11
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Perpajakan Indonesia
2.1.1 Definisi Pajak
Menurut Undang-undang No.6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No.
28 Tahun 2007, Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro, Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pajak
memiliki beberapa unsur, yaitu:
a.
Iuran rakyat kepada Negara
Yang berhak memungut pajak adalah Pemerintah, baik Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah dimana iuran tersebut adalah
berbentuk uang (bukan barang).
b.
Pembayaran pajak harus berdasarkan Undang-undang
c.
Sifatnya dapat dipaksakan
d.
Tanpa balas jasa atau kontraprestasi individual dari negara yang
secara langsung dapat ditunjuk.
11
|
12
e.
Digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum Pemerintah yang bermanfaat bagi masyarakat
luas.
1.1.2
Fungsi Pajak
Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2007 : 10),
fungsi pajak dapat dibedakan atas beberapa jenis. Adapun fungsi
pajak tersebut adalah:
a.
Fungsi budgetair, disebut juga fungsi fiskal, yaitu fungsi
untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya
sesuai dengan Undang-undang berlaku yang pada waktunya
akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan
sebagai tabungan Pemerintah untuk investasi Pemerintah.
b.
Fungsi regulerend, adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak
tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan;
c.
Fungsi demokrasi, yaitu suatu fungsi yang merupakan salah
satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong, termasuk
kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi
kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa
sekarang ini sering dikaitkan dengan hak seseorang apabila
akan memperoleh pelayanan dari Pemerintah. Apabila
seseorang telah melakukan kewajibannya membayar pajak
|
13
kepada negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia
mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang
baik dari Pemerintah;
d.
Fungsi distribusi, yaitu fungsi yang lebih menekankan pada
unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.
Dari pemaparan mengenai fungsi pajak tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pajak dapat dijadikan sebagai sarana atau akses bagi pemerintah untuk
mewujudkan suatu tatanan pemerintahan yang baik dan
berkesinambungan.Oleh karena itu pemerintah selalu berupaya untuk
meningkatkan jumlah penerimaan dari sektor pajak agar perekonomian
negara dapat berjalan sebagaimana mestinya.
2.1.3 Jenis-Jenis Pajak
Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi
tiga menurut Mardiasmo (2009), yaitu pengelompokkan menurut
golongannya, menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutnya.
1.
Menurut Golongannya
a.
Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: PPh (Pajak Penghasilan)
b.
Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: PPN (Pajak
Pertambahan Nilai)
|
14
2.
Menurut Sifatnya
a.
Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh: PPh (Pajak Penghasilan)
b.
Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: PPN dan PPnBM
(Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah)
3.
Menurut Lembaga Pemungutnya
a.
Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: PPh, PPN
dan PPnBM, PBB, dan Bea Materai.
b.
Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah
terdiri atas:
a)
Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor.
b)
Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak
Penerangan Jalan.
|
15
2.1.4 Syarat pemungutan pajak
Menurut Mardismo (2009) Agar pemungutan pajak tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
1.
Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yaitu mencapai keadilan, undang-undang
dan pelaksanaan pemungutan harus adil.Adil dalam perundang-undangan
diantaranya
mengenakan pajak secara umum dan merata, serta
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.Sedang adil dalam
pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk
mengajukan keberatan,penundaan dalam pembayaran dan mengajukan
banding kepada majelis pertimbangan pajak.
2.
Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi
Negara maupun warganya.
3.
Tidak menggangu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh menggangu kelancaran kegiatan produksi
maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan
perekonomian masyarakat.
4.
Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan
sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
|
16
5.
Sistem pemungutan pajak harus sederhana
pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
2.1.5
Prinsip-prinsip Pemungutan Pajak
Adam Smith dalam bukunya yang berjudul An Inquiry Into the Nature
and Causes of the Wealth of Nations, yang dikutip oleh Mansury,
menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada prinsip-
prinsip, sebagai berikut :
A.
Equality
Equality berarti pemungutan pajak harus adil dan merata, yaitu
dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan
kemampuannya untuk membayar (ability to pay), dan sesuai dengan
manfaat yang diterimanya. Pembebanan pajak itu adil apabila setiap
Wajib Pajak menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna
pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan
dengan manfaat yang diterimanya dari pemerintah (Mansury:2002).
