11
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Kerangka Teori dan Literatur
2.1.1
Pengertian Pajak
Pengertian pajak telah di atur di
dalam
Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Perubahan Ketiga Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah
Diubah
Dengan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
Tentang Perubahan
Keempat Nomor 5 Tahun 2008 dan Perubahan yang terakhir Nomor 16
Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Pasal 1
ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk kepentingan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Kutipan beberapa pengerian pajak yang dikemukakan oleh para
ahli lainnya (Waluyo, 2011:2) adalah sebagai berikut:
a.
Pengerian pajak menurut Prof.Edwin R. A. Seligman dalam buku
Essay in Taxation Yang diterbitkan di Amerika menyatakan: “Tax
is compulsary contribution from the person, to the government to
depray the expenses incurred in the common interest of all, without
reference to special benefit conferred”. Dari definisi di atas terlihat
adanya kontribusi seseorang yang ditunjukan kepada Negara tanpa
adanya maanfaat yang ditunjukan secara khusus pada seseorang.
Memang demikian halnya bahwa bagaimanapun juga pajak itu
ditunjukan manfaatnya kepada masyarakat.
  
12
b.
Pengertian
pajak menurut Philip E. Taylor dalam buku The
Economics of Public Finance memberikan batasan pajak seperti di
atas hanya menggantikan without reference dengan little reference.
c.
Pengertian pajak menurut Mr. Dr. NJ. Feldmann dalam buku De
Over Heidsmiddelen van Indonesia
(terjemahan):
pajak adalah
presentasi yang dipaksakan sepihak oleh dan
terutang kepada
pengusaha (menurut norma-norma yang diterapkannya secara
umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan
untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
d.
Pengerian pajak menurut Prof. Dr. MUH. Smeets dalam buku De
Economische Betekenis Belastigen
(terjemahan): pajak adalah
prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma
umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi
yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual, dimaksudkan
untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
e.
Pengertian
pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja
yang
berjudul “Pajak Berdasarkan Asas
Gotong Royong” menyatakan:
“pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut
oleh penguasa berdasarkan noram-norma hukum, guna menutup
biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam
mencapai kesejahteraan umum”. Dari definisi di atas tidak tampak
istilah “dipaksakan” karena bertitik tolak pada istilah “iuran wajib”.
Sisi lainnya yang berhubungan dengan kontraprestasi menekankan
pada mewujudkan kontraprestasi itu diperlukan pajak.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat di simpulkan bahwa yang
melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut:
a.
Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang serta aturan
pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.
b.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
c.
Pajak dipungut oleh Negara baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah.
d.
Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah,
yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan
untuk membiayai public investment.
e.
Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu 
mengatur.
2.1.2
Fungsi Pajak
Pajak memiliki dua macam fungsi (waluyo, 2011:6), yaitu:
a.
Fungsi Penerimaan (Budgeter); Pajak berfungsi sebagai sumber
dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran
pemerintah.
Sebagai contoh: Dimasukkannya pajak dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) sebagai penerimaan
dalam negeri.
  
13
b.
Fungsi Mengatur (Reguler); Pajak berfungsi sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan
ekonomi.
Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang tinggi terhadap
minuman keras, sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan.
Demikian pula terhadap barang mewah.
2.1.3
Pengertian Utang Pajak
Pengertian Utang Pajak menurut Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat
Paksa Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 1 ayat 8 yang berbunyi sebagai
berikut:
“Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk
sanksi administrasi
berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum
dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan kententuan
peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Menurut Hukum pajak (Ilyas, Wirawan B, Burton, Richard
(2008:35) Timbulnya Utang Pajak didasarkan pada dua pendapat yang
berbeda.
Pendapat pertama menyatakan bahwa Utang Pajak timbul pada
saat diundangkannya Undang-undang pajak. Artinya apabila suatu Undang-
undang pajak diundangkan oleh Pemerintah, maka pada saat itulah
timbulnya
Utang Pajak sepanjang
yang diatur dalam Undang-undang
tersebut menimbulkan suatu kewajiban bagi seseorang menjadi terutang
pajak.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa Utang Pajak timbul
pada saat dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh Pemerintah.
Direktorat Jenderal Pajak (Fiskus). Artinya bahwa seseorang baru diketahui
  
