15
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Kerangka Teori dan Literatur
2.1.1 Intangible Assets
Smith (1998) mendefinisikan intangible assets sebagai berikut:
Intangible assets are all the elements of a business enterprise that exist in
addition to working capital and tangible assets. They are the elements, after working
capital and tangible assets, that make the business work and are often the primary
contributors to the earning power of the enterprise. Their existences is dependent on
the presence. or expectation, of earnings.
(Aset tak berwujud adalah keseluruhan elemen pada perusahaan yang muncul
sebagai pelengkap dana kerja dan aset berwujud. Mereka adalah elemen selain dana
kerja dan aset berwujud yang membuat bisnis dapat berjalan dan seringkali mereka
adalah pemberi kontribusi utama dalam kekuatan menghasilkan pendapatan
perusahaan. Keberadaan mereka bergantung pada kehadiran atau ekspektasi dari
pendapatan itu sendiri.)
Paragraph 08 PSAK 19 (revisi 2009) mendefinisikan aset tidak berwujud
sebagai aset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik
serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau
jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Definisi
tersebut
mengadopsi pengertian dari IAS 38 tentang Intangible Assets
yang relatif
sama dengan definisi yang diajukan dalam FRS 10 tentang Goodwill and Intangible
Assets. IAS 38 maupun FRS 10, menyatakan bahwa aktiva tidak berwujud harus
dapat diidentifikasi, bukan aset keuangan (non-financial / non-monetary assets), dan
tidak memiliki substansi fisik.
|
16
2.1.2 Intellectual Capital
a.
Definisi Intellectual Capital
Menurut Stewart & Ruckdeschel (1997), intellectual capital telah diartikan
secara
berbeda oleh beberapa kalangan, dipahami oleh beberapa kelompok kecil dan secara
formal belum terdapat metode penilaian yang baku. Sebagai sebuah konsep,
intellectual capital merujuk pada modal-modal non fisik atau modal tidak berwujud
(intangible assets) atau tidak kasat mata (invisible) yang terkait dengan pengetahuan
dan pengalaman manusia serta teknologi yang digunakan. Stewart & Ruckdeschel
(1997) menjelaskan bahwa intellectual capital
merupakan
The sum of everything
everybody in your company knows that gives you a competitive edge in the market
place. It is intellectual material
knowledge, information, intellectual property,
experience that can be put to use to create wealth.
(Penjumlahan dari semua
yang setiap orang di dalam perusahaan ketahui yang memberikan keunggulan
kompetitif di pasar. Hal tersebut berbentuk materi intelektual
pengetahuan,
informasi, properti intelektual, pengalaman
yang dapat digunakan untuk
menciptakan kekayaan.)
Kesalahan interpretasi sering terjadi antara terminologi intellectual
capital
dengan intangible asset. Berdasarkan International Financial Reporting Standards
(IFRS) International Accounting Standard 38, intangible asset didefinisikan sebagai
aset non moneter yang dapat diidentifikasi meski tidak berwujud. Intellectual capital
adalah sebuah informasi atau pengetahuan yang dimiliki sebuah perusahaan yang
memberikan pemilik informasi tersebut keunggulan kompetitif melebihi yang tidak
memiliki informasi dan pengetahuan tersebut; termasuk di dalamnya intellectual
property, human capital customer capital dan
structural capital
(Shamos, 1999).
Intellectual capital
seringkali adalah intangible asset, namun penting untuk
|
17
mengetahui bahwasannya tidak semua intellectual capital
dapat diidentifikasi
sehingga menyebabkan tidak boleh di akui di laporan keuangan
(Kok, 2007). Lebih
lanjut, IFRS melarang pengakuan beberapa jenis intellectual capital
dikarenakan
tidak dapat diukur secara pasti.
Kebutuhan akan informasi mengenai intellectual capital
dideskripsikan oleh
Robert Reich (1991) dalam Riahi-Belkaoui (2003) sebagai berikut:
Members of the accounting profession, not otherwise known for their public
displays of emotion, have fretted openly about how to inform potential investors of
the true worth of enterprises whose value rests in the brains of employees. They have
used the term goodwill to signify the ambiguous zone in the corporate balance
sheets between the companys tangible assets and the value of its talented people.
But as intellectual capital continues to overtake physical capital as the key asset of
the corporation, shareholders find themselves on shakier and shakier ground.
(Anggota profesi akuntansi, tidak dikenal sebagai profesi yang sering
menunjukkan emosi mereka ke publik, telah secara terbuka menyatakan
kecemasannya mengenai bagaimana menginformasikan calon investor mengenai
nilai sebenarnya dari perusahaan yang nilai utamanya terletak pada pola pikir
karyawannya. Mereka (perusahaan) telah menggunakan istilah goodwill untuk
menandai daerah ambigu dalam neraca perusahaan antara aset berwujud perusahaan
dan nilai dari talenta orang-orangnya. Tetapi semakin perkembangannya intellectual
capital yang mulai mengambil alih peran aset fisik sebagai aset kunci atau aset utama
perusahaan, pemegang saham semakin hari berdiri pada dasar yang semakin tidak
kokoh.).
Inti dari deskripsi oleh Reich adalah pola pikir karyawan yang semakin penting
kedudukannya dalam perusahaan namun sulit untuk diinformasikan melalui laporan
keuangan yang banyak digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh
investor.
Bontis et al. (2000) menyatakan bahwa secara umum, para peneliti
mengidentifikasi tiga konstruk utama dari intellectual capital, yaitu: human capital
(HC), structural capital (SC), dan customer capital (CC). Menurut Bontis et al.
(2000),
secara sederhana human capital merepresentasikan individual knowledge
stock suatu organisasi yang direpresentasikan oleh karyawannya. Human capital
merupakan kombinasi dari genetic inheritance; education; experience, dan attitude
|
18
tentang kehidupan dan bisnis. Lebih lanjut Bontis et al. (2000) menyebutkan bahwa
structural capital meliputi seluruh non-human storehouses of knowledge dalam
organisasi. Termasuk dalam hal ini adalah database, organisational charts, process
manuals, strategies, routines dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih
besar daripada nilai materialnya. Sedangkan tema utama dari customer capital adalah
pengetahuan yang melekat dalam marketing channels dan customer relationship
dimana suatu organisasi mengembangkannya melalui jalannya bisnis.
Dapat disimpulkan bahwa intellectual capital
merupakan suatu konsep yang
dapat memberikan sumber daya berbasis pengetahuan baru dan mendeskripsikan
aktiva tak berwujud yang jika digunakan secara optimal memungkinkan perusahaan
untuk menjalankan
strateginya dengan efektif dan efisien. Dengan demikian
intellectual capital
merupakan pengetahuan yang memberikan informasi tentang
nilai tak berwujud perusahaan yang dapat mempengaruhi daya tahan dan keunggulan
bersaing.
b.
