10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian pustaka
2.1.1 Kepuasan kerja
2.1.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut Robert L. Mathis dan
John H. Jackson (2006), kepuasan kerja
adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan
hasil dari evaluasi
pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul ketika harapan seseorang
tidak terpenuhi. 
Menurut Luthans
(2006:243),  Kepuasan
kerja adalah
hasil dari
persepsi
karyawan seberapa baik pekerjaan  mereka memberikan hal yang dinilai penting.
Menurut Robbins dan Judge (2008), kepuasan kerja adalah perasaan positif
tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya.
Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan
positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki
perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan. 
Menurut Rivai (2009), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai: Kepuasan
kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Semakin tinggi
penilaian terhadap kegiatan yang dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka
semakin tinggi pula kepuasannya terhadap kegiatan tersebut.
Menurut beberapa definisi tentang kepuasan kerja diatas, dapat disimpulkan
bahwa kepuasan kerja adalah suatu sikap dimana apa yang diperoleh dari
pekerjaannya sesuai dengan apa yang diharapkan dari pekerjaan.
  
11
2.1.1.2 Jenis-jenis Kepuasan Kerja
Menurut Hasibuan (2005), kepuasan kerja dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu:
1)
Kepuasan kerja dalam pekerjaan 
Adalah kepuasan yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian
hasil kerja, penempatan, perlakuan peralatan, dan suasana lingkungan yang kerja
baik. Karyawan lebih suka mengutamakan pekerjaannya dari
pada balas jasa,
walaupun balas jasa itu penting. 
2)
Kepuasan kerja diluar pekerjaan
Adalah kebutuhan kerja karyawan yang menikmati kepuasan kerjanya dengan
besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya, agar dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Karyawan yang lebih suka menikmati pekerjaannya
diluar pekerjaan
akan
lebih mempersoalkan balas jasa daripada fungsi-
fungsinya. 
3)
Kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan 
Adalah kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang
antara balas jasa dengan pelaksanaan kerjanya, karyawan yang lebih suka
menikmati kepuasan kerja kombinasi akan merasa puas jika hasil kerja dan balas
jasa yang diterima dirasa adil. 
2.1.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja
Menurut
Luthans
(2006:243), terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja, diantaranya ialah:
  
12
1)
Pekerjaan itu sendiri
Tingkat dimana sebuah pekerjaan menyediakan tugas yang menyenangkan,
kesempatan belajar dan kesempatan untuk mendapatkan tanggung jawab. Ciri-
ciri intrinsik dari pekerjaan ini dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja
karyawannya. Pekerjaan yang menuntut kecakapan yang lebih tinggi daripada
yang dimiliki oleh karyawan tersebut, atau adanya tuntutan pribadi yang tidak
dapat dipenuhi, maka hal tersebut akan
menimbulkan frustasi dan akhirnya akan
mengakibatkan ketidakpuasan kerja. 
2)
Gaji/upah
Menurut beberapa penelitian, faktor uang dapat menentukan tingkat kepuasan
kerja yang dimiliki oleh karyawannya. Uang memang memiliki arti yang
berbeda-beda bagi semua orang.
Disamping memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
tingkat rendah (makanan, perumahan), uang dapat menjadi simbol dari
pencapaian keberhasilan, dan pengakuan/penghargaan.
3)
Atasan 
Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis dan perilaku
dukungan.
Hubungan antara supervisor dengan karyawan bisa disebut dengan
functional attraction yang menjelaskan sejauh mana karyawan merasa atasannya
membantu mereka untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi
tenaga kerja.
4)
Rekan kerja 
Kelompok kerja memiliki dampak dalam kepuasan kerja. Persahabatan
kerjasama dengan rekan kerja merupakan sumber-sumber utama dari
kepuasan
kerja secara individu. Kelompok kerja memberikan sumber-sumber
kenyamanan, nasihat, dan bantuan kepada karyawan individu.
Kelompok kerja
  