14
mempunyai Utang Pajak saat fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
atas namanya serta besarnya pajak yang terutang.
2.1.3.1Hapusnya Utang Pajak
Apabila melihat timbulnya Utang Pajak bahwa Utang Pajak timbul
karena Surat Ketetapan Pajak (Ajaran Formal,
ajaran ini diterapkan oleh
official assessment system. Perbedaan dengan ajaran materiil bahwa utang
pajak timbul karena Undang-undang. Ajaran ini diterapkan pada sistem self
assessment. TAF Institute (2012:B10)
Adapun hapusnya utang pajak disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1.
Pembayaran 
Utang pajak yang melekat pada Wajib Pajak akan dihapus karena
pembayaran pajak yang dilakukan ke kas Negara.
2.
Kompensasi
Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan
tagihan seseorang diluar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu
kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa
kelebihan pembayaran pajak.
Jumlah kelebihan pembayaran pajak
yang diterima Wajib Pajak sebelumnya harus dikompensasikan
dengan pajak-pajak lainnya yang masih terutang.
3.
Daluwarsa
Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hak untuk
melakukan penagihan pajak daluwarsa setelah lampau waktu lima
tahun terhitung sejak tanggal penerbitan Ketetapan Pajak. Hal
ini
untuk memberikan kepastian hukum kapan Utang Pajak tidak dapat
ditagih lagi. Namun daluwarsa Penagihan Pajak tertangguh, antara
lain apabila diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.
4.
Pembebasan 
Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya tetapi karena
ditiadakan.
Pembebasan umumnya tidak diberikan kepada pokok
pajaknya, tetapi terhadap saksi administrasi.
5.
Penghapusan
Penghapusan Utang Pajak ini sama
sifatnya dengan pembebasan,
tetapi diberikan karena keadaan keuangan Wajib Pajak.
  
15
Pendapat lain Menurut Bohari, H (2012:129) Utang Pajak yang
dapat dihapuskan adalah Utang Pajak yang tercantum dalam Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Tambahan yang tidak dapat atau tidak
mungkin ditagih lagi, disebabkan karena: (MenurutBohari, H (2012:129))
a.
Wajib Pajak Meninggal Dunia dengan tidak meninggalkan harta
warisan, dan tidak mempunya ahli warisan;
b.
Wajib Pajak tidak diketemukan;
c.
Wajib Pajak tidak mempunya kekayaan lagi;
d.
Hak untuk melakukan penagihan sudah lewat waktu (kadaluwarsa).
2.I.4
Perlawanan Pajak
Menurut Waluyo (2011:12) mengingat betapa pentingnya
peran
masyarakat untuk membayar pajak dalam peran sertanya menaggung
pembiayaan Negara, maka dituntut kesadaran Warga Negara untuk
memenuhi kewajiban kenegaraan.
Terlepas dari kesadaran sebagai warga
Negara, pada sebagaian besar masyarakat tidak memenuhi kewajiban
membayar pajak. Dalam hal demikian timbul perlawanan terhadap pajak.
Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi perlawanan pasif dan
perlawanan aktif (Waluyo (2011:12-13))
1.
Perlawanan Pasif 
Perlawanan Pasif berupa hambatan yang mempersulit
pemungutan
pajak dan mempunyai hubungan erat dengan strukur ekonomi
Contoh: kebiasaan masyarakat desa yang menyimpan uang dirumah
atau dibelikan emas bukanlah menghindari Pajak Penghasilan dari
bunga tetapi karena belum terbiasa dengan perbankan.
2.
Perlawanan Aktif
Perlawanan Aktif secara nyata terlihat pada
semua usaha dan
perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus)
dengan tujuan untuk menghindari pajak.
  
