5
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Kerangka Teori
2.1.1
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) adalah pajak
yang dikenakan
atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya
dari produsen
Added Tax
(VAT) atau Goods and Services Tax
(GST). PPN
termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak ter sebut disetor
oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan
kata lain, penanggung pajak (konsumen
akhir) tidak menyetorkan
langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada
pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha
yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus
disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak
keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya,
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli,
memperoleh, atau membuat produknya.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada
pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha
yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus
disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak
keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya,
|
6
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli,
memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar
10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di
Indonesia adalah Undang-Undang No. 8
Tahun 1983
berikut
perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11
Tahun 1994, Undang-
Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.
2.1.1.1
Definisi PKP (Pengusaha Kena Pajak)
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Orang Pribadi atau Badan
dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP) ,
mengimpor Barang Kena
Pajak (BKP), mengekspor Barang Kena Pajak (BKP), melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud
dari luar daerah pabean, melakukan usaha Jasa Kena Pajak (JKP), atau
memanfaatkan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean.
Untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) bagi Orang Pribadi atau
Badan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) dan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
dengan ketentuan :
1.
Setiap Orang Pribadi atau Badan harus mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila
Peredaran usaha atau Omzet dalam 1 (satu) tahun lebih dari
Rp.600.000.000,-.
|
7
2. Bagi Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai Peredaran usaha
atau Omzet dalam 1 (satu) tahun tidak lebih dari Rp.600.000.000,-. dapat
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Kena
Pajak (PKP) dan disebut Pengusaha Kecil Kena Pajak.
3.
Dalam hal Orang Pribadi atau Badan telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), dapat mengajukan permohonan
pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2.1.2.
Fungsi Pajak
Pajak mempunyai dua fungsi utama yaitu :
1 . Fungsi budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah ubtuk membiayai
pengeluaran pengeluarannya.
2 . Fungsi mengatur ( regulerend )
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
2.1.3.
Pengelompokan Pajak
Pajak dapat dikelompokan ke dalam kelompok
1.
Menurut golongannya
a.
Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul itu sendiri oleh
Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada
orang lain.
|
8
Contoh : Pajak penghasilan
b.
Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
2.
Menurut sifatnya
a.
Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan
pada subjeknya,dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib
Pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan
b.
Pajak Objektif, yaitu pajak yang bepangkal pada objeknya tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah
3.
Menurut lembaga pemungutannya
a.
Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara
Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan
Bea Materai.
b.
Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas :
|
9
a)
Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
b)
Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran,
dan Pajak Hiburan.
2.1.4
Sistem Pemungutan Pajak
Berikut ini akan dijabarkan mengenai sistem pemungutan pajak yang berlaku
di Indonesia :
A.
Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang
kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
Ciri-cirinya :
1.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib Pajak sendiri
2.
Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
B.
Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya :
1.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
ada pada fiskus.
|
10
2.
Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak
oleh fiskus.
C.
With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan Wajib Pajak yang
bersangkutan). Untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak.
Ciri-cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang
ada pada pihak ketiga, pihak lain selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.2. Pajak Pertambahan Nilai ( PPN )
2.2.1
Sejarah Perkembangan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai sebenarnya sudah lama dikenal
walaupun dalam berbagai nama. Ditinjau dari sejarahnya pajak penjualan
telah diterapkan di Eropa pada abad pertengahan, seperti di Belanda,
Spanyol, Jerman, Prancis, dan Lain-lain.
Perancis sebagai negara pertama yang mengadopsi Pajak
Pertamban Nilai ( Value Added Tax
VAT ) tahun 1954 pada tingkat
pedagang yang besar yang akhirnya diperluas sampai pada penyerahan
barang yang dilakukan pada tingkat pedagang eceran. Vietnam sebagai
negara di lingkungan asia pertama kali menerapkan VAT pada tahun
1973. Lalu diikuti oleh negara Korea pada tahun 1977, Cina pada tahun
1984, dan Indonesia pada awal April 1985 yang bersamaan dengan
negara Turki dan negara Asia lainnya menyusul
yaitu negara India pada
tahun 1986 dan Filipina pada tahun 1988.
|
11
2.2.2.