13
yang baik dapat membuat pekerjaan
menjadi menyenangkan.
Sebaliknya jika
kondisi bahwa karyawan sangat sulit untuk bergaul, maka
faktor ini merupakan
dampak dalam kepuasan kerja. Selain itu juga jika terjadi konflik dengan rekan
kerja, maka akan berpengaruh pada tingkat kepuasan karyawan terhadap
pekerjaan.
5)
Kesempatan promosi
Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis dan perilaku
dukungan. Menurut Locke, hubungan fungsional dan hubungan keseluruhan
yang positif memberikan tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan
atasan. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu
tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi
yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa.
2.1.1.4 Dampak ketidakpuasan kerja
Menurut Robbins dan Judge (2008:111-112), ada konsekuensi ketika
karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak
menyukai pekerjaan mereka. Dalam bagan berikut ini menunjukkan ada 4 respon
kerangka, yang berbeda dari satu sama lain bersama dengan 2 dimensi yaitu:
konstruktif/destruktif dan aktif/pasif, didefinisikan sebagai berikut:
1)
Exit (Keluar)
Ketidakpuasan ditunjukan melalui perilaku yang mengarahkan pada
meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan
diri.
  
14
2)
Voice (Aspirasi)
Ketidakpuasan ditunjukan melalui usaha secara aktif dan konstruktif
untuk
memperbaiki keadaan termasuk menyarankan perbaikan mendiskusikan masalah
dengan atasan dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan.
3)
Loyalty (Kesetiaan)
Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu
membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan
kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan manajernya untuk
“melakukan hal yang benar”
4)
Neglect (Pengabdian)
Ketidakpuasan ditunjukan melalui tindakan secara pasif membiarkan
kondisi
semakin buruk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan secara kronis,
mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan.
Sumber: Robbins dan Judge (2008: 111-112)
Gambar 2.1 Respon-respon terhadap ketidakpuasan kerja
  
15
2.1.2 Keadilan organisasi
2.1.2.1 Pengertian keadilan organisasi
Menurut Hughes et al (2006), keadilan organisasi merupakan pendekatan
kognitif berdasarkan penyimpulan dari pernyataan beberapa orang yang diperlakukan
tidak adil dan kehilangan produktivitas, kepuasan dan komitmen untuk organisasi
mereka.
Menurut Griffin and Moorhead (2010), keadilan organisasi adalah sebuah
ukuran dari tingkat kewajaran yang diterima oleh karyawan sehubungan dengan
pengambilan keputusan.  
Menurut Steve (2007), keadilan organisasi adalah sejauh mana para pekerja
percaya bahwa mereka sedang memperlakukan adil. Bisa berhubungan dengan
seleksi, promosi penilaian kinerja, meningkatkan, manfaat, dll
Parker dan Kohlmeyer (2005), menjelaskan keadilan organisasional meliputi
persepsi anggota organisasi tentang kondisi keadilan yang mereka alami dalam
organisasi, secara khusus tentang rasa keadilan yang terkait dengan alokasi
penghargaan organisasi seperti gaji dan promosi. Rasa keadilan akan muncul ketika
otoritas organisasi konsisten dan tidak bias dalam pengambilan keputusan organisasi
terutama terkait dengan alokasi gaji dan promosi. Aturan organisasi yang tidak
konsisten dan bias terhadap individu adalah suatu tindakan diskriminasi, sehingga
muncul rasa diskriminasi (perceived discrimination) oleh individu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Keadilan Organisasi merupakan di mana
adanya kesimbangan atas hasil kerja (gaji, bonus, perlakuan, persebaran informasi
atau adanya promosi jabatan) dengan kontribusi yang karyawan berikan kepada
organisasi, dan tentunya demi kepentingan organisasi.
  