16
Menurut TAF Institute (2012:B11) Usaha Perlawanan Aktif dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) cara, yaitu:
a.
Penghindaran Diri dari Pajak (Avoidance )
Dilakukan dengan tidak melakukan perbuatan yang memberi alasan
untuk dikenakan pajak. Penghindaran yang dilakukan Wajib Pajak masih
dalam kerangka peraturan perpajakan.
Misalnya: Rokok putih diganti dengan rokok
tingwe
supaya tidak kena
pajak rokok
b.
Pengelakan Diri dari Pajak (Tax Evasion)
Dilakukan dengan cara-cara yang melanggar Undang-undang dengan
maksud melepaskan diri dari pajak atau mengurangi dasar pengenaannya.
Misalnya: Wajib Pajak melakukan manipulasi pajak dengan melakukan
pembukuan berganda.
c.
Melalaikan Pajak
Dilakukan dengan cara menolak membayar pajak yang telah ditetapkan
dan menolak memenuhi formalitas yang harus dipenuhi.
Misalkan:
menghalangi penyitaan dengan menyembunyikan barang-
barang yang akan disita.
2.1.5
Asas -  Asas Pemungutan Pajak
Menurut
Waluyo (2011:13) Untuk mencapai tujuan pemungutan
pajak, dalam memilih alternatif pemungutannya, sehingga terdapat keserasian
pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu
pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak
sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku “An Inquiri into the
Natural and Clauses of The Wealth of Nations” menyatakan bahwa
pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas-asas berikut:
a.
Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada
orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak
(ability to pay)
dan sesuai dengan manfaat yang diterima.Adil
dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk
pengeluaran Pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat
yang diterima.
  
17
b.
Certainty
Penerapan pajak itu tidak ditentukan dengan sewenang-wenang.
Oleh
karena itu Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak
yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
c.
Convenience
Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan
saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak sebagai contoh pada saat
Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut
Pay as You Earn.
d.
Economy
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan
kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimal mungkin,
demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak.
Asas Keadilan dalam prinsip Perundang-undangan Perpajakan maupun dalam
hal pelaksanaannya harus
dipegang teguh walaupun keadilan itu sangat
relatif.
2.1.6
Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak (waluyo, 2011:17) dapat dibagi menjadi:
a.
Official Assessment system
Sistem Official Assessment merupakan sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang kepada pemerintah (Fiskus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri Official Assessment system:
1.
Wewenang menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus.
2.
Wajib pajak bersifat pasif
3.
Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak
oleh fiskus.
b.
Self Assessment system
Sistem Self Assessment merupakan pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar.
c.
Withholding system
Sistem Withholding
suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
  
18
Berdasarkan Undang-undang
Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun
1983
Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana telah
Diubah
Dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 
Tentang Perubahan Keempat Nomor 5 Tahun 2008 dan Perubahan yang
terakhir Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia adalah
sistem Self assessment
2.1.7
Pengertian Penagihan Pajak
Pelaksanaan Penagihan yang tegas, konsisten dan konsekuen
diharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib
Pajak dalam membayar Utang Pajaknya. Hal ini merupakan posisi strategis
dalam meningkatkan penerimaan Negara dari sektor pajak sehingga tindakan
penagihan pajak tersebut dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang
tertunda.
Kegiatan penagihan pajak merupakan ujung tombak dalam
menyelamatkan penerimaan Negara
yang tertunda, oleh sebab itu seksi
penagihan merupakan seksi produksi yang paling dibanggakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam pelaksanaannya penagihan pajak haruslah
dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga
mempunyai kekuatan hukum bagi Wajib Pajak maupun aparat Pajaknya.
Penagihan pajak merupakan usaha yang harus dilakukan untuk
mencairkan Tunggakan Pajak yang belum dibayar oleh Penanggung Pajak.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 Tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Telah Diubah terakhir dengan Undang-
  
