7
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1.1 Definisi Pajak
Dalam Suandy (2011:5) Pajak di definisikan sebagai pungutan berdasarkan
undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang
dan jasa publik. Besarnya pajak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal
maupun eksternal.
Menurut Prof. Dr. P. J. A Adriani dalam Perpajakan Indonesia Buku 1
Waluyo (2011:2) Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara
yang menyelenggarakan pemerintahan
Berdasarkan definisi diatas maka disimpulkan bahwa pajak melekat pada:
1.
Iuran dari rakyat kepada Negara
Negara berhak memungut pajak kepada rakyatnya paik pemerintah pusat
maupun daerah.
2.
Sesuai dengan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan peraturan yang tertera dalam undang-undang
yang mengatur hal dalam perpajakan di Indonesia.
3.
Dapat dipaksakan
|
8
Karena timbulnya paksaan dari negara, maka rakyat yang tidak membayar
pajak dapat dikenakan sanksi-sanki sesuai yang diatur dalam undang-undang
perpajakan.
4.
Pajak difungsikan untuk membiayai kebutuhan negara.
5.
Tanpa imbalan
Rakyat yang membayar pajak tidak mendapatkan imbalan atau pengembalian
secara langsung,
2.1.2 Fungsi Pajak
Menurut Siti Resmi (2011:2) pajak memiliki dua fungsi, yaitu:
1.
Fungsi Budgetair (sebagai sumber Keuangan Negara)
Maksud dari pajak memiliki fungsi Budgetair adalah pajak sebagai salah satu
penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun
pembangunan, maka dari itu pemerintah berupaya untuk memasukan uang
sebanyak-banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara
ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui
penyempurnaan peraturan diberbagai jenis pajak.
2.
Fungsi Regulerend (Fungsi Pengatur)
Pajak memiliki fungsi mengatur,artinya pajak sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah:
a.
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.
|
9
b.
Tarif Pajak Progresif dikenakan atas penghasilan agar pihak yang
memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar
pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan
c.
Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, hal ini dilakukan agar para
pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia
sehingga dapat memperbesar devisa Negara.
2.1.3 Pengelompokan Pajak
Menurut Waluyo (2011:12), pajak
dapat dikelompokan menjadi tiga
kelompok, sebagai berikut:
1.
Menurut golongan, pajak dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
a.
Pajak Langsung, adalah pajak yang pembebanannya
tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak
yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan.
b.
Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
2.
Menurut sifat, pajak dibagi menjadi 2 yaitu :
a.
Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti
memperhatikan keadaan dari wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan.
b.
Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3.
Menurut pemungutannya, adalah sebagai berikut :
|
10
a.
Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak
Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai.
b.
Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh :
Pajak
Reklame, Pajak Parkir dan PBB.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak di Indonesia ada tiga, menurut Waluyo (2011:17),
ketiga sistem pemungutan tersebut adalah:
1.
Official Assesment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
a.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang berada pada
fiskus.
b.
Wajib Pajak bersifat pasif.
c.
Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak (SKP)
oleh fiskus.
2.
Self Assesment System
Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan,tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
harus dibayar.
3.
With Holding System
|
11
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak.
2.1.5 Kewajiban dan Hak Wajib Pajak
Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak memiliki hak dan
kewajiban yang harus ditaati. Menurut Mardiasmo (2011:56) yang menjadi
kewajiban dan hak wajib pajak antara lain:
1.
Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
2.
Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena
Pajak).
3.
Menghitung dan membayar sendiri pajaknya dengan benar
4.
Mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, dan melaporkannya ke
Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar dalam batas waktu
yang telah ditentukan.
5.
Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan
6.
Jika diperiksa, wajib:
a.
Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan,dokumen
yang menjadi dasar pemeriksaan dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, berhubungan dengan kegiatan usaha, pekerjaan bebas
Wajib Pajak atau objek yang terutang pajak.
b.
Memberikan kesempatan kepada fiskus untuk memasuki tempat atau
ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan.
|
12
7.
Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan atau
dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu
kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu
ditiadakan ileh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
Selain kewajiban yang telah disebutkan diatas, tentunya Wajib Pajak pun
mempunyai beberapa hak dalam perpajakan, antara lain:
1.
Mengajukan surat keberatan dan surat banding
2.
Menerima tanda bukti pemasukan SPT
3.
Melakukan pembetulan SPT yang telah dilaporkan
4.
Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT
5.
Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak
6.
Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam Surat
Ketetapan Pajak (SKP)
7.
Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak
8.
Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta
pembetulan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang salah
9.
Memberi kuasa kepada orang lain untuk melaksanakan kewajiban
pajaknya
10.
Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak
11.
Mengajukan keberatan dan banding.
2.1.6 Jenis Pajak
Pajak dikelompokkan menjadi beberapa jenis, diantaranya:
1.
Pajak Penghasilan;
2.
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
|
13
3.
Pajak Bumi dan Bangunan;
4.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
5.
Bea Materai;
6.
Pajak daerah dan retribusi daerah.
2.2 Pajak Pertambahan Nilai
2.2.1 Definisi Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Waluyo (2010:3) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah merupakan pajak yang dikenakan atas
konsumsi didalam negeri (di dalam Daerah Pabean), baik konsumsi barang maupun
konsumsi jasa
2.2.2 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Untung Sukardji (2012:1), Pajak Pertambahan Nilai merupakan
pengganti dari Pajak Penjualan (PPn), namun karena adanya Tax Reform
PPN
memiliki karakter positif, diantaranya:
1.
Pajak Tidak Langsung
PPN merupakan pajak tidak langsung artinya beban pajak dapat
dilimpahkan kepada pihak lain. Tanggung jawab pembayaran pajak ke kas
negara berada pada pihak yang menyerahkan barang dan atau jasa kena
pajak, sedangkan yang menanggung beban pajak berada pada pihak
penanggung pajak.
2.
Pajak Objektif
PPN sebagai pajak objektif artinya adalah timbuknya kewajiban pajak
sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. PPN tidak mempertimbangkan
kondisi subjektif subjek pajak.
3.
Pajak multi stage atau bertingkat
|
14
PPN memiliki karakteristik sebagai pajak bertingkat artinya PPN dikenakan
pada setiap mata jalur produksi atau PPN dapat dipungut berkali-kali mulai
dari produksi hingga ke konsumen akhir.
4.
Perhitungan PPN Terutang untuk dibayar ke kas negara menggunakan
Indirect Subtraction Method
Indirect Subtraction Method adalah metode perhitungan PPN yang akan
disetor ke kas negara dengan cara mengurangkan pajak atas perolehan
dengan pajak atas penyerahan barang atau jasa.
5.
Bersifat non kumulatif
Walaupun PPN bersifat multi stage namun PPN bersifat non kumulatif. Non
kumulatif artinya tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda
6.
Memiliki tarif tunggal
PPN Indonesia menganut tarif tunggal yaitu 10%.
7.
Pajak atas konsumsi dalam negeri
PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam
daerah pabean Republik Indonesia.
2.2.3 Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 yang termasuk Subjek
Pajak Pertambahan Nilai adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena
Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/
atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
PPN dan PPnBM. Tidak termasuk sebagai subjek dari Pajak Pertambahan Nilai yaitu
pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Keputusan Meteri Keuangan,
kecuali pengusaha kecil yang memilik untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
|
15
Kewajiban dari Pengusaha Kena Pajak, yaitu:
a.
Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.
Memungut pajak yang terutang
c.
Membuat Faktur Pajak atas setiap penyerahan kena pajak;
d.
Membuat nota retur dalam hal terdapat pengambilan Barang Kena Pajak;
e.
Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya;
f.
Menyetorkan PPN dan PPnBm yang terutang;
g.
Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN.
2.2.4 Objek dan Non Objek Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Untung Sukardji (2012:24), Objek Pajak Pertambahan Nilai
dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu:
1.
Objek pajak yang penentuannya berdasarkan mekanisme umum, yaitu
yang ditentukan dalam Pasal 4 UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 yang
meliputi:
a.
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha;
b.
Impor Barang Kena Pajak;
c.
Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah
Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha;
d.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
e.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f.
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh PKP;
|
16
g.
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh PKP;
h.
Ekspor Jasa Kena Pajak oleh PKP.
2.
Objek yang penentuannya berdasarkan mekanisme khusus, yaitu yang
dirumuskan dalam Pasal 16C dan Pasal 16D UU PPN Nomor 42 Tahun
2009, sebagai berikut:
a.
Pasal 16C : Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan baik yang dilakukan oleh orang pribadi
atau badan;
b.
Pasal 16D : Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula
aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas
penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c.
Sedangkan yang merupakan Non Objek Pajak Pertambahan Nilai diatur
dalam Pasal 4A UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 yang terdiri dari:
1.