Pengklasifikasian Intellectual Capital
Stewart & Ruckdeschel (1997) mengklasifikasikan intellectual capital ke dalam tiga
format dasar, yaitu:
(1)
Human Capital
Merupakan urat nadi dalam intellectual capital. Pada human capital
inilah
terdapat sumber inovasi
dan improvement, tetapi merupakan komponen yang sulit
diatur. Hal ini disebabkan dalam human capital terdapat pengetahuan, keterampilan
dan kompetensi karyawan perusahaan serta mencerminkan suatu kemampuan
kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan
yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut.
|
19
Human capital
akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan
pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya (Sawarjuwono & Kadir, 2005). Oleh
karena itu human capital
merupakan sumber daya kunci
yang dapat menciptakan
keunggulan kompetitif perusahaan sehingga perusahaan mampu bersaing dan
bertahan di lingkungan bisnis yang dinamis;
(2)
Structural Capital
Merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memenuhi proses
rutinitas perusahaan dan strukturnya sehingga dapat mendukung karyawan
menciptakan kinerja intelektual yang optimal. Seorang individu dapat memiliki
tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan
prosedur yang buruk maka intellectual capital
tidak dapat mencapai kinerja secara
optimal dan potensi yang ada tidak dapat mencapai kinerja secara optimal dan
potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal (Sawarjuwono & Kadir,
2005) ; dan
(3)
Relational Capital atau Customer Capital.
Merupakan hubungan yang harmonis dalam association network yang dimiliki
oleh perusahaan dengan para mitranya, dari pemasok, pelanggan, masyarakat sekitar
maupun pemerintah. Customer capital dapat muncul dari berbagai bagian diluar
lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut
(Sawarjuwono & Kadir, 2005)
The Danish Confederation of Trade Unions (1999) mengelompokkan
intellectual capital
sebagai manusia, sistem dan pasar. Leliaert et al. (2003)
mengembangkan the 4-Leaf model, yang mengelompokkan intellectual capital
ke
dalam human, customer, structural capital dan strategic alliance capital.
|
![]() 20
Tabel berikut akan menyajikan komponen intellectual capital
yang disebutkan
oleh International Federation of Accountants (1998) dalam Ulum (2008).
Tabel 2.1 Komponen Intellectual Capital
Structural Capital
Relational Capital
Human Capital
Intellectual Property:
1.
Patents
2.
Copyrights
3.
Design rights
4.
Trade secret
5.
Trademarks
6.
Service marks
Infrastructures Assets:
1.
Management philosophy
2.
Corporate culture
3.
Management processes
4.
Information system
5.
Networking system
6.
Financial relations
1.
Brands
2.
Customers
3.
Customer loyalty
4.
Backlog orders
5.
Company names
6.
Distribution
channels
7.
Business
collaborations
8.
Licencing
agreements
9.
Favourable
contracts
10.
Franchising
agreements
1.
Know-how
2.
Education
3.
Vocational
qualification
4.
Work-related
knowledge
5.
Work-related
competencies
6.
Entrepreneurial spirit,
innovativeness,
proactive and reactive
abilities, changeability
7.
Psychometric
valuation
Sumber : International Federation of Accountants (1998) dalam Ulum (2008).
Petrash (1996) mengembangkan model klasifikasi yang dikenal dengan value
platform model. Model ini mengklasifikasikan intellectual capital sebagai akumulasi
dari human capital, organizational capital dan customer capital. Edvinsson &
Malone (1997) mengembangkan The Skandia Value Scheme, yang
mengklasifikasikan intellectual capital
ke dalam structural capital dan human
capital. Haanes dan Lowendahl (1997) mengelompokkan intellectual capital
suatu
perusahaan ke dalam competence dan relational resources. Model yang
dikembangkan Lowendahl (1997) memperbaiki model di atas dan membagi kategori
kompetensi dan rasional menjadi dua sub-group (Tan et al., 2007):
(1) individual; dan
(2) collective.
Metode pengukuran intellectual capital dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori
(Tan et al., 2007), yaitu:
(1)
kategori yang tidak menggunakan pengukuran moneter; dan
|
21
(2)
kategori yang menggunakan ukuran moneter.
Metode yang kedua tidak hanya termasuk metode yang mencoba mengestimasi nilai
uang dari intellectual capital, tetapi juga ukuran-ukuran turunan dari nilai uang
dengan menggunakan rasio keuangan. Berikut adalah daftar ukuran intellectual
capital yang tidak berbasis moneter (Tan et al., 2007):
a. The Balance Scorecard, dikembangkan oleh Kaplan dan Norton (1992);
b. Brookings Technology Broker Method (1996);
c. The Skandia IC Report Method oleh Edvinssion dan Malone (1997);
d. The IC-Index dikembangkan oleh Roos et al. (1997);
e. Intangible Asset Monitor Approach oleh Sveiby (1997);
f. The Heuristic Frame dikembangkan oleh Joia (2000);
g. Vital Sign Scorecard dikembangkan oleh Vanderkaay (2000); dan
h. The Ernst & Young Model (Barsky dan Marchant, 2000).
Sedangkan model penilaian intellectual capital yang berbasis moneter adalah (Tan et
al., 2007):
a. The EVA and MVA Model (Bontis et al., 1999);
b. The Market-to-Book Value Model (beberapa penulis);
c. Tobins Q Method (Luthy, 1998);
d. Pulics VAIC Model (1998, 2000);
e. Calculated Intangible Value (Dzinkowski, 2000); dan
f. The Knowledge Capital Earnings Model (Lev dan Feng, 2001).
Tabel 2.2 di pada halaman berikut
memberikan ilustrasi kerangka kerja atau
framework
pengklasifikasian intellectual capital
yang diringkas oleh Brennan &
Connell (2000), Petty & Guthrie (2000), dan Pulic (1999).
|
![]() 22
Model prinsip dalam framework ini adalah balanced scorecard (Kaplan &
Norton, 1992), the value platform (Petrash, 1996), the intangible asseets monitor
(Sveiby, 1997), dan VAIC (Pulic, 1998). Model terakhir (VAIC) yang dijadikan
acuan dalam penelitian ini dan dijabarkan secara lebih detail pada bagian
selanjutnya.
Tabel 2.2 Kerangka Kerja Pengklasifikasian Intellectual Capital
Dikembangkan oleh
Kerangka Kerja
Klasifikasi
Kaplan & Norton (1992)
Balanced Scorecard
Internal process perspectives
Customer perspectives
Learning and growth perspectives
Financial perspectives
Haanes & Lowendahl
(1997)
Classification of
Resources
Competence
Relational
Sveiby (1997)
Intangible Asset
Monitor
Internal Structure
External Structure
Competence of personnel
Edvinsson & Malone
(1997)
Skadia Value Scheme
Human Capital
Structural Capital
Customer Capital
Petrash (1996)
Value Platform
Human Capital
Customer Capital
Organisational Capital
Danish Confederation of
Trade Unions (1999)
Three categories of
Knowledge
People
System
Market
Pulic (1999)
VAIC
Efficiency of human capital
Structural capital efficiency
Capital employed efficiency
Sumber : Brennan & Connell (2000); Petty & Guthrie (2000); Pulic (1999)
c.
Pengukuran Intellectual Capital
Ada beberapa konsep mengenai pengukuran intellectual capital. Secara umum,
pengukuran intellectual capital
dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengukuran non
monetary dan pengukuran monetary. Partanen (1998) dalam Sawarjuwono & Kadir
(2003) memberikan beberapa cara untuk mengukur intellectual capital perusahaan,
yaitu :
a. Market based, meliputi nilai pasar yang dapat disamakan
|
23
b. Economic based, meliputi net cash flow earnings, kontribusi brand, dan
metode royalti
c. Hybrid based model, meliputi pendekatan aset dan premium.
Menurut Abdolmohammadi (1999) dalam Ulum (2009) menyatakan dua metode
pengukuran intellectual capital sebagai berikut:
1. Indirect methods. Metode ini menggunakan laporan keuangan. Metode-metode
yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
a. Return On Asset (ROA). Metode ini menghitung kelebihan return
dari
tangible assets perusahaan dan menganggapnya sebagai intangible assets untuk
dihitung sebagai intellectual capital.
b. Market Capitalization Method (MCM). Metode ini memerlukan penyesuaian
atas inflasi dan replacement cost. Metode ini melaporkan kelebihan kapitalisasi
pasar perusahaan atas stockholders equity sebagai nilai intellectual capital.
