9
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Jasa Freight Forwarding
Istilah Freight Forwarding pertama kali dikenal
di Amerika Serikat pada
tahun 1942 dalam Freight Forwarders Act, 1942. Kegiatan usaha Freight
Forwarding sudah mulai sejak tahun 1930 oleh beberapa Forwarder yang melayani
jasa pengangkutan di darat dan di air dan hanya melayani pengangkutan domestik. 
Pengertian jasa Freight Forwarding
di Indonesia disebut dalam Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 1988 yaitu kegiatan usaha yang ditujukan
untuk mewakili kepentingan pemilik barang untuk mengurus semua kegiatan yang
diperlukan bagi terlaksananya kegiatan pengiriman barang melalui transportasi
udara, laut, dan darat, dengan kegiatan penerimaan barang, penyimpanan barang,
sortasi barang, pengepakan barang, penandaan barang, pengukuran barang,
penimbangan barang, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen
angkutan, perhitungan biaya angkutan, klaim asuransi atas pengiriman barang serta
penyelesaian tagihan dan biaya –biaya lainnya.
Menurut Koleangan (2004:20) pengertian Freight Forwading
adalah
orang
atau badan usaha yang melakukan jasa pengurusan dokumen dan atau definisi baku
yang diberlakukan secara international, pengapalan barang atas permintaan importir
atau eksportir dengan menerima pembayaran sebagai kompensasi.
Menurut Suyono (2003:155) pengertian Freight Forwarding adalah badan
usaha yang bertujuan memberikan jasa pelayanan/pengurusan atau seluruh kegiatan
  
10
diperlukan bagi terlaksananya pengiriman, pengangkutan dan penerimaan barang
dengan menggunakan multimodal transport baik melalui darat, laut atau udara.
Menurut Suyono (2005), Freight Forwarder
adalah badan usaha yang
bertujuan memberikan jasa pelayanan/pengurusan atas seluruh kegiatan yang
diperlukan  bagi terlaksanannya pengiriman, pengangkutan dan penerimaan barang
dengan menggunakan multi
modal transport melalui darat, laut, dan/udara.
Disamping itu, Freight Forwarder
juga melaksanakan pengurusan prosedur dan
formalitas dokumentasi yang dipersyaratkan oleh adanya peraturan-peraturan 
pemerintah Negara ekspor, Negara transit dan Negara impor.
Jasa freight forwarding dibagi dalam empat segmen yaitu:
a.
Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK)
b.
Jasa pengurusan transportasi murni (JPT)
c.
Trucking
d.
Pergudangan
Definisi pengusahan pengurusan jasa kepabeanan berdasarkan Peraturan
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-24/BC/2007 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas
kuasa importir atau eksportir. Sedangkan definisi dari kewajiban pabean adalah
semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006
tentang Kepabeanan.
Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan melayani konsumennya (eksportir dan
importir) bisa menyelesaikan kewajiban pabeannya sendiri, namun tidak semua
eksportir dan importir mengetahui atau menguasai ketentuan tata laksana kewajiban
pabean. Oleh karena itu, seringkali pemilik barang memberikan kuasa penyelesaian
kewajiban pabean tersebut kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang
  
11
terdaftar di Kantor Pelayanan Bea Cukai. Untuk dapat menjadi custom brokers,
maka pengusaha pengurusan jasa kepabeanan harus mempunyai Nomor Pokok
Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Bea dan Cukai setempat.
Definisi jasa pengurusan transportasi murni sama dengan pengertian jasa
Freight Forwarding yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 10
Tahun 1988. Kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi murni berhubungan
dengan pengiriman barang ke berbagai tujuan baik domestik maupun ke luar negeri,
dimulai dari pengambilan barang dari tempat penjual/pemilik barang hingga barang
selamat sampai di pelabuhan/bandara yang disetujui sesuai dengan sifat barang,
tujuan pengiriman, jadwal pengiriman dan jenis transportasi pengiriman apakah
melalui udara atau laut. Jenis pelayanan yang diberikan dalam jasa pengurusan
transportasi murni mulai dari door to door
(barang diantar dari tempat/gudang
penjual ke tempat/gudang pembeli), door to port
(barang diantar dari
tempat/gudang penjual ke pelabuhan tempat pembeli), port to port (barang diantar
dari pelabuhan tempat penjual ke pelabuhan tempat pembeli).
Pengertian trucking
sendiri tidak ada diatur dalam peraturan sehingga setiap
orang dapat memberikan definisinya. Secara umum trucking
merupakan jasa
Freight Forwarding melalui transportasi darat dengan menggunakan truk.
Pengertian pergudangan juga tidak diatur dalam peraturan. Secara umum
pergudangan adalah salah satu jenis jasa Freight Forwarding yang melayani
konsumen dalam penyimpanan barang-barang yang dimuat dari kapal sebelum
didistribusikan ke tempat si penerima barang.
  
