BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1.
Pajak 
2.1.1.
Definisi Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang undang ( yang dapat
dipaksakan ) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontrasepsi) yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.  (menurut Rochmat Soemitro)
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur – unsur:
1.
Iuran dari rakyat kepada Negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan
barang )
2.
Berdasarkan undang – undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
3.
Tanpa jasa timbal atau kontrasepsi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan kontrasepsi individual oleh pemerintah
4.
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran –
pengeluaran
yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Fungsi Pajak menurut Mardiasmo ( 2011 ) ada 2 yaitu :
Ada dua fungsi pajak, yaitu :
1.
Fungsi Budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran –
pengeluarannya
2.
Fungsi mengatur ( regulerend )
  
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijkasanaan pemerintah dalam
bidang sosial dan ekonomi .
Contoh :
a.
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras 
b.
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang – barang mewah 
c.
Tarif pajak untuk ekspor 0 % 
Teori – Teori di dalam pajak menurut Mardiasmo (2011) ada 5 yaitu :
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberika justifikasi pemberian hak
kepada negara untuk memungut pajak. Teori – teori antara lain adalah:
1.
Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-
hak rakyatnya. Oleh
karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi
karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut
2.
Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya
perlindungan ) masing –
masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap
negara , makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai
dengan daya pikul masing – masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan masing-
masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekaran yaitu :
a.
Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh
seseorang
  
b.
Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi
2.1.2.
Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut, seperti yang ada dalam buku
Mardiasmo (2011) :
1.
Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan )
2.
Berdasarkan Undang-Undang ( syarat Yudiris )
3.
Tidak menggangu perekonomian ( syarat ekonomis )
4.
Pemungutan pajak harus efisien ( Syarat Finansiil )
5.
Sistem pemungutan harus sederhana
2.1.3.
Asas – asas Pemungutan Pajak 
Asas -  asas pemungutan pajak yang telah dikenal menurut para ahli didasarkan pada : 
1.
Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The
Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
a.
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan
pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan
wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
b.
Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU,
sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
c.
Asas Convinience of Payment
(asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas
kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang
  
paling
baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat
wajib pajak menerima hadiah.
d.
Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan
sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil
pemungutan pajak.
2.
Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
a.
Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar
kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi
pajak yang dibebankan.
b.
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-
kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
c.
Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
d.
Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang
lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
e.
Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya
(serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak
memberatkan para wajib pajak.
3.
Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pahak adalah sebagai berikut:
a.
Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga
dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
  
b.
Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan, pajak
untuk barang-barang mewah
c.
Asas keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk
kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
d.
Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus
membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan
besarnya biaya pajak.
e.
Asas yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Sedangkan menurut Mardiasmo (2011) terdiri dari :
1.
Menurut Golongan
a.
Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak
lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan ( PPh )
b.
Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan
kepihak lain.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai ( PPN )
2.
Menurut sifat
Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya
berdasarkan ciri – ciri prinsip :
a.
Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjek yang
selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan Wajib Pajak
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)
  
b.
Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa
memperhatikan Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBm)
3.
Menurut pemungutnya dan pengelolaannya
a.
Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai.
b.
Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah dibagi menjadi 2 :
1.
Pajak Provinsi, contoh : Pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar
kendaraan bermotor. 
2.
Pajak Kota/Kabupaten, contoh : pajak hotel, pajak restaurant, dan pajak hiburan.
Namun pada tahun 2009 PBB tidak lagi masuk digolongan pajak pusat tetapi PBB
digolongkan menjadi pajak daerah sesuai UU Pajak dan Retribusi Daerah no 29 tahun 2009
2.1.4.
Tata cara pemungutan pajak 
Tata cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2011) dibagi menjadi tiga yaitu:
1.
Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 stelsel :
a.
Stelsel nyata (riil stelsel)
  
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang
nyata), sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan  atau
kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih
realitis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pda akhir
periode ( setelah penghasilan riil diketahui)
b.
Stelsesl anggapan (Fictive stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-
undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun diarutanggap sama dengan tahun sebelumnya,
sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang
untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun
berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak yang
dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c.
Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada
awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan , kemudian pada akhir
tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak
menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak
harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2.
Asas-Asas 
Asas – asas pengenaan pajak (Mardiasmo 2011)
a.
Azas domisili (asas tempat tinggal)
  
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari
luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
b.
Azas Sumber
Negara Berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
c.
Azas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.
3.
Sistem pemungutan pajak ( Mardiasmo 2011 )
a.
Official Assessment System
Adalah Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri – cirinya :
1)
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2)
Wajib Pajak bersifat pasif.
3)
Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b.
Self Assessment System
Adalah Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewnang kepada Wajib
Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri – cirinya :
1)
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak
sendiri.
  