2. Direct Intellectual Capital
(DIC) Method. Metode ini langsung menuju ke
komponen intellectual capital. Variabel intellectual capital dikelompokkan ke dalam
kategori, dan dibagi ke setiap komponen. Setiap komponen diidentifikasikan dan
diukur terpisah sebelum dikompilasi menjadi satu kelompok intellectual capital.
Brooking (1996) dalam Sawarjuwono & Kadir (2003), mengkasifikasikan
pengukuran intellectual capital menjadi empat kategori:
a. Market assets (misalnya merk, loyalitas konsumen)
b. Intellectual property assets (misalnya paten, rahasia dagang)
c. Humancentered assets (misalnya pendidikan, penguasaan pekerjaan)
d. Infrastructure assets (misalnya filosofi manajemen, budaya perusahaan)
Luthy (1998) dalam Ulum (2009) mengelompokkan empat kelompok besar
pengukuran intellectual capital, yaitu :
|
24
1. Direct Intellectual Capital (DIC) Method. Metode ini dilakukan dengan cara
mengidentifikasi komponen-komponen yang bervariasi untuk mengestimasi nilai
dolar dari aset tidak berwujud.
2. Market Capitalization Method
(MCM). Nilai dari intellectual capital atau
intangible assets
perusahaan dihitung dengan melihat perbedaan antara kapitalisasi
pasar perusahaan dengan ekuitas pemegang saham.
3. Return On Assets (ROA). Rata-rata laba sebelum pajak dalam suatu periode
dibagi dengan nilai aset berwujud. Hasil dari pembagian ini merupakan return on
assets perusahaan yang dapat dibandingkan dengan rata-rata industri.
4. Scorecards Methods
(SC). Komponen intellectual capital diidentifikasikan.
Setiap indikator yang ada dilaporkan dalam bentuk scorecards atau grafik. Metode
scorecard
ini mengharapkan tidak ada estimasi dibuat dari nilai moneter
aset tidak
berwujud.
Luu et al (2001) dalam (Ulum, 2009) menyatakan pengukuran intellectual capital
yaitu dengan external measures dan internal measures. Internal measures digunakan
karena pengukuran dan pelaporan terhadap aktiva tidak berwujud dengan metode ini
ditujukan untuk memperbaiki manajemen dalam hal pengambilan keputusan bisnis.
Fokus dari internal measures
lebih pada penganggaran, pelatihan, dan sumber daya
manusia. Metode-metode yang dikelompokkan kedalam kelompok ini adalah Human
Resources Accounting, The Intangible Assets Monitor, The Skandia Navigator, dan
Balance Scorecards. Sedangkan metode-metode yang dikelompokkan ke dalam
external measures
menilai bagaimana pengaruh aktiva tidak berwujud terhadap
kinerja perusahaan yang merupakan faktor utama penyebab perbedaan yang sangat
besar antara nilai pasar dan nilai buku perusahaan yang ada pada pasar modal.
|
25
Contoh bentuk pengungkapan intellectual capital
langsung dalam laporan
tahunan perusahaan di Bursa Efek Indonesia yaitu PT Bukit Uluwatu Villa Tbk
(laporan tahunan 2011) Kami juga menyelesaikan akuisisi terhadap 99% saham di
PT Bukit Borobudur yang akan mengembangkan Alila Borobudur untuk menggali
peluang dengan menyediakan hotel mewah di provinsi tersebut.
Penelitian yang menggunakan pengukuran dengan metode langsung atau biasa
disebut content analysis, menghitung jumlah pengungkapan seperti di contoh atas
dalam mengukur pengungkapan intellectual capital. Sementara metode tidak
langsung menggunakan akun-akun laporan keuangan yang sifatnya lebih moneter
dan fokus kepada biaya-biaya yang termasuk ke dalam intellectual capital
misalnya
dengan menggunakan employee/staff cost, depresiasi dan amortisasi aset perusahaan.
d.
Pengungkapan Intellectual Capital
Penelitian mengenai pentingnya pengungkapan intellectual capital
dalam laporan
tahunan perusahaan didasarkan oleh beberapa alasan. Suhardjanto & Wardhani
(2010) menyatakan tiga alasan tersebut. Pertama, dengan dicanangkannya program
pemerintah tentang pemberian insentif pajak bagi perusahaan yang melakukan proses
penelitian dan pengembangan
(research and development) sejak tahun 2003, maka
diharapkan dapat meningkatkan perhatian perhatian perusahaan terhadap pentingnya
intellectual capital, yang dapat berakhir pada pengungkapan modal intelektual secara
sukarela (intellectual capital voluntary disclosure). Alasan kedua didasarkan pada
survei global
yang dilakukan oleh PriceWaterhouse-Coopers
(Eccles
et al. (2001)
dalam Bozollan et al.
(2003)) dan Tylor and Associates
pada tahun 1998
(Williams,2001). Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa ternyata informasi
mengenai intellectual capital perusahaan merupakan 5 dari 10 jenis informasi yang
|
26
dibutuhkan user. Namun, pada kenyataannya tipe informasi yang dipertimbangkan
oleh investor
tersebut tidak diungkapkan sehingga menyebabkan terjadinya
information gap (Bozzolan et al., 2003).
Oleh karena itu perlu diteliti bagaimanakah praktik pengungkapan intellectual
capital
di Indonesia khususnya pada perusahaan yang terdaftar di BEI. Yang
terakhir, sebagian besar mandatory disclosure
yang disyaratkan oleh profesi
akuntansi terkait dengan physical capital. Adanya pengakuan intellectual capital
sebagai faktor yang sangat penting bagi perusahaan, menjadikan mandatory
disclosure
yang terkait dengan physical capital
menjadi kurang relevan bagi user.
Hal ini menimbulkan kesenjangan informasi terkait pengambilan keputusan
investasi. Oleh karena itu, penyusun standar perlu
menyusun pedoman bagi
pengungkapan informasi intellectual capital untuk melindungi kepentingan pemakai.
Faktor yang mempengaruhi pengungkapan oleh perusahaan antara lain :
1.
Ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan
terhadap keluasan pengungkapan informasi intellectual capital. Semakin besar
ukuran perusahaan, maka akan semakin tinggi tingkat pengungkapan informasi
intellectual capital dalam annual report. Hal ini disebabkan karena semakin
besar perusahaan, semakin besar pula perhatian atau sorotan stakeholder
sehingga perusahaan dituntut untuk semakin banyak melaporkan informasi
termasuk mengenai intellectual capital.
2.
Tingkat profitabilitas perusahaan yang ditunjukkan dengan ROA. Dengan
semakin besarnya profitabilitas perusahaan maka kemampuan finansial
perusahaan semakin naik. Pengungkapan informasi tidaklah tanpa biaya oleh
sebab itu dengan semakin membaiknya kemampuan finansial perusahaan, akan
|
27
semakin memperbesar tingkat intellectual capital disclosure.(Suhardjanto &
Wardhani, 2010)
Sawarjuwono & Kadir (2005) berpendapat bahwa statement of intellectual capital
merupakan suatu fenomena baru, baik sebagai suatu dokumen pelaporan yang
menyertai laporan tahunan maupun sebagai suatu konsep manajemen. Masih sedikit
perusahaan yang menggunakannya sebagai dokumen pendukung laporan tahunan.
