14
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Pencucian Uang
2.1.1
Pengertian Pencucian Uang
Pencucian Uang
atau yang sering sebut dengan istilah Money Laundering
berasal dari bahasa Inggris yaitu Money
yang berarti Uang dan Laundering
yang
berarti Pencucian. Jadi Money Laundering
secara harfiah berarti Pencucian Uang
atau pemutihan uang hasil kejahatan.
Istilah Money Laundering
kian hari kian
disempurnakan. Di
dalam perkembangannya,
pengertian Pencucian Uang
atau
Money Laundering
dimuat di
dalam berbagai
literatur maupun peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku di suatu negara maupun organisasi internasional.
Salah satu yang menjadi acuan dunia
terkait pengertian Pencucian Uang
dimuat dalam The United Nation Convention Againts Illcit Traffic in Narcotics,
Drugs, and Psycotropic Subtantces of 1988 yang disahkan pada 19 Desember 1988.
Dimana pengertian Money Laundering
ini untuk yang pertama kali diratifikasi di
Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Tahun 1997 yang
menghasilkan
gambaran secara lengkap mengenai pengertian Pencucian Uang
itu sendiri menurut
Sutedi (2008) ialah:
The convertion or transfer of property, knowing that such property derived
from the purpose of concelling or of assisting any person who is involved in
the commision of such an offence to evade the legal consequances of the true
nature, sources, location, disposition, momment, rights with respect to, or
ownership of property, knowing that such property is derived from a serious
  
15
offence or offences of from an act of partivipation in such an offence
of
offence.
Pernyataan tersebut berarti konversi atau pemindahan dari properti yang
diketahui berasal dari indikasi kegiatan terlarang untuk orang yang diketahui berasal
dari kegiatan terlarang, untuk tujuan menyembunyikan atau mengaburkan hal-hal
terlarang dari properti tersebut, atau membantu setiap orang yang terkait dalam
kegiatan yang ilegal untuk menghindari segala konsekuensi hukum dari tindakannya,
atau menyembunyikan dan mengaburkan dari sumber  asli, lokasi, grup terkait,
pergerakan, hak, kepemilikan properti,
dimana diketahui properti tersebut berasal
dari konspirasi jahat atau dari partisipasi dalam perbuatan jahat (Husein, 2002).
Sedangkan untuk Indonesia sendiri, pengertian Money Laundering
atau Pencucian
Uang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan bahwa Pencucian
Uang
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai
dengan ketentuan yang berlaku,
dimana di
dalam penekanannya tindak
pidana
Pencucian Uang
merupakan
suatu kegiatan yang di
dalamnya ada kegiatan
mentransfer, menempatkan, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil Tindak
Pidana dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan sehingga menjadi seolah-olah harta kekayaan yang sah.
Beberapa pengertian Pencucian Uang menurut para ahli antara lain:
1)
Menurut
Sutedi (2008:13) dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana
Pencucian Uang, memuat pengertian Pencucian Uang yang disebutkan oleh
Fraser mengemukakan bahwa “Money Laundering is quite simply the process
  
16
through which “Dirty” money (proceeds of crime), is washed through
“Clean” or legitimate sources and entreprises so that the “Bad Guys” may
more safely enjoy their ill gotten gains.
Artinya Pencucian Uang
adalah
suatu proses sederhana melalui uang kotor yang diperoleh dari tindak pidana,
dicuci, atau dimasukkan kedalam sumber yang sah/ilegal, sehingga pelaku
tindak pidana dapat lebih aman menikmati keuntungan yang didapat dari
kejahatan mereka.
2)
Menurut Sutedi (2008:14) dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana
Pencucian Uang, memuat pengertian Pencucian Uang yang dikemukakan
oleh Departement of Justice
Kanada bahwa “Money Laundering is the
conversion of transfer of property, knowing that such property is derived
from criminal activity, for the purpose of concealing the illcit nature and
origin of the property from government authorities”. Yang berarti Pencucian
Uang
adalah suatu metode konversi kekayaan dengan mengetahui bahwa
kekayaan tersebut berasal dari tindakan kriminal dengan tujuan untuk
menyembunyikan sumber pendapatan tersebut dari pemerintahan.
3)
Menurut Suranta (2010:47) dalam bukunya yang berjudul Peranan PPATK
Dalam Mencegah Terjadinya Praktek Pencucian Uang, memuat pengertian
Pencucian Uang yang dikemukakan oleh Giavanoli
(ibid), adalah suatu
proses yang
mana aset-aset pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari
suatu tindak pidana dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset tersebut
seolah-olah berasal dari sumber yang sah.
Tindak pidana Pencucian Uang merupakan suatu kejahatan yang kerap terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Banyak bentuk atau metode penipuan yang dilakukan
oleh pelaku agar terhindar dari tuntutan hukum jika diketahui bahwa uang yang
  
17
diperolehnya bukan dari suatu kegiatan atau transaksi yang legal. Kegiatan
Pencucian Uang
memiliki dampak negatif pada perekonomian suatu negara karena
dapat menghambat stabilitas ekonomi suatu negara. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa Money Laundering atau Pencucian Uang adalah suatu upaya yang dilakukan
oleh seseorang atau lebih yang dilakukan bertujuan untuk menghapuskan,
menyembunyikan, memindahkan, dan menyamarkan sumber-sumber penghasilan
yang diperoleh dari transaksi ilegal seperti penjudian, jual-beli obat bius,
penggelapan barang,
dan transaksi ilegal lainnya
yang kemudian
diinvestasikan/digunakan
ke
dalam suatu kekayaan yang legal sehingga diperoleh
pendapatan yang seolah-olah sah/legal.
2.1.2
Metode-Metode Pencucian Uang
Menurut Siahaan (2005:21), beberapa metode yang dilakukan dalam tindak
pidana Pencucian Uang yaitu:
1)
Buy to Sell
Buy to Sell adalah suatu metode yang dilakukan
dengan menjual
atau
membeli suatu barang maupun
jasa tertentu
menggunakan dana yang
diperoleh dari Pencucian Uang. Dengan metode
ini setiap aset atau kekayaan
yang diperoleh dari tindak pidana akan dirubah bentuknya menjadi legal serta
mempersulit para penegak hukum untuk melakukan penelusuran terkait
kekayaan illegal tersebut.
2)
Metode dengan menggunakan Offshore Conversions dilakukan dengan cara
menempatkan dana yang diperoleh dari tindak pidana ke suatu wilayah Tax
Haven Country yang kemudian disimpan pada Bank atau lembaga keuangan
lainnya di wilayah atau negara tersebut. Hal ini dilakukan karena biasanya di
  