2)
Wajib Pajak aktif, mulai menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak
yang terutang.
3)
Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c.
Witholding System
Adalah Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan wajib Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri –
cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak
ketiga , pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. 
2.1.5.
Tarif Pajak
Ada empat macam tarif pajak menurut Mardiasmo (2011) :
1.
Tarif proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai
pajak.
Contoh : Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan di kenakan
Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.
2.
Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
  
  Contoh :
Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun
adalah Rp 3000
3.
Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.
Contoh :
Pasal 17 Undang –
undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sebagai berikut : 
Tabel 2.1
Pasal 17 Undang – Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000
5%
Di atas Rp 50.000.000 s.d Rp
250.000.000
15%
Di atas Rp 250.000.000 s.d Rp
500.000.000
25%
Di atas Rp 500.000.000
30%
  
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi :
a.
Tarif progresif progresif
: Kenaikan persentase semakin besar
b.
Tarif progresif tetap
: Kenaikan persentase tetap
c.
Tarif progresif degresif
: Kenaikan persentase semakin kecil
4.
Tarif degresif 
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.
2.1.6. 
Timbul dan Hapusnya Utang Pajak
Menurut Mardiasmo (2011) ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
1.
Ajaran Formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus . Ajaran
ini diterapkan pada official assessment system.
2.
Ajaran Materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undang –
undang. Seseorang dikenai pajak
karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal : 
1.
Pembayaran,
2.
Kompensasi,
3.
Daluwarsa,
4.
Pembebasan dan penghapusan.
  
2.1.7.
Hambatan Pemungutan Pajak
Hambatan terhadap pemungutan pajak oleh Mardiasmo (2011) dapat dikelompokkan
menjadi :
1.
Perlawanan pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:
a.
Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b.
Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat
c.
Sistem Kontrol yang tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
2.    Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi usaha dan perbuatan yang secara langsung diujukan kepada 
fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain
a.
Tax Avoidance adalah usaha meringankan beban pajak dengan
tidak melanggar
undang – undang.
b.
Tax Evasion adalah usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-
undang (menggelapkan pajak).
2.1.8.
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Pajak di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok ditinjau dari lembaga pemungut pajak
yaitu pajak Pusat
dan pajak Daerah. Berikut ini adalah pajak negara dan daerah yang masih
berlaku hingga saat ini :
  
1.  Pajak Negara sering disebut dengan Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat yang terdiri dari : 
2.  Dalam pasal 1 angka 6 UU No.34 tahun 2000 Mengenai Pajak daerah dan Retribusi daerah.
Pajak daerah dibagi menjadi 2 bagian menurut Mardiasmo (2011), yaitu :
1.
Pajak Provinsi, terdiri dari :
a.
Pajak Kendaraan Bermotor;
b.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d.
Pajak Air Permukaan; dan
e.
Pajak Rokok.
2.
Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari :
a.
Pajak Hotel
b.
Pajak Restoran
c.
Pajak Hiburan
d.
Pajak Reklame;
e.
Pajak Penerangan Jalan;
f.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g.
Pajak Parkir;
h.
Pajak Air Tanah;
i.
Pajak Sarang Burung Walet;
j.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
k.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dang Bangunan.
  
Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi dalam
daerah kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis Pajak yang dapat
dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak untuk daerah
kabupaten/kota.
2.2 
 
Pajak Bumi dan Bangunan
2.2.1.
  Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan
Pengenanaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kepala Undang – undang Nomor 12
Tahun 1985 yang telah diubah menjadi Undang - undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan.
Selain Undang – undang PBB di atas, berikut ini adalah beberapa peraturan pelaksanaan
yang mendasari tntang pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan :
1.
Undang – undang No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2.
Undang – Undang No.1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara;
3.
Undang – undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
4.
Undang – undang no.33 Tahun 2004 tentang Perimabangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah;
5.
Peraturan Pemerintah No.16 tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  
2.2.2.
Definisi Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi
dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan
oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar)
tidak ikut menentukan besarnya pajak
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi
meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau
perairan, yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
1.
Jalan Lingkungan pemukiman;
2.
Jalan Tol;
3.
Tempat Olah Raga;
4.
Kolam Renang;
5.
Taman mewah;
6.
Tempat penampungan minyak, air, dan gas;
7.
Fasilitas lainnya yang bisa memberikan manfaat.
  