Ada dua faktor yang diperhatikan dalam penerapan system
perpajakan yang berkeadilan, yaitu :
1.
Diperlukan satu metode yang sama untuk menentukan kapan
beberapa Wajib Pajak dikatakan mempunyai kondisi ekonomi
yang sama, dan
2.
Harus ada alasan jika terdapat perbedaan antara Wajib Pajak
yang mempunyai situasi ekonomi berbeda.
|
17
Kesulitan untuk mengimplementasikan konsep keadilan adalah
identifikasi beberapa kriteria untuk menentukan bahwa Wajib Pajak
dalam kondisi yang sama. Kesamaan diukur berdasarkan kemampuan
Wajib Pajak (ability to pay) membayar pajak. Wajib Pajak dengan
kemampuan membayar yang sama harus membayar beban pajak yang
sama. Konsep ablity to pay mempunyai tiga alternatif dalam
penerapannya, yaitu :
1.
Kemampuan yang dimiliki pada suatu saat membayar,
apabila alternatif ini dipilih maka pajak yang dipungut
disebut pajak kekayaan atau net wealth tax.
2.
Tambahan kemampuan ekonomi yang didapat orang
tersebut selama jangka waktu tertentu, misalnya selama
satu tahun, apabila alternatif ini yang diambil maka disebut
PPh atau income tax.
3.
Kemampuan yang dipakai untuk membeli barang dan jasa
untuk pemenuhan keperluan hidupnya. Jika alternatif ini
yang dipakai maka akan terjadi pajak pengeluaran pribadi
atau pajak pengeluaran (expenditure tax)
Keadilan dalam PPh terdiri dari keadilan horizontal dan keadilan
vertikal (Rosdiana:2004). Mansury (2000) juga menegaskan bahwa apabila
asas keadilan ingin diterapkan dalam sistem PPh harus dipenuhi baik syarat
keadilan horizontal maupun keadilan vertikal. Selain itu Rosdiana (2000)
menjelaskan bahwa suatu pemungutan pajak dikatakanmemenuhikeadilan
horizontal jika Wajib Pajak yang berada dalamkondisi yang sama
diperlakukan sama. Sedangkan keadilan vertikal terpenuhi apabila Wajib
|
18
Pajak yang memiliki tambahan ekonomis yang berbeda diperlakukan tidak
sama.
Mansury (2000) menjabarkan lima syarat keadilan horizontal dan dua
syarat keadilan vertikal. Syarat keadilan horizontal, sebagai berikut :
1.
Definisi Penghasilan : semua tambahan ekonomis, yaitu semua
tambahan kemampuan untuk dapat menguasai barang dan jasa
guna dipakai untuk memenuhi kebutuhan.
2.
Globality : semua tambahan ekonomis merupakan ukuran dari
keseluruhan kemampuan membayar the global ability to pay,
olehk arena itu harus dijumlahkan sebagai satu subjek pajak.
Global Income digunakan sebagai indeks untuk membandingkan
kemampuan membayar Wajib Pajak yang satu dengan yang lain.
Gunadi menyatakan bahwa prinsip pemajakan dalam undang-undang
PPh adalah unitary (global) taxation, artinya semua penghasilan dari semua
kategori dan sumber dikonsolidasikan menjadi satu kesatuan dan dikenakan
satu macam tarif pemajakan.
3.
Net Income : kemampuan membayar pajak (ability to pay) tidak
mencakup penerimaan yang dikeluarkan untuk membiayai
perolehan penghasilan, karena itu jumlah yang dipakai sebagai
dasar pengenaan pajak harus jumlah netto yang sudah dikurangi
dengan semua biaya atau beban untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan tersebut dalam satu periode.
4.
Personal Exemptions
: bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
merupakan suatu pengurangan untuk keperluan
biaya hidup
minimum Wajib Pajak atau memelihara Wajib Pajak (kehidupan
|
19
pribadinya maupun keluarga yang menjadi tanggunggannya)
disebut Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
5.
Equal Treatment for theEquals : jumlah seluruh penghasilan yang
memenuhi definisi penghasilan, apabila jumlahnya sama
dilakukan pajak dengan tarif pajak yang sama tanpa membedakan
Wajib Pajak dan tanpa membedakan jenis penghasilan dan sumber
penghasilan.
Sedangkan syarat keadilan vertikal, yaitu :
1.