Kelebihan dan Kekurangan Pajak Petambahan Nilai
Kelebihan PPN :
a.
Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.
b.
Netral dalam perdagangan lokal dan internasional.
c.
PPN atas perolehan berang modal dapat diperoleh kembali pada
bulan perolehan,
d.
Ditinjau dari besar pendapatan Negara, PPN mendapa predikat
sebagai money maker. Karena konsumen selaku pemikul beban pajak
tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan
fiskus untuk memungutnya.
Kelemahan PPN :
a.
Biaya administrasi relative tinggi bila dibandingkan dengan pajak
tidak langsung lainnya, baik di pihgak administrasi pajak maupun di
pihak wajib pajak.
b.
Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat
kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul.
c.
PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak.
d.
PPN menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh
administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakaknya.
2.2.3.
Objek Pajak Pertambahan Nilai
PPN dikenakan atas :
1.
Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah :
|
12
a.
Barang Berwujud yang diserahkan merupakan BKP.
b.
Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak
berwujud.
c.
Penyerahan dilakukan di dalam Derah Pabean.
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
2.
Impor BKP.
3.
Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh
Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah :
a.
Jasa yang diserahkan merupakan JKP
b.
Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
c.
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya
4.
Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daeraah Pabean.
5.
Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
6.
Ekspor Bkp oleh Pengusaha Kena Pajak.
7.
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan
usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
8.
Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak unutk
diperjualbelikan (bukan inventory) oleh PKP, sepanjang Pajak
Masukan yang dibatar pada saat perolehannya menurut ketentuan
dapat dikreditkan.
|
13
2.2.4
Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai berikut :
a.
Pengusaha PKP
b.
Pengusaha NON PKP
c.
Memperhatikan Objek PPN & mekanisme pemungutan
Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir denagn UU No. 42 Tahun 2009 diatur bahwa Objek Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) adalah sebagai berikut :
1.
Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha
2.
Impor Barang Kena Pajak
3.
Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha
4.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
5.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
6.
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
7.
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
|
14
2.2.5
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas :
a.
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha;
b.
impor Barang Kena Pajak;
c.
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean;
e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean; atau
f.
ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) meliputi baik Pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun Pengusaha yang seharusnya
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
2.2.6
Ketentuan Umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1A tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Kena dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, dijelaskan mengenai beberapa pengertian yang berkaitan dengan Pajak
Pertambahan Nilai antara lain :
1.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi
wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat
|
15
tertentu di
Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di
dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai
kepabeanan.
2.
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang
tidak berwujud.
3.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
4.
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan
Barang Kena Pajak.
5.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas,
kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan
dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang ini.
7.
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena
Pajak.
8.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
9.
Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah
Pabean ke dalam Daerah Pabean.
|
16
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan
mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean
ke luar Daerah Pabean.
12. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
13. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa
dari luar Daerah Pabean.
14. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai
Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang.
15. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
|
17
Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak.
16. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak.
17. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena
Pajak.
18.
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor
Jasa Kena Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods
and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak
tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau
dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung
pajak yang ia tanggung.
|
18
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
Pasal 11 (1) dan (2),
Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a.
penyerahan Barang Kena Pajak;
b.
impor Barang Kena Pajak;
c.
penyerahan Jasa Kena Pajak;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d;
e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau
f.
ekspor Barang Kena Pajak.
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum
dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah pada saat
pembayaran.
|
19
2.2.7
Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai terpilih sebagai pengganti Pajak Penjualan karena
memliki beberapa karakteristik positif. Adapun karakteristik tersebut adalah sebagai
berikut :
a)
Pajak Tidak Langsung dan Pajak Objektif
PPN adalah pajak tidak langsung, artinya beban pajak dilimpahkan kepada
pihak lain. Sehingga pemikul beban pajak (WP) dan penyetor pajak ke DJP
(pemungut) adalah pihak yang dapat berbeda.
PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula
kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya.
Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang
mampu), akan dikenakan PPN, selama mereka mengonsumsi Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak, di dalam daerah pabean.
b)
Multi Stage Levy namun Non Commulative
PPN bersifat multi stage levy, artinya dikenakan pada setiap mata rantai jalur
produksi dan jalur distribusi. Mulai dari pertama kali setelah diproduksi,
hingga sampai ke tangan konsumen akhir.