12
2.2
Mekanisme Freight forwarding
Tujuan dari jasa Freight Forwarding ini adalah bagaimana barang
milik
konsumen/pemilik barang dapat sampai ke tempat yang dituju dan aman sesuai
dengan harapan pemilik barang. Biasanya pemilik barang/penjual tidak mau
memikirkan pengiriman barang dengan mempertimbangkan resiko
kehilangan/kerusakan barang yang akan dikirim, sehingga urusan pengiriman barang
diberikan kepada perusahaan Forwarding. Konsumen perusahaan Forwarding bukan
hanya pemilik barang/penjual tetapi juga perusahaan forwarding
lainnya yang
kapasitasnya lebih kecil untuk melayani para konsumennya. Perusahaan Forwarding
dalam menjalankan usahanya sering
kali bekerjasama dengan pihak ketiga. Pihak
ketiga itu antara lain perusahaan pengangkutan/pelayaran (transportasi darat,
shipping line, maupun
air line), pemilik gudang, perusahaan bongkar muat (PBM),
dan perusahaan cleaning service. Namun ada juga perusahaan Forwarding yang tidak
bekerjasama dengan pihak ketiga karena memiliki gudang sendiri, memiliki kapal
sendiri atau memiliki truk sendiri. Adapun mekanisme jasa Freight Forwarding
dapat digambarkan sebagai berikut:
      
  
13
c    d   f   
a
e
   e
a
     
b
Gambar 2.1 Mekanisme jasa freight forwarding
Keterangan :
a.
Konsumen/pemilik barang melakukan negosiasi harga kepada
Freight
Forwarder
untuk biaya jasa pengurusan pengiriman barang. Disamping itu
juga Forwarder lain dapat meminta jasa Freight Forwarding atas pengiriman
barang konsumennya.
b.
Konsumen/pemilik barang membuat pemesanan kepada
Freight Forwarder
untuk pengurusan pengiriman barang,
handling
impor atau ekspor,
penyimpanan barang, dst.
c.
Freight Forwarder
selanjutnya akan melakukan pengurusan dokumen
pengangkutan dan mengikutsertakan pihak ketiga (perusahaan pengangkutan)
untuk melakukan kegiatan operasionalnya.
d.
Pihak ketiga (perusahaan pengangkutan) akan
membuat tagihan kepada
Freight Forwarder atas biaya pengangkutan barang.
Konsumen dalam
negeri/Konsumen luar
negeri
Forwarder lain
Pihak Ketiga
Freight
Forwarder
1.Pengangkutan/tracking
2.Handling, Packing
3.Documents, Storage
Toko/Penjual
Konsumen
Pemilik
Barang
  
14
e.
Freight Forwarder
kemudian membuat tagihan baru (re-invoicing) kepada
konsumen/pemilik barang atas biaya pengangkutan barang beserta jasa
Freight Forwardingnya.
f.
Pihak ketiga (perusahaan pengangkutan) membuat tagihan yang langsung
atas nama konsumen untuk
biaya pengangkutan barang kepada
Freight
forwarder
dan
Freight forwarder, selanjutnya akan mengirimkan tagihan
tersebut kepada konsumen/pemilik barang. Jumlah yang ditagih oleh Freight
forwarder
(pemberi jasa) kepada konsumen/pemilik barang (penerima jasa)
dari pihak ketiga disebut reimbursement.
Dalam hal bentuk tagihan (invoice) yang dibuat, pada prakteknya ada dua
skema yang dilakukan :
1.
Skema pertama, dimana :
a.
Tagihan pihak ketiga diteruskan tanpa ditambahkan imbalan (mark-
up).
b.
Dokumen tagihan dari pihak ketiga langsung atas nama
konsumen/pemilik barang bukan atas nama Freight Forwarder.
c.
Freight forwarder hanya membantu meneruskan tagihan tersebut dari
pihak ketiga kepada konsumen/pemilik barang.
                                                                                                                                                               
  
15
              
Gambar 2.2 Skema Tagihan Invoice Pertama
Dalam skema ini, tagihan pihak ketiga yang diminta ke konsumen terdiri dari
biaya pengangkutan darat, THC, biaya cleaning container, biaya lift in/off container,
biaya shipping line/air line.
2.
Skema kedua, dimana:
a.
Tagihan pihak ketiga tidak diteruskan kepada konsumen/pemilik
barang.
b.
Dokumen tagihan dari pihak ketiga atas nama Freight Forwarder
bukan atas nama konsumen/pemilik barang.
c.
Freight Forwarder menerbitkan tagihan baru (re-invoicing)
kepada
konsumen/pemilik barang ditambah mark-up.
                                                                                                                                                   