19
undang
Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 1 ayat 9 yang
berbunyi sebagai berikut:
“Penagihan Pajak adalah Serangkaian tindakan agar penanggung
pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita”.
Berdasarkan Jurnal sebagaimana yang dikutip oleh Stela Aurelia
Toader hal: 118-127. Tahun 2009 tentang The Impact Of Tax Equity
On
Income Tax Collection During Economic Decline
“Generally, during financial crisis benefits liable to taxation represented by
revenues which have been generated, consumed or saved that create fiscal
prelevation are variably reduced. An elementthat can have an influence is tax
payers’ conformation degree, which is lower in these times and thenatural
trend of tax evasion is higher for objective reasons, we might state. The speed
of reduction of taxable income during financial crisis is amplified when tax
payers feel the tax duty as inequitable.”
Yang artinya
pada
Umumnya, selama krisis keuangan keuntungan
dikenakan pajak diwakili oleh pendapatan yang memiliki
telah dihasilkan,
dikonsumsi atau disimpan yang menciptakan prelevation fiskal bervariasi
berkurang.
sebuah elemen
yang dapat memiliki pengaruh adalah gelar
konformasi pembayar pajak,
yang lebih rendah di saat-saat dan
Kecenderungan penggelapan pajak lebih tinggi karena alasan obyektif, kita
mungkin menyatakan. Kecepatan pengurangan
Penghasilan Kena Pajak
selama krisis keuangan diperkuat ketika Wajib Pajak merasa tugas pajak
tidak adil.
  
20
2.1.7.1Dasar Penagihan Pajak 
Menurut Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana telah
Diubah Terakhir Dengan Undang-undang
Republik Indonesia
Nomor 28
Tahun 2007
Tentang Perubahan Keempat Nomor 5 Tahun 2008 dan
Perubahan yang terakhir Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 18
ayat 1 tentang Penagihan Pajak yang
berbunyi sebagai berikut:
“Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta
Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak”.
Dasar penagihan pajak adalah ketetapan-ketetapan yang diterbitkan
sebelumnya, yaitu:
a.
Surat Tagihan Pajak
(Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Sebagaimana Telah diubah Terakhir Dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Keempat Nomor 5
Tahun 2008 dan Perubahan yang terakhir Nomor 16 Tahun 2009 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 Ayat 20).
Adalah Surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi
berupa bunga dan atau denda.
b.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan Sebagaimana Telah diubah Terakhir Dengan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
Tentang Perubahan
Keempat Nomor 5 Tahun 2008 dan Perubahan yang terakhir Nomor 16
Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Pasal
1 Ayat 16).
Adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok
pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan Pembayaran pokok pajak,
  
21
besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus
dibayar.
c.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah diubah Terakhir Dengan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
Tentang
Perubahan Keempat Nomor 5 Tahun 2008 dan Perubahan yang terakhir
Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan Pasal 1 Ayat 17).
Adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.
d.
Surat Keputusan Pembetulan
(Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Sebagaimana Telah diubah Terakhir Dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
Tentang Perubahan Keempat
Nomor 5 Tahun 2008 dan Perubahan yang terakhir Nomor 16 Tahun
2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat
33).
Adalah Surat Keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan
hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan
Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
e.
Surat Keputusan Keberatan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor
6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Sebagaimana Telah diubah Terakhir Dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Keempat Nomor 5
Tahun 2008 dan Perubahan yang terakhir Nomor 16 Tahun 2009 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 34).
Adalah Surat Keputusan atas Keberatan terhadap surat ketetapan pajak
atau surat pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan
oleh Wajib Pajak.
f.
Surat Putusan Banding (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Sebagaimana Telah
diubah Terakhir Dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Keempat Nomor 5
Tahun 2008 dan Perubahan yang terakhir Nomor 16 Tahun 2009 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan  Pasal 1 ayat 35).
Adalah Surat Putusan badan peralihan pajak atas banding terhadap surat
keputusan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Seluruh jenis Surat Ketetapan Pajak diatas yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak.
  
22
2.1.7.2Pihak-pihak yang Terkait Dalam Penagihan pajak
Menurut Pasal 5 ayat 4 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Sebagaimana
Telah Diubah dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2000 dinyatakan bahwa pihak-pihak yang terkait dalam penagihan pajak
dapat dibagi menjadi dua yaitu pihak internal maupun eksternal Direktorat
Jenderal Pajak. Pihak Internal Direktorat Jenderal Pajak adalah Jurusita
Pajak. Sedangkan pihak eksternal Direktorat Jenderal Pajak terdiri dari:
a.
Kepolisian dan Kejaksaan,
b.
Departemen yang membidangi hukum dan perundang-undangan,
c.
Pemerintah Daerah,
d.
Badan Pertanahan Nasional,
e.
Pengadilan Negeri,
f.
Bank, atau pihak lain.
2.1.8
Prosedur Pelaksanaan Penagihan Pajak
Prosedur pelaksanaan penagihan pajak menurut Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor 24/PMK.03/2008 Tentang Tata Seketika dan Sekaligus.
Sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan RI
Nomor 85/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan
Surat Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus.
1)
Surat Paksa
Pelaksanaan Penagihan Aktif Pajak di awali dengan Surat
Paksa. Menurut Rosdiana, Haula, Irianto, Edi Slamet. (2011: 251)
Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat
Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan
oleh Jurusita Pajak dengan dibebani Biaya Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa  sebesar Rp.50.000 (lima puluh ribu rupiah). Utang pajak
  