18
negara Tax Haven Country memiliki hukum perpajakan yang lebih longgar,
ketentuan kerahasiaan Bank
yang cukup ketat, dan prosedur bisnis yang
mudah.
3)
Legitimate Business Conversion
Legitimate Business Conversion adalah suatu metode yang dilakukan dengan
membeli instrumen keuangan yang ada di suatu perusahaan baik aset maupun
investasi sehingga diperoleh pendapatan yang legal. Dengan metode tersebut,
seorang pelaku tindak pidana
dapat
menjalankan bisnis
maupun investasi
yang mana sumber pendanaannya diperoleh dari kegiatan tindak pidana yang
akan menghasilkan pendapatan legal/sah.
2.1.3
Penyebab Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak pidana
baik yang dilakukan perorangan maupun organisasi
seiring
perkembangannya semakin mengkhawatirkan. Kebutuhan dan desakan sosial
menuntut gaya hidup
yang
semakin meningkat membuat perorangan
maupun
organisasi harus berusaha untuk tetap bertahan dalam memenuhi kebutuhan tersebut
yang tidak jarang dilakukan melalui transaksi tindak pidana. Transaksi tindak pidana
yang kerap terjadi saat ini untuk memenuhi
kebutuhan tersebut adalah
korupsi,
perjudian, jual beli minuman keras, perdagangan gelap, dan tindak pidana lainnya
yang semakin berkembang. Beratnya hukuman suatu negara yang membawahi setiap
perilaku warga negaranya,
hal ini membuat para pelaku tindak pidana
semakin
berhati-hati dalam menggunakan dana yang diperoleh
dari transaksi pidana yang
dilakukannya. 
  
19
Menurut Philips (2012:21) dalam bukunya yang berjudul “Money
Laundering”
menyebutkan bahwa ada beberapa faktor penyebab terjadi Money
Laundering yaitu:
1)
Faktor Globalisasi
Kejahatan dan tindak pidana
yang telah mendunia
menyebabkan tindakan
tersebut menjadi hal
yang biasa dilakukan setiap
orang. Globalisasi yang
semakin berkembang menyebabkan mudahnya pelaku tindak pidana untuk
melakukan transaksinya dengan memanfaatkan sistem keuangan dan
perbankan disetiap negara tanpa adanya suatu batasan. 
2)
Perkembangan Teknologi
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dalam mempermudah
aktivitas maupun kegiatan seseorang
sangat dibutuhkan. Namun,
juga
terdapat akibat negatif disamping kemudahan yang diperoleh dari
perkembangan
teknologi tersebut.
Salah satu akibat negatif perkembangan
teknologi adalah kerahasiaan seseorang menjadi tidak terkendali
karena
teknologi dapat dimanfaatkan seseorang yang tidak bertanggung jawab untuk
mengakses informasi seperti akun rekening Bank yang mengakibatkan
banyaknya masalah pembobolan rekening. 
3)
Ketentuan Kerahasiaan Bank
Terkadang di suatu negara, perbankan
memiliki peraturan yang tertutup
terkait
informasi akun nasabahnya. Hal ini mengakibatkan sulitnya
pihak
yang
berwenang untuk melakukan pemeriksaan
terkait
akun nasabah yang
dianggap mencurigakan. Hal ini biasanya terjadi pada negara beresiko tinggi
antara lain yang diidentifikasikan sebagai Tax Haven Country seperti British
Virgin Island.
  
20
4)
Aturan Mengenai Nama Samaran 
Yaitu suatu sistem yang memperbolehkan sesorang untuk membuka akun
rekening Bank dengan
menggunakan nama samaran
(inisial). Hal ini
mengakibatkan sulitnya mengetahui identitas asli sang pemilik akun 
rekening
karena seolah-olah dimiliki oleh orang lain (nama samaran), yang
dapat menghambat proses pemeriksaan.
5)
Adanya Sistem Elektronic Money atau E-Money
Elektonic Money atau yang sering disebut dengan E-Money yaitu suatu sistem
yang menggunakan fasilitas internet untuk memudahkan kegiatan Pencucian
Uang yang sering disebut dengan “CyberLaundering” seperti Internet
Banking.
6)
Diperkenannya Sistem Layering atau Pelapisan
Dalam sistem layering atau pelapisan, dimana pihak yang mempunyai dana
ingin mendepositokan atau membuka akun di suatu rekening Bank,
dapat
menunjuk orang lain sebagai perwakilan yang telah disetujui. Dengan sistem
maupun ketentuan tersebut, pemilik awal atau pemilik sah dari dana tersebut
akan sulit untuk diketahui karena dana tersebut seolah-olah adalah milik
orang yang telah ditunjuk yang menjadi perwakilan.
7)
Sistem Kerahasiaan
Sistem ini biasanya berkenaan adanya ketentuan hukum yang berkenaan
dengan kerahasiaan hubungan antara lawyer
(pengacara) dengan kliennya,
maupun akuntan dengan kliennya.
8)
Tidak Adanya Penanganan Hukum yang Tegas
Hal ini terjadi dikarenakan pemerintah dan penegak hukum yang berkaitan
dengan tindak pidana kejahatan seperti Money Laundering, tidak menangani
  