Mouritsen et al. (2001) melakukan penelitian secara mendalam terhadap pembuatan
laporan intellectual capital. Penelitian tersebut
membuat suatu kerangka kerja untuk
menganalisis dan menginterpretasikan intellectual capital statement. Kerangka kerja
ini dibagi dalam tiga model menurut Mouritsen et al
(2001) dalam Sawarjuwono &
Kadir (2005):
1. Analytical Model
Model ini mempunyai kriteria dan dimensi yang sama dengan apa yang ada dalam
intellectual capital accounting system. Perbedaannya adalah analytical model
memberikan sekumpulan penjelasan umum tentang relevansi knowledge
management dan prestasi perusahaan berkaitan dengan aktivitas-aktivitas yang ada.
Pada analytical model beberapa cerita yang umum dapat diungkapkan. Bukan hanya
cerita yang berkaitan dengan perusahaan saja tetapi berkaitan pula dengan angka-
angka dalam model akuntansi umum. Model akuntansi umum merupakan analogi
dari model akuntansi keuangan dimana matrik-matrik yang ditemukan dalam
intellectual capital statement dapat diinterpretasikan dalam kerangka kerja analytical
model sebagai pendukung cerita-cerita umum (Sawarjuwono & Kadir, 2005).
2. Presentation Model
Karakteristik utama dari model ini adalah kemampuannya untuk menunjukkan
bentuk informasi dan bentuk wewenang yang akan menjadi fokus dalam pelaporan
|
28
dan bagaimana elemen-elemen ini saling berkaitan satu dengan lainnya. Presentation
model biasanya digambarkan dalam bentuk sketsa atau berbagai bentuk diagram
(Sawarjuwono & Kadir, 2005).
3. Management Model
Model ini dibuat melalui model manajemen
yang mengidentifikasikan bagaimana
produktivitas pengetahuan
dalam perusahaan dan hubungan timbal balik dari
aktivitas manajemen tersebut. Dalam hal ini management model digunakan untuk
memahami relevansi. Intellectual capital statement di bentuk dari tiga dimensi.
Pertama, intellectual capital statement memiliki beberapa bentuk dari knowledge
narrative, yang menceritakan kemampuan perusahaan dan bagaimana perusahaan
tersebut mampu melakukan aktivitas dengan baik. Kedua, intellectual capital
statement mengidentifikasikan knowledge management yang merupakan usaha
manajemen untuk pengembangan dan kondisi pengetahuan yang dimiliki perusahaan.
Ketiga, pelaporan intellectual capital dengan kombinasi angka, visual, dan narasi
dalam mendesain komposisi dalam pengembangan sumber pengetahuan yang
dimiliki oleh perusahaan (Mouritsen et al., 2001) dalam Sawarjuwono & Kadir
(2005).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pelaporan intellectual capital
dalam
laporan tahunan perusahaan tidak dimasukkan sebagai salah satu elemen dalam
neraca walaupun intellectual capital
lebih diidentikkan dengan intangible asset, hal
ini dikarenakan elemen-elemen pembentuk intellectual capital
sulit untuk
dikuantifikasikan (Sawarjuwono & Kadir, 2005).
e.
Pengungkapan Dalam Akuntansi
|
29
Ghozali & Chariri (2007) menyatakan pengungkapan mempunyai makna tidak
menutupi atau tidak menyembunyikan. Berkaitan dengan laporan keuangan,
pengungkapan dalam laporan keuangan berarti memberikan informasi dan penjelasan
yang cukup mengenai aktivitas suatu unit usaha. Oleh karena itu laporan yang
diungkapkan harus mempunyai manfaat dan tidak membingungkan bagi para
pengguna laporan keuangan karena informasi ini digunakan sebagai pedoman
mereka untuk mengambil keputusan ekonomi.
Selain itu juga diungkapkan, pada umumnya terdapat tiga konsep dalam
pengungkapan akuntansi
yaitu cukup, wajar, dan lengkap. Pengungkapan informasi
keuangan setidaknya menyajikan informasi minimal
agar laporan keuangan tidak
menyesatkan. Pengungkapan wajar menunjukkan perlakuan etis untuk para pengguna
laporan agar mendapat perlakuan yang sama secara umum, sedangkan pengungkapan
yang lengkap menunjukkan perlunya mengungkapkan semua informasi yang relevan
(Ghozali & Chariri, 2007).
Pelaporan keuangan merupakan dasar bagi manajemen untuk melakukan suatu
pengungkapan dalam akuntansi. Apabila tujuan laporan keuangan lebih ditekankan
kepada investor, maka penyajian laporan keuangan harus mampu menyajikan
informasi yang memadai agar dapat dilakukan perbandingan mengenai hasil-hasil
yang diharapkan (Ghozali & Chariri, 2007). Perbandingan tersebut dapat diterapkan
dalam dua cara yang berbeda. Pertama, memberikan pengungkapan yang cukup
mengenai bagaimana angka-angka akuntansi itu diukur dan dihitung. Kedua,
memberi peluang kepada investor untuk membuat ranking dari beberapa masukan ke
dalam model keputusan (Ghozali & Chariri, 2007).
Tujuan pelaporan keuangan yang terdapat dalam SFAC no.1 dalam Ghozali &
Chariri (2007), antara lain :
|
30
1. Memberikan informasi yang bermanfaat bagi investor, kreditor, dan pemakai
lainnya dalam pengambilan keputusan investasi, kredit secara rasional.
2. Memberikan informasi yang membantu investor, kreditor, dan pemakai lainnya
dalam menilai jumlah, pengakuan, dan ketidakpastian tentang penerimaan kas
bersih yang berkaitan dengan perusahaan.
3. Memberikan informasi tentang sumber-sumber ekonomi suatu perusahaan.
Klaim terhadap sumber-sumber tersebut, dan pengaruh transaksi, peristiwa,
kondisi, yang mengubah sumber-sumber ekonomi beserta klaimnya.
4. Menyediakan informasi tentang hasil usaha suatu perusahaan selama satu
periode.
5. Menyediakan informasi tentang bagaimana perusahaan mengelola kas, utang,
modal serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi likuiditas serta solvensi
perusahaan.
6.
Menyediakan informasi tentang bagaimana manajemen perusahaan
mempertanggungjawabkan pengelolaan kepada pemilik dana atas pemakaian
sumber ekonomi yang dipercayakan kepada mereka.
7. Menyediakan informasi yang bermanfaat bagi manajer dan direktur sesuai
kepentingan pemilik.
2.1.3 VAIC
Metode VAIC
(Value Added Intellectual
Coefficient)
dikembangkan oleh Pulic
(1998), dirancang untuk menyajikan informasi mengenai efisiensi value creation dari
aset berwujud dan aset tak berwujud yang dimiliki perusahaan. Model ini dimulai
dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added. Value added adalah
indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan
|
31
kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai (value creation) (Pulic, 1998). Value
added dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1999).
Menurut Tan et al (dalam Ulum, 2008), output mempresentasikan revenue dan
mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan input mencakup
seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue. Hal penting di dalam
model ini adalah bahwa beban karyawan (labour expenses) tidak termasuk dalam
input
dikarenakan peran aktifnya di dalam proses value creation, sehingga tidak
dihitung sebagai biaya (cost) (Pulic, 1999).
