BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Dasar - dasar Perpajakan Indonesia
2.1.1 
Definisi dan Unsur Pajak
 
Dibawah
ini
terdapat
beberapa
definisi
dan
unsur
pajak
yang
terangkum tentang
pajak
yang
dikemukakan oleh
para
ahli
di
bidang
perpajakan Menurut Prof.
Dr. Rochmat Soemitro, S.H dalam buku Mardiasmo
(2009:1) :
“Pajak adalah
iuran rakyat kepada
kas
negara
berdasarkan
undang-
undang
(yang
dapat
dipaksakan)
dengan
tidak mendapat
jasa
timbal balik
(kontraprestasi)
yang
langsung
dapat
ditunjukkan, dan
digunakan untuk  
membayar
pengeluaran  
umum”.  
Dari  
pengertian-pengertian 
tersebut  
dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur :
1.
Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang
berhak
memungut
pajak
hanyalah
negara.
Iuran
tersebut
berupa
uang.
2.
Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan Undang -
Undang serta aturan
pelaksanaannya.
3.
Tanpa 
jasa 
timbal 
balik atau 
kontraprestasi 
dari 
negara 
yang 
secara 
langsung  dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. 
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran
yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
  
2.1.2 
Fungsi Pajak
Terdapat 2 (dua) fungsi pajak, menurut Mardiasmo et al. (2009 : 2) yaitu :
1. 
Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran
pengeluarannya
2. 
Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
2.1.3 
Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak suatu negara dijurnal dengan melalui Self
Assessment System, Official Assessment System atau With Holding Tax System akan
sangat berpengaruh
terhadap optimalisasi pemasukkan dana ke kas negara. Dan
diuraikan sebagai berikut :
1. 
Official Assessment System
Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2. 
Self Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak
untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
3. 
With Holding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan Fiskus Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan
besarnya
pajak terutang oleh Wajib Pajak.
  
2.1.4 
Jenis Pajak
Dalam buku Modul Pelatihan Pajak, Ikatan Akuntan Indonesia (2012:7) jenis
dan pembagian pajak digolongkan menurut :
1. 
Menurut Golongan:
a.
Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan
kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang
bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan
ke pihak lain, contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2. 
Menurut Sifatnya
a.
Pajak Subyektif, yaitu pajak yang dipungut berdasarkan pada subyeknya,
yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan
keadaan diri Wajib Pajak, misalnya Pajak Penghasilan,
b.
Pajak Objektif, yaitu pajak yang dipungut didasarkan pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak, misalnya Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. 
Menurut Pemungutnya
a.
Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan
digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara. Contohnya adalah
PPh, PPN, PPnBM dan Bea Materai.
b.
Pajak Daerah, yaitu Pajak yang dipungut oleh Pemertintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contohnya adalah Pajak
Reklame, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Kendaraan Bermotor.
2.2 
Pajak Pertambahan Nilai
  
2.2.1 
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Mengacu kepada pendapat Djoko Muljono (2008:4) Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) merupakan pajak tidak langsung, yang dikenakan atas transaksi penyerahan
Barang Kena Pajak maupun pemanfaatan Jasa Kena Pajak. Pada dasarnya pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai dibebankan kepada konsumen akhir. Sesuai jalur distribusi
barang dari Produsen ke Konsumen. Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang
Kena
Pajak pada setiap transaksi tersebut dikenakan atas nilai tambah dari Dasar
Pengenaan Pajak setiap transaksi.
2.2.2 
Dasar Hukum
Menurut Mardiasmo (2009:270) Undang-Undang yang mengatur pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
yaitu “Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 dan terakhir kali dengan Undang-
undang No. 42 Tahun 2009”.
2.2.3 
Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
Karakteristik yang dimiliki oleh Pajak Pertambahan Nilai yaitu:
1. 
Pajak Tidak Langsung
Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Tanggung
jawab pembayaran pajak yang terutang kepada pihak yang menyerahkan barang
atau jasa, sedangkan pihak yang menanggung beban pajak berada pada
penanggung pajak (pihak yang memikul beban pajak)
2. 
Pajak Objektif
  