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang
tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a.
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya;
b.
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c.
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman
yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d.
Uang, emas batangan, dan surat berharga.
|
17
2.
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu
dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a.
Jasa pelayanan kesehatan medis;
b.
Jasa pelayanan sosial;
c.
Jasa pengiriman surat dengan perangko;
d.
Jasa keuangan;
e.
Jasa asuransi;
f.
Jasa keagamaan;
g.
Jasa pendidkan;
h.
Jasa kesenian dan hiburan;
i.
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j.
Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan
udara luar negeri;
k.
Jasa tenaga kerja;
l.
Jasa perhotelan
m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum;
n.
Jasa penyediaan tempat parkir;
o.
Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p.
Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q.
Jasa boga atau katering.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah
darat, perairan, dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona
|
18
ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang
yang mengatur mengenai kepabeanan.
2.2.5 Pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak dan Penyerahan Jasa Kena
Pajak
Menurut UU PPN Nomor 42 Tahun 2009
1.
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak menurut
Pasal 1A UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 adalah:
a.
Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b.
Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli
dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c.
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui
juru lelang;
d.
Pemakaian sendiri dan/atau pemberian Cuma-Cuma atas Barang Kena
Pajak;
e.
Barang Kena Pajak berupa persediaan, dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan;
f.
Penyerahaan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g.
Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h.
Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam
rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip
syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena
Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
|
19
2.
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
menurut Pasal 1A UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 adalah:
a.
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar dimana dimaksud dalam
kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b.
Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c.
Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f dalam
hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat
pajak terutang;
d.
Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak
yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah
Pengusaha Kena Pajak; dan
e.
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan c.
3.
Yang termasuk dalam pengertian Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah:
a.
Setiap pemberian Jasa Kena Pajak;
b.
Pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak;
c.
Pemberian Cuma-Cuma Jasa Kena Pajak.
2.2.6 Saat dan Tempat Pajak Terutang
Menurut UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 11 dan 12 yang mengatur saat
dan tempat pajak terutang, maka penjabaran tentang saat dan tempat pajak terutang
adalah sebagai berikut:
|
20
1.
Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a.
Penyerahan Barang Kena Pajak;
b.
Impor Barang Kena Pajak;
c.
Penyerahan Jasa Kena Pajak;
d.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean;
e.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
f.
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
g.
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
h.
Ekspor Jasa Kena Pajak.
2.
Tempat Pajak Terutang terdiri dari:
a.
Tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha
dilakukan;
b.
Tempat Barang Kena Pajak dimasukkan, dalam hal impor Barang Kena
Pajak;
c.
Satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh dirjen pajak atas
permohonan tertulis dai PKP sebagai tempat pemusatan pajak terutang;
d.
Ditetapkan oleh Dirjen pajak.
2.2.7 Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif PPN
2.2.7.1 Dasar Pengenaan Pajak
Menurut UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 17, Dasar
Pengenaan pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau Nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang
|
21
Menurut UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 18, Harga jual
adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Sedangkan definisi Penggantian dalam UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal
1 angka 19 diartikan sebagai nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi
tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipunggut menurut Undang-Undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang
dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
Menurut UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 20, Nilai Impor
adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut menurut Undang-undang ini.
Menurut UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 26, Nilai Ekspor
adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh eksportir.
|
22
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010
ditetapkan jenis dan macam Nilai Lain sebagai dasar pengenaan pajak sebagai
berikut:
a.
Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
b.
Untuk pemberian Cuma-Cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
c.
Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan
Harga Jual rata-rata;
d.
Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul
film;
e.
Untuk penyerahan produk tembakau adalah sebasar Harga Jual eceran;
f.
Untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;
g.
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau
sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah
harga pokok penjualan atau harga perolehan;
h.
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah
harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli;
i.
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga
lelang;
j.
Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah yang
ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
|
23
k.
Untuk penyerahan jasa biro perjalanan
atau jasa biro pariwisata adalah
10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
2.1.2.7.2 Tarif PPN
Tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Pasal 7 UU PPN Nomor 42
Tahun 2009 sebagai berikut:
1.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar 10% (sepuluh persen)
2.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar 0% (nol persen) diterapkan
atas:
a.
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b.
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c.
Ekspor Jasa Kena Pajak.
3.
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi
paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)
yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.3 Faktur Pajak
Menurut UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, Faktur Pajak di definisikan sebagai
bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
harga Barang Kena Pajak tersebut.
