi   intelek  
remaja,
membiarkan remaja membolos sekolah tanpa alasan apa dan semacamnya.
iv. 
Pengabaian   sosial   (
social   neglect
):   meliputi   pengawasan   yang   tidak
memadai
atas
aktivitas
sosial
remaja,
kurangnya perhatian
dengan
siapa
remaja
bergaul,
atau
karena
gagal
mengajarkan atau
mensosialisasikan
kepada remaja mengenai bagaimana bergaul secara baik dengan orang lain.
v. 
Pengabaian
moral
(
moral
neglect
):
kegagalan
dalam
memberikan
contoh
moral atau pendidikan moral yang positif kepada remaja.
Berhubungan dengan
pengabaian
orang
tua,
pengabaian
secara
emosional dari orang tua terhadap anaknya (orang tua menolak remaja secara
emosional dan
tidak
menunjukkan kepada remaja
bahwa
mereka dicintai serta
memperhatikan mereka) dapat memiliki hasil yang sama dengan penganiayaan
fisik (Gunarsa, 2006).
  
Gaya pengasuhan permisif tidak
peduli (
permissive-indifferent parenting
)
adalah suatu pola dimana si orangtua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan
remaja.
Hal
ini
berkaitan dengan
perilaku
sosial
remaja
yang
tidak
cakap,
terutama
kurangnya
pengendalian diri.
Orangtua
yang
bersifat
permisif-tidak
peduli  tidak  bisa  menjawab  pertanyaan,  ”Sekarang  sudah  jam  10  malam.
Apakah
Anda
tahu
dimana
anak
remaja
Anda
berada?” Remaja
sangat
membutuhkan perhatian
orangtua
mereka;
remaja
yang
orangtuanya
bersifat
permisif-tidak peduli
mendapat
kesan
bahwa
aspek
lain
dari
kehidupan
si
orangtua
lebih
penting daripada si
remaja. Remaja yang
orangtuanya permisif-
tidak
peduli
biasanya tidak
cakap
secara
sosial:
mereka
menunjukkan
pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik
(dalam Santrock, 2003).
d. 
Indulgent
parenting
adalah gaya asuh dimana
orang
tua
sangat
terlibat
dalam
kehidupan anaknya
tapi
tidak
banyak
memberi
batasan
atau
kekangan
pada
perilaku
mereka
(dalam
Santrock, 2007).
Menurut
Widyarini (2009),
orangtua
yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha berperilaku menerima dan
bersikap
positif
terhadap
impuls
(dorongan
emosi),
keinginan-keinginan, dan
perilaku
anaknya,
hanya
sedikit
menggunakan hukuman,
berkonsultasi kepada
anak,
hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak untuk
mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran
tertentu dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan.
Pengasuhan 
permisif-memanjakan  (permissive-indulgent
parenting)
suatu pola dimana orangtua dangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali
menuntut
atau
mengendalikan mereka.
Pengasuhan
permisif-memanjakan
berkaitan   dengan   ketidak   cakapan   sosial   remaja,   terutama   kurangnya
  
pengendalian
diri. Orangtua
yang
bersifat
permisif
memanjakan
mengijinkan si
remaja
tidak
pernah
belajar
bagaimana mengendalikan perilaku mereka
sendiri,
dan
selalu
berharap
mereka
bisa
mendapat
semua
keinginannya. Beberapa
orangtua memperlakukan anak remaja mereka secara demikian, karena mereka
percaya bahwa kombinasi keterlibatan yang hangat dengan sedikit batasan akan
menghasilkan remaja yang kreatif dan percaya diri. Hanya memiliki sedikit teman,
bersifat
memanjakan diri,
dan
tidak
pernah
belajar
mematuhi
peraturan
dan
ketentuan. Lagipula, kenapa dia harus mematuhinya? Orangtuanya tidak pernah
memaksa dia untuk mematuhi peraturan. (dalam Santrock, 2003).
Remaja yang
tumbuh
dan
berkembang
di
dalam keluarga
yang
sangat
permissive
(laissez-faire)
cenderung
mengalami
kesulitan
ketika
harus
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungan
yang
mengandung aturan serta kendali
yang telah disepakati bersama oleh kelompok (Epstein et al, 1980).
2.3.3. 
Dimensi Pola Asuh
Baumrind (dalam Horner, 1992) mengusulkan klasifikasi pemeliharaan anak
didasarkan pada hasil interaksi antara dua dimensi, yaitu:
a.
Responsiveness
(mengacu
pada
pengasuhan
yang
hangat
atau
pemberian
support
)
adalah
lingkup
dimana
orangtua
secara
intensional memupuk
kepribadian,  pengaturan  diri  dan  penyataan  diri  dengan  menjadi  terbiasa,
suportif, pengertian pada kepentingan spesial dan tuntutan orangtua.
b.
Demandingness
(mengacu
pada
pengontrolan
tingkah
laku)
adalah
tuntutan
orangtua  terhadap  anak  agar 
mau  berintegrasi  dengan  seluruh  keluarga,
tuntutan kedewasaan mereka, pengawasan orangtua, usaha mendisiplinkan diri
dan kemauan orangtua untuk menghukum anak yang tidak patuh.
  
2.3.4. 
Tipologi Pengasuhan Orangtua
Jacobsen
(Horner,
1992)
menjelaskan tipologi
ke-empat
jenis
pola
asuh
berdasarkan dimensi pola asuh:
a. 
Pola asuh
authoritarian
memiliki tingkat
demandingness
yang tinggi sedangkan
tingkat
responsiveness
-nya rendah.
b. 
Pola asuh
authoritative
memiliki tingkat
demandingness
yang tinggi dan  tingkat
responsiveness
yang tinggi juga.
c.   Pola asuh
indulgent
memiliki
tingkat
demandingness
yang
rendah
sedangkan
tingkat
responsiveness
-nya tinggi.
d. 
Pola asuh
neglected
memiliki tingkat
demandingness
yang rendah dan tingkat
responsiveness yang rendah juga.
Tabel 2.2. Tipologi Pola Asuh
Tipologi Pola Asuh
Demandingness
Tinggi
Rendah
Responsiveness
Tinggi
Authoritative
Indulgent
Rendah
Authoritarian
Neglected
2.4.
Kerangka Berpikir dan Hipotesis
2.4.1. 
Kerangka Berpikir
Dalam asumsi penulis, jika orangtua mengasuh anak secara tanggung jawab,
maka
remaja
lebih
mudah
menemukan jati
dirinya.
Sebaliknya,
jika
orangtua
mengasuh
anak
secara
tidak
tanggung
jawab,
maka
remaja sulit
menemukan
jati
dirinya.
Marcia (dikutip oleh
Berk, 1993) menyatakan bahwa remaja dengan status
identity
achievement 
akan
memiliki
ikatan
yang
dekat
dengan
orangtua mereka
namun tetap dapat menyuarakan pendapat mereka secara bebas. Oleh karena itu,
  
penulis  mempunyai  asumsi
bahwa  ada  hubungan  antara  pola  asuh  orangtua
dengan pencapaian identitas pada remaja akhir.
Pola Asuh
Orangtua
Responsiveness
Demandingness
Pencapaian
Identitas
Krisis
Komitmen
Gambar 2.1 Hubungan Antasa Pola Asuh Orangtua dengan Pencapaian Identitas
2.4.2. 
Hipotesis
Hipotesis menurut penulis dalam penelitian ini adalah
Ha
:  Ada  hubungan  antara  pola  asuh  orangtua  dengan  identitas  diri  pada
remaja akhir.
Ho
:
Tidak ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan identitas diri pada
remaja akhir.