Sifat non kumulatif dari Pajak Pertambahan Nilai terletak pada mekanisme
pemungutannya yang dikenakan pada Nilai Tambah (Added Value) dari
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dan tidak diperhitungkan di akhir
tahun. Diharapkan dengan sifat seperti ini akan mengurangi hasrat para Wajib
Pajak untuk menghindari bahkan menyelundupkan Pajak Pertambahan Nilai
yang menjadi kewajibannya.
|
![]() 20
c)
Penghitungan PPN terutang untuk dibayar ke kas negara menggunakan
indirect subtraction method
Yaitu PPN dikenakan bedasarkan atas pertambahan nilai (added value) dari
barang yang dihasilkan atau diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
d)
Merupakan Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri sehingga memiliki
kedudukan netral
PPN dikenakan untuk berbagai konsumsi BKP di daerah pabean tanpa
terkecuali.
e)
Menerapkan tarif tunggal (single rate)
Tarif Pajak PPN adalah 10 %. Namun bisa juga melalui berbagai
pertimbangan dan keluarnya PP, tarif diubah antara 5-15 %.
f)
Termasuk tipe konsumsi (Consumption Type VAT)
Pada VAT type ini, seluruh pengeluaran atas pembelian produk, termasuk
barang modal, dapat menjadi pengurang terhadap penerimaan.
2.2.8
Jasa Kena Pajak dan Pengecualiannya
Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan
suatau barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia unutk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan unutk menghasilkan barang karena
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan
yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Pengecualian JKP.
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang
ditentukan lain oleh UU PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN
|
21
ditetapkan dengan PP didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai
berikut :
a.
Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik,
b.
Jasa di bidang pelayanan sosial,
c.
Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko,
d.
Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak
opsi,
e.
Jasa di bidang keagamaan,
f.
Jasa di bidang pendidikan,
g.
Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang tidak dikenakan pajak
totonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat
komersial, seperti :
Pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara Cuma-
Cuma.
h.
Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan, seperti : penyiaran
radio dan televisi yang dilakuakn oleh instansi pemerintah atau swasta
yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang
bertujuan komersial.
i.
Jasa
di bidang angkutan umum di darat dan diair, seperti : jasa
angkutan umum di darat, di laut, di danau, dan di sungai yang
dilakukan oleh Pemerintah atau swasta.
j.
Jasa di bidang tenaga kerja,
k.
Jasa di bidang perhotelan,
l.
Jasa disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum, meliputi jasa-jasa yang dilaksanakan oleh
|
22
instansi pemerintah, seperti : pemberian Izin Mendirikan Bangunan,
Pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib
Pajak, Pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
2.2.9
Penyerahan Barang dan Jasa Kena Pajak
1.
Penyerahan hak atas BKP kerna suatu perjanjian;
2.
Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian
leasing;
3.
Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4.
Pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma atas BKP;
5.
Persedianan BKP dan aktifa yang menurut tujuan semula tidak unutk
diperjual belikan, yang masih tersisa kepada pembubaran perusahaan,
sepanjang PPN atas peroleh aktifa tersebut menurut ketentuan dapat
dikreditkan;
6.
Penyerahan BKP dari pusat kecabang atau sebaliknya dan penyerahan
BKP antar cabang;
7.
Penyerahan BKP secara konsinyasi.
Catatan :
1.
Pemakaian sendiri adalah pemakaian unutk kepentingan pengusaha
sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri
maupun bukan produksi sendiri.
2.
Pemberian cuma-cuma adalah pemberian yang diberikan tanpa
pembayaran baik barang-barang produksi sendiri maupun bukan
produksi sendiri.
|
23
Sedangkan penyerahan barang yang tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan BKP adalah :
1.
Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang.
2.
Penyerahan BKP unutk jaminan piutang.
3.
Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan
penyerahan BKP antar cabang dalam hal Pengusaha Kena Pajak
memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang.