16
2.1.2.2 Jenis-jenis keadilan organisasi
Menurut Griffin and Moorhead (2010), jenis-jenis keadilan organisasi
dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1)
Distributif Justice (keadilan distributif)
Keadilan distributif mengacu pada persepsi karyawan terhadap keadilan dengan
imbalan dan hasil yang bernilai lainnya yang didistribusikan dalam organisasi.
persepsi keadilan distributif mempengaruhi kepuasan individu dengan berbagai
pekerjaan yang berhubungan dengan hasil seperti gaji, tugas kerja, pengakuan,
dan kesempatan untuk kemajuan.
Selanjutnya, Muchinsky mengatakan bahwa keadilan distrbutif dinilai melalui
tiga perspektif. Perspektif ni merupakan tambahan dari pandangan sebelumnya,
yaitu :
(1)   Equity, hasil yang didapat individu harus sesuai dengan kontribusi yang
diberikannya. Misalnya: semakin tinggi produktivitas kerja individu,
semakin tinggi bonus yang didapat.
(2)   Equality, semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam
mendapatkan hasil/keputusan. Misalnya: semua pegawai mendapatkan
jumlah bonus yang sama di akhir tahun.
(3)   Need, pengalokasian hasil yang ideal sesuai dengan kebutuhan individu.
Misalnya: dalam pembagian bonus, individu yang sedang membutuhkan
bantuan finansial mendapat bonus lebih besar.
  
17
2)
Procedural Justice (keadilan prosedural)
Keadilan prosedural adalah keadilan yang berfokus pada proses yang digunakan
untuk membuat
keputusan. Proses pembutan
keputusan dapat berbentuk:
pembuatan peraturan yang ada di organisasi, pemberian hukuman, dll.
Ketika pekerja menganggap keadilan prosedural tinggi, maka mereka akan lebih
termotivasi untuk berpartisipasi dalan kegiatan, mengikuti aturan, dan
menganggap hasil yang relavan adalah adil. Tetapi jika para pekerja merasa
ketidakadilan prosedural, mereka cenderung menarik diri dari kesempatan untuk
berpartisipasi, untuk kurang memperhatikan aturan dan kebijakan, dan
menganggap hasil yang relavan adalah tidak adil.
Lynd dan Tyler dalam Dunnet dan Douglas (2006),
mengatakan bahwa ada
empat nilai yang membentuk keadilan prosedural, yaitu:
(1) Voice, kesempatan pegawai untuk menympaikan aspirasinya.
(2) Trust, kepercayaan pegawai terhadap pembuatan keputusan.
(3) Neutrality, persepsi pegawai tentang kejujuran dan ketidakbiasan
pembuatan keputusan.
(4) Standing, perlakuan yang didapat oleh pegawai dari otoritas yang membuat
keputusan.
3)
Interaksional Justice ( keadilan interaksional)
Keadilan interaksional adalah interaksi antara sumber alokasi dan orang-orang
yang akan dipengaruhi oleh alokasi keputusan, atau metode yang menceritakan
bagaimana untuk melakukan sesuatu dan apa yang harus dilakukan kepada
orang-orang dalam proses pengambilan keputusan.
  
18
2.1.2.3 Dampak keadilan organisasi
Persepsi keadilan di dalam organisasi mempunyai dampak bagi organisasi
maupun pegawai. Dampak tersebut antara lain adalah:
1)
Agresi di tempat kerja
Menurut Henny (2005), menyatakan bahwa persepsi tentang keadilan organisasi
mempunyai hubungan dengan tingkat aggresivitas di tempat kerja. Semakin
rendah persepsi tentang keadilan organisasi, semakin tinggi tingkat aggresivitas
pegawai, seperti: mencemooh organisasi/atasan, berkata kasar, merusak benda-
benda di sekitar.
2)
Kesiapan untuk berubah
Menurut Krause (2008), persepsi keadilan di organisasi mempunyai pengaruh
terhadap kesiapan pegawai menghadapi perubahan. Pegawai yang
mempersepsikan adanya keadilan di organisasi cenderung lebih siap menghadapi
perubahan.
3)
Kepuasan kerja
Menurut Samad (2006), bahwa keadilan organisasi memiliki hubungan positif
dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Semakin tinggi persepsi keadilan
organisasi, maka semakin tinggi kepuasan
kerja. Persepsi tentang keadilan
membuat pegawai merasa puas dengan rekan kerja, gaji, atasan, dan tugas yang
diberikan kepadanya.
4)
Komitmen organisasi
Keadilan organisasi mempunyai hubungan positif terhadap komitmen organisasi.
semakin tinggi keadilan organisasi, maka semakin tinggi komitmen pegawai
terhadap organisasi
(Samad, 2006). Hal ini disebabkan adanya komitmen dari
  