                  Gambar 2.3 Skema Tagihan Invoice kedua
Pihak Ketiga
Perusahaan Pengangkutan
Freight forwarding
Pemberi Jasa
Konsumen/Pemilik barang
Penerima Jasa
Pihak ketiga Perusahaan
Pengangkutan
Freight Forwarding
Pemberi Jasa
Konsumen/Pemilik Barang
Penerima Jasa
  
16
Dalam skema ini, tagihan freight forwarder yang diminta ke konsumen terdiri
dari biaya pengangkutan darat, THC, biaya cleaning container, biaya lift on/off
container, biaya shipping line / air line,
biaya dokumen pengangkutan dan
pengiriman (document fee), dan biaya jasa  forwarder (agency fee).
2.3
Konsep Perpajakan Ekspor dan Impor
2.3.1
Sejarah Perpajakan di Indonesia
Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen telah
dikenakan pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu juga telah
ada pungutan seperti pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja
sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di
wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat
dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara).
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat
Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang),
yang dalam tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan. Pengenaan Pajak
secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan Pajak terhadap
tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “Landrent
(sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa
penjajahan Belanda disebut “Landrente”. Peraturan tentang Landrente
dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan
Ordonansi
Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak
Kekayaan yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun1964.
  
17
Pada tahun 1960 dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 yang
mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di
Indonesia, ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10
Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967. dengan pemberian otonomi
dan desentralisasi kepada Pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian
namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29
November 1965 yang berlaku
mulai
1 November
1965. Pengenaan Pajak
langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada
zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama
tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi.
Pengenaan Pajak Penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam
suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris
pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, Pajak Penghasilan untuk pertama kali
dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak
adalah  “a person's faculty, personal faculties and abilitites",
Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan
pada "returns and gain". “Tersonal faculty and abilities"
secara implisit
adalah pengenaan Pajak Pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns
and gain"
berkonotasi pada Pajak Penghasilan Badan. Tonggak-tonggak
penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang
Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya
telah beberapa kali mengalami
Tax Reform, terakhir dengan Tax Reform Act
tahun 1986. Surat
Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-
an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan
  
18
sampai dengan tahun 1962.
Sejarah perpajakan di Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa
kurun waktu yaitu masa penjajahan Belanda, setelah merdeka sampai 1979,
1979 sampai tahun 1983, dan 1983 sampai sekarang. Pada masa penjajahan
Belanda, sistem perpajakan menekankan fungsinya pada segi pemasukan
keuangan untuk keperluan penjajahan di Belanda. Karena pajak ditarik dari
rakyat untuk kepentingan pembangunan di Negeri Belanda maka sistem
pemungutan pajak yang dianut pada masa itu adalah sistem yang meletakkan
dasar kekuatan administrasi perpajakan. Sistem ini menekankan bahwa
jumlah pajak terutang, sepenuhnya ditentukan oleh aparat pajak. Kelemahan
sistem ini adalah wajib pajak tidak diberikan kepercayaan sama sekali dalam
penghitungan utang pajaknya. Aparat perpajakan memiliki wewenang yang
sangat luas, sehingga sangat merugikan wajib pajak. 
Sekalipun Indonesia telah merdeka, namun hukum perpajakan tidak
banyak berubah. Perubahan yang dilakukan tidak mendasar, sehingga hukum
pajak yang berlaku masih meletakkan landasannya pada kekuasaan
administrasi parpajakan. Karena pemerintah ingin meningkatkan penerimaan
pajak maka pada tahun 1967 diperkenalkan sistem pemungutan pajak yang
dikenal sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung
Pajak Orang lain) dengan
Undang-Undang No. 867 junto Peraturan
Pemerintah No.11 Tahun 1967. Sistem pemungutan pajak dalam cara yang
baru itu termasuk sistem self assessment.
Sejak tahun1983 telah berlaku Undang-Undang No.6 Tahun 1983,
Undang-Undang No.7 Tahun 1983 dan Undang - Undang No.8 Tahun 1983.
Dalam Undang-Undang Perpajakan tahun 1983 tersebut berlaku asas
  
19
perpajakan Indonesia, yaitu :
1.
Asas kegotongroyongan nasional terhadap kewajiban kenegaraan,
termasuk membayar pajak.
2.
Asas keadilan, dalam pemungutan pajak kewenangan yang dominan
tidak lagi diberikan kepada aparat pajak untuk menentukan jumlah
pajak yang harus dibayar.
3.
Asas kepastian hukum, wajib pajak diberikan ketentuan yang
sederhana dan mudah dimengerti serta pelaksanaan administrasi
pemungutan pajaknya tidak birokratis.
4.
Asas kepercayaan penuh, masyarakat diberikan kepercayaan penuh
untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, termasuk keaktifan
pelaksanaan administrasi perpajakan.
Dengan berlakunya Undang-Undang No.6, 7, dan 8 Tahun 1983 maka
sistem Perpajakan Indonesia secara mutlak menganut sistem self assessment
dan kewenangan aparat pajak tidak lagi seluas kewenangan yang
diperolehnya dalam undang-undang perpajakan yang lama.
2.3.2
Pengertian Pajak
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah "Kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat''.
  