21
kejahatan tersebut secara tegas. Hal ini menyebabkan tindak pidana semakin
merajalela
karena tidak adanya penanganan tegas yang berarti bagi
para
pelaku
sehingga tidak membuat pelaku
jera
untuk tetap melakukan
tindak
pidana kejahatannya.
9)
Tidak Adanya Undang-Undang Mengenai Pemberantasan Pencucian Uang
Hal ini biasanya terjadi di bebeberapa negara yang belum menerapkan
undang-undang tentang Pencucian Uang. Hal ini dikarenakan negara tersebut
belum menganggap kejahatan Pencucian Uang sebagai suatu tindak kejahatan
yang serius. Hal ini mengakibatkan maraknya tindak pidana Pencucian Uang
dinegara tersebut. Seperti Indonesia yang baru menerapkan Undang-Undang
tentang
Pencucian Uang
pada Tahun 2002 yang kemudian diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
2.1.4
Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Pada Sektor Perbankan
Di Indonesia sendiri khususnya dalam sektor
perbankan, telah ditetapkan
peraturan untuk mencegah terjadinya tindak pidana Pencucian Uang,
yang diatur
dalam PBI (Peraturan Bank Indonesia)
Nomor 5/21//PBI/2003 yang merupakan
perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principle).
Namun,
sebagaimana diungkapkan
dalam pembukaan PBI (Peraturan Bank Indonesia)
Nomor 11/28/PBI/2009 huruf d menyatakan bahwa ketentuan tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) yang selama ini
berlaku, perlu disempurnakan. Dari latar belakang tersebut,
sehingga BI (Bank
Indonesia)
mengeluarkan peraturan terbaru Nomor 11/28/PBI/2009 Tentang
  
22
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
Bagi Bank Umum. 
Undang-undang ini dikeluarkan mengingat bahwa Bank
memiliki banyak
resiko usaha
seperti Pencucian Uang. Dengan banyaknya resiko tersebut, sehingga
perlu untuk menerapkan prinsip dan ketentuan tersendiri dalam sektor
perbankan.
Salah satu prinsip yang harus diterapkan adalah prinsip kehati-hatian. Salah satu
wujud nyata prinsip kehati-hatian adalah dengan mengenali secara lebih mendalam
nasabah Penyedia Jasa Keuangan seperti Bank melalui kartu identitas diri nasabah itu
sendiri, yang disebut dengan penerapan PMPJ (Prinsip Mengenal Pengguna Jasa).
Prinsip Mengenal Pengguna Jasa
merupakan prosedur utama dan yang
pertama kali dilakukan dalam setiap transaksi
Penyedia Jasa Keuangan seperti 
perbankan. Seperti pada saat
pembukaan rekening baru, Penyedia Jasa Keuangan
(Bank)
harus
meminta data identitas diri
nasabah yang bersangkutan. Menurut PBI
Nomor 11/28/PBI/2009 pada Pasal 25 ayat (2) huruf d, permintaan identitas diri
tersebut paling kurang berupa informasi mengenai nama lengkap sesuai dengan yang
tercantum pada kartu identitas, alamat atau tempat dan tanggal lahir, nomor kartu
identitas, dan kewarganegaraan calon nasabah. Tujuan diberlakukannya
prosedur
tersebut
untuk
melihat aktivitas normal berdasarkan latar belakang (profil) nasabah.
Sehingga dengan mengetahui profil nasabah,
maka dapat diidentifikasi apakah
transaksi nasabah dikemudian hari dapat dianggap wajar atau tidak
mengingat
banyaknya produk perbankan yang beresiko tinggi antara lain transfer dana, private
banking, dan internet banking.
Dalam kegiatan perbankan
lainnya, seperti jasa penyetoran tunai,
prosedur
utama yang harus dilakukan adalah mengisi formulir yang berisikan data
diri
penyetor yang sesuai. Penerapan PMPJ
sangatlah penting mengingat besarnya
  
23
kemungkinan terjadinya Pencucian Uang
menggunakan jasa
perbankan. Sehingga
perlu hubungan yang terlebih terbuka dan tetap
memantau setiap perkembangannya
melalui
catatan transaksi yang
dilakukan oleh nasabah itu sendiri.
Hal ini untuk
meminimalisir tanggungjawab akhir atas identifikasi dan verifikasi calon nasabah
sepenuhnya yang menjadi tanggung jawab Bank itu sendiri seperti yang disebutkan
dalam PBI Nomor 11/28/PBI/2009 pada Pasal 25 ayat (3).
Sebelum melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah, ada beberapa
prosedur yang harus dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan dalam hal ini adalah
Bank, yang dimuat dalam PBI Nomor 11/28/PBI/2009 pada Pasal 11 yang terdiri
dari:
1)
Pada ayat (1) menyebutkan bahwa sebelum melakukan hubungan usaha
dengan nasabah, Bank wajib meminta informasi yang memungkinkan Bank
untuk dapat mengetahui profil calon nasabah;
2)
Pada ayat (2) menyebutkan bahwa identitas calon
nasabah harus dapat
dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung;
3)
Pada ayat (3) menyebutkan bahwa Bank wajib meneliti kebenaran dokumen
pendukung identitas calon nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
4)
Pada ayat (4) menyebutkan bahwa Bank dilarang membuka atau memelihara
rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif;
5)
Pada ayat (5) menyebutkan bahwa Bank wajib melakukan pertemuan
langsung (face to face) dengan calon nasabah pada awal melakukan
hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon nasabah;
6)
Pada ayat (6) menyebutkan bahwa Bank wajib mewaspadai transaksi atau
hubungan usaha dengan nasabah yang berasal atau terkait dengan negara
  