19
organisasi memperlakukan diri pegawai secara adil. Sebagai balasannya, pegawai
pun berkomitmen terhadap organisasinya.
2.1.3 Pemberdayaan karyawan
2.1.3.1 Pengertian pemberdayaan karyawan
Menurut Goetsch & Davis (2006,
230),
pemberdayaan tidak berarti hanya
melibatkan karyawan akan tetapi melibatkan mereka dengan cara memberikan
mereka suara yang sebenarnya. Melibatkan karyawan dalam membuat keputusan
berhubungan dengan pekerjaan mereka adalah prinsip dasar dari manajemen yang
baik. Dengan total kualitas manajemen, prinsip ini bahkan lebih diutamakan.
Karyawan dilibatkan tidak hanya dalam membuat keputusan tetapi juga dalam proses
pemikiran kreatif yang mengawali pengambilan keputusan. 
Menurut Thomas dan Velthouse, 1990 dalam Nur Chasanah (2008),
keleluasaan kepada individu untuk bertindak dan sekaligus bertanggung jawab atas
tindakannya sesuai dengan tugas yang diembannya.
Menurut Robert dan Greene dalam Damanik dan Pattiasina (2009:93),
pemberdayaan adalah suatu proses bagaimana orang semakin cukup kuat untuk
berpatisipasi dalam berbagi kendali dan mempengaruhi peristiwa dan intistusi yang
mempengaruhi kehidupan mereka.
Menurut Cook  dan 
Macaulay dikutip Wibowo (2008:112), pemberdayaan
merupakan perubahan yang terjadi pada filsafah manajemen yang dapat membantu
menciptakan suatu lingkungan dimana setiap individu dapat menggunakan
kemampuan dan energinya untuk meraih tujuan organisasi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberdayaan karyawan adalah memberikan wewenang “kepemilikan” dan
tanggung jawab kepada karyawan atas pekerjaan mereka untuk dapat membangun
  
20
dan memaksimalkan kemampuan pribadi dan menjadi lebih professional dalam
kontribusinya terhadap pekerjaan mereka.
2.1.3.2 Dimensi pemberdayaan karyawan
Menurut Thomas dan Velthouse, 1990 dalam
Nur Chasanah (2008),
ditemukan empat dimensi umum yang dimiliki pemberdayaan, yaitu:
1)
Meaning (Arti)
Meaning
adalah nilai dari suatu tujuan kerja yang dinilai dalam kaitannya
dengan tujuan atau standar individu yang bersangkutan. Arti mencakup suatu
kesesuaian antara persyaratan dari suatu peran kerja dan keyakinan, nilai, dan
perilaku.
2)
Competence (Kompetensi) 
Competence
Mempunyai arti yang sama dengan 
self-efficacy,
merupakan 
keyakinan seseorang  terhadap  kemampuannya untuk mengatur dan
melaksanakan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Kompetensi lebih memfokuskan pada kemampuan dalam melaksanakan  peran
kerja  tertentu, bukan  peran kerja  secara umum atau sering disebut dengan
self-esteem.
3)
  Self-determination (Penentuan diri) 
Self-determination
adalah perasaan individu yang berkaitan dengan pilihan
dalam mengawali dan mengatur dalam membuat pilihan atau melakukan suatu
pekerjaan. Penentuan diri merefleksikan otonomi dalam mengawali dan
melaksanakan perilaku dan proses kerja, misalnya mengenai pembuatan
keputusan tentang metode kerja, kecepatan, dan usaha yang dilaksanakan.
4)
Impact (Pengaruh)
  