Uniqual Treatment for the Uniquals
: perbedaan perlakuan yaitu
membedakan besarnya tarif atau beban pajak yang diterapkan hendaknya
berdasarkan perbedaan jumlah seluruh penghasilan atau seluruh jumlah
tambahan ekonomis bukan karena perbedaan jenis penghasilan atau
sumber penghasilan.
2.
Progression : apabila jumlah penghasilan seorang Wajib Pajak lebih
besar, maka Wajib Pajak tersebut harus membayar pajak yang lebih besar
dengan menerapkan presentase tarif pajak lebih tinggi.
B.
Certainty
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya kepastian pemungutan pajak yaitu
hukum pengaturannya, subjek pajak, objek pajak, dan tata cara
pemungutannya. Mansury (2002) menyatakan bahwa untuk
menjamintercapainya keadilan dalam pemungutan pajak kepastian harus
meliputi :subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan prosedur pajak.
Pajak tidak ditentukan secara sewenang-wenang, sebaiknya dari
semula jelas bagi semua Wajib Pajak. Aturan hukum pajak harus jelas dan
pasti mengatur tentang apa yang menjadi objek pajak, siapa yang menjadi
|
20
subjek pajak, berapa tarif
yang berlaku, bagaimana cara menghitung dan
membayarnya, kapan batas waktu tempo pembayaran dan pelaporannya dan
regulasi lain yang diperlukan. Masalah kepastian hukum dan transparansi
dalam regulasi perpajakan menjadi sangat penting dalam system self
assessment.
Mansury juga menyatakan perumusan dan makna undang-undang
pajak harus memberikan kepastian tentang siapa yang wajib membayar pajak,
apa yang menyebabkan subjek pajak tersebut harus harus membayar pajak,
berapa pajak yang harus dibayar, dan bagaimana pajak terutang harus
dibayar. Tanpa adanya prosedur pemajakan yang jelas makan Wajib Pajak
akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kewajiban dan hak-hak
perpajakannya serta fiskus juga akan mengalami kesulitan dalam mengawasi
pelaksanaan kewajiban perpajakan dan dalam melayani hak-hak Wajib Pajak.
C. Convenience
Setiap pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak harus dilakukan
pada saat yang tepat, bukan hanya berkenaan dengan besaran pajak terutang
dibayar melainkan juga pemilihan saat pemungutan pajak.Pemungutan pajak
hendaknya ditentukan pada saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak,
misalnya pada saat Wajib Pajak menerima penghasilan. Berdasarkan prinsip
ini muncul system pemungutan yang disebut pay-as-you-earn (PAYE), yaitu
pemungutan pajak pada saat yang tepat (pembayaran pajak pada saat
penerimaan penghasilan), tetapi pajak setahun dapat diangsur, misalnya :
PPh Pasal 21, PPh Pasal 25, PPh Pasal 25 ayat (7) huruf C dan sebagainya.
(Mansury:2002).
|
21
D .Efficiency
Prinsip ini menekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak,
artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak
boleh lebih besar dari jumlah pajak.Menurut Rosdiana (2004) bahwa prinsip
efisiensi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu fiskus dan Wajib Pajak. Dari sisi
Fiskus pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan oleh KPP
(antara lain dalam rangka pengawasan kewajiban perpajakan) lebih kecil dari
jumlah pajak yang dikumpulkan, sedangkan dari sisi Wajib Pajak, sistem
pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh
Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan seminimal
mungkin.Efisiensi dimaksudkan supaya sistem perpajakan mampu mencapai
hasil yang diinginkan, artinya sistem perpajakan secara praktis dapat
dilaksanakan dengan mudah sehingga penerimaan pajak dapat tercapai.