2.2.3.
Subjek Pajak dan Objek Pajak di dalam PBB
A.
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
1.
mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
2.
memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
3.
memiliki bangunan, dan atau;
4.
menguasai bangunan, dan atau;
5.
memperoleh manfaat atas bangunan
Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak
B.
Objek PBB adalah  Bumi dan atau Bangunan:
Berikut ini adalah Objek PBB menurut Undang – undang PBB Nomor 12 Tahun 1994 :
1.
Yang menjadi objek pajak adalah Bumi dan Bangunan.
2.
Yang dimaksud dengan klasifikasi Bumi dan Bangunan adalah pengelompokkan
Bumi dan Bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta
untuk memudahkan perhitungan pajak terutang. Dengan memperhatikan faktor –
faktor sebagai berikut :
a.
Letak 
b.
Peruntukan
c.
Pemanfaatan
d.
Kondisi lingkungan dan lain – lain 
  
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor – faktor sebagai berikut:
a.
Bahan yang digunakan
b.
Rekayasa
c.
Letak
d.
Kondisi lingkungan dan lain – lain
C.
Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB ada didalam peraturan Undang –
undang PBB
Nomor 12 Tahun 1994 yaitu  :
1.
Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti
asuhan, candi.
2.
Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
3.
Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu
hak.
4.
Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
5.
Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
  
2.2.4.
Tarif Pajak PBB
1. 0,5% (setengah persen) sesuai Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1994.
2.   Tarif efektif PBB adalah 0,1% untuk obyek yang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)  kurang dari
1 milyar.
3.    Dan 0,2% untuk NJOP yang nulainya lebih besar dari sama dengan 1 milliar.
Untuk menghitung nilai pajak terutang Pejak Bumi dan Bengunan / PBB dilakukan
dengan cara mengalikan tarif efektif dengan nilai jual obyek pajak setelah dikurangi Nilai Jual
Objek Pajak Tinak Kena Pajak (NJOPTKP).
2.2.5.
Hak – Hak yang dimiliki oleh Wajib Pajak PBB
1.
Pengurangan Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB
Jika wajib pajak tidak sanggup / tidak mampu membayar PBB dengan alasan seperti tidak
mampu, dan lain sebagainya dapat memohon pengurangan ke KPBB atau KPP Pratama. Surat
permohonan pengurangan Pajak disampaikan selambat-lambatnya 3 bulan sejak diterima SPPT
PBB. Jika dalam 3 bulan sejak permohonan pengurangan diterima belum ada jawaban, maka
permohonan wp dianggap diterima / dikabulkan. Permohonan pengurangan pajak bumi dan
bangunan tidak mengurangi atau menunda waktu pembayaran atau pelunasan PBB.
2. Keberatan Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB
Bila menurut wajib pajak ada yang tidak sesuai antara data seperti NJOP, luas tanah dan atau
bangunan pada SPPT yang diterimanya, maka dapat mengajukan keberatan ke KP PBB atau KPP
Pratama. Surat pengajuan atas keberatan wajib pajak atas SPPT yang diterima paling lambat
diajukan 3 bulan sejak SPPT PBB diterima WP. KPBB / KPP Pratama memiliki batas waktu 12
  
bulan atas keberatan wajib pajak atas SPPT yang diterima. Jika dalam tempo 12 bulan tidak ada
jawaban maka keberatan WP dianggap diterima / dikabulkan.
2.2.6.
Dasar Pengenaan Pajak PBB
Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak ( NJOP ) yang
mempunyai pengertian harga rata – rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar, dan bilamana tidak terdapat
jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai objek pajak pengganti.
Berdasarkan pengertian NJOP tersebut ada tiga pendekatan penilaian yang dapat
dilakukan untuk menentukan besarnya NJOP, yaitu:
1.
Pendekatan Data Pasar ( Market Data Approach ) yaitu menentukan nilai suatu objek
(property) dengan jalan membandingkan objek yang dinilai dengan objek lain yang sejenis
yang telah diketahui nilai jualnya. Pendekatan ini disebut juga metode perbandingan harga
2.
Pendekatan Biaya (Cost approach) yaitu menentukan nilai suatu objk (property) dengan
jalan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut. Biaya
yang diperhitungkan adalah baiaya bangunan baru kemudian dikurangi dengan penyusutan
yang ada.
3.
Pendekatan Pendapatan (Income approach) yaitu menentukan nilai suatu objek (property)
dengan jalan mengkapitalisasikan pendapatan bersih dari objek tersebut dengan suatu tingkat
kapitalisasi terteent. Pendekatan ini disebut juga pendekatan kapitalisas
  