24
yang belum memadai dalam melaksanakan rekomendasi FATF
(Financial
Action Task Force).
Dokumen pendukung bagi calon nasabah perorangan menurut PBI Nomor
28/11/PBI/2009 antara lain KTP (Kartu Tanda Penduduk), SIM (Surat Izin
Mengemudi), kartu NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), atau paspor yang masih
berlaku. Sedangkan dokumen pendukung untuk suatu perusahaan/ badan usaha
adalah akte pendirian dan/atau anggaran dasar perusahaan, dan izin usaha atau
izin lainnya dari instansi berwenang. 
2.2
Penyedia Jasa Keuangan 
2.2.1
Jenis Penyedia Jasa Keuangan
Yang termasuk Penyedia Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dimuat dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf a yaitu 
1)
Bank;
2)
Perusahaan pembiayaan;
3)
Perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;
4)
Dana pensiunan dan lembaga keuangan;
5)
Perusahaan efek;
6)
Manajer investasi;
7)
Kustodian;
8)
Wali amanat;
9)
Persposan sebagai penyedia jasa giro;
10) Pedagang valuta asing;
11) Penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;
  
25
12) Penyelenggara e-money dan/ atau e-wallet;
13) Koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;
14) Pegadaian;
15) Perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan berjangka komoditi; dan 
16) Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. 
2.2.2
Penerapan PMPJ (Prinsip Mengenali Pengguna Jasa) pada Penyedia
Jasa Keuangan
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, memuat ketentuan bagi Penyedia
Pengguna Jasa untuk menerapkan PMPJ (Prinsip Mengenali Pengguna Jasa) yang
dimuat dalam Pasal 18 yang terdiri dari:
1) Pada ayat (1) menyebutkan bahwa lembaga pengawas dan pengatur
menetapkan ketentuan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa.
2) Pada ayat (2) menyebutkan bahwa pihak pelapor wajib menerapkan Prinsip
Mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap lembaga pengawas
dan pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Kewajiban menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat:
a) Melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa;
b) Terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/ atau mata
uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c) Terdapat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait tindak pidana
Pencucian Uang dan tindak pidana Pendanaan Terorisme; atau
  
26
d) Pihak pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan
pengguna jasa.
4) Lembaga pengawas dan pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas
kepatuhan pihak pelapor dalam menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna
Jasa.
5) Prinsip Mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat:
a) Identifikasi pengguna jasa;
b) Verifikasi pengguna jasa; dan
c) Pemantauan transaksi pengguna jasa.
6) Dalam hal belum terdapat lembaga pengawas dan pengatur, ketentuan
mengenai Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur
dengan Peraturan Kepala PPATK.
2.2.3
Transaksi Keuangan Mencurigakan pada Penyedia Jasa Keuangan
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dalam Pasal 1 ayat (5)
mengenai Ketentuan Umum, ada memuat pengertian Transaksi Keuangan
Mencurigakan. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
1)
Pada huruf a menyebutkan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah
transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;
2)
Pada huruf b menyebutkan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah
transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;
  
27
3)
Pada huruf c menyebutkan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah
transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana;
atau
4)
Pada huruf d menyebutkan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah
transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak
pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil
tindak pidana.
2.2.4
Penyampaian Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh Penyedia Jasa
Keuangan
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 23 menyebutkan bahwa:
1)
Pada ayat (1) menyebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, wajib menyampaikan laporan
kepada PPATK yang meliputi:
a)
Transaksi keuangan mencurigakan
b)
Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau setara dengan mata uang
asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi
maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/ atau
c)
Transaksi keuangan transfer dana dari dan luar negeri.
2)
Dalam ayat (2) menyebutkan bahwa perubahan besarnya jumlah transaksi
keuangan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan
berdasarkan Keputusan Kepala PPATK.
  
28
3)
Dalam ayat (3) menyebutkan bahwa besarnya jumlah transaksi keuangan
transfer dana dari dan ke luar negeri yang wajib dilaporkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
4)
Dalam ayat (4) menyebutkan bahwa kewajiban pelaporan atas transaksi
keuangan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan
terhadap:
a)
Transaksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan dengan
pemerintah dan bank sentral;
b)
Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun; dan
c)
Transaksi lain yang ditetapkan oleh kepala PPATK atau atas
permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
5)
Ayat (5) menyebutkan bahwa kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan.
2.2.5
Sanksi Hukum Penyedia Jasa Keuangan
Dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang,
memuat sanksi yang diberikan kepada Penyedia Jasa Keuangan
tidak terkecuali pada perbankan jika tidak melaporkan adanya transaksi keuangan
mencurigakan. Sanksi tersebut dimuat dalam Pasal 25 yang terdiri dari:
1)
Pada ayat
(1) menyebutkan penyampaian laporan transaksi keuangan
mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a
dilakukan sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia
Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan.
2)
Pada ayat (2) menyebutkan bahwa penyampaian laporan transaksi keuangan
tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dilakukan
  
29
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi
dilakukan.
3)
Pada ayat (3) menyebutkan bahwa bahwa penyampaian laporan transaksi
keuangan transfer dana dari dan keluar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal tanggal transaksi dilakukan.
4)
Dalam ayat (4) menyebutkan bahwa penyedia jasa keuangan yang tidak
menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), dikenai sanksi administratif.
5)
Pada ayat (5) menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk,
jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan Kepala PPATK.
2.2.6
Penundaan Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh
Penyedia Jasa Keuangan
Dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Penyedia Jasa Keuangan dapat
melakukan penundaan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 yang memuat:
1)
Pada ayat (1) menyebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan dapat melakukan
penundaan transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
penundaan transaksi dilakukan.
2)
Pada ayat (1) menyebutkan bahwa penundaan transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal pengguna  jasa:
  
30
a) Melakukan transaksi yang patut diduga menggunakan harta kekayaan
yang berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1); 
b) Memiliki rekening untuk menampung harta kekayaan yang berasal
dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat
(1); atau
c) Diketahui dan/ atau patut diduga menggunakan dokumen palsu.
3)
Pelaksaan penundaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat
dalam berita acara penundaan transaksi.
4)
Penyedia Jasa Keuangan memberikan salinan berita acara penundaan
transaksi kepada pengguna jasa.
5)
Penyedia Jasa Keuangan wajib melaporkan penundaan transaksi kepada
PPATK dengan melampirkan berita acara penundaan transaksi dalam waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak waktu penundaan
transaksi dilakukan.
6)
Setelah menerima laporan penundaan transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) PPATK wajib memastikan pelaksanaan penundaan transaksi
dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini.
7)
Dalam hal penundaan transaksi telah dilakukan sampai dengan hari kerja
kelima, penyedia jasa keuangan harus memutuskan akan melaksanakan
transaksi atau menolak transaksi tersebut.
  