Penyerahan Jasa Kena Pajak :
Apabila dirinci, pengertian penyerahan jasa kena pajak adalah setiap
kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan/perbuatan hukum :
a)
Yang menyebabkan suatu barang/fasilitas/kemudahan kas tersedia :
1)
Untuk dipakai pihak lain dengan maksud memperoleh
penggantian sebagai imbalan,
2)
Untuk dipakai pihak lain tanpa ada maksud memperoleh imbalan
(pemberian jasa kena pajak dengan cuma-cuma),
3)
Untuk kepentingan sendiri (pemakaian sendiri jasa kena pajak)
b)
Yang dilakukan atas dasar pesanan unutk menghasilkan barang karena
pesanan/permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
2.2.10
Peraturan Baru Tentang Prosedur Pembuatan Faktur Pajak
Dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran sebagaimana
diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP),
Faktur Pajak mempunyai peran yang sangat strategis. Berbagai upaya
penyempurnaan sistem telah dilakukan oleh DJP. Salah satu upaya untuk
|
24
menghindari terjadinya segala bentuk penyalahgunaan Faktur Pajak dari
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, peraturan tentang Faktur Pajak
kembali mengalami perubahan. Diharapkan juga, Pelayanan dan
kenyamanan kepada seluruh Pengusaha Kena Pajak akan meningkat.
Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan, setelah program
registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP), dalam rangka meningkatkan
tertib administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut
diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012
tanggal 22 November 2012 tentang Bentuk, Ukuran,
Tata Cara Pengisian
Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata
Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur
Pajak yang akan berlaku efektif untuk penerbitan Faktur Pajak mulai
tanggal 1 April 2013.
Dalam peraturan
tersebut, penomoran Faktur Pajak tidak lagi
dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui
pemberian nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan bentuk dan
tatacaranya oleh DJP. Untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak, PKP
perlu mengajukan
surat permohonan kode aktivasi dan password secara
tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Surat
pemberitahuan kode aktivasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP,
sedangkan password akan dikirimkan lewat email. Setelah mendapat kode
aktivasi dan password, kemudian PKP mengajukan surat permintaan
nomor seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajaka (KPP) tempat PKP
terdaftar untuk kebutuhan 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, PKP akan
|
25
mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk
digunakan dalam penomoran Faktur Pajak.
Berkenaan dengan peraturan baru ini, PKP perlu memastikan
bahwa alamat yang terdaftar adalah alamat yang sesuai dengan kondisi
nyata PKP. Hal ini dimaksudkan agar pada pengiriman surat
pemberitahuan kode aktivasi dapat diterima oleh PKP. Apabila terdapat
perbedaan antara alamat yang sebenarnya dengan alamat yang tercantum
dalam Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus segera melakukan update
alamat ke KPP tempat PKP terdaftar. PKP perlu juga mempersiapkan
alamat surat elektronik (email) untuk korespondensi pemberitahuan email
dan surat pemberitahuan kode aktivasi/surat pemberitahuan penolakan
kode aktivasi yang Kembali Pos (kempos).
Ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah :
1.
Kode dan nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit
yaitu : 2(dua) digit kode transaksi, 1 (satu) digit kode status, dan 13
(tiga belas) digit nomor seri Faktur Pajak;
2.
Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP melalui permohonan
dengan instrumen pengaman berupa kode aktivasi dan password;
3.
Identitas Penjual dan Pembeli, terutama alamat harus diisi dengan
alamt sebenarnya atau sesungguhnya;
4.
Jenis Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak harus diisi dengan
keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya;
5.
Pemberitahuan PKP/pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak,
harus dilampiri dengan fotokopi kartu identitas yang sah dan
dilegalisasi pejabat yang berwenang;
|
26
6.
PKP yang tidak menggunakan nomor seri Faktur Pajak dari DJP atau
menggunakan nomor seri Faktur Pajak ganda akan menyebabkan
Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak tidak lengkap;
7.
Faktur Pajak tidak lengkap akan menyebabkan PKP pembeli tidak
dapat mengkreditkan sebagai Pajak Masukan dan PKP Penjual
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.2.11
Ketentuan Umum Pajak Pertambahan Nilai
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1A tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Kena dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, dijelaskan mengenai beberapa pengertian yang berkaitan dengan Pajak
Pertambahan Nilai antara lain :
1.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi
wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-
tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang
di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai
kepabeanan.