Keadilan menjadi pertimbangan dalam memilih policy option
dalam
membangun sistem perpajakan. Suatu sistem perpajakan dapat berhasil
apabila masyarakat yakin bahwa pajak yang dipungut pemerintah dikenakan
secara adil dan setiap orang membayar sesuai dengan bagiannya
(Rosdiana:2005). Prinsip pemungutan pajak yang terkait dengan pemungutan
PPh pasal 25 ayat (7) huruf C bagi WP OPPT adalah equality atau keadilan
yang menekankan pentingnya keadilan dalam pemungutannya. Prinsip ini
menegaskan bahwa pajak itu harus adil dan merata, pajak dikenakan kepada
orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar
pajak.
|
22
Prinsip lain berkaitan dalam pemungutan PPh Pasal 25 ayat (7) huruf
c adalah prinsip certainty yang menegaskan kepastian dalam perhitungan PPh
Pasal 25 bagi WP OPPT yaitu sebesar 0,75% dari peredaran bruto atau
omzet, dan prinsip convenience karena berdasarkan prinsip ini muncul sistem
pemungutan yang disebut pay-as-you-earn (PAYE) yaitu pembayaran PPh
bagi WP OPPT dari kegiatan usaha dilakukan dengan angsuran setiap bulan
dengan membayar PPh Pasal 25 sebesar 0,75% dikalikan peredaran bruto
pada masa itu.
2.1.6 Asas-asas pemungutan pajak
Menurut Ilyas & Burton (2008) asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut :
1.
Asas tempat tinggal (asas domisili)
Merupakan suatu asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau
domisili seseorang.Suatu Negara hanya dapat memungut pajak terhadap
semua orang yang bertempat tinggal di Negara yang bersangkutan atas
seluruh penghasilan di manapun diperoleh, tanpa memperhatikan apakah
orang yang bertempat tinggal tersebut warga negaranya atau warga negara
asing.
2.
Asas sumber
Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber
atau tempat penghasilan berada.Apabila suatu sumber penghasilan berada
di suatu Negara maka Negara tersebut berhak memungut pajak kepada
setiap orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber
penghasilan tersebut berada.
|
23
3.
Asas kebangsaan
Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada
kebangsaan suatu Negara.Suatu Negara akan memungut pajak kepada
setiap orang yang mempunyai kebangsaan atas Negara yang bersangkutan
sekalipun orang tersebut tidak bertempat tinggal di Negara yang
bersangkuta
2.1.7 Stelsel pemungutan pajak
Menurut Mardiasmo (2009) pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3
stelsel:
1.
Stelsel nyata (riel stelses)
Pengenaan pajak yang didasari pada objek (penghasilan yang nyata),
sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada setiap akhir tahun pajak,
yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.Stelsel nyata
mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan.Kebaikan stelsel ini
adalah pajak yang dikenakan lebih realistis.Sedangkan kelemahannya adalah
pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (seteleh penghasilan
diketahui).
2.
Stelsel anggapan (fictieve stelses)
Pengenaan pajak didasari pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-
undang. Misalnya, penghasilan satu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya
pajak karena pada stelsel ini penghasilan pada tahun berikut sama dengan
tahun sebelumnya otomatis tidak usah nunggu sampe akhir tahun pajak
berikutnya donk. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama
|
24
tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun, sedangkan kelemahannya
adalah pajak yang dibayarkan tidak berdasarkan pada keadaan sebenarnya
atau sesungguhnya.
3.
Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
anggapan.Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan sautu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan
keadaan yang sebenarnya.Bila besarnya menurut kenyataan lebih besar pada
pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah.Sebaliknya jika
lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2.1.8 Hambatan dalam pemungutan pajak
Menurut Mardiasmo (2009) hambatan pemungutan pajak dapat
dikelompokan menjadi :
1.
Perlawanan pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan
antara lain :
a.
Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b.
Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat.
c.
Sistem control tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2.
Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain :
a.
Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar undang-undang.
|
25
b.
Tax evasion, Usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar
undang-undang (menggelapkan pajak).
2.2
Pengertian Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Wajib Pajak Orang Pribadi adalah Orang pribadi yang
memiliki penghasilan diatas pendapatan tidak kena pajak.Sedangkan
pengertian dari Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu itu
sendiri adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai tempat
usaha termasuk cabang dilebih dari satu pusat perdagangan, baik
dalam satu maupun beberapa wilayah kerja KPP.Kegiatan usaha yang
dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu berupa
penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan atau
penyerahan jasa.