Komponen utama dari VAIC yang dikembangkan Pulic (1998) tersebut
dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (VACA
Value
Added Capital Employed), human capital (VAHU
Value Added Human Capital),
dan structural capital (STVA
Structural Capital Value Added). VAIC juga
dikenal sebagai Value Creation Efficiency Analysis, dimana merupakan sebuah
indikator yang dapat digunakan dalam menghitung efisiensi nilai yang dihasilkan
dari perusahaan yang didapat dengan menggabungkan Capital Employed Efficiency,
Human Capital Efficiency, dan Structure Capital Efficiency (Pulic, 1998).
Berikut
akan dijelaskan mengenai komponen VAIC yaitu physical capital (VACA Value
Added Capital Employed), human capital (VAHU
Value Added Human Capital),
dan structural capital (STVA Structural Capital Value Added).
a.
Value Added Capital Employed (VACA)
Value Added Capital Employed (VACA) adalah salah satu komponen VAIC yang
mencerminkan book value dari net assets perusahaan (Chen et al, 2005 dalam Ulum,
2009). Komponen ini memberikan nilai secara nyata ke perusahaan. Riahi-Belkaoui
(2003) mengutip Stewart (1997) menjelaskan Capital Employed
yang berfokus pada
Customer Capital
sebagai Firms value of its franchise, its ongoing relationship
|
32
with the people or
organizations to which it sells, like market share, customer
retention and defection rates, and per customer profitability.. Capital employed
menunjukkan nilai aset berwujud perusahaan dimana aset ini dinilai sebagai upaya
perusahaan menjaga hubungan harmonis yang dimiliki perusahaan dengan para
stakeholdernya. Sebagai contoh adanya akun receivables yang mampu memberikan
kemudahan cara pembayaran bagi konsumen, contoh lainnya adalah terdapatnya
gedung-gedung serta fasilitas perusahaan yang digunakan untuk
mendukung kinerja
para karyawan.
Berdasarkan konsep resource-based theory, untuk dapat bersaing secara
kompetitif dengan perusahaan lainnya, perusahaan membutuhkan sebuah
kemampuan dalam pengelolaan aset baik itu tangible asset maupun intangible asset.
VACA
merupakan bentuk dari kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber
dayanya yang berupa capital asset. Dengan pengelolaan capital employed yang baik,
diyakini bahwa perusahaan akan dapat meningkatkan kinerja keuangannya. VACA
adalah perbandingan antara value added (VA) dengan modal fisik yang bekerja
(capital employed). Rasio ini adalah sebuah indikator untuk VA yang dibuat oleh
satu unit modal fisik. Pulic mengasumsikan, jika satu unit capital employed (CA)
dapat menghasilkan return yang lebih besar pada suatu perusahaan, maka perusahaan
tersebut mampu memanfaatkan CA dengan lebih baik. Pemanfaatan CA dengan lebih
baik merupakan bagian dari intellectual capital perusahaan. Ketika membandingkan
lebih dari sebuah kelompok perusahaan, VACA
menjadi sebuah indikator
kemampuan intelektual perusahaan untuk memanfaatkan physical capital dengan
lebih baik (Kuryanto & Syafruddin, 2008).
b.
Value Added Human Capital (VAHU)
|
33
Value Added Human Capital (VAHU) adalah salah satu komponen VAIC yang
mencerminkan total
value added terhadap total salary and wage cost perusahaan.
Stewart (1997) menjelaskan bahwa human capital adalah kemampuan karyawan
untuk menciptakan produk yang dapat menjaring konsumen sehingga konsumen
tidak akan berpaling pada pesaing. Human capital mempresentasikan kemampuan
perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia dan menganggap manusia atau
karyawan sebagai asset strategic perusahaan karena pengetahuan yang mereka
miliki.
Berdasarkan konsep resource-based theory, agar dapat bersaing dengan
perusahaan lainnya, perusahaan membutuhkan sumber daya manusia yang
berkualitas dan pengelolaan yang baik atas sumber daya manusia tersebut. Sumber
daya manusia atau karyawan merupakan asset strategic perusahaan yang dapat
menciptakan kompetensi perusahaan atas pengetahuan yang mereka miliki. Oleh
karena itu, perusahaan harus dapat mengelola karyawannya agar karyawan tersebut
dapat memaksimalkan kemampuannya dan juga agar karyawan tersebut tidak
meninggalkan perusahaan. Apabila perusahaan memiliki human capital yang tinggi,
maka diharapkan perusahaan tersebut tentunya akan memiliki kinerja keuangan yang
tinggi pula.VAHU adalah seberapa besar Value Added (VA) dibentuk oleh
pengeluaran pekerja dalam rupiah. Hubungan antara VA dan Human Capital (HC)
mengindikasikan adanya kemampuan HC di dalam membuat nilai pada sebuah
perusahaan. Ketika VAHU dibandingkan lebih dari sebuah kelompok perusahaan,
VAHU menjadi sebuah indikator kualitas sumber daya manusia perusahaan. VAHU
juga diartikan sebagai kemampuan perusahaan di dalam menghasilkan VA dari
setiap rupiah yang dikeluarkan kepada HC (Kuryanto & Syafruddin, 2008).
c.
Structural Capital Value Added (STVA)
|
34
Menurut Horibe (dalam Yudianti, 2000), structural capital merupakan sarana untuk
mengubah human capital menjadi kesejahteraan perusahaan/organisasi. Salah satu
bagian dari structural capital adalah membangun sistem seperti database yang
memungkinkan orang-orang dihubungkan dan belajar satu sama lain, sehingga
menumbuhkan sinergi karena adanya kemudahan berbagi pengetahuan dan bekerja
sama antar individu dalam organisasi. Penciptaan dari structural capital ini
berhubungan dengan pengetahuan atau nilai dari seseorang yang tidak akan begitu
saja hilang kalau yang bersangkutan meninggalkan perusahaan karena
pengetahuannya telah dirangkum dalam database, sehingga perusahaan tidak akan
kehilangan nilainya. Structural Capital Value Added (STVA) menunjukkan
kontribusi Structural Capital (SC) dalam proses penciptaan nilai. STVA mengukur
jumlah SC yang dibutuhkan untuk dapat menghasilkan value added (VA) dan
merupakan suatu indikasi seberapa sukses SC di dalam proses penciptaan nilai
(Kuryanto & Syafruddin, 2008). Dalam model Pulic, SC diperoleh dari VA dikurangi
dengan Human Capital (HC). SC bukan merupakan ukuran independen seperti HC.
SC bergantung pada proses penciptaan value added perusahaan dan mempunyai
proporsi nilai yang berkebalikan dengan HC. Hal ini berarti bahwa semakin besar
proporsi nilai HC dalam proses penciptaan nilai maka semakin kecil proporsi nilai
SC.
2.1.4 Stakeholder Theory
Teori yang mendasari penelitian ini adalah stakeholder theory. Istilah stakeholder
dalam definisi klasik (yang paling sering dikutip) adalah definisi Freeman & Reed
(1983) yang menyatakan bahwa stakeholder adalah Any identifiable group or
individual who can affect the achievement of an organizations objectives, or is
|
35
affected by the achievement of an organisations objectives. (Setiap kelompok atau
individu yang dapat diidentifikasi, yang mana mereka dapat mempengaruhi
pencapaian dari suatu tujuan organisasi, atau dipengaruhi oleh pencapaian tersebut.)
Teori stakeholder menyatakan bahwa semua stakeholder mempunyai hak
untuk diberikan informasi mengenai aktivitas perusahaan. Para stakeholder tersebut
bisa memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan juga mereka tidak
dapat secara langsung memainkan peranan untuk membangun keberlangsungan
usaha perusahaan (Deegan, 2004). Teori stakeholder lebih mempertimbangkan posisi
para stakeholder yang dianggap powerful. Dalam pandangan teori stakeholder,
perusahaan memiliki stakeholders, bukan sekedar shareholder (Riahi-Belkaoui,
2003).