2.
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang
tidak berwujud.
3.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
|
27
4.
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan
Barang Kena Pajak.
5.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang,
fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang ini.
7.
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa
Kena Pajak.
8.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
9.
Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah
Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan
mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah
Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
|
28
perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk usaha tetap.
13. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
14. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai
Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang.
15. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
16. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak.
17. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya
sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang
|
29
Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor
Barang Kena Pajak.
18. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau
ekspor Jasa Kena Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods
and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak
tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau
dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung
pajak yang ia tanggung.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
Pasal 11 (1) dan (2),
Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a.
penyerahan Barang Kena Pajak;
b.
impor Barang Kena Pajak;
c.
penyerahan Jasa Kena Pajak;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d;
|
30
e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau
f.
ekspor Barang Kena Pajak.
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum
dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah pada saat
pembayaran.
2.2.12
Tarif Pajak Pertambahan Nilai
1.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
2.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
3.
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi
paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)
yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.2.13
Pengkreditan Pajak Masukan
Prinsip dasar pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9
UU No. 42 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
1.
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak
Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
|
31
2.
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum
melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas
perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
3.
Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5)
dan ayat (9).
4.
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa
Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa
Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan.
5.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada
Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang
harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
6.
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang
terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah
Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
7.
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang
terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung
dengan menggunakan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
32
8.
Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada butir
2 dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh
Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut
mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
9.
Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara
pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada butir 8 diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
10. Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan
usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang
belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan,
sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan
Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau
dikapitalisasi.
11. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
12. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena
Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi
jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada butir 11, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
|
33
13. Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaiman dimaksud pada butir
12, kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada butir 11, dan
pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaiman
dimaksud butir 12 dan butir 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Pengkreditan Pajak Masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran
untuk :
a.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum
pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c.
Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan
station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemnfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaiman dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama,
alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak;
f.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
|
34
g.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
h.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan
pemeriksaan; dan
i.
Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena
Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana
dimaksud pada butir 2.
2.2.14
Tata Cara Pembayaran Pajak PPN :
Cara membayar pajak PPN :
1.
PPn yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat 15
(lima belas) bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
2.
PPN yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB,
SKPKBT, dan STP tersebut.
3.
PPN atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran
Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan,
harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.
|
35
4.
PPN yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7
(tujuh) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor
paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN atas
impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah
pemungutan pajak dilakukan.
2.2.15 Kelebihan dan Kekurangan PER 24/PJ/2012 :
Kelebihan dari PER 24/PJ/2012 :
PKP akan lebih transparan dalam penerbitan nomor seri faktur
pajak, dan faktur pajak fiktif pun bisa terhindar.
Kekurangan PER 24/PJ/2012 :
1.
Program eSPT belum bisa untuk mengakomodir perubahannya
(terutama Faktur Pajak Pengganti)
2.
Waktu yang kurang efisien dengan adanya waktu yang akan terbuang
banyak untuk bolak-balik ke Kantor Pajak perihal permintaan nomor
seri Faktur Pajak
Dalam Per-24/PJ/2012, di samping menambahkan ketentuan
pemberian kode aktivasi, password, dan nomor Faktur Pajak terdapat
juga ketentuan baru yang merubah ketentuan dalam Per-13/PJ/2010.
|
36
Perbedaan tersebut antara lain :
1.
Kode cabang dalam penomoran Faktur Pajak
Dalam ketentuan lama : ada
Dalam ketentuan baru : tidak ada
2.
Nomor urut Faktur Pajak Pengganti
Dalam ketentuan lama : nomor urut terakhir yang belum digunakan
Dalam ketentuan baru : sama dengan nomor urut Faktur Pajak yang
diganti
3.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Dalam ketentuan lama : Diisi dengan jumlah Harga
Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dikurangi dengan Potongan
Harga dan Uang Muka yang telah diterima
Dalam ketentuan baru : Diisi dengan jumlah Harga
Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dikurangi dengan Potongan
Harga dan Uang Muka yang telah diterima atau diisi dengan DPP
Nilai Lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan.
4.