Dasar hukum Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 PPh Pasal 25
ayat (7) huruf c bagi Wajib Pajak Pengusaha Tertentu dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 serta Kebijakan
perpajakan mengenai angsuran PPh Pasal 25 ayat (7) huruf c bagi WP
OPPT diatur dalam PER 32/PJ/2010. Besar angsuran PPh Pasal 25
ayat (7) huruf c adalah sebesar 0,75% yang nantinya akan dikalikan
peredaran usaha (bruto). Dalam pelaksanaan pemungutan PPh Pasal
25 ayat (7) huruf c ini menggunakan self assessment
system.Pembayaran PPh Pasal 25 bagi WP OPPT setiap bulannya
merupakan kredit pajak, yang pada akhir tahun pajak menjadi
pengurang pajak terutang.
|
26
2.3
Implementasi Kebijakan Publik
Pengertian implementasi kebijakan Publik adalah kejadian-kejadian
dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkan pedoman-pedoman
kebijaksanaan Negara, yang mencakup baik usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak
nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian (Solichin:2000). Implementasi
kebijakan merupakan tahap pelaksanaan suatu kebijakan yang ditentukan.
Oleh karena itu, keberhasilan suatu kebijakan sangat tergantung pada
tahap implementasi karena kebijakan yang baik dalam formulasi akan sia-sia
jika tidak dilaksanakan sesuai dengan maksud dari kebijakan tersebut. Tujuan
ditetapkannya kebijakan adalah intervensi, karena itu implementasi kebijakan
adalah tindakan intervensi itu sendiri. Tahap yang digunakan untuk
melakukan intervensi atau implementasi kebijakan yaitu dengan
mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi, menegaskan tujuan yang
hendak dicapai, serta merancang struktur proses implementasi.
Terdiri dari empat yang perlu dipenuhi dalam keefektifan
implementasi kebijakan, antara lain :
1.
Apakah kebijakannya sendiri sudah tepat
Ketepatan kebijakan ini dinilai sejauh mana kebijakan yang ada memang
memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.
2.
Tepat pelaksanaannya
Ketepatan pelaksanaan kebijakan hekdaknya dilakukan sesuai kebijakan
tersebut diperuntukan.
|
27
3.
Tepat target
Ketepatan yang berkenaan target suatu kebijakan agar sesuai dengan yang
direncanakan, tidak ada tumpang tindih dengan kebijakan lain atau tidak
bertentangan dengan kebijakan lain.
4.
Tepat lingkungan
Ketepatan lingkungan
yang berkaitan dengan implementasi kebijakan.
Terdapat dua lingkungan yaitu : lingkungan kebijakan internal adalah
lingkungan interaksi antara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana
kebijakan dengan lembaga lain yang terkait, dan lingkungan eksternal
kebijakan adalah lingkungan mengenai persepsi public akan kebijakan dan
implementasi kebijakan serta interpretive instutions yang berkenaan dengan
interprestasi dari lembaga dalam masyarakat.
Menurut Abidin pelaksana kebijakan menyangkut kondisi riil yang
sering berubah dan sukar diprediksi yang disebabkan dalam proses
perumusan kebijakan biasanya terdapat asumsi, generalisasi dan simplifikasi
yang tidak mungkin dilakukan dalam pelaksanaannya. Akibatnya terjadi
implementation gap
yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang
dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan atau dapat dilaksanakan. Lebih
lanjut, menurut Abidin, penyebab implementation gap
adalah karena tidak
dilaksanakan sebagaimana mestinya dan tidak berhasil atau mengalami
kegagalan dalam proses pelaksanaan (Abidin:2004).
Menurut Edward C III yang dikutip oleh Widodo (2007)
mengemukakan bahwa terdapat empat factor yang menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan yaitu Komunikasi, Sumber daya, Disposisi (sikap),
dan Struktur Birokrasi.
|
28
2.4 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga macam seperti
yangdikemukakan oleh Waluyo (2011).
1.
Official Assessment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutuan pajak yang memberikan
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang.Ciri-ciri official assessment system adalah sebagai berikut.
a.
Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada
fiskus.
c.
Wajib pajak bersifat pasif.
2.
Self Assessment System
Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberikan wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
menyetor dan melapor sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
Dalam
pelaksanaan kewajiban pajak dikenal dengan 5M, yaitu :
1.
Mendaftarkan diri di KPP untuk mendapatkan NPWP
2.
Menghitung dan/atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak terutang
3.
Menyetor pajak terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos
4.
Melaporkan setoran ke DJP
5.
Menetapkan sendiri jumlah pajak terutang melalui SPT dengan lengkap
dan benar.
|
29
Selanjutnya self assessmentdibagi menjadi dua, yaitu :
a.