21
Impact adalah suatu tingkatan yang mana individu dapat mempengaruhi hasil-
hasil strategik, administratif, dan operasional dari hasil kerja. 
2.1.3.3 Manfaat Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan lahir ketika kegiatan pendidikan dan pelatihan dirasa
sudah tidak efektif lagi karena dinilai terlalu bersifat top down sehingga kurang
mampu mengembangkan kreativitas dan inovasi karyawan. Pemberdayaan adalah
suatu cara pendekatan baru yang lebih bersifat bottom up karena menuntut karyawan
lebih kreatif dan inovatif secara mandiri dengan dukungan langsung dari pemberi
wewenang.
Menurut Wibowo (2008:116) beberapa alasan perlunya pemberdayaan:
1)
Semakin intensifnya kompetisi sehingga organisasi perlu memperdayakan
orang untuk melawan tantangan kompetisi.
2)
Inovasi teknologi berubah cepat sehingga organisasi perlu memberdayakan
orang lain untuk menggunakan sebaik mungkin teknologi maju.
3)
Permintaan yang tetap atas kualitas yang lebih tinggi dan nilai yang lebih baik
menyebabkan organisasi perlu memperdayakan orang untuk menemukan cara
inovatif guna memperbaiki produk dan jasa.
4)
Tumbuhnya masalah ekologi menuntut organisasinya perlu memberdayakan
orang untuk melaksanakan kebijakan ekologi.
Seiring dengan era globalisasi yang tidak mungkin dihindari, perusahaan
harus dapat mengikuti aturan atau bahkan harus mengimbangi adanya upaya-upaya
perubahan-perubahan yang diakibatkan globalisasi sehingga dapat meningkatkan
kualitas kerja.
Menurut Wibowo (2008:117) manfaat adanya pemberdayaan yaitu
meningkatkan percaya diri dalam melakukan sesuatu, yang pada waktu sebelumnya
  
22
tidak pernah percaya mungkin dilakukan. Bagi organisasi, pemberdayaan akan
meningkatkan kinerja organisasi dan individu dapat mengembangkan bakatnya
secara penuh.
2.1.3.4 Model Pemberdayaan Karyawan
Sharafat Khan dalam jurnal Erni Widajanti (2008:65-67), menawarkan
sebuah model pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam sebuah organisasi.
Model pemberdayaan tersebut yaitu:
1)
Desire adalah tahap dimana ada keinginan dari manajemen untuk
mendelegasikan dan melibatkan pekerja.
2)
Trust (membangun kepercayaan antara manajemen dengan karyawan), hal ini
terjadi setelah ada keinginan dari manajemen untuk melakukan pemberdayaan.
Dengan adanya saling percaya diantara manajemen dan karyawan akan tercipta
kondisi yang baik untuk pertukaran informasi dan saran tanpa rasa takut.
3)
Confident adalah tahap menimbulkan rasa percaya diri karyawan dengan
menghargai kemampuan yang dimiliki oleh karyawan.
4)
Credibility adalah memberikan penghargaan dan mengembangkan lingkungan
kerja yang mendorong kompetisi yang sehat, sehingga tercipta organisasi yang
memiliki kinerja yang tinggi.
5)
Accountability (pertanggung jawaban karyawan terhadap wewenang yang
diberikan). Dengan menetapkan secara konsisten dan jelas tentang peran,
standard, dan tujuan tentang penilaian terhadap kinerja karyawan dalam
penyelesaian dan tanggung jawab terhadap wewenang yang diberikan.
6)
Communication adalah tersedianya komunikasi yang terbuka untuk
menciptakan saling memahami antara karyawan dan manajemen. Keterbukaan
  
23
ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik, saran terhadap hasil dan prestasi
yang dilakukan pekerja.
2.1.4 Komitmen organisasi
2.1.4.1 Pengertian komitmen organisasi
Menurut Robert L. Mathis dan
John H. Jackson (2006), Komitmen
Organisasi (Organizational Commitment) adalah tingkat sampai di mana karyawan
yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk tinggal bersama
organisasi tersebut. Berbagai studi penelitian menunjukan bahwa orang-orang yang
relatif puas dengan pekerjaannya
akan sedikit lebih berkomitmen terhadap
organisasi.
Menurut Griffin (2004:15), sikap yang mencerminkan sejauh mana seorang
individu mengenal dan terikat pada organisasinya.
Menurut Sopiah (2008:156), komitmen organisasi sebagai daya relatif dari
keberpihakan dan keterlibatan seseorang terhadap suatu organisasi”. Dengan kata
lain komitmen organisasional merupakan sikap mengenai loyalitas pekerja terhadap
organisasi dan merupakan proses yang berkelanjutan dari anggota organisasi untuk
mengungkapkan perhatiannya pada organisasi dan hal tersebut berlanjut pada
kesuksesan dan kesejahteraan.
Stephen P. Robbins & Timothy A Judge (2008:100) mendefinisikan
komitmen organisasi adalah Suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak
organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi .
Dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi
adalah keadaan psikologis
individu yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang
kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja
  