Faktur Pajak paling sedikit dibuat dalam rangkap 2 (dua), yaitu:
1.
Lembar ke 1 : disampaikan kepada pembeli BKP atau penerima JKP
sebagai bukti Pajak Masukan.
|
24
2. Lembar ke 2 : untuk arsip PKP yang menerbitkan Faktur Pajak sebagai
bukti Pajak Keluaran.
Faktur Pajak harus memenuhi syarat formal dan material sesuai ketentuan
dalam Undang-Undang PPN menjadi Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13 ayat (5).
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
c.
Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan
potongan harga;
d.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f.
Kode, Nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g.
Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Faktur Pajak Masukan dapat dikreditkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan
sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
2.3.1 Jenis Faktur Pajak
Dalam ketentuan Undang-Undang PPN Nomor 18 Tahun 2000, dikenal dua
jenis Faktur Pajak yaitu Faktur Pajak Standar dan Faktur Pajak Sederhana. Namun
karena adanya penyempurnaan Undang-Undang PPN menjadi Nomor 42 Tahun
2009, maka kini jenis Faktur Pajak yang digunaakan mulai 1 April 2010 hanya
|
25
Faktur Pajak. Selain itu terdapat Dokumen Tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur
Pajak. Ketentuan
mengenai jenis Faktur Pajak tersebut dijelaskan dalam Undang-
Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13.
2.3.2 Saat Pembuatan Faktur Pajak
Dalam Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13 ayat (1)
merumuskan Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a.
Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
b.
Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf c;
c.
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d.
Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf h.
Saat pembuatan Faktur Pajak disesuaikan dengan saat terutang pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 11, yaitu pada saat penyerahan atau pada saat
pembayaran (dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan).
2.4 Pajak Masukan dan Pajak Keluaran
2.4.1 Definisi Pajak Masukan
Menurut UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (24), Pajak Masukan
adalah Pajak Pertambahan Nilai yang
seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha
Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak
dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
|
26
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor
Barang Kena Pajak.
2.4.2 Pengkreditan Pajak Masukan
Untung Sukardji (2012:138) menjelaskan bahwa Pajak Masukan dalam suatu
Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Bagi
Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor
barang modal dapat di kreditkan. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran
lebih besar dari pada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai
yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak. Namun apabila dalam suatu Masa
Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran,
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya. Atas kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan
pengembalian pada akhir tahun buku.
Pengajuan permohonan pengembalian atas Pajak Pertambahan Nilai dapat
dilakukan pada setiap Masa Pajak oleh :
a.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud;
b.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada pemungut Pajak
Pertambahan Nilai;
c.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan
Nilainya tidak dipungut;
|
27
d.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud;
e.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak;
dan/atau
f.
Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi.
Dalam Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 8, Pajak Masukan
yang tidak dapat dikreditkan jika:
a.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c.
Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan
station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan atau tidak mencantumkan nama,
alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
f.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan;
|
28
g.
Perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan
pajak;
h.
Perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada
waktu dilakukan pemeriksaan;
i.
Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak
sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi.
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan namun belum dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.
2.4.3 Definisi Pajak Keluaran
Menurut UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (25) ,Pajak Keluaran
adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak,
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak
2.5 Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan Surat Setoran Pajak
2.5.1 Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai
|
29
Menurut Undang-Undang PPN
Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 3A ayat (1)
menyatakan bahwa salah satu kewajiban dari PKP adalah melakukan Penyetoran atas
PPN terutang. Penyetoran dilakukan jika Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan sehingga menimbulkan nilai pajak kurang bayar.
Tanggal Jatuh tempo penyetoran pajak yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 Pasal 2 Ayat 13 untuk PPN yang terutang
dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran jatuh pada hari
libur resmi maka tanggal jatuh temponya diundur ke tanggal berikutnya yang tidak
libur resmi atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya (Pasal
3). Adapun terdapat perubahan tanggal jatuh tempo penyetoran Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2010 Pasal 2A Penyetoran dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Penyetoran dapat
dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak,
Kantor Pos, Bank Persepsi atau melalui
fasilitas e-payment. Sarana untuk melakukan penyetoran PPN kurang bayar adalah
Surat Setoran Pajak (SSP).
2.5.2 Surat Setoran Pajak
Surat Setoran Pajak harus diisi dengan lengkap dan benar, Berdasarkan
petunjuk pengisian SSP sebagimana ditetapkan dalam lampiran I Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 Pasal 2 ayat (4). Data yang perlu diisi dalam
Surat Setoran Pajak antara lain tentang:
1.