Semi Self Assesment adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada dua
belah pihak yaitu Wajib Pajak dan Fiskus.
b. Full Self Assesment adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak
itu sendiri.
3.
Withholding System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang
kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak.
Misalnya pemberi kerja wajib menghitung dan
memotong PPh atas penghasilan (gaji,upah,dsb) yang diterima oleh
pegawainya, lalu juga harus menyetorkan PPh yang telah dipotong dan
kemudian melaporkannya ke KPP.
Richard M. Bird mengemukakan bahwa pajak yang dipotong oleh
pihak ketiga mempunyai dua tipe, yaitu provisional dan final.Provisional
berarti bahwa beban pajak yang telah dipotong oleh pihak ketiga dapat
diperhitungkan dengan pajak yang terutang pada akhir tahun.Sedangkan final
berarti pajak yang telah dipotong oleh pihak ketiga tidak diperhitungkan
dengan pajak pada akhir tahun.
PPh Pasal 25 ayat (7) huruf c bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu menggunakan self assessment, karena Wajib Pajak
melaksanakan sendiri kewajiban perpajakan, mulai dari menghitung besarnya
pajak yang terutang, membayar pajak, dan mmelaporkannya ke Kantor
Pelayanan Pajak setiap bulannya pada masing-masing tempat atau gerai yang
|
30
dimiliki oleh Wajib Pajak tanpa campur tangan fiskus, dan melaporkan
pembayaran pajak serta menghitung pajak terutang dengan SPT. PPh Pasal 25
ayat (7) huruf c merupakan salah satu bentuk pembayaran angsuran pajak
setiap bulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu dari semua gerainya yang dapat diperhitungkan dengan pajak
terutang atas penghasilan usaha semua gerai pada akhir tahun pajak melalui
pengisian dan penyampaian SPT.
2.5
Angsuran Pajak Penghasilan
Menurut Mansury yang diikuti oleh Mansur, system perpajakan di
Indonesia menganut prinsip Convenience to Pay yang berarti bahwa WP
diharapkan membayar pada saat yang paling tepat.Salah satu contohnya
adalah membayar angsuran pajak setiap bulannya. Dengan adanya
pembayaran angsuran pajak maka Wajib Pajak lebih ringan bebannya dalam
membayar pajak terutang pada akhir tahun dan sebaliknya bagi pemerintah
adanya cash flow untuk pembiayaan Negara. Untuk PPh, pembayaran
angsuran pajak pada tahun berjalan dikenal dengan pembayaran PPh Pasal
25, dan angsuran pembayaran pajak ini nantinya akan diperhitungkan dengan
PPh terutang pada akhir tahun.
Pelunasan pajak dapat dilakukan pada akhir tahun berjalan dan
pelunasan pajak dalam tahun berjalan. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan
dimaksudkan untuk mengurangi beban pajak diakhir tahun, pelaksanaan
pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan melalui :
1.
Pemungutan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan
oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jas, atau kegiatan, pemungutan pajak
|
31
atas penghasilan dari usaha, dan pemotongan pajak atas penghasilan
dari modal, jasa atau kegiatan tertentu.
2.
Pembayaran pajak luar negeri sehubungan dengan penghasilan yang
diperoleh di luar negeri
3.
Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri melalui
angsuran pajak
Salah satu kewajiban Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
adalah melunasi angsuran serta melaporkan PPh Pasal 25 setiap bulannya. PPh
Pasal 25 merupakan kredit pajak terhadap pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak
memperoleh penghasilan yang tidak dikenakan PPh Final. Penentuan besarnya
angsuran PPh Pasal 25 ayat (7) huruf c bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
dengan cara menjumlahkan penghasilan bruto/omzet selama sebulan yang
kemudian PPh Pasal 25 dihitung sebesar 0,75% dan dapat dikreditkan pada SPT
akhir.
Menurut Gunadi (2002) bahwa PPh Pasal 25 adalah angsuran PPh yang
harus dilunasi oleh Wajib Pajak setiap bulannya yang bertujuan untuk
mengurangi beban pajak diakhir tahun, serta menjamin terisinya kas Negara
setiap bulannya, atau tanpa harus menunggu tahun buku berakhir. Angsuran PPh
Pasal 25 yang dibayarkan akan dikurangkan dengan PPh terutang setelah tahun
buku berakhir. Stelsel yang digunakan dalam PPh Pasal 25 adalah stelsel fiktif
atau anggapan, hanya menganggap penghasilan dalam suatu tahun tertentun
dianggap sama dengan tahun pajak sebelumnya, karena belum diketahui dengan
jelas berapa PPh badan yang terutangkarena tahun buku belum berakhir. Namun,
untuk PPh Pasal 25 ayat (7) huruf c terdapat modifikasi anggapan dimaksudkan
|
32
bahwa besar penghasilan ditarik dari omzet (penghasilan kotor) maka tarif
pajaknya dimodifikasi dari 30% (tariff maksimum) menjadi 0,75% (dari asumsi
laba 2,5%).
2.6
Administrasi Perpajakan
Administrasi sendiri berkaitan dengan suatu organisasi, karena disetiap
organisasi membutuhkan administrasi.Administrasi perpajakan adalah cara-cara
dan prosedur pengenaan serta pemungutan pajak yang bertindak sebagai pelaku
administrasi pajak diindonesia adalah DJP, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
dan Direktorat Jenderal Pembendaharaan. Beberapa cirri dari pelaksanaan
administrasi perpajakan tersebut, antara lain :
1.
Administrasi pajak adalah suatu pekerjaan yang memiliki ciri-ciri
sebagai pelayanan dan sekaligus pengawasan sertapembinaan kepada
para Wajib Pajak dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan. Oleh karena
itu administrasi perpajakan haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga
dalam rangkaian kegiatan tugas
tersebut dapat meningkatkan motivasi
Wajib Pajak untuk dapat dengan mudah serta penuh kesadaran
melaksanakan kewajiban perpajakan.
2.
Administrasi pajak juga menyangkut pelaksanaan kegiatan administrasi
piutang pajak sebagai akibat dari timbulnya surat
ketetapan pajak yaitu
bentuk SKPKB, SKPKBT, dan STP sebagai salah satu bagian dari hasil
proses pembinaan yang dilaksanakan oleh DJP.
3.
Administrasi perpajakan meliputi tata usaha pelaksanaan penyelesaian
upaya hukum Wajib Pajak dalam mencari keadilan melalui pengajuan
keberatan/banding ke pengadilan pajak dan peninjauan kembali ke
|
33
Mahkamah Agung. Dengan demikian tata usaha perpajakan juga seolah-
olah sebagai pelaksanaan dari hukum acara peradilan.
4.
Sarana dalam administrasi perpajakan meliputi penggunaan :
a.
Buku-buku Register, adalah buku yang berisi kolom-kolom atau
lajur daftar-daftar dan catatan-catatan tentang segala yang
bersangkutan dengan hal-hal yang ditentukan oleh nama Buku
Register tersebut.
b.
Daftar, tulisan dalam lajur atau kolom-kolom yang dimaksudkan
untuk mencatat data tertentu baik berupa angka maupun peristiwa.
c.
Formulir, yakni lembar kertas yang harus diisi dan telah tersedia
diatasnya ruangan-ruangan tempat pengisian, serta ada pula
petunjuk pengisian mengenai apa yang harus diisikan dalam
ruangan tersebut.
d.
Blangko, yakni lembaran kertas yang telah ditentukan bentuk dan
sistematikanya, sedangka isi, maksud dan kegunaan tidak
ditegaskan, tergantung kepada tujuannya
e.
Atau mungkin dengan cara elektronik yaitu diselenggarakan
melalui komputerisasi ketatausahaan, misalnya e-SPT,e-
Registration,e-Filing.
Administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan
kebijakan perpajakan.Oleh karena itu administrasi perpajakan harus disusun
dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menjadi instrumen yang
bekerja
efektif dan efisien dalam penyelengaraan pemungutan pajak. Beberapa hal
pokok yang menjadi dasar-dasar terselengaranya administrasi pajak yang baik
adalah sebagai berikut:
|
34
a.
Kejelasan dan kesederhanaan dari ketentuan undang-undang yang
memudahkan bagi administrasi dan memberikan kejelasan bagi WP.
b.
Kesederhanaan akan mengurangi penyelundupan pajak dalam artian
mudah dipahami dan dipatuhi WP serta mudah dilaksanakan petugas.
c.
Reformasi dibidang perpajakan yang realistis harus
mempertimbangkan kemudahan tercapainya efisiensi dan efektifitas
administrasi perpajakan.
d.
Administrasi perpajakan yang efisiensi dan efektif perlu disusun
dengan memperhatikan penataan, pengumpulan, pengelolaan, dan
pemanfaatan ( Brotodihardjo:2007).
Kegiatan administrasi perpajakan
merupakan suatu proses yang
mencangkup semua kegiatan untuk melaksanakan berbagai fungsi
administrasi perpajakan, seperti mendaftarklan WP, menyediakan SPT
Masa, mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak(SKP), menagih pajak
terutang, melakukan pemeriksaan, menyelesaikan sengketa dengan Wajib
Pajak, menghapus pajak terhutang. Kunci dari administrasi perpajakan
yang efisien dan efektif adalah adanya informasi yang lengkap dan dapat
dipertanggung jawabkan.System informasi yang efektif merupakan suatu
faktor penentu terselenggaranya pemungutan pajak secara adil.
Sebaliknya, apabila administrasi pajak tidak ditunjang dengan sistem
informasi yang efektif maka hal demikian akan mengakibatkan
ketimpangan yaitu subjek pajak yang seharusnya menjadi Wajib Pajak
tetapi tidak terdaftar dalam administrasi perpajakan, sehingga
penyelenggaraan pemungutan pajak menjadi tidak adil (Mansury:2002).
|
35
Tugas administrasi pajak yang telah disebutkan sangat penting bagi
pelaksanaan kebijakan perpajakan termasuk pelaksanaan pemungutan
PPh pasal 25 ayat(7) huruf c, karena tanpa hal tersebut tidak akan berjalan
secara efektif sehingga akan berdampak pada jumlah penerimaan pajak
yang diterrima oleh Negara. Jika DJP tidak menjalankan tugas
administrasinya dengan baik maka jumlah penerimaan pajak tidak akan
sesuai dengan apa yang ditargertkan, atau mungkin akan trejadi
penurunan penerimaan pajak dari PPh pasal 25 ayat(7) huruf c. Kegiatan
administrasi perpajakan dalam rangka pelaksanaan pemungutan PPh pasal
25 ayat(7) huruf c adalah mendaftarkan masyarakat atau Wajib Pajak
Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai pedagang
pengecer sebagaiWajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu,
menyediakan SSP untuk melakukan pembayaran PPh pasal 25 sekaligus
sebagai alat pelaporan (SPT Masa PPh pasal 25) , menerbitkan STP untuk
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya, dan sebagainya.
2.7
Kerangka Pemikiran
Pajak memiliki peranan penting dalam pelaksanaan fungsi
pemerintah, karena pajak merupakan alternatif dalam pembiayaan dan
penyelenggaraan pemerintahan. Setiap tahunnya target penerimaan pajak
terus ditingkat kan, karena pajak merupakan penyumbang dana terbesar
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ).
PER 32 / PJ / 2010 merupakan kebijakan perpajakan mengenai
angsuran PPh pasal 25 ayat (7) huruf c bagiWajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu.Yang dimaksud Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
|
36
Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
sebagai pedagang pengecer yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha.
Besar angsuran PPh pasal 25 ayat (7) huruf c sebesar 0,75% dikalikan
peredaran bruto. Dalam pelaksanaan pemungutan PPh pasal 25 ayat (7) huruf
c menggunakan self assessment system yang dimulai dari perhitungan,
penyetoran, dan pelaporan jumlah pajak terhutang setiap
bulannya.Pembayaran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu setiap bulan nya merupakan kredit pajak, yang pada akhir
tahun pajak menjadi pengurang pajak terutang.
Dalam menentukan keberhasilan dari pelaksanaan pemungutan PPh
Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu menurut
Edward III dipengaruhi 4 faktor penentu , yaitu komunikasi, sumber daya,
disposisi (sikap), dan struktur birokrasi.
|
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() 37
Pasal 25 ayat (7) huruf c
Mengenai
angsuran pajak
khususnya untuk
WP OPPT
PER 32/PJ/2010
WP OPPT
Tarifnya
sebesar 0,75%
Implementasi/penerapannya,
dibagi menjadi 3, yakni :
Komunikasi
Sumber Daya
Disposisi
Struktur Birokrasi
|
38
|