24
demi organisasi dan tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota
organisasi.
2.1.4.2 Dimensi  Komitmen Organisasi 
 
Ada tiga dimensi komponen dari komitmen organisasi menurut Griffin (2004
:15), yaitu sebagai berikut:
1)
Affectife commitment  (Komitmen afektif)
Adalah berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di
dalam suatu organisasi. Pekerja dengan komitmen afektif kuat akan selalu
melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya karena ingin berbuat
lebih banyak lagi di organisasi. 
2)
Continuance commitment  (Komitmen berkelanjutan)
Adalah komponen berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan
dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi; Pekerja yang terlibat dalam
organisasi didasarkan kepada komitmen berkelanjutan ini, maka pekerja tersebut
akan tetap bertahan dalam organisasi karena mereka merasa bahwa jika mereka
keluar akan menimbulkan biaya yang besar bagi diri mereka . 
3)
Normative Commitment  (Komitmen normatif)
Adalah merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia
berikan kepada organisasi. Pekerja dengan komitmen normatif yang tinggi,
memiliki perasaan membela organisasi meskipun ada tekanan sosial,
maka
mereka merasa perlu untuk mempertahankan organisasi. 
  
25
Sumber: Greenberg dan Baron, 2003
Gambar 2.2 Dimensi Komitmen Organisasi
2.1.4.3
Cara Meningkatkan Komitmen Organisasi
Dessler memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem
manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan
organizational commitment pada diri karyawan (Luthans, 2006:250):
1)
Berkomitmen pada nilai utama manusia
Dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik
dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
2)
Memperjelas dan mengkomunikasikan misi
Memperjelas misi dan ideology,
berkarisma,
menggunakan praktek perekrutan
berdasarkan nilai,
menekankan orientasi berdasarkan nilai stress dan pelatihan,
dan membentuk tradisi
3)
Menjamin keadilan organisasi
Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif dan
menyediakan
komunikasi dua arah yang ekstensif
4)
Menciptakan rasa komunitas
Membangun homogenitas berdasarkan nilai,
keadilan,
menekankan kerjasama,
saling mendung dan kerja tim, dan berkumpul bersama
  
26
5)
Mendukung perkembangan karyawan
Melakukan aktualisasi,
memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama,
memajukan dan memberdayakan,
mempromosikan dari dalam
menyediakan
aktivitas perkembangan, dan
menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa
jaminan
2.1.4.4
Faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
Steers dalam Sopiah (2008) mengidentifikasi ada 3 faktor yang
mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi yaitu:
1)
  Ciri pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi dan variasi  
kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan. 
2)
Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan
sekerja. 
3)
Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara
pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai
organisasi.
2.1.5
Hubungan Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasi
Menurut Andini (2006),
terdapat pengaruh positif antara kepuasan kerja
terhadap komitmen organisasi, dimana semakin tinggi tingkat kepuasan kerja
karyawan, maka semakin tinggi pula komitmen organisasional karyawan tersebut.
Selanjurnya menurut Malik et al. (2010), bahwa karyawan cenderung puas dan
lebih
setia kepada organisasi mereka. Umumnya, ketika orang puas
dengan pekerjaan
mereka, mereka akan memiliki perasaan sikap positif tentang
pekerjaan mereka.
Sedangkan kepuasan yang tinggi akan menyebabkan kualitas hubungan antar
  