31
2.3
Tindak Pidana Pencucian Uang
2.3.1
Sanksi Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Perorangan
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 disebutkan mengenai sanksi
hukum tindak pidana Pencucian Uang perorangan yaitu:
1)
Pasal 3 menyebutkan bahwa setiap orang yang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang
atau surat berharga,
atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana
karena tindak pidana Pencucian Uang
dengan pidana paling lama 20 tahun
dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
2)
Pasal 4 menyebutkan setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan
yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud didalam Pasal 2 ayat
(1)
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang
dengan pidana penjara
paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah)
3)
Didalam Pasal 5 disebutkan bahwa setiap orang yang menerima atau
menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
  
32
didalam Pasal 2 ayat
(1)
dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda
paling  banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2.3.2
Tindak Pidana Pencucian Uang Korporasi
1)
Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana Pencucian Uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh
Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/ atau Personil
Pengendali Korporasi.
2)
Di
dalam Pasal 6  ayat
(2)
kemudian disebutkan bahwa pidana dijatuhkan
terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a)
Dilakukan dan diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b)
Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c)
Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah;
dan
d)
Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
2.3.3
Sanksi Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Korporasi
Di
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
jelas disebutkan beberapa sanksi
hukum tindak pidana Pencucian Uang Korporasi, yaitu:
1)
Di
dalam Pasal 7 ayat
(1), disebutkan bahwa pidana pokok yang dijatuhkan
terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak
Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
  
33
2)
Ditambahkan kembali di
dalam Pasal 7 ayat
(2), selain pidana denda
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat
(1), terhadap korporasi juga dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a)
Pengumuman putusan hakim;
b)
Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c)
Pencabutan izin usaha;
d)
Pembubaran dan atau pelarangan Korporasi;
e)
Perampasan aset Korporasi untuk negara;dan/atau
f)
Pengambilalihan Korporasi oleh negara.
3)
Di dalam Pasal 8 disebutkan bahwa
dalam hal harta terpidana tidak cukup
untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan
paling lama 1 tahun 4 bulan.
4)
Di
dalam Pasal 9 ayat
(1)
disebutkan bahwa dalam hal korporasi tidak
mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta kekayaan milik
Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan
putusan pidana denda yang dijatuhkan.
5)
Di
dalam Pasal 9 ayat
(2)
ditambahkan bahwa dalam hal penjualan harta
kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud di
dalam
ayat
(1)
tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan
terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda
yang telah dibayar.
6)
Di dalam Pasal 10 disebutkan bahwa setiap orang yang berada di dalam atau
di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta
  
34
melakukan pencobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat
untuk
melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
2.3.4
Sanksi Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Perbankan
Sanksi bagi perbankan terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang dimuat
dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009
Pasal X (sepuluh). Sanksi
Bank tersebut antara lain menyebutkan:
1)
Bank yang terlambat menyampaikan pedoman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf b yaitu pedoman pelaksanaan program APU (Anti Pencucian 
Uang) dan PPT (Pencegahan Pendanaan Terorisme)
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, serta laporan transaksi
mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), yaitu Bank
wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan, laporan
transaksi keuangan tunai, dan laporan lain sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang kepada PPATK,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari keterlambatan per laporan.
2)
Bank yang belum menyampaikan pedoman atau laporan transaksi keuangan
mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu lebih 1
(satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian, dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
  
35
3)
Bank yang:
a)
Tidak melaksanakan komitmen penyelesaian hasil temuan
pemeriksaan Bank Indonesia dalam kurun waktu 2 (dua) kali
pemeriksaan dan/atau;
b)
Tidak melaksanakan komitmen yang telah dituangkan dalam rencana
kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(2) huruf b,
Dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling
banyak sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
4)
Sanksi lainnya yang dapat diterima oleh Bank lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal X (sepuluh) ayat (4) berupa:
a)
Teguran tertulis;
b)
Penurunan tingkat kesehatan Bank;
c)
Pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d)
Pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan/atau pemegang saham
dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi
Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku; dan/atau
e)
Pemberhentian pengurus Bank.
2.4
Bank
2.4.1
Pengertian Bank
Perbankan di Indonesia sudah ada sejak tahun 1960-an dimana pada saat itu
lembaga Bank sangat diminati oleh masyarakat dalam istilah bahwa Bank tidak perlu
  
36
untuk mencari nasabah
namun sebaliknya dimana nasabahlah yang berperan untuk
mencari Bank. Namun, seiring dengan perkembangannya sekitar tahun 1980-1990
jasa perbankan semakin aktif. Banyak Bank
baru berdiri yang disebabkan oleh
kemudahan dalam mendirikan lembaga Bank. Seperti dengan modal
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setiap orang dapat BPR (Bank Perkreditan
Rakyat) yang mengakibatkan berdirinya banyak Bank
di Indonesia. Hal ini
mengakibatkan semakin banyak pesaing-pesaing yang membuat Bank
tersebut harus
aktif mencari nasabah untuk memperoleh dana yang kemudian akan dipergunakan
dalam kegiatan operasionalnya. Pada saat ini jasa perbankan bukan suatu hal yang
baru lagi baik di pedesaan maupun di kota karena dengan fasilitas Bank, banyak
kemudahan yang didapat seperti jasa menyimpan dana, transfer dana, dan manfaat
lainnya. Dalam pengertiannya, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
menyatakan bahwa Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
2.4.2
Fungsi Bank
Fungsi Bank secara umum terbagi atas 3 yaitu:
1)
Agent of Trust
Dalam menjalankan fungsinya yang bergerak di
bidang jasa, dan memiliki
peranan dan tanggung jawab yang sangat besar yaitu menghimpun dana dari
masyarakat yang berarti bahwa Bank
berfungsi untuk dapat menjaga dan
mengelola dana tersebut dengan baik. Untuk memperoleh dana dari
masyarakat, kepercayaan merupakan faktor penting yang harus bisa
  