23
harus dilunasi dalam jangka waktu 2x24 jam setelah Surat Paksa
diberitahukan oleh Jurusita Pajak.
Pada dasarnya Surat Paksa
diterbitkan setelah Surat Teguran, atau Surat Peringatan, atau Surat
lain yang sejenis diterbitkan oleh pejabat. Surat Paksa
telah diatur
dalam Pasal 1 ayat 12 Undang-undang  Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Sebagimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2000
yang berbunyi: “Surat Paksa adalah
surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak”.
Dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
1997 Tentang Penagihan Dengan Surat Paksa Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 7 ayat 1
menyebutkan bahwa fisik dari surat paksa sendiri di bagian kepalanya
bertuliskan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”.
Dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan
Dengan Surat Paksa Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 disebutkan bahwa
surat paksa sekurang-kurangnya harus memuat:
a.
Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak
b. Dasar penagihan
c.
Besarnya utang pajak
d. Perintah untuk membayar
Secara teori Surat Paksa diterbitkan setelah Surat Teguran atau
Surat Peringatan atau Surat lain sejenis yang diterbitkan oleh pejabat.
  
24
Pasal 8 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
1997
Tentang Penagihan Dengan Surat Paksa Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2000 menerangkan tentang penerbitan Surat Paksa, yaitu:
a.
Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya
telah
diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat
lain yang sejenis.
b.
Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan Penagihan
Seketika dan Sekaligus; atau
c.
Penanggung Pajak tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana
tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan
Pembayaran Pajak.
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan
pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung
Pajak, dan dituangkan dalam Berita Acara yang sekurang-kurangnya
memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Jurusita
Pajak, nama yang menerima dan tempat pemberitahuan Surat Paksa.
2)
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
135 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, apabila telah lewat 2x24 jam
setelah tanggal pemberitahuan Surat Paksa, Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak masih belum melunasi utang pajaknya, maka dapat
dilakukan penyitaan terhadap harta kekayaan Wajib
Pajak/Penanggung Pajak oleh Kepala Kantor Pelayaan Pajak dengan
mengeluarkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan. Selain itu,
terdapat ketentuan tambahan
sebagai berikut: pelaksanaan penyitaan
  
25
aset Wajib Pajak/Penanggung Pajak agar diprioritaskan atas kekayaan
Penanggung Pajak berupa monetary assets seperti deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening Koran, giro, piutang atau tagihan, obligasi,
saham, dan surat berharga lainnya. Khusus penyitaan atas harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank dilaksanakan
dengan pemblokiran terlebih dahulu. Apabila dalam jangka waktu
empat belas hari sejak pelaksanaan sita, penanggung pajak tidak
melunasi
Utang
Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Kepala
Kantor
Pelayanan
Pajak
segera meminta kepada Pimpinan Bank untuk
memindah bukukan kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada
Bank ke Kas Negara sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
563/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 dan Peraturan Dirjen
Pajak No. Per-109/PJ./2007 Tanggal 6 Agustus 2007.
Penyitaan dilakukan terhadap barang milik Penanggung Pajak
yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau
tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain
atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat
berupa
barang bergerak dan barang tidak bergerak.
Berdasarkan 
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 Tentang
Penagihan Dengan Surat Paksa Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 14 ayat 1:
a.
Barang Bergerak, misalnya; mobil, perhiasan, uang tunai dan
deposito berjangka, tabungan, giro, dan obligasi.
b.
Barang Tidak Bergerak, misalnya; tanah dan bangunan.
Penyitaan terhadap Penanggung Pajak dapat dilaksanakan
terhadap barang milik
perusahaan, pengurus, kepala perwakilan,
  