27
individu
dalam organisasi menjadi semakin baik. Dan kualitas hubungan akan
menyebabkan komitmen di antara mereka juga semakin baik. 
Kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi diri.
Pegawai yang tidak
memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan
pada gilirannya akan frustasi. Oleh karenanya kepuasan bagi pegawai kemudian akan
memotivasi pegawai untuk lebih meningkatkan produktivitas dan komitmennya
dalam bekerja.
Hal diatas mengungkapkan bahwa kepuasan kerja yang dipelihara secara
terus-menerus akan menimbulkan perasaan berkomitmen terhadap organisasi.
Apalagi jika seorang karyawan merasa lebih puas dengan atasannya, lebih puas
dengan penilaian prestasi kerja, dan juga mereka merasakan bahwa organisasi
mereka memperhatikan kesejahteraannya, maka semakin tinggi pula tingkat
komitmennya terhadap organisasi. 
2.1.6
Hubungan Keadilan Organisasi dengan Komitmen Organisasi
Menurut pendapat Clay et al (2005), terdapat pengaruh yang signifikan antara
keadilan distributive, keadilan prosedural dan keadilan interaksional terhadap
komitmen organisasi. untuk mempertahankan komitmen karyawan terhadap
perusahaan maka Human Resource Management harus melakukan kontrol langsung
dengan mempraktekan keadilan perusahaan secara interaksional, prosedural dan
distributif. Dalam penelitian ini menunujukkan bahwa semua perilaku manajerial
selalu dipersepsi berdasarkan keadilan yang selanjutnya akan
berasosiasi dengan
sikap kerja yang di antaranya adalah komitmen terhadap perusahaan (Fischer, 2002).
Keadilan prosedural berasumsi bahwa semua karyawan harus dipandang bernilai dan
merupakan kelompok kerja yang juga
bernilai. Penghargaan seperti ini
menumbuhkan komitmen karyawan terhadap perusahaan.
  
28
Menurut Fischer (2003), Keadilan distributif juga menumbuhkan komitmen
perusahaan. Karyawan yang mempersepsi bahwa dirinya telah memperoleh apa yang
ia persepsi ideal secara pertukaran antara input yang telah diberikan pada perusahaan
dan apa
yang telah diterima dari perusahaan (reward allocation) akan menciptakan
kepuasan individu terhadap pekerjaannya dan perusahaannya.
Keadilan distributif
yang dimaksudkan tidak hanya berasosiasi dengan pemberian, tetapi juga meliputi
pembagian, penyaluran, penempatan, dan pertukaran.
Menurut Faturochman (2003), Keadilan interaksional juga merupakan kunci
terbentuknya motivasi kerja dan komitmen terhadap organisasi. Keadilan
interaksional terkait dengan kombinasi antara kepercayaan seorang bawahan
terhadap atasannya dengan keadilan yang nampak dalam lingkungan
kerja sehari-
hari. Ketika sudah terbentuk keharmonisan hubungan sosial dalam
perusahan maka
terbentuklah komitmen karyawan terhadap perusahaan.
2.1.7
Hubungan Pemberdayaan Karyawan dengan Komitmen Organisasi
Menurut Anita dan Chiu 
(2007), mengatakan bahwa komitmen organisasi
harus terus menerus ditingkatkan supaya karyawan
memperoleh pemahaman yang
tinggi akan
pemberdayaan karyawan dan nantinya dapat meningkatkan komitmen
organisasi. Mereka
mengidentifikasi bahwa pemberdayaan di tempat kerja memiliki
hubungan yang signifikan dengan komitmen afektif
dan komitmen berkelanjutan.
Selanjutnya menurut Bhatnagar (2005), menyimpulkan bahwa ada
hubungan positif
dan
signifikan antara pemberdayaan karyawan dan komitmen organisasi. dan
menurut Noorliza et al (2006), Pemberdayaan karyawan merupakan salah satu faktor
yang mempunyai pengaruh terhadap komitmen organisasi, dimana memiliki peranan
penting terhadap kemajuan organisasi/perusahaan, karena pemberdayaan karyawan
dapat meningkatkan komitmen organisasi.
  