37
dipertanggungjawabkan oleh Bank. Bank
harus dapat meyakinkan para
nasabah bahwa dananya tersebut dikelola dan dijaga dengan baik oleh Bank. 
2)
Agent of Development
Dengan adanya jasa perbankan, masyarakat dapat meminjam dana dari Bank
dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dana tersebut dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan perekonomian. Seperti
kegiatan investasi, kegiatan distribusi, menciptakan bidang usaha, dan
sebagainya. Dengan kegiatan ini akan semakin memudahkan dalam
meningkatkan kegiatan pembangunan perekonomian suatu negara.
3)
Agent of Services
Bank
dalam kegiatannya memiliki banyak fungsi selain menghimpun dana
yang kemudian disalurkan kembali ke masyarakat. Disamping itu, Bank juga
menawarkan jenis jasa lainnya, seperti jasa pengiriman dana, penitipan
barang berharga, dan jasa Bank lainnya.
2.4.3
Kegiatan Bank
Kegiatan Bank secara umum terdiri dari 2 aktivitas yaitu:
1)
Menghimpun dana
Dalam kegiatan ini
yang biasanya dilakukan oleh Bank adalah menawarkan
jasa penyimpanan yang dimiliki oleh Bank
kepada masyarakat dan dapat
meyakinkan masyarakat bahwa dana yang dimilikinya akan dijaga dan
dikelola dengan baik oleh Bank. Contoh jasa simpanan Bank adalah:
a)
Simpanan Giro.
Simpanan jasa giro merupakan salah satu bentuk simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan kapan saja. Penarikan ini dapat dilakukan
  
38
dengan menggunakan cek atau bilyet giro. Simpanan jasa giro juga
memberikan bunga kepada nasabah tergantung kepada masing-masing
ketentuan Bank.
b)
Simpanan Tabungan
Simpanan tabungan adalah jenis tabungan dimana penarikannya dapat
dilakukan kapan saja melalui
ATM (Anjungan Tunai Mandiri) dimana
saja. Untuk simpanan tabungan ini sendiri, akan diberikan bunga atas jasa
tabungannya yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan simpanan
giro.
c)
Simpanan Deposito
Simpanan deposito adalah simpanan yang
penarikan atau pencairannya
hanya dapat dilakukan sesuai dengan jangka waktu perjanjian yang
ditetapkan oleh nasabah dengan
Bank. Namun, di beberapa Bank
sudah
membuat ketentuan bahwa nasabah dapat melakukan penarikan kapan
saja sesuai dengan ketentuan yang ada. Untuk tingkat suku bunga,
simpanan deposito tergolong lebih besar
jika
dibandingkan dengan
simpanan tabungan.
2)
Menyalurkan Dana Kepada Masyarakat
Pada kegiatan ini, yang menjadi kegiatan Bank
adalah menyalurkan dana
yang telah di himpun dari masyarakat dan disalurkan kepada pihak-pihak
yang membutuhkkan dana sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang
ditetapkan. Jenis dana yang disalurkan oleh Bank dapat berupa:
a)
Kredit Investasi
  
39
Kredit investasi ini
biasanya merupakan dana jangka panjang yang
biasanya dipergunakan oleh pengusaha untuk menjalankan kegiatan
usahanya dengan perjanjian dan prosedur yang ditetapkan.
b)
Kredit Modal Kerja
Kredit modal kerja adalah bentuk dana yang sifatnya jangka pendek yang
biasanya digunakan untuk membiayai usaha untuk kegiatan perdagangan.
c)
Kredit Perdagangan Kredit
Kredit perdagangan kredit ini biasanya diberikan kepada pedagang-
pedagang yang digunakan untuk membeli barang dagangan dari pemasok
guna memperlancar kegiatan usahanya.
d)
Kredit Konsumtif
Kredit konsumtif adalah jenis kredit yang diberikan untuk memenuhi
kebutuhan seseorang misalnya kebutuhan sandang dan sebagainya. Jadi
kredit ini diberikan bukan untuk kegiatan usaha dan sebagainya.
e)
Kredit Produktif
Kredit ini diberikan untuk kegiatan usaha seperti investasi. Sehingga
diharapkan adanya pengembalian berdasarkan investasi yang ditanamkan.
 
2.5
Penelitian-Penelitian Sebelumnya
2.5.1
Louis dalam Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Praktek Pencucian Uang Melalui Transfer Dana”
Louis (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Prinsip Mengenal Nasabah
Sebagai Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Praktek Pencucian Uang Melalui
Transfer Dana” menyatakan bahwa Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
  