Kode Transaksi Penyerahan ke Pemungut PPN
Dalam ketentuan lama : Hanya 02 dan 03
Dalam ketentuan baru : 02, 03, 07, dan 08
5.
Tanda tangan Faktur Pajak
Dalam ketentuan lama : Cap tanda tangan tidak diperkenankan
dibubuhkan pada Faktur Pajak
Dalam ketentuan baru : Cap tanda tangan atau scan tanda tangan tidak
diperkenankan dibubuhkan pada Faktur Pajak.
|
37
2.2.16 Sanksi Administrasi Berupa Denda Karena Tidak Lapor atau Terlambat
Lapor SPT
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) *)
atau batas waktu
perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan
serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara
asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di
Indonesia;
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi
belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
|
38
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
2.3
Metodologi Penelitian
2.3.1
Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan (metode) kualitatif, yang bersifat deskriptis. Pendekatan
kualitatif menurut Miles dan Huberman dalam Moleong (2001:5)
merupakan suatu pendekatan yang berusaha menafsirkan makna suatu
peristiwa sebagai interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu.
Penelitian bersifat deskriptif dapat diartikan sebagai proses pemecahan
masalah yang diselidiki dengan melukiskan keadaan subyek dan obyek
penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yangtampak
sebagaimana adanya.
Alasan pemilihan metode penelitian ini, karena melalui
pendekatan kualitatif tersebut dapat melakukan pemecahan masalah yang
diselidiki secara mendalam (dept observation) dengan melukiskan
keadaan subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.
Penggunaan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, karena
tidak hanya terbatas pada pengumpulan
dan penyusunan data, tetapi
sangat komplek dan luas yang meliputi analisis dan interpretasi tentang
|
39
data tersebut, selain itu semua yang dikumpulkan memungkinkan menjadi
kunci terhadap apa yang diteliti.
|
40
2.3.2
Tehnik Pengumpulan Data
Adapun tehnik pengumpulan data dan informasi yang lengkap dan
akurat sejalan dengan tujuan penelitian, maka digunakan cara
memperoleh data dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Observasi
Tehnik pengumpulan data melalui observasi yaitu melakukan
pengamatan dan cara-cara yang menganalisis dan mengadakan
pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat
atau mengamati individu atau kelompok secara langsung. Observasi
ini dilakukan patisipant observasition untuk mengamati secara
langsung di lapangan. Adapun pengamatan dilakukan dengan cara
mengamati, melihat dan memperhatikan dengan melakukan
pencatatan yang sistematis terhadap gejala yang diteliti. Dalam
pelaksanaannya digunakan observasi partisipatif, yaitu peneliti
melihat dan mengamati langsung terhadap objek yang diteliti.
2. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu cara memperoleh data dalam
penelitian yaitu peneliti melakukan wawancara atau tanya jawab
secara betatap muka langsung dengan informan. Wawancara
merupakan alat pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang
diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara terstruktur dan mendalam (indepth
interview) dengan menggunakan pedoman wawancara dan apabila ada
jawaban yang kurang jeias dapat ditanyakan kembali kepada
informan.
|
41
Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini sebanyak 18
orang yang ditentukan secara gabungan antara aksidentil dan purposive.
Aksidentil yaitu informan yang ditentukan secara tiba-tiba yang langsung
diketemukan pada saat dilakukan pengamatan (observasi) sebanyak 10
orang. Purposive yaitu informan yang ditentukan atas
mempertimbangkan kriteria informan itu sendiri yaitu pejabat Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Lhokseumawe) sebanyak 8 orang,
sebagaimana tertera dalam daftar lampiran II. Seterusnya, data primer
dan sekunder yang diperoleh dikembangkan dengan menyatukan hasil
wawancara dari berbagai sumber untuk ditarik suatu kesimpulan.
3. Dokumentasi/Kepustakaan
Data sekunder dan primer diperoleh melalui kajian kepustakaan
yaitu dengan cara mempelajari buku-buku referensi, surat kabar, poto,
laporan dinas, silabus untuk mendapatkan teori-teori dan hasil wawancara
dengan informan tentang kebijakan pemerintah dalam memberdayakan
gelandangan dan pengemis Data dan informasi serta keterangan-
keterangan yang diperoleh melalui literatur, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah.
|