Nomor Pokok Wajib Pajak penyetor;
2.
Nama dan alamat Wajib Pajak (penyetor);
|
30
3.
Kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) sesuai jenis pajak yang akan
dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk Pengisian SSP;
4.
Kode Jenis Setoran (KJS) sesuai jenis setoran pajak yang akan dibayar,
sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk Pengisian SSP;
5.
Uraian pembayaran: keterangan untuk memperjelas jenis pajak yang
disetorkan;
6.
Masa pajak dan Tahun Pajak, yang menunjukkan periode kewajiban pajak
yang akan dibayar;
7.
Nomor ketetapan sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), atau Surat Tagihan Pajak (STP) yang akan dibayar (diisi jika
pembayaran dilakukan untuk penyetoran SKPKB, SKPKBT, atau STP);
8.
Jumlah pembayaran: bilangan dalam jumlah nominal jumlah pajak yang
akan disetorkan, dan penjabarannya dalam huruf di kolom terbilang;
9.
Tanggal, Bulan, Tahun, Tanda tangan wajib pajak atau penyetor, Nama
Jelas, dan cap perusahaan apabila penyetor adalah Wajib Pajak Badan.
2.6 Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai
Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009 pasal 3A ayat (1) menyatakan
bahwa kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) setelah melakukan penyetoran atas
PPN yang terutang, wajib melaporkan PPN yang telah disetor dan disampaikan
kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat. Sarana untuk melaporkan PPN
adalah Surat Pemberitahuan Masa PPN.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 yang
menyatakan Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan
pembayaran pajak tersendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau
|
31
Pemungut PPh atau Pemungut PPN wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa
paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. Namun dalam penyempurnaan
Undang-Undang PPN
No. 42 Tahun 2009 Pasal 15A menyatakan bahwa
penyampaian SPT Masa PPN disampaikan paling
lama akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa Pajak.
2.7 Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT PPN)
Menurut Priantara (2011:9) bagi Pengusaha Kena Pajak, SPT berfungsi untuk
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya
terutang dan untuk melaporkan tentang pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran dan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh
Pengusaha Kena Pajak atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak.
Undang-Undang KUP No. 16 Tahun 2009 Pasal 3 ayat (1) menyatakan
bahwa Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang Rupiah,
dan menandatangani serta menyampaikan ke Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar atau dikukuhkan
Berdasarkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
146/PJ/2006 tanggal 29 September 2006, SPT Masa PPN terdiri atas:
1.
Induk SPT Formulir 1107;
2.
Lampiran 1 Daftar Lampiran Pajak Keluaran dan PPnBM
Formulir
1107A
3.
Lampiran 2 Daftar Pajak Masukan dan PPnBM Formulir 1107B.
Sejak 1 Januari 2011 pelaporan di bidang PPN menggunakan SPT Masa PPN
1111 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ./2010
tanggal 6 Oktober 2010 dan SPT Masa PPN Formulir 1111DM berdasarkan
|
32
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ./2010 tanggal 6 Oktober 2010
yang pada dasarnya menentukan pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-146/PJ./2006 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
29/PJ/2008, sehingga dapat disimpulkan bagi PKP yang akan melaksanakan
kewajiban melaporkan kegaiatannya di bidang PPN, sejak Masa Januari 2011
menggunakan SPT Masa PPN 1111.
SPT Masa PPN 1111 dipergunakan oleh PKP yang menggunakan mekanisme
pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU PPN, terdiri dari:
1.
Induk SPT Masa PPN 1111 Formulir 1111; dan
2.
Lampiran SPT Masa PPN 1111, terdiri atas
a.
Formulir 1111AB Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan
b.
Formulir 1111A1
Daftar Ekspor
BKP Berwujud, BKP Tidak
Berwujud
c.
Formulir 1111A2
Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam
Negeri dengan Faktur Pajak
d.
Formulir 1111B1
Daftar Pajak Masukan yang dapat dikreditkan atas
impor BKP dan Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/ JKP dari luar
Daerah Pabean
e.
Formulir 1111B
Daftar Pajak Masukan yang dapat dikreditkan atas
perolehan BKP / JKP Dalam negeri
f.
Formulir 1111B3 Daftar Pajak Masukan yang Tidak dapat dikreditkan
atau yang mendapat fasilitas.
Menurut Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009 Pasal 15 ayat (2)
menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
33
|