Timbulnya kewajiban membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya objek
pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak dipertimbangkan.
3. 
Multistage Tax
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan secara bertahap pada setiap mata rantai
jalur produksi dan distribusi (dari pabrikan sampai ke konsumen)
4. 
Nonkumulatif
Pajak Pertambahan Nilai tidak bersifat kumulatif meskipun memiliki banyak
tahap
karena Pajak Pertambahan Nilai mengenal adanya mekanisme
pengkreditan Pajak Masukan. Oleh karena itu, Pajak Pertmbahan Nilai yang
dibayar bukan unsur dari harga pokok barang atau jasa
pada tingkat jalur
distribusi sebelum sampai ke pemakai terakhir.
5. 
Tarif Tunggal
Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia hanya mengenal satu jenis (single tarif)
yaitu 10% untuk penyerahan dalam negeri dan 0% (nol persen) untuk ekspor
Barang Kena Pajak
6. 
Credit Method/Invoice Method/Indirect Substruction Method
Metode ini mengandung pengertian bahwa pajak yang terutang diperoleh dari
hasil pengurangan pajak yang dipungut atau dikenakan pada saat penyerahan
barang atau jasa yang disebut Pajak Keluaran dengan pajak yang dibayar pada
saat pembelian barang atau penerimaan jasa yang disebut Pajak Masukan
7. 
Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
Atas Impor Barang Kena Pajak dikenakan Pajak Penjualan Impor (PPnImpor),
sedangkan atas ekspor Barang Kena Pajak tidak dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai. Prinsip ini menggunkan prinsip tempat tujuan (destination principle),
yaitu pajak dikenakan di tempat barang atau jasa dikonsumsi.
  
8. 
Consumption Type Value Added Tax (VAT)
Dalam Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian
dan pemeliharaan barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang
dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
2.2.4 
Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Mengacu kepada pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku saat ini
menurut Waluyo (2009:13) adalah 10%. Sedangkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atas
ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% bukan berarti
pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tetapi Pajak Masukan yang telah
dibayar dari barang yang diekspor dapat dikreditkan.
Mengenai Tarif Minimal dan Maksimal menurut Djoko Muljono (2008:50)
adalah sebagai berikut: “Tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah minimal 5% dan
maksimal sebesar 15%, tergantung kebutuhan dana dari Pemerintah. 
Cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai :
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
2.2.5 
Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai
2.5.1. 
Subjek Pajak Pertambahan Nilai
1.  Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan PPnBM tidak
termasuk Pengusaha Kecil. Pengusaha dikatakan sebagai Pengusaha
Kena Pajak apabila melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
  
Jasa Kena Pajak dengan
jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
bruto melebihi Rp 600.000.000 dalam satu tahun.
2.
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP
Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto
tidak lebih dari Rp 600.000.000 dalam satu
tahun. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP,
selanjutnya wajib melaksanakan kewajiban sebagaimana halnya PKP.
3.
Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
4.
Orang Pribadi atau Badan yang melakukan pembangunan rumahnya
sendiri dengan persyaratan tertentu, yaitu:
a. 
Luas bangunan lebih atau sama dengan 200 meter persegi,
b. 
Bangunan diperuntukan untuk tempat tinggal atau tempat usaha,
c. 
Bangunan bersifat permanen,
d. 
Tidak dibangun dalam lingkungan real estate,
e. 
Pembangunan dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaan oleh orang prbadi yang hasilnya digunakan sendiri atau
oleh pihak lain.
5.  Pemungut Pajak yang ditunjuk oleh Pemerintah
Pemungut Pajak yang di tunjuk oleh pemerintah terditri atas Kantor
Perbendaharaan
Negara, Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah,
termasuk Bendahara Proyek.
2.5.2 
Objek Pajak Pertambahan Nilai
  
Berdasarkan Undang-undang No.42 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1) Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. 
Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
b. 
Impor Barang Kena Pajak;
c. 
Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
d. 
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. 
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
f. 
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. 
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena
Pajak; dan
h. 
Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
2.2.6 
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
Barang Kena Pajak (BKP) menurut Mardiasmo et al (2009:270) adalah sebgai
berikut:
Barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak
atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai”.
Jasa Kena Pajak (JKP) menurut pengertiannya adalah sebagai berikut:
Setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan
hukum yang
menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk
  
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
2.2.7 
Dasar Pengenaan Pajak
Untuk menghitung besarnya pajak (PPN
dan PPnBM) yang terutang perlu
adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak menurut
Djoko Muljono (2008:39) adalah:
1.  Harga Jual
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN
yang dipungut menurut Undang-Undang 1984 dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2.
Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena
penyerahan JKP, tidak termasuk
pajak yang dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984 dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktu Pajak.
3.
Nilai Impor
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan Bea
Masuk ditambah dengan pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP,
tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai Tahun 1984.
4.
Nilai Ekspor
  