29
2.1.8
Penelitian Terdahulu
   Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang menunjukkan adanya
pengaruh Kepuasan Kerja, Keadilan Organisasi dan Pemberdayaan Karyawan
terhadap Komitmen Organisasi :
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Variable
Jurnal Penelitian
Peneliti
Hasil Penelitian
Kepuasan kerja
(X1
) – komitmen
organisasi (Y)
1.
The Impact of
Ethical Behavior
and Facets of Job
Satisfaction on
Organizational
Commitment of
Chinese
Employees (June
2011)
2.
The impact of
employees’ job
satisfaction on
the
organizational
commitment: A
atudy of faculty
members of
private sector
universities of
pakistan. (March
2012)
Fu W, Deshpande
S P, Zhao X. 
Dr. Syed Munir
Ahmed Shah and
Mohammad Salih
Memon
Kepuasan kerja
memiliki
Hubungan yang
signifikan
terhadap
komitmen
organisasi
Keadilan
organisasi (X2
) –
komitmen
organisasi (Y)
1.
Role of
Organizational
justice in
organizational
commitment
with
moderating
effect of
employee work
attitudes (Dec
2012)
Muhammad
Jawad, Sobia
Raja, Aneela
Abraiz and Tahira
Malik Tabassum 
Keadilan
Organisasi
memiliki
Hubungan yang
signifikan
terhadap
komitmen
organisasi
  
30
2.
Impact of
Organizational
Justice
Perceptions on
Job Satisfaction
and
Organizational
Commitment:
The Iranian
Sport
Federations
Perspective
(2012)
Siavash
Khodaparast
Sareshkeh, and
Seyed Morteza
Tayebi
Pemberdayaan
karyawan (X3) –
komitmen
organisasi (Y)
1.
Impact of
Employee
Empowerment
on Employee’s
Job Satisfaction
and Commitment
with the
Organization
(Jun 2011)
2.
Effects of
Employees’
Empowerment
on Employees’
Commitment to
Organization and
Employees’
Turnover
Intention (An
Empirical
Evidence from
Banking Industry
of KPK,
Pakistan) (Jan
2012)
Aamir Sarwar
and Ayesha
Khalid 
Dr. Nazim Ali 
Pemberdayaan
Karyawan
memiliki
Hubungan yang
signifikan
terhadap
komitmen
organisasi
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2013
  
31
2.2 Kerangka pemikiran
Untuk lebih memperjelas arah dari penelitian yang menunujukkan bahwa adanya
hubungan antara kepuasan
kerja, keadilan organisasi dan
pemberdayaan karyawan
terhadap komitmen organisasi,
maka dalam penelitian ini dapat diambil suatu jalur
pemikiran yaitu sebagai berikut:
Sumber: Kerangka Pemikiran Peneliti, 2013
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Kepuasan Kerja (X1)
1.
Pekerjaan itu sendiri
2.
Gaji/ upah
3.
Kesempatan promosi
4.
Atasan
5.
Rekan kerja
Keadilan Organisasi (X2)
1.
Keadilan distributive
2.
Keadilan procedural
3.
Keadilan interaksional
Pemberdayaan Karyawan (X3)
1.
Arti 
2.
Kompetensi
3.
Determinasi
4.
Pengaruh
Komitmen Organisasi (Y)
1.
Komitmen  Afektif
2.
Komitmen Kelanjutan
3.
Komitmen Normatif
  
32
2.3 Hipotesis
Menurut Dani Vardiansyah (2008:10), hipotesis atau hipotesa adalah jawaban
sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus
dibuktikan kebenarannya.
Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori dan rumusan masalah yang
telah diuraikan sebelumnya,
maka hipotesis yang diajurkan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Untuk T-1 :  
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen
organisasi.
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen
organisasi.
Untuk T-2 :   
Ho = 
Tidak ada pengaruh yang signifikan antara keadilan organisasi dengan
komitmen organisasi.
Ha = 
Ada pengaruh yang signifikan antara keadilan organisasi dengan komitmen 
organisasi.
Untuk T-3 : 
Ho = 
Tidak ada pengaruh yang signifikan antara pemberdayaan karyawan dengan
komitmen organisasi.
Ha
=
Ada pengaruh yang signifikan antara pemberdayaan 
karyawan dengan
komitmen organisasi.
Untuk T-4 : 
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja, keadilan organisasi
dan pemberdayaan karyawan terhadap komitmen organisasi.
  
33
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja, keadilan organisasi dan
pemberdayaan karyawan terhadap komitmen organisasi.