Jika diperhatikan secara seksama dari definisi di atas maka telah terjadi
perubahan mengenai siapa
saja yang termasuk dalam pengertian stakeholder
perusahaan. Sekarang ini perusahaan sudah tidak memandang bahwa stakeholder
mereka hanya investor
dan kreditor saja. Konsep yang mendasari mengenai siapa
saja yang termasuk dalam stakeholder perusahaan sekarang ini telah berkembang
mengikuti perubahan lingkungan bisnis dan kompleksnya aktivitas bisnis
perusahaan. Dengan menggunakan definisi di atas, pemerintah bisa saja dikatakan
sebagai stakeholder bagi perusahaan karena pemerintah mempunyai kepentingan atas
aktivitas perusahaan dan keberadaan perusahaan sebagai salah satu elemen sistem
sosial dalam sebuah negara. Oleh karena itu, perusahaan tidak bisa mengabaikan
eksistensi pemerintah dalam melakukan operasinya. Terdapatnya birokrasi yang
mengatur jalannya perusahaan dalam sebuah negara yang harus ditaati oleh
perusahaan melalui kepatuhan terhadap peraturan pemerintah menjadikan terciptanya
sebuah hubungan antara perusahaan dengan pemerintah.
|
36
Pendapat yang berkembang dalam konteks teori stakeholder adalah bahwa laba
akuntansi hanyalah merupakan ukuran return
bagi pemegang saham (shareholder),
sementara value added adalah ukuran yang lebih akurat yang diciptakan oleh
stakeholders dan kemudian didistribusikan kepada stakeholders yang sama (Meek &
Gray, 1988). Intellectual capital
termasuk salah satu value added
yang besar. Value
added yang dianggap memiliki akurasi lebih tinggi dihubungkan dengan return yang
dianggap sebagai ukuran bagi shareholder. Sehingga dengan demikian keduanya
(value added dan return) dapat
menjelaskan kekuatan teori stakeholder dalam
kaitannya dengan pengukuran kinerja perusahaan. Perusahaan merupakan bagian dari
sistem sosial yang ada dalam sebuah wilayah baik yang bersifat lokal, nasional,
maupun internasional berarti perusahaan merupakan bagian dari masyarakat secara
keseluruhan. Perusahaan dalam hal ini merupakan bagian dari beberapa elemen yang
membentuk masyarakat dalam sistem sosial yang berlaku. Keadaan tersebut
kemudian menciptakan sebuah hubungan timbal balik antara perusahaan dan para
stakeholder yang berarti perusahaan harus melaksanakan peranannya secara dua arah
untuk memenuhi kebutuhan perusahaan sendiri maupun stakeholder lainnya dalam
sebuah sistem sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dihasilkan dan dilakukan
oleh masing-masing bagian dari stakeholder akan saling mempengaruhi satu dengan
yang lainnya sehingga tidaklah tepat jika perusahaan menyempitkan pengertian
mengenai stakeholder hanya dari sisi ekonominya saja.
Perkembangan teori stakeholder diawali dengan berubahnya bentuk
pendekatan perusahaan dalam melakukan aktivitas usaha. Ada dua bentuk dalam
pendekatan stakeholder, yaitu old-corporate relation dan new-corporate relation.
Old corporate relation menekankan pada bentuk pelaksanaan aktivitas perusahaan
secara terpisah di mana setiap fungsi dalam sebuah perusahaan melakukan
|
37
pekerjaannya tanpa adanya kesatuan di antara fungsi-fungsi tersebut. Bagian
produksi hanya berkutat bagaimana memproduksi barang sesuai dengan target yang
dikehendaki oleh manajemen perusahaan, bagian pemasaran hanya bekerja berkaitan
dengan konsumennya tanpa mengadakan koordinasi satu dengan yang lainnya.
Hubungan antara pemimpin dengan karyawan dan pemasok pun berjalan satu arah,
kaku dan berorientasi jangka pendek. Hal itu menyebabkan setiap bagian perusahaan
mempunyai kepentingan, nilai dan tujuan yang berbeda-beda bergantung pada
pimpinan masing-masing fungsi tersebut yang terkadang berbeda dengan visi, misi,
dan capaian yang ditargetkan oleh perusahaan. New-corporate relation menekankan
kolaborasi
atau hubungan
antara perusahaan dengan seluruh stakeholder-nya
sehingga perusahaan bukan hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang bekerja
secara sendiri dalam sistem sosial masyarakat karena profesionalitas telah menjadi
hal utama dalam pola hubungan ini. Hubungan perusahaan dengan internal
stakeholders dibangun berdasarkan konsep saling bermanfaat yang dapat
membangun kerjasama untuk menciptakan kesinambungan usaha perusahaan
sedangkan hubungan dengan stakeholder di luar perusahaan bukan hanya bersifat
transaksional dan jangka pendek namun lebih kepada hubungan yang bersifat
fungsional yang bertumpu pada kemitraan selain usaha untuk menghimpun kekayaan
yang dilakukan oleh perusahaan, perusahaan juga berusaha untuk bersama-sama
membangun kualitas kehidupan external stakeholders. Hubungan yang bersifat tidak
berwujud inilah dimana intellectual capital
memiliki tempat di dalamnya.
Pendekatan new-corporate relation mengeliminasi penjenjangan status diantara para
stakeholder perusahaan seperti yang ada pada old-corporate relation. Perusahaan
tidak lagi menempatkan dirinya di posisi paling atas dimana
perusahaan
mengeksklusifkan dirinya dari para stakeholder sehingga dengan pola hubungan
|
38
semacam ini arah dan tujuan perusahaan bukan lagi pada bagaimana
menghimpun
kekayaan sebesar-besarnya namun lebih kepada pencapaian pembangunan yang
berkelanjutan (sustainability development).
2.1.5 Resource-based Theory
Pemikiran awal mengenai pandangan bahwa perusahaan merupakan kumpulan dari
berbagai sumber daya di pelopori oleh Penrose (1959). Sumber daya perusahaan
adalah heterogen, tidak homogen, jasa produktif yang tersedia berasal dari sumber
daya perusahaan yang memberikan karakter unik bagi tiap-tiap perusahaan (Penrose,
1959). Pemikiran dari heterogenitas sumber daya inilah yang kemudian menjadi
dasar dari resource-based theory. Wernerfelt (1984) membangun kembali pemikiran
Penrose (1959) dengan mengemukakan bahwa tindakan strategis membutuhkan
seperangkat sumber daya fisik, keuangan, human
atau organisasional khusus, dan
dengan demikian keunggulan kompetitif ditentukan oleh kemampuannya untuk
memperoleh dan mempertahankan sumber daya.
Barney (1991) menunjukkan kerangka yang lebih konkrit dan komprehensif
untuk mengidentifikasi kebutuhan karakteristik sumber daya perusahaan agar
menghasilkan keunggulan kompetitif yang memungkinkan karakteristik
karakteristik ini menjadikan
sumber daya valuable
(dalam arti perusahaan
memanfaatkan kesempatan dan atau menetralisir ancaman dalam lingkungan
perusahaan). Sumber daya tersebut langka diantara pesaing perusahaan saat ini dan
pesaing potensial, tidak dapat ditiru, dan tidak dapat digantikan. Sehingga asumsi
mendasar dari pandangan resource-based theory adalah bahwa organisasi dapat
berhasil jika mencapai dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Keunggulan
kompetitif dicapai dengan mengimplementasikan strategi penciptaan nilai dimana
pesaing tidak dapat dengan mudah meniru dan tidak ada penggantinya. Pertukaran
|
39
sosial dan penggunaan sumber daya yang efisien adalah daya penggerak untuk
menetapkan keunggulan kompetitif dan meningkatkan kinerja (Barney, 1991).
Dihubungkan dengan organisasi, dalam teori ini terdapat tiga tipe sumber daya yaitu
sumber daya fisik (pabrik, teknologi dan peralatan, lokasi geografis), sumber daya
manusia (pengalaman dan pengetahuan para pegawai), dan organisasional (struktur,
sistem untuk aktivitas perencanaan, pengawasan, dan pengendalian, hubungan sosial
dalam organisasi dan antara organisasi dan lingkungan eksternal) (Jackson &
Schuler, 1995).
Berdasarkan konsep
resource-based theory, agar dapat bersaing dengan
perusahaan lainnya, perusahaan membutuhkan sumber daya manusia yang
berkualitas dan pengelolaan yang baik atas sumber daya manusia tersebut.
Pengetahuan dan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki karyawan inilah yang
merupakan bentuk dari intellectual capital. Sumber daya manusia atau karyawan
merupakan asset strategic perusahaan yang dapat menciptakan kompetensi
perusahaan atas pengetahuan yang mereka miliki. Oleh karena itu, perusahaan harus
dapat mengelola karyawannya agar karyawan tersebut dapat memaksimalkan
kemampuannya dan juga agar karyawan tersebut tidak meninggalkan perusahaan.
Selain itu, perusahaan juga membutuhkan sebuah kemampuan dalam pengelolaan
aset baik itu tangible asset maupun intangible asset.
2.1.6 Kinerja Keuangan Perusahaan
Kinerja keuangan sering didefinisikan sebagai pengukuran hasil dari kebijakan dan
kegiatan operasi perusahaan dalam aspek keuangannya. Dalam menilai kinerja
keuangan perusahaan, penting untuk melakukan analisis keuangan. Ada dua cara
utama melakukan analisis keuangan yaitu analisis arus kas dan analisis rasio.
|
40
Analisis arus kas dilakukan untuk menilai likuiditas dan arus kas yang berhubungan
dengan kegiatan operasi, investasi dan pendanaan sementara analisis rasio digunakan
untuk menilai beragam hal dalam laporan keuangan perusahaan dan
menghubungkannya satu sama lain.
Palepu & Healy (2008) menyatakan bahwa analisis rasio adalah analisis yang
membandingkan kinerja perusahaan saat ini dengan kinerja perusahaan di masa lalu
atau dengan kinerja perusahaan lain, yang kemudian hasil analisisnya digunakan
untuk membuat rencana bagi masa yang akan datang. J. Courties dalam Harahap
(2010) membagi analisis rasio menjadi tiga yaitu:
1.
Rasio profitabilitas yang digambarkan oleh Return On Investment
(ROI)
yang kemudian digambarkan lebih rinci rasio Profit Margin dan Capital
Turn Over.
2.
Rasio kinerja manajemen yaitu rasio yang digunakan unutk menilai prestasi
manajemen dimana rasio ini dilihat dari segi kebijakan kredit, rasio
persediaan, rasio administrasi dan struktur harta-modal.
3.
Rasio solvency
yaitu kemampuan perusahaan melunasi kewajibannya yang
digambarkan oleh rasio arus kas baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.
Selain J. Courties, Harahap (2010) juga memberikan klasifikasi rasio lain oleh
Dupont. Dupont menganggap yang penting adalah ROI dan dari sini ia kembangkan
rasio yang dapat menghubungkan laporan neraca dan laporan laba/rugi. Rasio
keuangan yang sering digunakan adalah:
1.
Rasio likuiditas, menggambarkan kemampuan perusahaan menyelesaikan
kewajiban jangka pendeknya. Contoh rasio ini adalah rasio lancar, rasio cepat
|
41
(quick ratio), rasio kas atas aktiva lancar, rasio kas atas utang lancar, rasio
aktiva lancar dan total aktiva, dan rasio aktiva lancar dan total utang.
2.
Rasio solvabilitas, menggambarkan kemampuan perusahaan dalam
membayar kewajiban jangka panjangnya atau kewajiban-kewajibannya
apabila perusahaan dilikuidasi. Contoh rasio ini adalah rasio utang atas
modal, rasio pelunasan utang (debt service ratio), dan rasio utang atas aktiva.
3.
Rasio rentabilitas atau profitabilitas. Contoh rasio ini adalah rasio margin laba
(profit margin, atau lebih banyak disebut operating profit margin), asset turn
over, rasio pengembalian atas modal investasi (Return On Investment/ ROI
atau Return On Equity/ ROE), rasio pengembalian atas total aset (Return On
Asset/ ROA), basic earning power ratio, Earning Per Share Ratio, dan rasio
margin kontribusi.
4.
Rasio leverage, menggambarkan hubungan antara utang perusahaan terhadap
modal maupun aset. Rasio ini dapat melihat seberapa jauh perusahaan
dibiayai oleh utang atau pihak luar dengan kemampuan perusahaan yang
digambarkan oleh modal (equity). Rasio ini bisa juga dianggap bagian dari
rasio solvabilitas. Contoh rasio ini adalah rasio leverage, rasio kecukupan
modal (Capital Adequacy Ratio/ CAR), dan capital formation ratio.
5.
Rasio aktivitas, menggambarkan aktivitas yang dilakukan perusahaan dalam
menjalankan operasinya baik dalam kegiatan penjualan, pembelian dan
kegiatan lainnya. Contoh rasio ini adalah Inventory Turn Over/ ITO,
Receivable Turn Over/ RTO, Fixed Asset Turn Over, Asset Turn Over, dan
rasio periode penagihan piutang.
6.
Rasio pertumbuhan (growth), menggambarkan persentase pertumbuhan pos-
pos atau akun-akun perusahaan dari tahun ke tahun. Contoh rasio ini adalah
|
42
rasio kenaikan penjualan, rasio kenaikan laba bersih, rasio Earning Per Share
dan rasio kenaikan dividen per share.
7.
Rasio penilaian pasar atau Market Based Ratio, merupakan rasio yang lazim
dan yang khusus digunakan di pasar modal yang menggambarkan situasi atau
keadaan prestasi perusahaan di pasar modal, tidak berarti rasio lainnya tidak
dipakai. Contoh rasio ini adalah Price Earning Ratio (PER), dan Market to
Book Value Ratio.
8.
Rasio produktivitas, menunjukkan tingkat produktivitas dari unit atau
kegiatan yang dinilai, contoh rasio ini antara lain rasio karyawan atas
penjualan, rasio biaya per karyawan, rasio penjualan terhadap space ruangan,
rasio laba terhadap karyawan, rasio laba terhadap cabang, rasio penjualan
terhadap modal pemilik, rasio biaya terhadap produksi, rasio laba terhadap
jam kerja, rasio aktiva terhadap karyawan, rasio biaya operasi terhadap
karyawan dan masih banyak lagi.
Dalam penelitian ini, analisis rasio yang akan digunakan untuk mengukur kinerja
keuangan perusahaan hanya berfokus pada Return On Assets
(ROA), Operating
Profit Margin (OPM) dan Assets Turn Over (ATO). Rasio ROA dan OPM masuk ke
dalam rasio profitabilitas yang menggambarkan kemampuan perusahaan mengolah
sumber daya yang dimilikinya untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar
melalui kegiatan operasinya, sementara rasio ATO termasuk ke dalam rasio aktivitas
dimana rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan mengelola asetnya untuk
mendapat keuntungan dari hal tersebut
dengan
melihat kemampuan aset dalam
mempengaruhi tingkat pendapatan perusahaan.