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5.
Nilai lain yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
2.2.8 
Mekanisme Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menurut Mardiasmo
(2009:284) dapat digambarkan sebagai berikut:
1.
Pada saat membeli atau memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak,
akan dipungut Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak
selaku
Penjual. Bagi Pembeli, Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak selaku Penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di muka dan
disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan
berupa Faktur Pajak.
2.
Pada saat menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
kepada pihak lain, wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai. Bagi Penjual,
Pajak
Pertambahan Nilai tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti
telah memungut Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak Penjual wajib
membuat Faktur Pajak.
3.
Apabila dalam suatu Masa Pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan
satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari pada jumlah Pajak
Masukan, selisihnya harus disetorkan ke Kas Negara.
4.
Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil dari pad
jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau
dikompensasikan ke masa pajak berikutnya
5.
Pelaporan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan setiap Masa Pajak
  
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
(SPT Masa PPN).
2.3 
Pengertian Faktur Pajak
Faktur Pajak menurut Mardiasmo et al. (2009:288) adalah bukti pungutan pajak yang
dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena Impor Barang Kena Pajak
yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Setiap Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak wajib membuat Faktur
Pajak.
2.3.1 
Penerbitan Faktur Pajak
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a.  Penyerahan Barang Kena Pajak
b.  Penyerahan Jasa Kena Pajak
c.  Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
d.  Ekspor Jasa Kena Pajak
Menurut Peraturan Direktorat Jendral Pajak No. PER-13/PJ./2010 Pasal 1 ayat
(3), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur Pajak Gabungan yang meliputi
seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima
Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
Menurut Peraturan Direktorat Jendral Pajak No. PER-13/PJ./2010 Pasal 2 ayat
(1) dan (2) Faktur Pajak harus dibuat pada saat :
a.  Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b.
Penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
  
c.
Penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
d.
Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara
Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
2.3.2 
Syarat Formal Faktur Pajak
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.42 Tahun 2009 pasal 13 ayat (5)
syarat  Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c.
Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga;
d.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f.
Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g.
Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
2.4. 
Latar Belakang Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009 
  
1.  Saat pembuatan Faktur Pajak 
Latar belakang Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No.42 Tahun 2009 menurut
Wiston Manihuruk (2010:12) dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut:
a.
Dalam rangka meringankan beban adminstrasi Wajib Pajak maka saat pemuatan
Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau
dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat
pembayaran. Dengan berlakunya pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi
membuat faktur penjualan (invoice) yang bebeda dengan Faktur Pajak. 
b.
Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran Pajak Pertambahan Nilai
dan
pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang semula
paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa
Pajak berkahir sebagaimana diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum
Perpajakan, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir, mengingat ketentuan ini tidak diatur dalam Undang-undang
Ketentuan Umum Perpajakan, maka ketentuan tersebut  diatur dalam
Undangundang Pajak Pertambahan Nilai.
  
Saat Pembuatan Faktur Pajak
UU PPN No. 42 Tahun 2009 
Diatur dalam Undang-Undang dan disesuaikan dengan saat terutang pajak sebagaimana
diatur dalam Pasal 11, yaitu pada saat penyerahan atau pada saat pembayaran (dalam hal
pembayaran diterima sebelum penyerahan).
Jenis Faktur Pajak
UU PPN No. 42 Tahun 2009
Hanya ada istilah “Faktur Pajak”
Sanksi atas Pelanggaran Syarat Formal Faktur Pajak
UU PPN No. 42 Tahun 2009 
PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat :  
1. Identitas pembeli; atau  
2. Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh
pedagang eceran.  
(Psl 14 (1) huruf e UU KUP)  
FP tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun Faktur Pajaknya sendiri tidak
dapat dikreditkan oleh pembelinya.
Syarat Formal & Material
UU PPN No. 42 Tahun 2009 
Kewajiban untuk memenuhi syarat formal dan material diatur dalam batang tubuh Pasal
13 ayat (9) yaitu Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
Saat Penyetoran dan Pelaporan PPN (Pasal 15a)
  
UU PPN No. 42 Tahun 2009 
a. Penyetoran dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan (Pasal 15A) 
b. Pelaporan dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak (Pasal 15A).
2.5 
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Undang –
Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan pasal 1, “Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat
Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.” 
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai berfungsi sebagai sarana bagi
Pengusaha Kena Pajak untuk mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang
dan melaporkan tentang: 
• 
Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. 
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pihak lain dalam suatu Masa Pajak. 
Pengusaha yang berstatus sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai juga
diwajibkan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dengan
menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai untuk
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
2.5.1  
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1107
  
Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bentuk Formulir 1107, khusus bagi
Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah,
dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka kolom Pajak
Penjualan Barang Mewah pada Formulir 1107A juga harus diisi. 
Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak PER-146/PJ/2006, Formulir
Induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan Lampirannya dalam
bentuk formulir kertas (hard copy) dan Aplikasi Pengisian Surat Pemberitahuan
Masa (e-SPT) dapat diperoleh dengan cara: 
1. 
Disediakan secara cuma –
cuma di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor
Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan dalam wilayah KPP. 
2. 
Digandakan atau diperbanyak sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak. 
3. 
Di –
download di Home Page Direktorat Jendral Pajak, dengan alamat
4.
Disediakan oleh Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang telah ditunjuk
oleh Direktorat Jendral Pajak, dalam hal Surat Pemberitahuan disampaikan
dengan cara elektronik.
Tata Cara Penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM, Pelaporan dan
Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1107
Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak PER-146/PJ/2006, tata cara
penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM, pelaporan dan penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1107 adalah sebagai berikut: 
1. 
Batas waktu penyetoran 
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor
  
paling lambat tanggal 15 (lima belas) hari setelah Masa Pajak berakhir. Dalam
hal
tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur, maka
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. 
2. 
Bentuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 
Formulir kertas 
Data elektronik (hard copy) 
-
Dalam bentuk media elektronik 
-
Melalui e-Filing
3. 
Batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai harus disampaikan setiap
bulan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal
hari ke-20 adalah hari libur, maka Surat Pemberitahuan Masa
Pajak
Pertambahan Nilai harus disampaikan pada hari kerja sebelum hari libur. 
4. 
Tempat pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 
 
Kantor Pelayanan Pajak 
 
Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan dalam wilayah KPP 
5. 
Cara pelaporan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai 
 
Manual, yaitu: 
-
Disampaikan langsung ke KPP atau KP4, dan atas penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai tersebut Pengusaha Kena
Pajak akan menerima tanda bukti penerimaan 
-
Disampaikan melalui Kantor Pos secara tercatat atau melalui perusahaan
jasa ekspedisi atau melalui perusahaan jasa kurir dan tanda bukti serta
tanggal
pengiriman Surat Pemberitahuan Masa dianggap sebagai tanda
  
bukti dan tanggal penerimaan Surat Pemberitahuan Masa, sepanjang
Surat Pemberitahuan Masa tersebut lengkap. 
Elektronik yaitu sistem online yang real time melaui satu atau beberapa
perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh Direktur
Jendral Pajak, yang tata cara penyampaiannya diatura
lebih lanjut dengan
Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-05/PJ/2005 tentang Tata Cara
Penyampaian Surat Pemberitahuan Secara Elektronik (e-Filing) Melalui
Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP). 
Dalam hal Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai disampaikan
dalam bentuk data elektronik, Induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai harus tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard
copy), ditandatangani dan disampaikan secara manual.
2.5.2 
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111
Setiap Pengusaha Kena
Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 ini, kecuali Pengusaha Kena
Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (7a) Undang –
Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang –
Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Undang –
Undang Pajak
Pertambahan Nilai). Khusus bagi Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah,
dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang
bersangkutan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
maka kolom PPnBM pada masing – masing formulir juga harus diisi.
  
Tata Cara Perolehan, Pengisian dan Pencetakan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak PER-44/PJ/2010, tata cara
perolehan, pengisian dan pencetakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai 1111 adalah sebagai berikut: 
1. 
Formulir induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111
beserta Lampirannya dalam bentuk formulir kertas (hard copy) dan Aplikasi
Pengisian Surat Pemberitahuan (e-SPT) dapat diperoleh dengan cara: 
Diambil di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan. 
• 
Digandakan atau diperbanyak sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak. 
Diunduh di laman Direktorat Jendral Pajak, dengan alamat
http://www.pajak.go.id selanjutnya dapat dimanfaatkan/digandakan.
Disediakan oleh Pengusaha Penyedia Jasa Aplikasi yang telah ditunjuk oleh
Direktorat Jendral Pajak (khusus e-SPT). 
2. 
Pengusaha Kena Pajak dapat mengisi Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai 1111 dan Lampirannya dalam bentuk formulir kertas (hard
copy) dengan cara: 
Ditulis dengan tangan menggunakan huruf balok (bukan huruf sambung). 
• 
Diketik dengan menggunakan mesin ketik.
3. 
Pengisian data pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111
dalam bentuk formulir kertas (hard copy) juga harus memperhatikan hal – hal
sebagai berikut: 
• 
Pengisian data pada Induk dan Lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai tidak boleh melebihi baris dan/atau
kolom yang telah
  