2.2.7.
Tata Cara Pembayaran PBB
Setiap pembayaran pajak harus dibukukan di Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. Dalam
rangka memperlancar dan mempermudah pembayaran PBB, Kantor Perbendaharaan dan Kas
Negara membuka rekening di Bank Persepsi. Sistem pemungutan dan pembayaran PBB yang
ideal adalah :
1.
Sistematis
2.
Mudah dan sederhana maupun administrasinya.
3.
Dapat dilaksanakan pengawasan efektif dan efisien.
Namun mencapai sistem yang ideal itu tidak terlalu mudah karena disebabkan oleh adanya
kendala seperti berikut :
1.
Kondisi dan situasi masing-masing wilayah berbeda – beda.
2.
Jumlah wajib pajak PBB sangat besar.
3.
Terbatasnya sarana dan prasarana yang ada di KP PBB.
4.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan wajib pajak yang sangat heterogen.
Cara pembayaran menggunakan sitem tempat pembayaran (SISTEP) :
1.
Dalam sistem tempat pembayaran, wajib pajak melunasi PBBnya tanpa diangsur pada
tempat pembayaran yang telah ditetapkan. Namun ada wajib pajak yang dapat membayar
melalui petugas pemungut dengan catatan tempat tinggal wajib pajak jauh atau sulit
sarana dan prasarana dari tempat pembayaran yang ditunjuk.
  
2.
Untuk itu petugas pemungut menyetorkan ke Bank/Kantor Pos dan Giro tempat
pembayaran . Wajib pajak kemudian menerima Tanda Terima Setara (TTS) sebagai tanda
bukti penerimaan sementara dan STTS sebagai tanda bukti pembayaran PBB yang sah
dari tempat pembayaran melalui petugas pemungut sebagai pengganti TTS.
3.
Wajib pajak dapat melaksanakan kewajiban pembayaran PBB melalui prosedur
pemindah bukuan/transfer, kiriman uang lewat Bank atau Wesel Pos.
Pembayaran Langsung ke Tempat Pembayaran
1.
Bagi wajib pajak yang membayar langsung ke tempat pembayaran yang ditetapkan,
cukup menunjukkan SPPT PBB dan sebagai bukti pembayaran, wajib pajak akan
menerima Surat Tanda Terima Setoran(STTS).
2.
Apabila SPPT Tahunan yang bersangkutan belum diterima wajib pajak, sepanjang STTS
sudah tersedia di tempat pembayaran wajib pajak dapat membayar PBB dengan
menunjukkan SPPT tahun sebelumnya.
Pembayaran melalui Petugas Pemungut
1.
Bagi wajib pajak yang membayar atau melunasi PBB melalui petugas pemungut, akan
menerima Tanda Terima Sementara (TTS)
2.
Oleh petugas pemungut dimasukkan dalam daftar penerimaan harian PBB dan disetorkan
ke tempat pembayaran yang telah ditentukan.
3.
Petugas pemungut menyetorkan hasil penerimaan PBB dari wajib pajak ke Bank atau
Kantor Pos dan Giro tempat pembayaran yang ditunjuk yang tercantum dalam
SPPT/SKP/STP dengan menggunakan DPH dalam rangkap dengan ketentuan, untuk
  
daerah yang tidak sulit sarana dan prasarananya, tetapi berdasarkan pertimbangan perlu
ditunjuk petugas pemungut, penyetoran dilakukan setiap hari.
Pembayaran melalui Pemindah bukuan/transfer, 
1.
Wajib pajak membayar dengan cara transfer melalui Bank atau Wesel Pos.
Cara pembayaran melalui SISTEP dapat digambarkan sebagai berikut:
Sumber : Peraturan Menteri Keuangan  No 167 / PMK.03 / 2007
WAJIB PAJAK
TRANSFER
PETUGAS
PEMUNGUT
TEMPAT
PEMBAYARAN
BANK/KANTOR POS DAN
GIRO (PERSEPSI)
BANK/KANTOR POS DAN
GIRO OPERASIONAL PBB
  