20
Pajak Menurut Rochmat Soemitro
(2005) adalah iuran rakyat kepada Kas
Negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontra  prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk 
membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang 
berbunyi sebagai berikut: Pajak
adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat  kepada Kas Negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya 
digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk 
membiayai public
investment.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber
daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan
gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah.
Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya
untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya
kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang
merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut
Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya Undang-
Undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk
menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara
mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus
dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum
ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan Undang-
Undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus
sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
  
21
2.3.3
Pengertian Ekspor dan Kegiatannya
Berdasarkan UU Kepabeanan Pasal 1 butir 14, Ekspor adalah kegiatan 
mengeluarkan barang dari daerah pabean. Barang ekspor adalah barang yang
dikeluarkan dari daerah pabean. Sedangkan eksportir adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang mengeluarkan barang dari daerah
pabean.
Secara harfiah dikatakan bahwa barang telah diekspor jika barang
tersebut telah diangkut keluar melalui batas daerah pabean untuk dibawa ke
luar daerah pabean.
Karena tidak mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di
sepanjang garis perbatasan untuk memberikan pelayanan dan melakukan
pengawasan barang ekspor. Maka timbulah anggapan di dalam hukum
dimana dinyatakan bahwa barang yang telah dimuat di sarana pengangkut
untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap telah diekspor dan
diperlakukan sebagai barang ekspor (Pasal 2 ayat 2 UU Kepabeanan). 
Namun barang dimaksud bukan merupakan barang ekspor dalam hal
dapat dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk dibongkar di suatu
tempat dalam daerah pabean, misalnya untuk perdagangan antar pulau yang
masih di dalam daerah pabean (Pasal 2 ayat 3 UU Kepabeanan).
Sarana pengangkut adalah setiap kendaraan, pesawat udara, kapal
laut, atau sarana lain yang digunakan untuk mengangkut barang ekspor.
Sedang yang dimaksud dimuat yaitu dimasukkannya barang ke dalam sarana
pengangkut  dan telah diajukan pemberitahuan pabean termasuk dipenuhinya
Bea Keluar.
Jadi walaupun barang tersebut telah dimuat di sarana pengangkut
  
22
yang akan berangkat ke luar daerah pabean, jika dapat dibuktikan barang
tersebut akan dibongkar  di dalam daerah pabean dengan menyerahkan suatu
pemberitahuan pabean, barang tersebut tidak dianggap sebagai barang ekspor.
Menurut Irham dan Yogi (2003), mendefinisikan ekspor sebagai
berikut: Menjual barang-barang ke luar negeri untuk ekspor memperoleh
devisa yang akan digunakan bagi penyelenggaraan industri/pembangunan di
negaranya, dengan asumsi ekspor yang terjadi haruslah dengan diversifikasi
ekspor sehingga bila terjadi kerugian dalam satu macam barang akan dapat
diimbangi oleh keunggulan dari komoditi lainnya. Kegiatan ekspor adalah
sistem perdagangan dengan cara mengeluarkan barang-barang dari dalam
negeri keluar negeri dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor
merupakan total barang dan jasa yang dijual oleh sebuah negara ke negara
lain, termasuk diantara barang-barang, asuransi,
dan jasa-jasa pada suatu
tahun tertentu (Bambang Triyoso, 2004).
Kegiatan ekspor adalah sistem perdagangan dengan cara
mengeluarkan barang-barang dari dalam negeri ke luar negeri dengan
memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor merupakan total barang dan jasa
yang dijual oleh sebuah negara ke negara lain, termasuk diantara barang-
barang, asuransi,
dan jasa-jasa pada suatu tahun tertentu (Priadi, 2000).
Ekspor merupakan barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri yang
dijual secara luas ke luar negeri (Mankiw, 2006). Kegiatan ekspor adalah
sistem perdagangan dengan cara mengeluarkan barang-barang dari dalam
negeri keluar wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang
berlaku.
Ekspor merupakan total barang dan jasa yang dijual oleh negara ke
  
23
negara lain, termasuk diantara barang-barang, asuransi, dan jasa pada suatu
tahun tertentu (Sasandara, 2005). Selanjutnya pengertian ekspor menurut
Todaro (2002) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ekspor adalah:
Kegiatan perdagangan internasional yang memberikan rangsangan guna
membutuhkan permintaan dalam negeri yang menyebabkan tumbuhnya
industri-industri pabrik besar, bersamaan dengan struktur politik yang stabil
dan lembaga sosial yang fleksibel.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa ekspor mencerminkan
aktivitas perdagangan antar bangsa yang dapat memberikan dorongan dalam
dinamika pertumbuhan perdagangan internasional, sehingga negara - negara
yang sedang berkembang kemungkinan untuk mencapai kemajuan
perekonomian setaraf dengan negara -
negara yang lebih maju. Selanjutnya
menurut Baldwin (2005) yang
dimaksud dengan ekspor adalah
salah satu
sektor perekonomian yang memegang peranan penting melalui perluasan
pasar antara beberapa negara, di mana dapat mengadakan perluasan dalam
suatu industri, sehingga mendorong dalam industri lain, selanjutnya
mendorong sektor lainnya dari perekonomian. Fungsi penting komponen
ekspor dari perdagangan luar negeri adalah negara memperoleh keuntungan
dan pendapatan nasional naik, yang pada gilirannya menaikkan jumlah output
dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkat output yang lebih tinggi
lingkaran setan kemiskinan dapat dipatahkan dan pembangunan ekonomi
dapat ditingkatkan (Jhingan, 2006).
2.3.3.1 Jenis – Jenis Ekspor
Jenis Kegiatan ekspor terbagi atas 2 bagian, yaitu :
  
24
1.
Ekspor Langsung
Ekspor Langsung adalah cara menjual barang atau jasa
melalui perantara / eksportif yang bertempat di negara
lain atau negara tujuan ekspor. Penjualan dilakukan
melalui distributor dan perwakilan penjualan
perusahaan.
Kelebihannya :
Produksi terpusat di negara asal dan kontrol terhadap
distribusi lebih baik.
Kelemahannya :
Biaya transportasi lebih tinggi untuk produk dalam
skala besar dan adanya hambatan perdagangan serta
proteksionisme.
2.
Ekspor tidak langsung
Ekspor tidak langsung adalah teknik dimana barang
dijual melalui perantara/eksportir negara asal kemudian
dijual oleh perantara tersebut. Melalui perusahaan,
perusahaan
manajemen ekspor (export management
comapanies) dan perusahaan pengekspor (export
trading companies).
Kelebihannya :
Sumber daya produksi terkonsentrasinya dan tidak
perlu menangani ekspor secara langsung.
Kelemahannya :
  
25
Kontrol terhadap distribusi kurang dan pengetahuan
terhadap operasi di negara lain kurang.
2.3.3.2 Dokumen Ekspor
1.
Dokumen Utama:
a.
PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang)
b.
B/L (Bill of Lading) untuk angkutan laut
c.
Invoice
d.
Packing List
2.
Dokumen Pelengkap:
a.
SKA (Surat Keterangan Asal / COO (Certificate of
Origin)
b.
SM (Sertifikat Mutu)
c.
LPS-E (Laporan Pemeriksaan Surveyor – Ekspor)
2.3.4
Pengertian Impor dan Kegiatannya
Kata kata “Impor” sudah sering terdengar sebelumnya, namun
pengertian impor itu sendiri dapat diartikan sebagai berikut :
Menurut Hamdani (2003:2) impor adalah : “Membeli barang dari luar
negeri ke dalam peredaran Republik Indonesia dan barang yang dibeli
tersebut harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Departemen Keuangan”. Sedangkan menurut Djauhari Ahsjar (2007:153)
Impor adalah “Memasukan barang dari luar negri kedalam wilayah pabean
Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku”. Definisi Impor
Undang-Undang Kepabeanan Indonesia seperti yang dibukukan dalam UU
  
26
No.10 tahun 1995 tentang Kepabeanan Pasal 1 ayat 14 bahwa yang dimaksud
impor adalah “Kegiatan memasukan barang kedalam daerah pabean”.
 
2.3.4.1 Pemeriksaan Pabean dan Penetapan Jalur
Menurut Sunarno (2010:10) Pemeriksaan Pabean Secara
Selektif
Terhadap Barang Impor yang telah diajukan PIB dilakukan
pemeriksaan pabean secara selektif berdasarkan manajemen resiko,
meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. Dalam
rangka pemeriksaan pabean secara selektif ditetapkan jalur pengeluaran,
sebagai berikut:
a.
Jalur Merah
Jalur Merah adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran
Barang Impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian
dokumen sebelum penerbitan SPPB.
b.
Jalur Kuning
Jalur Kuning adalah proses pelayanan dan pengawasan Barang Impor
dengan tidak melakukan pemeriksaan fisik,tetapi dilakukan dokumen
sebelum penerbitan SPPB.
c.
Jalur Hijau
Jalur Hijau adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran
Barang Impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi
dilakukan penelitian dokumen setelah penerbitan Surat Persetujuan
Pengeluaran Barang (SPPB).
d.
Jalur MITA Non-Prioritas
  
27
Jalur MITA Non-Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan
pengeluaran Barang Impor oleh Importir dengan langsung diterbitkan
SPPB tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen,
kecuali dalam hal:
a)
Barang Ekspor yang dimpor kembali;
b)
Barang yang terkena pemeriksaan acak;
c)
Barang Impor tertentu yang ditetapkan Pemerintah.
dan diterbitkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Fisik (SPPF) yang
merupakan izin untuk pemeriksaan fisik ditempat Impotir, maka
diterbitkan SPPB setelah selesainya penelitian dokumen.
e.
Jalur MITA Prioritas
Jalur MITA Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasaan
pengeluaran Barang Impor oleh Importir Jalur Prioritas dengan
langsung diterbitkan SPPB tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan
penelitian dokumen.
2.3.4.2 Proses Pemasukan Barang Impor dari Luar Negeri
Negara Indonesia sebagai negara importir menurut Djauhari
Ahsjar (2007:206) adalah Importir terima asli dokumen lengkap dari
eksportir melalui opening bank,
kemudian importir mengisi formulir
Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dikeluarkan oleh Kantor Bea
dan Cukai.
Menurut Suharto, AM
dan Eko Probo (2007:65)
mengemukakan bahwa “barang-barang impor harus melewati
  
28
pemeriksaan Pabean yang meliputi pemeriksaan
dokumen dan
pemeriksaan barang secara fisik”.
Menurut Sunarno (2010:15) Tata Kerja Penyelesaian Barang
Impor Untuk Dipakai dengan PIB yang disampaikan Melalui Sistem
PDE Kepabeanan dimulai dari pendaftaran PIB, lebih lanjut dijelaskan
sbb :
a)
Importir mengisi PIB secara lengkap dengan menggunakan
program aplikasi PIB, dengan mendasarkan pada data dan
informasi dari dokumen pelengkap pabean.
b)
Importir melakukan pembayaran Bea Masuk (BM), Cukai,
PDRI, dan PNBP melalui Bank Devisa Persepsi/ Pos Persepsi
yang telah terhubung dengan sistem PDE Kepabeanan, kecuali
untuk Importir yang menggunakan fasilitas pembayaran
berkala.
c)
Importir mengirim data PIB secara elektronik ke SKP di
Kantor Pabean melalui portal INSW.
Portal INSW melakukan penelitian tentang pemenuhan
ketentuan larang/ pembatasan atas barang impor yang diberitahukan.
Dalam hal hasil penelitian menunjukkan barang impor yang
diberitahukan terkena ketentuan larangan/ pembatasan dan
persyaratannya belum dipenuhi, portal INSW mengembalikan data
PIB kepada Importir diajukan kembali setelah dipenuhi.
 
Dalam hal hasil penelitian menunjukan barang yang impor:
a)
Tidak terkena ketentuan larangan/ pembatasan atau ketentuan
larangan/ pembatasannya telah dipenuhi, portal INSW
  
29
meneruskan data PIB ke Sistem Komputer Pelayanan (SKP) di
Kantor Pabean untuk diproses lebih lanjut.
b)
Perlu penelitian lebih lanjut terkait dengan ketentuan
larangan/ pembatasan, portal INSW meneruskan data PIB ke
SKP di Kantor Pabean untuk diproses lebih lanjut.
c)
Bank Devisa Persepsi/ Pos Persepsi mengirim credit advice
secara elektronik ke SKP di Kantor Pabean.
d)
SKP di Kantor Pabean menerima data PIB dan melakukan
penelitian ada atau tidak adanya pemblokiran Importir dan
PPJK.
e)
Dalam hal hasil penelitian menunjukan Importir diblokir, SKP
menerbitkan respons penolakan.
f)
Dalam hal hasil penelitan menunjukan Importir tidak diblokir.
2.3.5
Dasar Pengenaan Pajak
Pada dasarnya, Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Ekspor dan Impor
memilki perbedaan. Terdapat PPN (0%) untuk Ekspor dan 10% untuk Impor
yang terutang atas Nilai Impornya. Namun karena PT. Welgow Indopersada
bergerak di bidang jasa yang memiliki jasa dalam menangani pengurusan
dokumen dan pengiriman barang Impor dan Ekspor saja, maka PT. Welgrow
Indopersada tidak dikenakan pajak atas Barang Kena Pajaknya, sehingga
tidak ada perbedaan dalam tarif pajak pada transaksi Ekspor dan Impor.
Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan mengalikan
tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak. dalam Pasal 8A Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga
  
30
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, disebutkan ada
lima macam Dasar Pengenaan Pajak, yaitu :
1.
Harga Jual
Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No
42 Tahun 2009 dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
2.
Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena
penyerahan Jasa Kena Pajak tidak termasuk pajak yang dipungut
menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No 42 Tahun
2009 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
3.
Nilai Impor
Nilai Impor adalah nilai berupa uang, yang menjadi dasar
penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak.
4. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir.
  
