23
hanya bangunan dasarnya masih tetap berpola dasar bangunan yang lima
tersebut (Narpawandawa, 1937-1938).
Di dalam bangunan rumah adat Jawa tersebut juga ditentukan ukuran,
kondisi perawatan rumah, kerangka, dan ruang-ruang di dalam rumah serta
situasi di sekeliling rumah, yang dikaitkan dengan status pemiliknya. Di
samping itu, latar belakang sosial, dan kepercayaannya ikut berperanan.
Agar memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran, maka sebelum
membuat rumah dipetang (diperhitungkan) dahulu tentang waktu, letak,
arah, cetak pintu utama rumah, letang pintu pekarangan, kernagka rumah,
ukuran dan bengunan rumah yang akan dibuat, dan sebagainya. Di dalam
suasana kehidupan kepercayaan masyarakat Jawa, setiap akan membuat
rumah baru, tidak dilupakan adanya sesajen, yaitu bensa-benda tertentu
yang disajikan untuk badan halus, danghyang desa, kumulan desa dan
sebagainya, agar dalam usaha pembangunan rumah baru tersebut
memperoleh keselamatan (R. Tanaya, 1984:66-78).
Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan rumah adat Jawa berkembang
sesuai dengan kemajuan. Berdasarkan tinjauan perubahan atapnya, maka
terdapatlah bangunan rumah adat Jawa sebagai berikut.
Bangunan model/bentuk Panggung Pe dalam perkembangannya terdapat
bangunan Panggung Pe (Epe), Gedong Selirang, Panggung Pe Gedong
Setangkep, Cere Gancet, Empyak Setangkep, Trajumas, Barongan, dan
sebagainya.
Dari bangunan rumah kampung berkembang menjadi
bangunan rumah kampung, Pacul Gowang, Srotong, Daragepak, Klabang
Nyander, Lambang Teplok, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Gajah
Jerum, Cere Gancet Semar Tinnadhu, Cere Gancet Semar Pinondhong, dan
sebagainya.
Dari bangunan Rumah Limasan berkembang menjadi bentuk
rumah Limasan Lawakan, Gajah Ngombe, Gajah Jerum, Klabag Nyonder,
Macan Jerum, Trajrumas, Trajrumas Lawakan, Apitan, Pacul Gowang,
Gajah Mungkur, Cere Goncet, Apitan Pengapit, Lambang Teplok Semar
|