40
Customer) tidak hanya berguna untuk mendeteksi transaksi keuangan yang
kemungkinan merupakan tindak pidana Pencucian Uang, tetapi juga melindungi
Bank dari berbagai resiko dalam berhubungan dengan nasabah atau Counter-Party.
Hasil penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa praktek Pencucian Uang
mempunyai akibat yang kompleks yaitu merongrong perbankan, merugikan
masyarakat, dan negara yang berdampak menghambat pembangunan nasional. Untuk
mencegah tindak pidana Pencucian Uang, ada beberapa perangkat hukum yang
digunakan antara lain Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan
Bank Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya perangkat hukum tersebut tidak
dapat diterapkan seutuhnya karena terdapat beberapa kendala oleh Bank karena
adanya pertimbangan akan kehilangan nasabah. Dalam penelitian ini, penulis
menyebutkan bahwa upaya yang dilakukan oleh Bank yang pada saat penelitian
dilakukan pada Bank Ganesha adalah dengan cara menunjuk Direktur Kepatuhan dan
membentuk UKPN untuk melaksanakan prinsip mengenal nasabah, melakukan
pembuatan sistem teknologi/software
guna memonitor transaksi, dan Monitoring
Profile
nasabah, serta terus mengadakan pengembangan dari sistem-sistem yang
sudah ada dan juga memberikan pelatihan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah baik
kepada pejabat maupun staf Bank. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa
terdapat kendala dalam penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang berasal dari
masyarakat. Hal ini dikarenakan belum tersosialisasikannya dengan baik kepada
masyarakat mengenai Prinsip Mengenal Nasabah sehingga perlu adanya dukungan
dari pemerintah, Bank, dan masyarakat. 
2.5.2
Afandi dalam “Pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/23/PBI/2003 Mengenai Arti Pentingnya Prinsip Mengenal Nasabah
  
41
Bagi Bank Perkreditan Rakyat dalam Kaitannya dengan Tanggung
Jawab Bank sebagai Lembaga Keuangan” 
Penelitian yang dilakukan oleh Afandi (2008) dengan judul “Pelaksanaan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 Mengenai Arti Pentingnya Prinsip
Mengenal Nasabah Bagi Bank Perkreditan Rakyat
dalam Kaitannya dengan
Tanggung Jawab Bank sebagai Lembaga Keuangan” menyebutkan bahwa Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 telah ditetapkan di Jakarta sejak tanggal 23
Oktober 2003 yang berkaitan dengan sistem pengendalian resiko Bank Perkreditan
Rakyat. Di
dalam penelitian ini juga disimpulkan bahwa di Kabupaten Kudus telah
diadakan sosialisasi yang di selenggerakan oleh Bank Indonesia untuk pelaksanaan
Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan Prinsip Mengenal Nasabah. 
2.5.3
Lisanawati dalam “International Journal of Cyber Society and Education”
yang berjudul “Electronic Funds in Money Laundering Crime: Regulation
Needed in Response to Meeting of Technology and Crime in Indonesia
Menurut Lisanawati (2010:163-170) dalam judul penelitiannya “International
Journal of Cyber Society and Education” yang berjudul “Electronic Funds in Money
Laundering Crime: Regulation Needed in Response to Meeting of Technology and
Crime in Indonesia” menyebutkan bahwa kemajuan teknologi banyak membawa
pengaruh positif dalam berbagai bidang antara lain komunikasi, pendidikan,
perdagangan dan sebagainya. Namun, dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang
kemajuan teknologi banyak yang membawa dampak negatif. Lisanawati juga
menyebutkan bahwa salah satu dampak negatif
kemajuan teknologi ini adalah
meningkatnya kejahatan yang dilakukan seperti transfer dana secara elektronik yang
bertujuan untuk Pencucian Uang. Lisanawati juga menekankan bahwa Pemerintah
  
42
Indonesia harus segera membuat peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan
transfer dana secara elektronik yang berkaitan dengan tindak pidana Pencucian Uang.  
2.5.4
Kumar dalam European Journal of Business and Management
yang
berjudul “Money Laundering: Concept, Significance, and Its Impact”
Menurut Kumar (2012),
dalam European Journal of Business and
Management
yang berjudul “Money Laundering: Concept, Significance,
and Its
Impact” menyebutkan bahwa Pencucian Uang adalah suatu proses dimana jumlah
uang yang diperoleh secara ilegal seperti perdagangan narkoba, kejahatan teroris, dan
kejahatan lainnya yang dimanipulasi sehingga terlihat dana legal. Pencucian Uang
memiliki banyak dampak negatif
pada perekonomian dan stabilitas negara yang
harus ditangani secara
serius. Penulis menyimpulkan bahwa Pencucian Uang adalah
masalah global yang harus dikendalikan secara global. Para pelaku kejahatan
Pencucian Uang ini menyebarkan kaki tangan mereka ke lembaga atau institusi legal
seperti pengacara, banker, akuntan, dan institusi lainnya untuk menyamarkan uang
haram tersebut agar terlihat seperti pendapatan yang sah. Dalam hal ini, para pelaku
menyisihkan sekitar 10-15% dari jumlah uang haram tersebut untuk membiayai kaki
tangan tersebut. Dari semua kaki tangan tersebut, di perkirakan yang paling besar
peranannya dalam melancarkan operasi kejahatan ini adalah banker. Kejahatan
tindak pidana Pencucian Uang ini merupakan suatu kejahatan yang bersifat
internasional dan harus ditangani dengan bersama-sama antar penegak hukum di
semua negara di dunia.
2.5.5
Josetta dalam “The Use of
Customer Due Diligence to Combat Money
Laundering
  
43
Penelitian yang dilakukan oleh Josetta (2013) dengan judul “The Use of CDD
(Customer Due Diligence)
to Combat Money Launderingmenjelaskan
bahwa
penggunaan prinsip CDD berdasarkan KYC (Know Your Customer) dalam perannya
melawan Pencucian Uang khususnya yang terjadi pada sektor perbankan. Penelitian
ini membahas pembuatan kerangka kerja strategi AML
(Anti-Money Laundering)
yang menempatkan prinsip CDD dan prosedur
lainnya yang
terkait fungsi
manajemen resiko. Undang-undang dan strategi Amerika untuk mencegah Pencucian
Uang menggunakan prinsip KYC diidentifikasi sebagai komponen terpenting dari
manajemen resiko AML.
2.5.6
Nasution dalam “Memahami Praktek Pencucian Uang Hasil Kejahatan”
Menurut Nasution (2011) dengan judul penelitiannya “Memahami Praktek
Pencucian Uang Hasil Kejahatan” menyatakan bahwa meskipun kerjasama global
telah berhasil untuk disepakati untuk bersama-sama mencegah dan memberantas
tindak pidana Pencucian Uang secara internasional, namun dalam banyak kasus
tampaknya para penjahat masih bisa dengan leluasa melakukan tindak pidana. Hal ini
disebabkan cara yang dilakukan oleh pelaku lebih fleksibel dan terorganisir dengan
tingkat kerjasama yang cukup kuat dan solid. Peneliti juga menekankan
walaupun
semua negara telah menetapkan undang-undang anti Pencucian Uang yang mengacu
kepada International Standard
yang dikeluarkan oleh lembaga dan organisasi
internasional, tetapi pada kenyataanya masih selalu ada kesempatan yang
memungkinkan pelaku tindak pidana Pencucian Uang melakukan aksinya meskipun
kejadiannya pasang surut.
  