26
kepala cabang, Penanggung Jawab, Pemilik Modal baik di tempat
tinggal mereka
maupun di tempat lain. Namun demikian tidak semua
barang bergerak milik Penanggung Pajak akan disita. Ada beberapa
barang bergerak milik Penaggung Pajak yang
dikecualikan dari
Penyitaan diatur
dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-undang
Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000, yaitu:
a.
Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapan yang digunakan
oleh Penaggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
b.
Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu  bulan
beserta peralatan masak yang ada di rumah,
c.
Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas
yang
diperoleh dari negara,
d.
Buku-buku yang berhubungan denagn pekerjaan atau Jabatan
Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk
pendidikan, kebudayaan dan keilmuan,
e.
Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk
melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari yang jumlahnya
tidak lebih dari Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) atau,
f.
Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung
Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Berdasarkan Buku Bohari, H (2012:124)
Barang yang telah disita
dititipkan Kepada Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut
Jurusita Pajak barang dimaksud perlu disimpan di Kantor Pejabat atau
di tempat lain, Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. Dalam hal
pemblokiran dilakukan atau dilaksanakan terhadap barang tidak
bergerak yang kepemilikannya belum terdaftar.
Jurusita Pajak
menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada
Pemerinah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat untuk diumumkan
  
27
menurut cara yang lazim di tempat itu. Terhadap barang yang telah
disita oleh kejaksaan atau kepolisian
sebagai barang bukti dalam
kasus Pidana, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa dengan
dilampiri Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa barang yang
dimaksud akan disita apabila proses pembuktian telah selesai dan
diputuskan bahwa barang bukti dikembalikan kepada Penanggung
Pajak.
Di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Sebagaimana
Telah Diubah Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2000 Pasal 19
Dijelaskan
bahwa penyitaan tidak dapat
dilaksanakan terhadap orang  yang telah disita oleh Pengadilan Negeri
atau Instansi lain yang berwenang. Terhadap barang yang telah disita
oleh Pengadilan Negeri, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa
kepada pengadilan Negeri tersebut. Pengadilan Negeri dalam sidang
berikutnya menetapkan barang yang disita tersebut dijadikan jaminan
pelunasan Utang Pajak. Pengadilan Negeri menentukan hasil penjulan
barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk
Tagihan Pajak. Hak mendahulu untuk Tagihan Pajak melebihi segala
hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a.
Biaya perkara yang semata-mata yang disebabkan oleh suatu
penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun
barang tidak bergerak;
b. Biaya yang telah dikeluarkan untuk penyelamatan barang
dimaksud; dan
c.
Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan
penyelesaian suatu warisan.
  
28
3)
Pengumuman dan pelaksanaan Lelang
Langkah pertama
dalam tahapan pengumuman dan
pelaksanaan lelang adalah permintaan jadwal
waktu dan tempat
pelelangan dibuat jika Wajib Pajak/Penanggung Pajak belum juga
melunasi utang pajaknya setelah dilakukan penyitaan.
Permintaan
jadwal waktu dan tempat pelelangan diajukan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak kepada Kepala Kantor Lelang Negara Setempat, 14
(empat belas)
hari sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan.
Setelah diperoleh kepastian mengenai hari, tanggal, jam, dan
tempat pelaksanaan lelang, maka Jurusita Pajak memberitahukan
secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat
Pemberitahuan akan dilakukan pelelangan. Setelah lewat jangka
waktu 14 (empat belas) hari, maka dilakukan Pengumuman lelang.
Penjualan dilakukan serentak dan baru dapat dilakukan setelah
14 (empat belas)
hari sejak pengumuman lelang di media
cetak/elektronik.
Apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak melunasi
Hutang-hutang pajak serta biaya pelaksanaannya sesudah
pengumuman lelang dimuat di media cetak/elektronik dan sebelum
pelaksanaan lelang, maka pengumuman lelang itu dibatalkan dengan
memuat iklan pembatalan dalam media cetak/elektronik yang
bersangkutan
Pembatalan pengumuman lelang baru dapat dilakukan
apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak menunjukkan bukti
pembayaran utang pajak serta biaya pelaksanaannya.
  