2.1.7 Hubungan Intellectual Capital dan Kinerja Keuangan Perusahaan
|
![]() 43
Hubungan intellectual capital dengan kinerja keuangan perusahaan telah dibuktikan
secara empiris oleh beberapa peneliti dalam berbagai pendekatan di beberapa negara
seperti pada Tabel 2.3. Kebanyakan penelitian memakai data sekunder berupa
laporan keuangan atau laporan tahunan. Beberapa peneliti menggunakan model
VAIC, baik untuk mengukur kinerja intellectual capital itu sendiri maupun untuk
melihat hubungan antara intellectual capital dengan kinerja keuangan perusahaan.
Tabel 2.3 Penelitian-Penelitian Empiris Tentang Hubungan Intellectual Capital
dan Kinerja Perusahaan
PENELITI
NEGARA
METODE
HASIL
Abdolmohammadi
(2005)
Amerika
Serikat
Content Analysis
Frekuensi pengungkapan elemen IC
meningkat dari tahun ke tahun.
Kelompok new industry lebih banyak
mengungkapkan informasi IC daripada
old industry.
Bontis, et al. (2000)
Malaysia
Kuesioner, PLS
HC berhubungan dengan SC dan CC;
CC berhubungan dengan SC; SC
berhubungan dengan kinerja industri.
Chen et al. (2005)
Taiwan
VAIC, korelasi,
regresi
IC berpengaruh terhadap nilai pasar dan
kinerja perusahaan; R&D berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan.
Ihyaul Ulum MD
(2008)
Indonesia
VAIC,
Ordinary Least
Square
IC berpengaruh pada kinerja
perusahaan perbankan yang diteliti,
namun hasil penelitian tidak dapat
digeneralisasi karena keterbatasan
jumlah perusahaan yang diteliti.
Khanqah, et al.
(2012)
Iran
VAIC, korelasi,
Ordinary Least
Square
Hanya SC yang berhubungan dengan
kinerja perusahaan (ROA, ROE)
Riahi-Belkaoui
(2003)
Amerika
Serikat
Laporan tahunan,
RVATA, regresi
IC (diproksikan dengan RVATA)
secara signifikan berhubungan dengan
kinerja perusahaan multinasional di
Amerika Serikat, mendukung teori
resource-based
theory
dan stakeholder
theory.
Penelitian
penelitian tersebut
mengindikasikan
bahwa terdapat kontribusi
intellectual capital
pada kinerja perusahaan, meski kontribusi yang diberikan
berbeda-beda karena pengaruh satu dan lain hal seperti jenis industri, waktu dan
tempat.
|
![]() 44
2.2
Pengembangan Hipotesis
2.2.1 Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang penelitian pada bab 1, maka perumusan masalah yang
dikaji dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Apakah Intellectual Capital
(VAIC) berpengaruh terhadap kinerja
keuangan perusahaan saat ini yang diukur dengan Return On Assets
(ROA)
dan Operating Profit Margin
(OPM) untuk profitabilitas perusahaan, Asset
Turn Over (ATO) untuk produktivitas perusahaan?
2.
Apakah Intellectual Capital
(VAIC) berpengaruh terhadap kinerja
keuangan perusahaan masa depan yang diukur dengan Return On Assets
(ROA) dan Operating Profit Margin (OPM) untuk profitabilitas perusahaan,
Asset Turn Over (ATO) untuk produktivitas perusahaan?
3.
Apakah rata-rata pertumbuhan intellectual capital
atau Rate of Growth of
Intellectual
Capital
(ROGIC) berpengaruh terhadap kinerja keuangan
perusahaan masa depan?
Kinerja
Keuangan
(masa depan)
ROA
ATO
OPM
Rate of
Growth of
Intellectual
Capital
(ROGIC)
Intellectual
Capital
(VAIC)
VACA
VAHU
STVA
Kinerja
Keuangan
(saat ini)
ROA
ATO
OPM
|
45
Gambar 2.1 Skema Peta Konseptual dari Penelitian
Gambar 2.1 menggambarkan peta konseptual bagaimana hipotesis-hipotesis nantinya
akan mampu menjawab rumusan masalah yang disebutkan sebelumnya.
2.2.2 Pengembangan Hipotesis
a.
Hipotesis 1
Praktik akuntansi konservatisma menyatakan bahwa investasi perusahaan dalam
intellectual capital
yang
disajikan dalam laporan keuangan, dihasilkan dari
peningkatan selisih antara nilai pasar dan nilai buku. Jadi, jika misalnya pasarnya
efisien, maka investor akan memberikan nilai yang tinggi terhadap perusahaan yang
memiliki intellectual capital
lebih besar (Riahi-Belkaoui, 2003). Penelitian yang
telah ada sebelumnya misalnya oleh Tan, et al. (2007) membuktikan bahwa
intellectual capital yang diuji menggunakan VAIC yang diformulasikan oleh Pulic
(1998) sebagai ukuran kemampuan intelektual perusahaan, mempunyai pengaruh
positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Maka diajukan hipotesis sebagai
berikut:
Hipotesis 1
A
: Terdapat pengaruh positif intellectual capital
terhadap kinerja
keuangan perusahaan saat ini.
b.
Hipotesis 2
Penelitian Tan, et al. (2007) menunjukkan hasil yang signifikan adanya pengaruh
intellectual capital terhadap kinerja perusahaan masa depan. Intellectual capital yang
diukur dengan menggunakan VAIC dapat menjadi indikator yang paling tepat
untuk memprediksi kinerja keuangan perusahaan di masa mendatang. Sehingga
|
46
untuk menjawab pertanyaan kedua dari penelitian ini yaitu apakah Intellectual
Capital
(VAIC) berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan masa depan
yang diukur dengan Return On Assets
(ROA) dan Operating Profit Margin
(OPM)
untuk profitabilitas perusahaan, Asset Turn Over
(ATO) untuk produktivitas
perusahaan, maka hipotesis kedua untuk penelitian ini adalah:
Hipotesis 2
A
: Terdapat pengaruh positif intellectual capital
terhadap kinerja
keuangan perusahaan masa depan.
c.
Hipotesis 3
Penelitian Tan, et al (2007) membuktikan bahwa ROGIC memiliki pengaruh positif
terhadap kinerja perusahaan di masa mendatang. Hal ini makin memperkuat anjuran
bahwa perusahaan harus mengelola dan meningkatkan intellectual capitalnya untuk
dapat berkompetisi dengan pesaingnya. Maka hipotesis ketiga untuk penelitian ini
adalah:
Hipotesis 3
A
: Terdapat pengaruh positif rata-rata pertumbuhan intellectual capital
atau Rate of Growth of Intellectual
Capital
(ROGIC) terhadap kinerja keuangan
perusahaan masa depan.
Rangkuman Hipotesis
H1
A
: Terdapat pengaruh positif intellectual capital
terhadap kinerja keuangan
perusahaan saat ini.
H2
A
:
Terdapat pengaruh positif intellectual capital
terhadap kinerja keuangan
perusahaan masa depan.
|
47
H3
A
: Terdapat pengaruh positif rata-rata pertumbuhan intellectual capital atau Rate
of Growth of Intellectual
Capital
(ROGIC) terhadap kinerja keuangan perusahaan
masa depan.
|