31
5. Nilai Lain
Nilai Lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai
Dasar Pengenaan Pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak yang memenuhi kriteria tertentu
Dalam jasa Freight Forwarding, dasar pengenaan pajaknya adalah Nilai Lain
yang diatur dalam PMK-38/PMK.011/2013 tentang PPN Nilai Lain yang
merupakan perubahan atas PMK-75/PMK.03/2010
2.3.6
Saat dan Tempat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Mardiasmo (2011)  Pajak Pertambahan Nilai akan
terutang  pada saat: 
1.
Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; 
2.
Impor Barang Kena Pajak; 
3.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean; 
4.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; 
5.
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
6.
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; 
7.
Ekspor Jasa Kena Pajak; 
8.
Pembayaran, pembayaran diterima sebelum  penyerahan Barang Kena
Pajak atau sebelum peyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal
pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
  
32
2.3.7
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Freight Forwarding
A.
Dasar Hukum
Sampai saat ini belum ada peraturan pajak yang mengatur secara
khusus perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa freight
forwarding, tetapi ada beberapa ketentuan yang dapat dipakai sebagai
dasar hukum perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa freight
forwarding antara lain:
1.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 42
Tahun 2009
Tentang Pajak Pertambahan Nilai.
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis Jasa
yang Tidak Dikenakan PPN.
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 Tentang Jasa Kena Pajak yang
Dibebaskan Dari Pengenaan PPN.
4.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang
Jenis Jasa Lain yang Termasuk Jasa Kena Pajak.
5.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 jo.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03.2006 Tentang
Perlakuan PPN Atas Jasa Dibidang Angkutan Umum di Darat dan
Air.
6.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 jo
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK 251/KMK.03/2002
Menyebutkan Nilai Lain.
7.
Peraturan Menteri Keuangan PMK-38/PMK.011/2013
menyebutkan perubahan Nilai Lain yang diatur dalam PMK-
  
33
75/PMK.03/2010
Masing-masing dasar hukum perlakuan Pajak Pertambahan Nilai
atau jasa Freight Forwarding akan dijelaskan dibawah ini :
1.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 42 Tahun 2009
Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau
kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang
dikenakan pajak berasarkan undang-undang ini.
Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa yang menjadi Objek Pajak
Pertambahan Nilai adalah penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha dan pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis Jasa
yang Tidak Dikenakan PPN
Pasal 5 peraturan ini menyebutkan jenis jasa yang tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan rincian sebagai
berikut :
a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
b. Jasa di bidang pelayanan sosial;
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha
  
34
dengan hak opsi;
e. Jasa di bidang keagamaan;
f.
Jasa di bidang penididikan;
g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan
Pajak Hiburan;
h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i.
Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j.
Jasa di bidang tenaga kerja;
k. Jasa di bidang perhotelan; dan
l.
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum.
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003
Tentang Jasa Kena Pajak
yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN
Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa
kelompok Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa yang
diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan
Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Kepelabuhan Nasional
atau Perusahaan Penyelenggara Angkutan Sungai, Danau dan
Penyebrangan Nasional yang meliputi :
a.
Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkatan Udara jasa
persewaan kapal;
b.
Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa
tambat dan jasa labuh;
  
35
c.
Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.
4.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang
Jenis Jasa Lain yang Termasuk Jasa Kena Pajak
Dalam Pasal 1 disebutkan mengenai jenis jasa lain yang
termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak. Dari
seluruh jasa yang disebutkan, ada beberapa jasa yang
berhubungan dengan Freight Forwarding antara lain :
a.
Jasa perantara dan/ atau keagenan;
b.
Jasa Pengepakan;
c.
Jasa Penambangan dan jasa penunjang di bidang
penambangan selain migas.
Jasa Freight Forwarding dalam arti sempit dapat juga
disebut sebagai jasa keagenan. Forwarder dalam melakukan
bisnisnya bertindak sebagai agen karena mewakili kepentingan
pemilik barang untuk mengurus pengiriman barangnya. Dalam
definisinya, jasa Freight Forwarding juga melayani
konsumen/pemilik barang dalam urusan pengepakan barang.
Dalam Pasal 2 disebutkan yang termasuk penyerahan jasa
penambangan dan jasa penunjang di biang penambangan selain
migas adalah jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa
angkutan umum.
5.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 jo
Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 28/PMK.03/2006
Tentang
Perlakuan PPN Atas Jasa Dibidang Angkutan Umum di Darat
dan Air
  