disediakan dan harus dituliskan dalam satu baris. 
• 
Pengisian Nomor Pokok Wajib Pajak, Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak,
nomor Dokumen Tertentu, dan nomor Nota Retur/Nota Pembatalan harus
dituliskan secara lengkap dan tidak boleh disingkat. Untuk pengisian Surat
Pemberitahuan dengan menggunakan tulisan tangan atau mesin ketik,
Pengusaha Kena Pajak diperbolehkan mengisi data Nomor Pokok Wajib
Pajak pada kolom atau baris tanpa menggunakan tanda baca, kecuali untuk
identitas Nomor Pokok Wajib Pajak yang sudah disediakan formatnya pada
formulir. 
4. 
Penggunaan formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111
dalam bentuk PDF mengikuti ketentuan sebagai berikut: 
• 
Pengusaha Kena Pajak dapat mencetak/print
formulir Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 langsung dari file PDF yang telah
disediakan, selama memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut : 
a.
Dicetak dengan menggunakan kertas folio/F4 dengan berat minimal 70
gram. 
b.
Pengaturan ukuran kertas pada printer menggunakan kertas (paper size)
8,5 x 13 inci (215 x 330 mm). 
c. 
Tidak menggunakan printer dotmatrix.
• 
Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 dalam
bentuk file PDF terlebih dahulu dicetak, selanjutnya Pengusaha Kena Pajak
mengisi formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111
tersebut, menandatanganinya kemudian menyampaikannya ke Kantor
Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan.
  
Tata Cara Penyetoran PPN atau PPN
dan PPnBM, Pelaporan dan
Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111
Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak PER-44/PJ/2010, tata cara penyetoran
PPN atau PPN dan PPnBM, pelaporan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai 1111 adalah sebagai berikut: 
1. 
Batas waktu penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM 
• 
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus
disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak
dan sebelum
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111
disampaikan. 
• 
Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya. 
2. 
Batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
1111 
• 
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 harus
disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak. 
• 
Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai 1111 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
3. 
Tempat pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 
• 
Kantor Pelayanan Pajak. 
• 
Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan. 
  
Tempat lain yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak. 
4. 
Cara pelaporan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai 1111 
• 
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 dapat
disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan cara : 
a. 
Manual, yaitu : 
• 
Disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, Kantor
Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan, atau tempat lain
yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak, dan atas
penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai
1111 tersebut Pengusaha Kena Pajak akan menerima tanda bukti
penerimaan. 
• 
Disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau
perusahaan jasa kurir, dengan bukti surat. Bukti pengiriman surat
tersebut dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan Surat
Pemberitahuan, sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut lengkap. 
b. 
Elektronik (e-Filing), yaitu melalui sistem online yang real time melalui
satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi yang ditunjuk
oleh Direktur Jendral Pajak. 
• 
Pelaporan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai 1111 secara manual dapat dilakukan untuk Surat
Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai 1111 dalam bentuk
formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk media elektronik. 
• 
Dalam hal Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
1111 disampaikan dalam bentuk media elektronik, induk Surat
  
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 harus tetap
disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy),
ditandatangani dan disampaikan secara manual. 
• 
Dalam hal Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
1111 disampaikan secara e-Filing, induk Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 tidak perlu disampaikan secara
manual dalam bentuk formulir kertas (hard copy).
2.5.3 
Batas Waktu Penyetoran dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 & Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 jo. 80/PMK.03/2010, batas waktu penyetoran
dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yaitu
sebagai berikut: 
1. 
Pajak Pertambahan Nilai atas impor. 
Batas waktu penyetoran: bersamaan dengan
saat pembayaran Bea Masuk
dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan. Pajak Pertambahan Nilai
atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan
pabean impor.
2. 
Pajak Pertambahan Nilai atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jendral Bea
dan Cukai. 
Batas waktu penyetoran: 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan
pajak. 
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: secara mingguan, paling
lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya. 
  
3. 
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam satu Masa Pajak. 
Batas waktu penyetoran: akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
disampaikan. 
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir. 
4.
Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh
orang pribadi dan badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. 
• 
Batas waktu penyetoran: tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir. 
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir. 
5.
Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya dilakukan oleh pemungut Pajak
Pertambahan Nilai selain Bendahara Pemerintah atau instasi Pemerintah yang
ditunjuk. 
Batas waktu penyetoran: tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir. 
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
6. 
Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara
Pengeluaran sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. 
• 
Batas waktu penyetoran: tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir. 
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir. 
  
7. 
Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh Orang
Pribadi atau Badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. 
• 
Batas waktu penyetoran: tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
saat terutangnya pajak. 
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan
berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir. 
8.
Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat
Penandatanganan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai. 
Batas waktu penyetoran: pada hari yang sama
dengan pelaksanaan
pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara. 
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.