44
2.5.7
Waluyo dalam “Upaya Memerangi Tindakan Pencucian Uang (Money
Laundering) Di Indonesia”
Waluyo (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Upaya Memerangi
Tindakan Pencucian Uang (Money Laundering) Di Indonesia” menyebutkan bahwa
pencegahan tindak pidana Pencucian Uang bukan suatu masalah yang mudah dan
sederhana meskipun semua negara diseluruh dunia sudah menerapkan peraturan
terkait rezim anti Pencucian Uang. Pada masa globalisasi saat ini, fenomena untuk
mencegah tindak pidana Pencucian Uang sudah dilakukan baik secara nasional
maupun internasional. Di Indonesia sendiri, untuk mencegah tindak pidana
Pencucian Uang sudah dilakukan melalui 2 (dua) kebijakan hukum yang mana
pendekatan pencegahan pada hukum perbankan seperti menerapkan prinsip
mengenal nasabah dan kebijakan hukum yang bersifat menghukum yang dimuat
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.
Tabel 2.1
Ikhtisar Penelitian Terdahulu
No.
Nama, Judul
Masalah
Hasil
1.
Go Lisanawati, “Electronic
Funds Transfer in Money
Laundering Crime:
Regulation Needed in
Response to Meeting of
Technology and Crime in
Indonesia” (2010)
Meneliti masalah seberapa
penting peraturan mengenai
transfer dana elektronik
dalam mencegah pencucian
uang.
Indonesia perlu mengatur
aktivitas transfer dana
elektronik ke dalam  hukum,
tidak hanya dalam Peraturan
internal seperti Bank
Indonesia.
2.
Vandana Ajay Kumar,
Money Laundering:
Concept, Significance and its
Impact” (2012)
Menjelaskan mengenai
konsep, signifikansi dan
dampak dari pencucian
uang.
Pencucian uang adalah
masalah global dan harus
menarik perhatian masyarakat
dunia.
3.
Louis, “Prinsip Mengenal
Nasabah Sebagai Upaya
Pencegahan dan
Pemberantasan Praktek
Pencucian Uang Melalui
Transfer Dana” (2012)
Mencoba meneliti seberapa
penting penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah untuk
mencegah praktek tindak
pidana Pencucian Uang.
Pencucian Uang mempunyai
akibat yang kompleks yaitu
merongrong perbankan,
merugikan masyarakat, dan
negara yang berdampak
menghambat pembangunan
nasional.
4.
Afandi, “Pelaksanaan
Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/23/PBI/2003
Mengenai Arti Pentingnya
Prinsip Mengenal Nasabah
Bagi Bank Perkreditan
Mencoba peneliti
bagaimana peranan
Peraturan Bank Indonesia
Nomor  5/23/PBI/2003
mengenai arti pentingnya
penerapan prinsip mengenal
Kabupaten Kudus telah
diadakan sosialisasi yang di
selenggerakan oleh Bank
Indonesia untuk pelaksanaan
Peraturan Bank Indonesia yang
berkaitan dengan Prinsip
  
45
Tabel 2.1
Ikhtisar Penelitian Terdahulu
No.
Nama, Judul
Masalah
Hasil
Rakyat dalam Kaitannya
dengan Tanggung Jawab
Bank sebagai Lembaga
Keuangan” (2008)
nasabah oleh Bank
Perkreditan Rakyat pada
Kabupaten Kudus.
Mengenal Nasabah.
5.
Josetta, “The Use of
Customer Due Diligence to
Combat Money Laundering
(2013)
Meneliti peran penggunaan
prinsip Customer Due
Dilitgence (CDD)
berdasarkan Know Your
Customer (KYC) dalam
memerangi Pencucian Uang
khususnya di area
perbankan.
Hasil penelitian yang
dilakukan menyebutkan arti
pentingnya untuk menerapkan
CDD berdasarkan prinsip
KYC. Dalam hal ini, peneliti
juga menyimpulkan bahwa
penggunaan prinsip KYC di
identifikasi sebagai komponen
terpenting untuk AML (Anty
Money Laundering)
6.
Nasution, “Memahami
Praktek Pencucian Uang
Hasil Kejahatan” (2011)
Memahami Praktek
Pencucian Uang Hasil
Kejahatan
Meskipun semua negara telah
menetapkan Undang-undang
anti Pencucian Uang,  tetapi
pada kenyataanya masih selalu
ada kesempatan yang
memungkinkan pelaku tindak
pidana Pencucian Uang
melakukan aksinya meskipun
kejadiannya pasang surut.
7.
Waluyo, “Upaya Memerangi
Tindakan Pencucian Uang
(Money Laundering) Di
Indonesia” (2009)
Membahas permasalahan
yang muncul sehubungan
dengan perihal pencucian
uang.
Agar aparat penegak hukum di
Indonesia, dalam hal ini
Kepolisian dan Kejaksaan,
tidak lagi menggunakan
peraturan-peraturan hukum
uang menjerat predicate
offense, melainkan
menggunakan undang-undang
anti pencucian uang
(UUTPPU), sebagai bentuk
penanggulangan dan
pemberantasan kejahatan
pencucian uang.