36
Ketentuan ini menerangkan bagaimana perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai atas Jasa di bidang angkutan umum di darat
dan di air.
Dalam peraturan ini menyebutkan bahwa atas penyerahan
jasa
angkutan umum di darat dan di air tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai, yaitu:
a. Penyerahan Jasa Angkutan Umum di jalan menggunakan
kendaraan Angkutan Umum dan penyerahan Jasa Angkutan
Kereta Api;
b. Penyerahan Jasa Angkutan Umum di air yang meliputi
penyerahan :
1. Jasa Angkutan Umum di Laut;
2. Jasa Angkutan Umum di Sungai dan Danau;
3. Jasa Angkutan Umum Penyebrangan.
Sedangkan atas penyerahan jasa pemindahan orang atau
barang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sepanjang jasa
tersebut dilakukan dengan menggunakan sarana angkutan
laut/sarana angkutan di sungai dan danau/sarana angkutan
penyebrangan yang dilakukan dengan cara :
a.
Ada perjanjian lisan atau tertulis;
b.
Kapal digunakan hanya untuk mengangkut muatan milik
1 (satu) pihak dan / atau untuk mengangkut orang, yang
terikat perjanjian dengan Pengusaha Angkatan
Laut/Pengusaha Angkatan di sungai dan
danau/Pengusaha Angkutan Penyebrangan, dalam satu
  
37
perjalanan (trip).
6.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 jo
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK 251/KMK.03/2002
Menyebutkan Nilai Lain
Keputusan Menteri ini mengatur Nilai Lain sebagai Dasar
Pengenaan Pajak untuk jasa pengiriman paket yaitu sebesar 10%
dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. Jadi,
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas jasa pengiriman
paket sebesar 1% dari total tagihan (10% x (10% x nilai kontrak).
Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa
pengiriman paket tidak dapat dikreditkan karena dalam Nilai
Lain telah diperhitungkan Pajak Masukannya.
7.
Peraturan Menteri Keuangan PMK-38/PMK.011/2013
menyebutkan perubahan Nilai Lain yang diatur dalam PMK-
75/PMK.03/2010
Pasal 2 menyebutkan bahwa Nilai Lain untuk penyerahan jasa
pengurusan transportasi (Freight Forwarding) yang di dalam
tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya
transportasi (Freight charges) adalah 10% dari jumlah yang
ditagih atau seharusnya ditagih.
B.
Mekanisme Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Dari uraian dasar hukum di atas, maka dapat diartikan bahwa
jasa Freight Forwarding termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa
Kena Pajak sehingga dalam pelaksanaannya Forwarder
harus
memungut Pajak Pertambahan Nilai atas jasa yang diberikannya
  
38
kepada konsumen. Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang atas jasa Freight Forwarding, maka Dasar Pengenaan Pajak
yang digunakan adalah sebesar Nilai Penggantian. Besarnya Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang tergantung dari bentuk tagihan yang
dibuat apakah reimbursment
atau tidak (tagihan biasa) atas jasa
Freight Fowarding yang diberikan, yaitu :
1.
Reimbursement, dimana jumlah yang ditagih pemberi jasa
(Freight Forwarder) kepada penerima jasa (konsumen/pemilik
barang) adalah tagihan (invoice) dari pihak ketiga (perusahaan
pengangkutan) yang dibuat langsung atas nama
konsumen/pemilik barang/penjual. Sedangkan Freight
Forwarder hanya meneruskan tagihan tersebut ke
konsumen/pemilik barang. Tagihan reimbursement
tidak
memenuhi pengertian sebagai Nilai Penggantian (semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa).
Berdasarkan penjelasan dalam Surat Direktur Jenderal Pajak
Nomor S-807/PJ.53/2004 tanggal 10 September 2004, Surat
Direktur Jenderal Pajak Nomor S-917/PJ.53/2004 tanggal 27
Agustus 2004 dan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-
917/PJ.53/2003 tanggal 16 September 2003 tentang Pajak
Pertambahan Nilai atas Jasa Freight Forwarding
maka Dasar
Pengenaan Pajak yang dipakai bukanlah sebesar reimbursement,
tetapi sebesar tagihan Freight Forwarder
atas jasanya saja
kepada konsumen/pemilik barang.
2.
Tagihan
Forwarder,
dimana tagihan pihak ketiga
(perusahaan
  
39
pengangkutan) dibuat atas nama
Freight Forwarder
sehingga
pemberi jasa (Forwarder)
membuat tagihan baru atas nama
Freight Forwarder
kepada penerima jasa (konsumen/pemilik
barang) untuk menagih biaya pengangkutan dari pihak ketiga
ditambah dengan biaya jasa
Freight Forwarding. Tagihan
reimbursement
ini telah memenuhi pengertian
sebagai Nilai
Penggantian (semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pemberi jasa). Berdasarkan penjelasan dalam Surat Direktur
Jenderal Pajak Nomor S-807/PJ.53/2004 tanggal 10 September
2004,
Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-766/PJ.53/2004
tanggal 27
Agustus 2004 dan Surat Direktur Jenderal Pajak
Nomor S-917/PJ.53/2003 tanggal 16 September 2003 tentang
Pajak Pertambahan
Nilai atas Jasa
Freight Forwarding,
maka
besarnya Dasar Pengenaan
Pajak adalah total biaya dalam
tagihan baru yang dibuat atas nama Forwader sendiri
  
40
  
41