29
4)
Petugas Pelaksanaan Penagihan Pajak
Petugas yang bertanggung Jawab melaksanakan penagihan
aktif adalah Jurusita Pajak.
Jurusita Pajak diangkat dan dihentikan
oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk Penagihan
Pajak Pusat atau Gubenur/Bupati/Walikota untuk penagihan pajak
Daerah.
Sebelum memangku jabatannya, Jurusita Pajak diambil
sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya oleh pejabat
bersangkutan.
Berdasakan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Sebagaimana Telah diubah Dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 4 yang berbunyi sebagai
berikut: 
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa
saya, untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan
atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga”
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu
janji atau pemberian”
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan
akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar
dan ideologi Negara, Undang-undang Dasar 1945, dan segala
Undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara
“Republik Indonesia”
  
30
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak
membeda-bedakan orang dalam melaksankan kewajiban saya dan
akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi
seorang Jurusita Pajak yang berbudi baik dan jujur, menegakkan
hukum dan keadilan”.
Syarat-syarat menjadi Jurusita Pajak berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000 tentang syarat-syarat,
Tata Cara Pengangkatan dan pemberhentian Jurusita
Pajak adalah
sebagai berikut:
a.
Berijazah serendah-rendahnya sekolah menengah umum atau yang
setingkat dengan itu;
b.
Berpangkat serendah-rendahnya pengatur Muda/Golongan II/a
c.
Berbadan Sehat
d.
Lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak; dan 
e.
Jujur, Bertanggung Jawab dan Penuh Pengabdian.
2.1.9
Piutang Pajak
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-
02/PJ.2012 Tentang Penggolongan Penyisihan Piutang Pajak Pasal 1 ayat 1
yang berbunyi  sebagai berikut:
“Piutang Pajak adalah Piutang yang timbul atas pendapatan pajak
sebagaiana diatur dalam Undang-undang Perpajakan, yang belum dilunasi
sampai dengan akhir periode laporan”
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-
02/PJ.2012 Tentang Penggolongan Penyisihan Piutang Pajak Pasal 1 ayat 2
yang berbunyi
sebagai berikut:
Penyisian Piutang Pajak Tidak Tertagih
adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari akun
Piutang Pajak berdasarkan penggolongan Kualitas Piutang Pajak. Pasal 1 ayat
  
31
3 dijelaskan
Kualitas Piutang Pajak adalah hampiran atas ketertagihan
Piutang Pajak yang diukur berdasarkan kepatuhan membayar kewajiban oleh
Penanggung Pajak. 
2.2
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti
mengevaluasi efektifitas penagihan
pajak aktif dalam rangka pencairan tunggakan utang pajak atas wajib pajak di
KPP Pratama Jakarta Kebon Jeruk Dua. Karakteristik riset ini adalah sebagai
berikut:
1.
Jenis riset adalah riset kualitatif,
2.
Lingkungan riset adalah lingkungan riil (field research)
yaitu di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama  Jakarta Kebon Jeruk Dua,
3.
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer yaitu berupa :
a.
Informasi SIDJP Seksi Pengolahan Data dan Informasi di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama kebun jeruk dua
b. Informasi dari
register Surat Paksa,
register Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan. 
c.
Peraturan Perpajakan yaitu Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan 
d. Peraturan perpajakan yaitu tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
dan,
e.
Data literatur
pendukung studi pustaka lainnya yang diperoleh dari
buku, internet, dan media massa lainnya.
4.
Teknik-teknik yang digunakan dalam memperoleh data yang relevan
yaitu:
a.
Melakukan wawancara dengan subjek dan objek penelitian untuk
memperoleh data dan informasi yang terjadi di lapangan.
Wawancara/Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara
mengenai data-data yang diperlukan
b.
Melakukan Observasi
secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Jakarta Kebon Jeruk Dua
c.
Dokumentasi adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan
membuat salinan atau menggandakan data yang di dapat dari Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebon Jeruk Dua.