2.2.8.
Pembagian Hasil Peneriman PBB
Hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan merupakan penerimaan negara yang dibagi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan pembagian 90% untuk Pemda Kabupaten
dan Pemda Propinsi sebagai pendapatan daerah bersangkutan, sedangkan 10% sisanya
merupakan bagian Pemerintah Pusat. Hasil penerimaan PBB diarahkan untuk kepentingan
masyarakat di Kabupaten/Kota. Dalam PP Nomor 47 tahun 1985 tentang Pembagian Hasil
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
ditetapkan sebagai berikut:
1.
10% hasil penerimaan PBB merupakan bagian penerimaan bagi Pemerintah Pusat dan
harus disetor sepenuhnya ke Kas Negara.
2.
90% sisanya merupkaan bagian penerimaan untuk Pemerintah Daerah. Setelah dikurangi
dengan biaya untuk melakukan pemungutan sebesar 10% dari 90% kemudian dibagi lagi
untuk Pemda Propinsi dan Pemda Kabupaten/Kota dengan imbangan sebagai berikut:
Tabel 2.2 
Pembagian Dana Bagi Hasil Pajak Pusat Ke Daerah
Pemda Propinsi
=
20%
Pemda Kabupaten/Kota
=
80%
Dengan rincian sebagai berikut:
Pemerintah Pusat
=
10%
Biaya pemungutan = 10% x 90%
=
9%
Pemda Propinsi = 20% x 81%
=
16,2%
  
Pemda Kabupaten/Kota = 80% x
81%
=
64,8%
Jumlah Penerimaan
=
100%
Sumber : Peraturan Pemerintah No.16 tahun 2000
Mulai tahun 1994/1995, hasil penerimaan PBB bagian Pemerintah Pusat sebesar 10%
dibagikan kepada seluruh Kabupaten/Kota. Berdasarkan SKB
Dirjen Pajak dengan Dirjen
Anggaran Nomor Kep. 56/A/44/1996, tanggal 25 Nopember 1996, ditetapkan bahwa 65%
dibagikan secara merata ke masing-masing Dati II seluruh Indonesia dan 35% diberikan sebagai
insentif bagi Dati II yang dapat mencapai rencana penerimaan. Hasil penerimaan PBB yang
diterima oleh daerah merupakan pendapatan daerah dan setiap tahun harus dicantumkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penggunaan dana tersebut harus
diselaraskan dengan pembangunan nasional yang diarahkan untuk kepentingan masyarakat di
daerah yang bersangkutan.
Dengan kata lain:
1.
hasil tersebut diharapkan dapat merangsang masayarakat di daerah tempat objek pajak
untuk selalu membayar pajak.
2.
kesadaran membayar PBB mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat
dalam
pembiayaan pembangunan.
Sejalan dengan UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, Daerah Otonom memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  
Sedangkan kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. 
2.3
Efektivitas dan Kontribusi
2.3.1
Pengertian Efektivitas
Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya”.
Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah
berjalan dengan efektif. Efektivitas adalahmengukur hubungan antara hasil pungutan suatu pajak
dengan potensi pajak itu sendiri.Sedangkan efektivitas penerimaan pajak bumi dan bangunan
adalah mengukur hubunganantara hasil pungutan pajak bumi dan bangunan dengan potensi pajak
bumi dan bangunan.
2.3.2
Pengertian Kontribusi
Menurut kamus ekonomi , Kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama-sama
dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama. Sehingga kontribusi
yang dimaksud dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan oleh pendapatan Pajak Bumi
dan Bangunan terhadap besarnya pendapatan asli daerah. Jika potensi penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan semakin besar dan pemerintah daerah dapat mengoptimalkan sumber
penerimaannya dengan meningkatkan
target dan realisasi Pajak Bumi dan Bangunan yang
berlandaskan potensi sesungguhnya, hal ini dapatmeningkatkan total hasil dana perimbangan.
Sehingga akan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. untuk
mengetahui bagaimana dan seberapa besar kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan.